AKTUALISASI
AJARAN CATUR GURU DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Oleh :
Untung Suhardi, S.Pd.H.,M.Fil.H
A.
Pendahuluan
Om
swastyastu
Perkembangan
ilmu dan teknologi yang semakin pesat dan dorongan kebutuhan hidup yang semakin meningkat mengakibatkan adanya
pengaruh pada pola pikir baik dalam skala individu maupun dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Kenyataan ini akan berdampak buruk jika dalam diri
setiap individu tidak mempunyai filterisasi untuk menerima informasi dan
menentukan skala prioritas dalam kehidupan ini. Di tengah kebimbangan dan
degradasi moral yang terjadi dewasa ini idealnya kita membutuhkan tuntunan dari
seorang guru yang mampu membimbing kita. Seorang guru akan memberikan tuntunan
dan bimbingan kepada sisyanya agar dapat menjalani hidupnya lebih baik.
Namun keadaan
yang terjadi dewasa ini sering kali tidak seindah apa yang dibayangkan. Jika hal seperti ini meluas akan menyebabkan terjadinya penyimpangan
perilaku dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
perilaku masyarakat yang mulai tidak
disiplin, memudarnya toleransi dan
berkurangnya budaya saling menghormati yang berimpas kepada terjadinya
kerusuhan maupun upaya-upaya pengrusakan lainya. Hal lain juga dilakukan oleh
pejabat dalam bentuk korupsi serta pembodohan secara disengaja, serta tidak
disiplin melakukan tugas sesuai sumpah jabatannya. Masalah tersebut sebagai
akibat menurunnya internalisasi tata nilai dalam diri insan elemen masyarakat
yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri. Di sekolah belajar hanya sebatas konsep dan teori yang
dihapal tanpa dipraktekan dan hanya mementingkan nilai angka kuantitaif yang
semestinya dikombinasi dengan nilai kualitatif. Disamping itu peran orang tua
juga menurun tingkat partisipasinya untuk menanamkan nilai-nilai dasar dalam
pendidikan pertama, karena terpenjara oleh waktunya yang sebagian besar
dihabiskan untuk mengejar kebutuhan hidup yang harus ada sebagai tuntutan
kebutuhan keluarga.
Dalam susastra
Hindu banyak kita temukan ajaran-ajaran
yang dapat kita gunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan, salah
satunya adalah ajaran Catur Guru. Ajaran
ini seharusnya
menjadi contoh untuk menanamkan nilai-nilai, memberikan pemahaman konsep-konsep
sehingga dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan menuju kedewasaan.
Umat sedharma yang penuh kasih
Berangkat dari masalah ini maka ada beberapa
permasalahan yang akan saya bahas yaitu :
1. Bagaimanakah pengertian catur guru ?
2
Bagaimanakah
aktualisasi catur guru dalam kehidupan ?
B.
Konsep Catur Guru
Kata catur berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti empat kata guru berasal dari akar kata sansekerta gri yang berarti memuji dan gur yang berarti mengangkat, gu berarti kegelapan dan ru berarti penerangan. Jadi guru adalah
seseorang yang berpengetahuan dan memberikan pencerahan serta mampu untuk
mengarahkan orang lain. Dalam agama Hindu, guru merupakan simbol
bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu
spiritual/kejiwaan murid-muridnya. Dalam Taitiriya Upanisad (VII:4) dikatakan bahwa
seorang guru hendaknya mengajarkan dengan sepenuh hati dan jiwanya. Keberadaan
guru juga dijelaskan dalam epos Ramayana dan Mahabharata, dalam ramayana
dikisahkan tentang pendidikan yang ditempuh oleh Sri Rama dan ketiga adiknya
Bhrata, Laksmana dan Satrugna yang harus mengabdikan dirinya pada guru Vasistha
demikian juga para Pandawa yang telah menuntut ilmu pada Bhisma dan Drona. Dari
hasil didikannya itulah baik Rama bersaudara maupun Pandawa menjadi orang yang
berkarakter mulia tentunya hal ini tidak lepas dari peran guru, orang tua dan
keadaan lingkungan sosial dan budaya.
Sesuai dengan ajaran Hindu ada 4 guru yang harus
dihormati yaitu Guru Swadyaya (Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya
sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru.
Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari
beliau. Sarwam Idam Khalubrahman (segala
yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad), Guru
Wisesa (Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu
pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan
masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
memberikan kesejahteraan material dan spiritual), Guru Pengajian (Guru
Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas
mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa) dan Guru
Rupaka (Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan
ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing
putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).
Umat sedharma yang penuh karunia.
C.
