Punama
Purnama bukan saja malam terang di mana banyak orang bersembahyang. Tetapi
juga membawa pesan simbolik, di mana semua kegelapan malam diterangi cahaya
bulan dari langit. Bila boleh jujur, kehidupan berisi banyak kegelapan. Dari
kebodohan, kebingungan, kemarahan sampai kebencian. Itu sebabnya, tujuan akhir
perjalanan spiritual disebut enlightenment (pencerahan). Ada kata light
(cahaya) di tengahnya. Ini serupa dengan warisan spiritual tetua Bali
yang mengkaitkan banyak kegiatan spiritual dengan muncul dan lenyapnya cahaya.
Agak berbeda dengan tempat lain umumnya di dunia di mana persembahyangan
dilakukan hanya di malam terang, diarahkan untuk tujuan
terang, di Bali kita diwarisi tetua bersembahyang baik di malam terang
maupun malam gelap. Persembahan (suguhan) tidak saja ditujukan untuk yang
atas, tetapi juga untuk yang di bawah. Bila salah menjelaskan, segelintir anak
muda Bali akan mengira tetuanya mengajarkan memuja setan. Untuk itulah,
mesti ada yang membahasakan warisan tetua dalam bahasa kekinian.
Pohon beracun
Ada berbagai cara menjelaskan perjalanan spiritual. Salah satu pendekatan
yang mudah dicerna adalah dengan melihat kehidupan sebagai pohon beracun.
Banyak sekali racun dalam kehidupan. Dari kemarahan, kebencian,
kebingungan, bahkan judul suci dan tercerahkan pun bisa membuat
keracunan. Terutama karena merasa diri suci atau tercerahkan, kemudian merasa
paling benar, dan marah besar tatkala tidak diikuti.
Untuk itulah, langkah pertama adalah menjauh dari racun-racun kehidupan. Di
Hindu disebut tapa brata yoga samadhi, di Buddha petapa menjaga dirinya dengan
sila, vinaya, bodhichitta, samaya. Intinya satu, melatih diri keras-keras agar
tidak dibawa pergi oleh arus kehidupan yang beracun.
Andaikan seseorang sudah melatih disiplin diri selama dua puluh tahun
berturut-turut, itu masih sangat pendek dibandingkan lamanya manusia
mengotori batinnya selama berjuta-juta kehidupan. Untuk itu, langkah menjauh
dari pohon beracun ini menjadi langkah sulit dan lama.
Tidak perlu menunggu sempurna (karena manusia tidak pernah sempurna), begitu
batin cukup bersih (tandanya berhenti dicengkram kebencian dan kemarahan, lapar
berbuat baik), maka langkah kedua terbuka. Disarankan untuk kembali ke
kehidupan sehari-hari namun dengan tugas mulia: menjaga jangan sampai terlalu
banyak mahluk mati keracunan.
Mereka yang panggilan hidupnya jadi orang suci memimpin upacara. Yang jadi
guru membimbing masyarakat dengan Dharma. Yang menjadi penulis menulis
dengan kesejukan dan kelembutan. Bahkan menjadi orang tua pun termasuk
menjalani tugas kedua ini. Esensinya satu, membimbing mahluk memasuki gerbang
kebajikan.
Dalam tugas ini, tidak saja yang dibantu yang memperoleh manfaat, yang
membantu malah mendapat manfaat lebih besar. Terutama karena tugas-tugas
pelayanan membuat Dharma semakin menyatu dengan batin ini. Dalam bahasa
Mahatma Gandhi: “Life spent in service is the most fruitful life“.
Kehidupan yang diisi pelayanan, itulah kehidupan yang paling menggetarkan.
Kabir lain lagi: “l glimsed into that light few seconds, it transformed me
into a servant of life“. Cahaya itu muncul beberapa detik, ia
merubah seorang penyembah menjadi pelayan.
Dengan modal Dharma yang sudah membadan inilah, baru seseorang boleh
memasuki wilayah ketiga (Tantra): merubah racun menjadi obat kehidupan.
Bali dan Balian
Mungkin itu sebabnya sebagian orang Bali yang sudah memperoleh berkah
spiritual kemudian menjadi balian (penyembuh). Tidak saja penyembuh fisik,
namun juga jiwa. Jiwa tersembuhkan sepenuhnya bila ia sudah mengalami
pencerahan (the ultimate healing). Dalam bahasa seorang guru
zen: pencerahan adalah danau biru dan bukit menghijau. Sederhananya,
semuanya sempurna apa adanya.
