KONSEPSI DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN EKONOMI DAN
POLITIK MENURUT PERSPEKTIF ARTHASASTRA
(Merangkai
Butir Mutiara Kepemimpinan)
Prawacana
Sepanjang
sejarah peradaban manusia bahwa arthasastra merupakan sebuah rujukan pandangan
dalam ilmu kepemimpinan. Menurut
pandangan beberapa para ahli kepemimpinan dan para pakar ekonom bahwa sejak
jaman dahulu sebelum perkembangan ilmuan modern arthasastra ini sudah dijadikan
referensi untuk para pemimpin yang ada diseluruh dunia. Para pemuka
pemerintahan yang ada diseluruh dunia
menggunakan panduan buku ini sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahan,
seperti pada kehidupan Romawi dan Yunani yang dalam perkembangan peradaban
dunia sangat kagum dengan adanya acuan ini. Padahal jika dikaji dengan ilmiah
sesungguhnya arthasastra sudah ada jauh sebelum perkembangan kebudayaan
tersebut. Berdasarkan referensi yang dikemukakan oleh I.B.Radendra Suastama,
M.H yang menyadur terjemahan L.N
Rangarajan (1992) beliau menulis bahwa buku arthasastra sudah ditulis
sekurangnya pada 18 abad yang lalu. Dari
tulisan yang terkait ini bahwa dalam perkembangan kehidupan dipanggung politik
dunia bahwa peran pemimpin sangatlah mutlak diperlukan karena dalam hal ini
pemimpin merupakan tonggak sejarah dalam kemajuan dan kemunduran suatu bangsa
dalam torehan sejarah dari seluruh dunia.
Sejalan
dengan uraian tersebut bahwa konsepsi arthasastra yang dihadirkan oleh
bujanngga besar pada jamannya yaitu Kautilya telah mengubah sebuah konsepsi
pemahaman bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan mutlak ada yang namanya
aturan dalam menjalankan roda pemerintahan yang tidak hanya diciptakan secara
hemegomi pemimpin yang menang karena pencitraan diri akan tetapi ada didalamnya
ada sebuah pemahaman ilmu pemerintahan yang diterapkan dalam kehidupan
kekinian. Bertolak dari uraian diatas bahwa dalam pemahaman tentang ilmu
pemerintahan yang mutlak diperlukan
dalam kehidupan sekarang, tetapi dengan perkembangan jaman yang terus berkembang
seolah-olah pemahaman tentang pemimpin dan kepemimpinan dibuyarkan oleh adanya
sebuah pencitraan diri dan pengaruh yang dilakukan oleh pemimpin tersebut dan
mereka telah mengabaikan nilai-nilai tentang kepemimpinan yang telah dilakukan
oleh para pendahulunya seperti, prabhu Siliwangi, Ratu Tribhuana Tunggadewi,
prabhu Hayam Wuruk, mahapatih Gajahmada, bapak Sukarno dan para pemimpin dunia
lainnya. Tetapi meraka lebih mengutamakan dirinya dan kelompoknya agar
memperoleh kesan yang baik dari orang lain. Oleh karena itulah pada pembahasan
ini akan dikupas tentang konsepsi pemahaman arthasastra dalam kepemiminan
kontemporer. Disisi lain bahwa pada perkembangan kehidupan umat Hindu khususnya
di Indonesia sangat terkesan dengan adanya sebuah pelaksanaan upacara yang banyak sehingga seolah-olah ada anggapan
bahwa tiada hari tanpa ritual. Akan tetapi disisi lain sebenarnya hal ini
hanyalah sebuah penampakan dari luar dari Hindu yang jika ditelusuri secara
mendalam disana ada sebuah cabang dari veda yaitu tentang arthasastra yang
mengatur sebuah hubungan kepemerintahan yang mencakup bidang yang komprehansif.
Selain itu, bahwa pengadaan buku tentang arthasastra ini sangatlah minim
sehingga banyak orang yang kesulitan mencari referensi tentang buku artha
sastra ini, sehingga bisa dikaji tentang pengetahuan pemerintahan dalam hal
ekomomi, politik, tatanegara, hukum dan bidang yang serumpun lainnya.