Aktualisasi ajaran catur guru dalam
kehidupan
Bagaimanakah penerapan ajaran catur guru dalam
kehidupan ?
- Guru Swadyaya
Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi adalah maha Guru yang memberikan
tuntunan hidup manusia melalui ajaran-ajaran sucinya yang diturunkan melalui
wahyu yang diterima oleh para maha Rsi/orang suci. Bertepatan pada hari ini
adalah hari suci saraswati sebagai sang hyang aji yang memberikan ilmu
pengetahuan yang disimbolkan dalam bentuk buku suci, wina, genitri, angsa dan
bunga teratai. Sehingga puncak dari ilmu pengetahuan adalah kebijaksanaan
sehingga yang nantinya akan melahirkan Sradha sebagai kekuatan untuk
mempelajari ajarannya, terinternalisasi dalam diri pribadi dan tercermin dalam
perwujudan perilaku yang baik, jujur, kasih, sayang, tolong menolong,
toleransi, tidak menghina, menghargai, menghormati, tidak menyakiti, menjauhi
kekerasan atas alasan apapun, menjaga ciptaanNya. Karena dalam diri setiap
insan ada percikan terkecil dari Brahman yaitu atman yang pada dasarnya engkau
dan aku adalah sama serta semua makhluk adalah bersaudara.
- Guru Wisesa
Pemerintah adalah termasuk salah satu dari catur guru, hendaknya perilaku,
perkataannya dan pemikirannya menjadi contoh bagi rakyat. Hendaknya tidak
melakukan tidakkan tidak terpuji seperti korupsi, bohong, membodohi,
janji-janji yang muluk, tetapi sebaliknya harus mengarahkan masyarakat atau
rakyat ke hal – hal yang positif. Janganlah berebut kekuasaan hanya untuk kepentingan
pribadi. Guru wisesa harus mengutamakan kepentingan rakyat bukan kepentingan
pribadi jika ingin berhasil menjadi guru wisesa. Ingatlah guru akan ditiru
muridnya, pemerintah akan ditiru rakyatnya, rakyat meniru melanggar manakalah
pemerintah sebagai guru wisesa tidak konsisten dan juga melanggar sumpah dan
janjinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Sehingga dalam hal ini
pememrintah harus melihat seperti langit dan bertindak seperti bumi dan dalam
penerapannya pemimpin harus memiliki sifat seperti bumi yang dalam ajaran Hindu
dikenal dengan konsep panca mahabhuta yang artinya pemimpin harus berindak
seperti sifat yang dimiliki oleh alam semesta yaitu ether, bayu, teja, apah,
pertiwi. Dari kelima unsur inilah selalu dikaitkan dengan panca pandawa bahwa
ether seperti yudhistira, bayu bersifat hormat dan harga diri seperti Bima,
teja dengan sifatnya seperti membawa semangat, antusias seperti arjuna, apah
atau air yang selalu menyatu dengan yang lain seperti sahadewa dan pertiwi yang
selalu pantang menyerah dan rela berkorban seperti nakula. Dalam ajaran kepemimpinan yang lain disebutkan pula
mengenai ajaran Panca Stithi
Dharmaning Prabu yaitu : “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani, Nglurug Tanpa Bala dan Sakti Tanpa Aji”. Kelimanya
merupakan ciri-ciri spesifik
kepemimpinan di Indonesia yang membedakan secara khusus dengan ciri-ciri
kepemimpinan di negara dan bangsa manapun. Masing-masing mengandung makna
simbolis sebagai produk kebesaran jiwa nenek moyang para pendahulu. Guru
wisesa/pemerintah harus ingat bahwa dirinya adalah guru, yang memiliki tanggung
jawab yang besar di depan menjadi teladan, ditengah memberikan motivasi dan
dibelakang harus mampu mendorong dan menggerakan rakyat untuk melakukan
tindakan positif, dapat menyelesaikan masalah tanpa harus berperang serta dapat
berdiplomasi. Pemerintah juga tidak boleh diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok tetapi harus adil dalam memberikan perlindungan terhadap
rakyat sebagai anak didiknya dalam segala bidang baik bidang pendidikan,
ekonomi, agama, pelayanan, kesehatan dan lainnya. Pemerintah mendidik
masyarakat melalui aturan-aturan kebijakan maupun penghargaan-penghargaan untuk
memberikan motivasi serta hukuman-hukuman agar hal yang dilarang tidak
dilakukan. Hukuman hendaknya yang mendidik demikian juga penghargaan yang
diberikan juga mendidik. Arahan-arahan kepada masyarakat juga digunakan
melalalui pidato, diskusi, konferensi pers hendaknya digunakan untuk yang
positif dan kepentingan anak didik/masyarakat dan bukan untuk pribadi. Kita sampaikan bahwa umat Hindu akan mematuhi segala
peraturan pemerintah selama pemerintah melaksanakan Undang-Undang.