Bila semuanya sudah sempurna apa adanya, tidak lagi tertarik berdebat,
apa lagi menyebut orang lain salah. Mungkin ini sebabnya tetua Bali memberi
sebutan Tuhan dengan Sang Hyang Embang (Yang Maha Sunyi), merayakan tahun baru
dengan hari Nyepi, menyebut puncak persembahyangan dengan Parama Shanti (the
ultimate peace), memberi tanda di titik pusat Pura Besakih di antara
Kiwa-tengen dengan Shunya (keheningan yang tidak perlu dijelaskan), melihat
keseharian dengan rwa bhineda.
Ada berbagai jalur yang tersedia untuk memahami Tantra. 0sho dalam The
book of secret, menggunakan Vigyam Bhairava Tantra. J.Krishnamurti
menggunakan Freedom from the known. Bebas dari segala
konsep. Ramana Maharshi berjumpa Tantra setelah diam puluhan tahun,
menyebut ajarannya Dhaksina Murti: Shiva yang bisa dijumpai di kedalaman
keheningan.
Dalam Anuttarayogatantra (kesempurnaan agung, Professor Daniel Cozort dari
Universitas Virginia menyebutnya Highest Yoga Tantra), akar guru Tantra bernama
Shamantabhadra. Ia disimbolkan dengan Pertapa telanjang yang memangku wanita
telanjang. Bibirnya dalam posisi berciuman. Ini yang membuat segelintir sahabat
di Barat tergelincir ke dalam kesimpulan berbahaya bahwa Tantra adalah seks
bebas. Memang semua (termasuk seks) bisa ditransformasikan menjadi jalan
spiritual dalam Tantra. Namun jangankan murid, guru pun jarang yang
berani menggunakan seks sebagai jalan spiritual karena amat sangat berbahaya.
Dalam sejumlah teks disebutkan, Shamantabhadra berarti memberikan ruang
baik pada kesucian maupun ketidaksucian. Dalam teks lain, Shamantabhadra
berarti semuanya baik.
Sementara kebanyakan orang mempertentangkan suci dan kotor, Tantra
melampauinya. Perang, pertempuran, perkelahian semuanya berebut menyebut
diri suci dan benar, serta melemparkan kekotoran, kesalahan pada pihak lain.
Mungkin itu maksud tetua Bali dengan warisan spiritual Lingga-Yoni dan Nyegara
Gunung sebagai titik berangkat dalam menentukan posisi tempat suci, membuat
sesajen, di mana spirit maskulin lebur dengan spirit feminim. Di Kintamani dan
Uluwatu, keduanya malah menyatu ke dalam keindahan.
Di tingkat-tingkat awal belajar Tantra, murid diminta menyembah Dewa. Ini
mirip sekali dengan praktek persembahyangan di Bali. Di tingkat berikutnya,
bersahabat dengan Dewa. Selanjutnya rahasia. Makanya ada guru menyebut Bali
sebagai pulau Tantra.
Guru-guru Tantra melihat dalam meditasi sarva dharma. Semuanya serba
Dharma. Tatkala seluruh dualitas (suci-kotor, benar-salah, baik-buruk,
sukses-gagal) adalah Dharma, lidah jadi kelu. Tidak ada lagi yang layak
ditanyakan, apa lagi diperdebatkan. Bukankah ini yang dimaksud pencerahan
adalah danau biru dan bukit menghijau?.
Seorang putera bertanya ke papanya, bila semua adalah Dharma, berarti
korupsi, selingkuh juga Dharma? Dengan lembut papanya menjawab: “memandanglah
seperti langit, bertindaklah seperti bumi”. Langit memayungi apa saja dan siapa
saja tanpa keserakahan memilih. Tidak ada pengkotak-kotakan Dharma-Adharma bagi
langit. Namun di bumi, bila menanam kelapa dapatnya kelapa, menanam
ketela dapatnya ketela. Begitu juga ketika bertindak, ia yang mencuri akan
diciduk polisi. Ia yang menyayangi akan disayangi.