Arti, sejarah arthasastra dan legenda Kautilya
Secara
terminologi bahwa arthasastra berasal dari kata artha yaitu harta benda,
kemakmuran dan dalam konteks lain berarti negara atau pemerintahan yang
mengusahakan dan memlihara kemakmuran rakyatnya (Radendra S, 2007 : 1).
Sehingga yang menjadi pokok pemikiran arthasastra adalah adanya ilmu ekonomi,
pajak, penganggaran dan akuntasi, disisi lain adalah adanya sebuah pemahaman
bahwa dalam membahas tentang adanya sebuah penegakan hukum yang dalam
administrasi internal pemerintahan yang menyangkut rakhsa, palana dan yogakhsema
atau perlindungan dari agresi luar, pemeliharaan ketertiban dan
kesejahteraan rakyatnya (Miriam Budiardjo, 1986 : 46 dalam Radendra S, 2007 :
3). Jadi dalam hal ini ada sebuah perbedaan antara dharmasastra dan arthasastra
yaitu bahwa dharmasastra hanya mengatur untuk perorangan dan dapat ditebus
dengan ritual tertentu, tetapi dalam arthasastra dikhususkan para penguasa dan pelanggaran hukum bukan
hanya dosa melainkan pelanggaran hukum harus dihukum oleh negara.
Dalam sejarah peradaban Barat, jaman Yunani Kuno
dianggap sebagai babak awal terhadap kajian-kajian tentang negara. Sebab pada
jaman Yunani Kuno (sekitar 500 SM) itulah mulai muncul pemikiran-pemikiran
tentang negara oleh para filofof seperti Plato dan Aristoteles. Namun setelah
runtuhnya peradaban Yunani dan Romawi, dunia Barat memasuki abad kegelapan (dark ages) sekitar abad ke 5, dimana
pemikiran tentang negara didominasi oleh gagasan Kristiani. Sementara di dunia Timur tepatnya di India, dalam
arthasastra yang ditulis kira-kira 321-300 SM oleh Kautilya, Perdana Menteri
kerajaan Chandragupta Maurya juga telah mengemukakan pemikirannya tentang
negara. Dalam bukunya itu, ia membentangkan teori tentang “ikan besar memakan
ikan kecil” (fish law). Menurut
penulis, teori yang dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu
tentang negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami
bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang lemah dari
ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan untuk mencegah terjadinya
hukum rimba, dimana kelompok yang kuat menindas kelompok yang lemah. Dalam
konteks ini pemikiran Hindu tentang negara bersifat “struktur-fungsional”.
Artinya, eksistensi negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh
kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya dan lainnya) warga negaranya, terlepas dari latar belakang masyarakat yang ikut
bergabung ke dalam negara tersebut. Berdasarkan teori Kautilya, dapat diartikan pula tanpa eksistensi
negara—dalam bentuk kongkritnya adalah pemerintah--akan menimbulkan kekacauan
atau anarki akibat tiadanya otoritas yang bertindak sebagai penengah bila
terjadi pertentangan antar kelompok dalam masyarakat. Pendek kata, dalam
pandangan Hindu, keberadaan negara merupakan syarat penting bagi kelangsungan
hidup bermasyarakat.
Schrieke
melalui The Native Rulers (dalam Indonesian Sociological
Studies, 1955) menjelaskan transformasi
kekuasaan sebagai evolusi kepemimpinan dalam tiga tipe, yaitu primus inter pares, kingdom, dan patrimonial. Berkaitan dengan tipe kepemimpinan yang kedua, yaitu kerajaan (kingdom), Krisna Rao dalam bukunya Studies In Kautitya (terjemahan:
Sura, 2003) menjelaskan bahwa Arthasastra adalah salah satu buku politik Hindu
atau buku tuntunan raja-raja dalam mendapatkan dan mempertahankan dunia ini.
Dalam bagian akhir buku Arthasastradengan tegas dinyatakan bahwa pengetahuan ini akan membawa umat manusia
mencapai dharma, artha, dan kama. Bana menjelaskan buku Arthasastra sebagai ilmu dan seni diplomasi. Arthasastra disusun oleh Kautilya berdasarkan atas sejumlah buku politik Hindu kuna,
tradisi politik dan pengalaman hidupnya. Kitab ini mengandung 32 bagian, 15 adikarana dengan 150
bab, dan 600 sloka. Kautilya disanjung-sanjung sebagai tokoh politik Hindu legendaris yang
kejeniusannya sering disepadankan dengan filsuf dan negarawan, seperti Plato,
Aristoteles, dan Machiavelli. Ada persamaan yang mendasar antara Kautilya
dengan Aristoteles dan Plato dalam etika dan politik. Mereka sama-sama
menganggap bahwa keduanya itu sama pentingnya untuk menata hidup bersama.