- Guru Pengajian
Guru di sekolah, hendaknya jangan hanya mengajar
tetapi juga mendidik seperti mengarahkan anak didik untuk bisa bersopan santun
dalam bertindak dan menghadapi orang lain di masyarakat, memberi contoh
perilaku yang baik. Tugas guru memang mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi harus
dihindari pembelajaran yang hanya sekedar tahu konsep tetapi dapat memanfaatkan
konsep tersebut untuk hidup di masyarakat. Demikian juga evaluasi
terhadap padatnya kurikulum dan cara penilaian yang cenderung didominasi oleh
pengetahuan kognitif yang harus dikejar dan dihabiskan dalam proses
pembelajaran karena akan diujikan melalui alat uji yang juga cenderung di
dominasi oleh penilaian terhadap aspekkognitif perlu di kaji kembali, agar
tersedia waktu yang lebih untuk mempraktekkan serta menginternalisasi konsep
dan tata nilai yang dipelajari menjadi kompetensi pribadi yang utuh dalam diri
anak didik. Tidak terkesan mengejar materi agar habis tetapi nyatanya anak
tidak memiliki kompetensi apapun. Sehingga timbulah kemampuan-kemampuan semu
dimana anak hanya bisa saat akan di tes atau ujian tetapi setelahnya tidak
mampu apa-apa. Untuk ini guru disekolah juga mesti memulai menggunakan penilaian yang sesuai
dengan / valid mengukur apa yang seharusnya diukur. Tidak selalu menggunakan
tes dalam menilai siswa. Instrumen penilaian hendaknya memiliki validitas yang
tinggi relevan dengan aspek apakah yang ingin diketahui dari instrument
tersebut. Jika aspek kognitif yang akan dinilai memang relevan dengan
menggunakan Tes tertulis, tetapi ketika hendak menilai aspek afektif lebih
relevan menggunakan instrument nontes semisal skala sikap atau pun kuesioner
maupun unjuk kerja.
Demikian juga untuk menilai aspek psikomotor/keterampilan anak didik lebih
valid menggunakan observasi terhadap tugas yang diberikan dan anak didik
haruslah melakukan sesuatu dan kita amati dengan menggunakan pedoman pengamatan/rubrik
yang sudah dirancang mengenai dimensi/aspek apa yang akan kita nilai sehingga
unsur subyektif dapat kita minimalisir dalam penilaian. Sudah saatnya kita
mulai mengadakan evaluasi tidak hanya diakhir pembelajaran tetapi juga saat
proses pembelajarn berlangsung, dan instrumen yang kita gunakan tidak melulu
tes tertulis, tetapi kita sesuaikan dengan aspek tadi ibarat kalau menimbang
emas janganlah menggunakan timbangan beras karena hasilnya nanti bias tidak
benar/semu. Terlebih lagi dalam pembelajaran Agama yang notebena learning
outcome didominasi oleh aspek afektif dan psikomotor seyogyanya penilaiannya
juga lebih banyak penilaian sikap dan psikomotor adapun kognitifserta
konsep-konsep yang digunakan untuk mendukung dua aspek tersebut, dengan demikian
akan tercapai tujuan pembelajaran agama yang sebenarnya.
- Guru Rupaka
Yaitu Orang tua kita di rumah. Orang tua adalah orang yang harus berperan
menanamkan nilai-nilai yang pertama dan utama sejak anak baru dilahirkan hingga
dia menjadi dewasa. Orang tua hendaknya jangan melempar seluruhnya tanggung
jawabnya kepada guru di sekolah. Karena nilai-nilai yang ditanamkan di rumah
menjadi bekal untuk dibawa keluar rumah dalam berinteraksi dengan orang lain di
masyarakat. Bagaimana berhadapan dengan orang yang lebih tua, bagaiman sopan
santun, bagaimana bertutur kata yang benar dan baik. Kini dapat dirasakan
nilai-nilai seperti ini jarang sekali menjadi perhatian orang tua terutama di
kota besar, karena orang tua masing-masing terpenjara karena mengejar material
untuk kebutuhan hidup.
Dalam hal ini diperlukan mendisain ulang pengelolaan waktunya untuk si
anak. Anak membutuhkan perhatian dan petunjuk dari orang tua yang mana boleh
dan tidak boleh. Yang mana yang benar dan tidak benar…. Juga sangat diperlukan
nasehat-nasehat, pitutur dan pengertian-pengertian yang minim sekali
diperolehnya dari guru lain selain guru rupaka. Peran Guru rupaka/orang tua di
rumah seingat penulis saat masih kecil sering dilakukan dengan
metode dongeng, cerita-cerita yang mengandung petuah dan nilai-nilai luhur
sehingga cenderung diminati oleh seorang anak yang belum dewasa, yang mana
metode dongeng ini jarang sekali dipraktekan oleh orang tua sekarang ini.
Melalui cerita, anak mendapatkan nilai-nilai kebenaran, pengetahuan dan
perbendaharan kata, contoh-contoh kebajikan (Dharma) yang harus dijunjung
tinggi, nilai kejujuran, toleransi, kerjasama, tolong menolong dan masih banyak
lagi.
Dengan demikian, seorang ibu sebagai pengasuh dan
pendidik anak harusah mengajari anak tersebut dengan budi pekerti yang sehat
dan moral yang tinggi, karena pendidikan yang harmonis adalah pendidikan yang
meliputi kecerdasan akal, pikiran dan mental spiritual. Pendidikan inilah
dimulai ketika bayi masih dalam kandungan ibunya sudah mengalami pendidikan
yaitu pendidikan prenatal. Oleh karena itu, seorang ibu dalam saat itu haruslah
berhati-hati dalam segala pikiran, ucapan dan tindakan Dalam hal ini Napoleon
Bonaparte mengatakan “Pengetahuan dan budi pekerti yang luhur yang dimiliki
oleh seorang ibu merupakan jembatan emas yang akan dilalui oleh anak-anaknya
menuju pantai kebahagiaan”. Dalam hal inilah seorang ibu mempunyai tugas yang
berat dalam mendidik anak-anaknya agar dikemudian hari anak tersebut menuai
kesuksesan.
Oleh karena itulah, seorang anak harus menghormati
jasa orangtua, karena merekalah yang
selalu membimbing, mengarahkan dan
memberikan motivasi. Dalam hal kasih sayang ini hati seorang ibu lebih
lembut dan mengerti tentang perasaan anaknya, sehingga ada ungkapan bahwa
“Sorga ada ditelapak kaki Ibu”. Ungkapan ini bukan hal yang tanpa makna, tetapi
jauh dari itu menyimpan makna yang sangat dalam, karena sang Ibu inilah yang
berani mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan anakanya bahwa beban
tanggungjawab itu melebihi berat bumi. Karena kita sebagai anak mempunyai hutang
badan, jasa dan hidup.
Kesimpulan
Bapak ibu umat sedharma yang
berbahagia.
Dari uraian
pesan dharma ini ada yang menjadi benang merah yang harus kita perhatikan bahwa
sesungguhnya kita adalah guru dalam kehidupan ini karena sebenarnya kita
berusaha untuk mencari sebuah inti kehidupan karena kehidupan ini adalah sebuah
transformasi dari dirinya sendiri menuju kedirinya sendiri. Sebuah perjalanan
dari gu yanng penuh dengan kegelapan menjadi ru yang penuh dengan pencerahan.
Selanjutnya dalam kehidupan ini juga kita harus menghormati keempat guru kita
yaitu guru swadhyaya (Hyang widhi wasa), Guru Wisesa (pemerintah), guru
pengajian (Guru disekolah) dan guru rupaka (orang tua kita). Keempat guru
inilah sebagai ksatria yang berjuang “menang
tanpa ngasorake, ngulurug tanpa bala lan sakti tanpa aji” yang artinya
sebagai seseorang yang selalu rendah hati, selalu bersama dan menggunakan
kemampuannya untuk mengabdikan diri untuk kehidupan ini.
Oleh karena
itu, kita patut belajar banyak dari alam sekitar ini, yaitu dari pohon
yang selalu memberikan keteduhan dan kenyamanan kepada semua orang tanpa
membeda-bedakan suku, asal, pangkat atau golongan, tua, muda, kaya atau miskin.
Belajar dari seekor angsa yang membedakan antara batu, lumpur, biji yang
artinya dalam hidup ini kita harus mampu untuk membedakan antara yang baik dan
yang tidak baik.
Demikianlah,
dharma wacana yang saya sampaikan ini mudah-mudahan dapat menjadi wacana kita
bersama dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan dinamika ini.
Word make you come closer but just till the gate, only action bring
you inside.
Om Santih, Santih, Santih Om
0 Response to "AKTUALISASI CATUR GURU DALAM KEHIDUPAN"
Post a Comment