Mereka sama-sama percaya bahwa hidup yang berbahagia adalah hidup yang
berkebajikan (2003:147). Kautilya diperkirakan hidup pada abad ke 4 sm.
Kedudukan dan peranannya adalah penesihat dan penyelamat raja Mauria,
Chandragupta. Nama lainnya adalah Wisnugupta dan Chanakya.
Buku Arthasastra pertama-tama
menelaah tujuan masyarakat dengan menerangkan posisi trayi, anvikshiki, varta, dan danda dalam kerangka keberadaan manusia. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan warnasrama dharma sebagai
landasan tertib sosial dan kewajiban-kewajiban umum yang berlaku untuk semua
orang. Sebagai seorang negarawan, Kautilya menaruh perhatian besar terhadap
kerjaan dan kekuasaan. Dalam buku 6 bab I, ia menyebutkan unsur-unsur negara
itu terdiri atassvami, amatya, janapada, durga, kosa, danda, dan mitra. Svami adalah yang dipertuan atau master, yaitu lebih menunjuk kepada seorang
kepala negara atau presiden ketimbang sebagai seorang raja; Amatya adalah para menteri atau pejabat
tinggi negara; Janapada adalah wilayah dan penduduknya; Durga adalah benteng;Kosa adalah perbendaharaan negara; Danda adalah tentara; dan mitra adalah sekutu. Kautilya menyusun
buku Arthasastra atas sistem monarki-konstitusi. Svamidiposisikan dalam struktur pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Kekuasaannya tidak absolut. Kedudukan dan fungsinya sebagai seorang svamiditentukan dan diatur secara ketat.
Ada pelapisan dan distribusi kekuasaan yang jelas. Tugas dan kewajiban svami menurut Kautilya dibedakan menjadi
tiga, yaitu tugas eksekutif, yudikatif, dan administratif. Ini menandakan
adanya sistem pembagian kekuasaan, sebaigamana yang berkembang dalam sistem
demokrasi.
Demokrasi
dalam pengertian klasik setidak-tidaknya diartikan “pemerintahan rakyat“ (demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan).
Dalam hal ini, baik sebagai sebuah konsepi maupun praktik, demokrasi mengalami
perkembangan yang sangat panjang, yakni melalui perjalanan historis sepanjang
lebih dari dua setengah milenium, yakni dipraktikkan awalnya di Athena pada
zaman Yunani Kuno dalam bentuk demokrasi langsung kurang lebih pada 500 SM.
Dalam pengertian yang lebih modern dan sekaligus lebih populer, demokrasi
kemudian diberi makna sebagai “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”.
Dalam makna yang demikian, baik dalam pengertian yang klasik maupun yang lebih
modern, kata “rakyat” mendapat tekanan penting. Tekanan kepada kata “rakyat”
diberikan untuk memberi kontras terhadap berbagai bentuk pemerintahan absolut
lainnya, seperti raja-raja yang sumber otoritasnya berasal dari kekuasaan
turun-temurun dan/atau yang, baik secara langsung maupun tidak menyatakan
memiliki kekuasaan untuk memerintah berdasarkan sumber yang berasal dari
kekuasaan Ilahi.
Dari uraian
tersebut dapat diketahui secara sepintas bahwa sistem yang dianut oleh Kautilya
dalam mengembangkan Arthasastra-nya. Kautilya menyebut raja atau kepala negara dengan istilah svami. Svami adalah seorang rajarsi. Adakah ini pertanda bahwa Kautilya menyadari kelemahan sistem monarki.
Apabila demikian, sistem monarki apakah yang dikembangkan dan dipadukan
dengan sistem politik demokrasi, serta bagaimanakah eksistensi demokrasi
yang terdapat dalam buku Athasastra? Ke arah inilah kajian ini ditujukan hingga setidak-tidaknya ditemukan
unsur-unsur demokrasi dalam buku Arthasastra.
0 Response to "EKONOMI DAN POLITIK MENURUT PERSPEKTIF ARTHASASTRA"
Post a Comment