Dalam pandangan ala langit, kaya baik miskin juga baik. Dengan kekayaan
lebih banyak yang bisa dibantu. Melalui kemiskinan kehidupan sedang mengajarkan
kerendahatian. Sehat baik, sakit juga baik. Kesehatan adalah kesempatan untuk
banyak berdoa. Sakit adalah kesempatan membayar hutang-hutang karma.
Dalam bertindak ala bumi, semua ada hukumnya. Ia sesederhana menyentuh air
basah, memegang api terbakar. Ia yang di dalamnya kebencian akan mengundang
kebencian di mana-mana. Ia yang di dalamnya cinta akan berjumpa cinta di
mana-mana.
Inilah purnama di tanah Tantra. Berjumpanya Ayah langit dengan Ibu pertiwi.
Kebingungan dalam memandang diterangi oleh cahaya bulan dari langit.
Kebingungan dalam bertindak dibimbing cinta Ibu pertiwi. Makanya ada yang menulis
“realization is the total collapse of confusions“. Ketika jiwa
sepenuhnya sembuh, seluruh bangunan kebingungan mengalami keruntuhan.
Menyisakan sebuah kehidupan yang terang benderang yang berisi kasih sayang.
Perhatikan apa yang ditulis Ezra Bayda dalam At Home In The Muddy Water:
“May we exist like a lotus. At home in the muddy water. Thus we bow to life as
it is”. Guru-guru tercerahkan di luarnya juga mengalami naik-turun
(sehat-sakit, dipuji-dicaci, disebut baik disebut munafik dll). Bedanya dengan
orang kebanyakan, apa pun yang terjadi dalam kehidupan, manusia tercerahkan
sama sekali tidak tersentuh. Persis seperti bunga Padma, di air tetapi tidak
basah, di lumpur namun tidak kotor. Sebaliknya malah bertumbuh dan mekar di
lumpur. Karena itulah bisa membungkuk hormat pada kehidupan apa adanya.
Di tingkatan ini, tentu bukan kebetulan kalau Guru Besar Mpu Kuturan di abad
ke-11 pernah melihat Bali dengan mata spiritual kemudian menyebut Bali dengan
Padma Bhuwana (alam semesta yang menyerupai bunga Padma), atau Ida Dhang
Hyang Dwi Jendra di abad ke-16 yang memberi kita warisan Padma Sana (tempat
duduk di atas bunga Padma).
SEBELAS TAPA YAJNA
Dalam banyak hal, Barat memberi tanda-tanda ke mana peradaban akan bergerak.
Industrialisasi, demokratisasi hanyalah sebagian gelombang yang bermula di
Barat kemudian mewabah ke seluruh dunia. Berkaitan dengan spiritualitas, Barat
sedang memberi tanda berupa menurun drastisnya kharisma institusi agama. Di
sebagian negara Barat (Prancis sebagai contoh) orang yang datang ke Gereja
tidak sampai sepuluh persen. Dan itu pun semuanya orang-orang tua.
Bersamaan dengan itu, sejumlah ilmuwan (seperti Daniel Goleman dari Harvard)
menjadi pelopor berlatih meditasi dan kearifan Timur. Uniknya, bila di Barat
terjadi gerakan ke Timur yang dipimpin ilmuwan, di sejumlah negara Timur (Korea
dan Jepang sebagai contoh) terjadi gerakan balik. 0rang menemukan kedamaian di
Gereja.
Tanpa kedamaian, agama ditinggalkan
Ada berbagai kemungkinan yang tersembunyi di balik semua ini, salah satu
yang layak dicermati adalah lelahnya manusia melakukan
upacara. Lebih dari lelah,
banyak yang tidak menemukan kedamaian dalam upacara. Ini memberi lentera,
bila agama hanya berisi upacara, lebih-lebih upacaranya berisi banyak
perkelahian, sangat mungkin agamanya akan ditinggalkan.
Kecenderungan ini sedang mengundang agama-agama untuk merenungkan ulang
peran agama dalam kekinian. Perhatikan perilaku generasi baru dengan pendidikan
tinggi serta interaksi yang tinggi. Di Barat banyak sekali kelompok ini yang
menyebut diri mereka non believer. Sebuah judul yang lebih halus dari
kecenderungan ateis.
Setelah robohnya gedung kembar World Trade Center New York ditabrak beberapa
pesawat teroris tahun 2001, sejumlah karya di Barat sudah mengambil judul yang
terang-terangan berseberangan dengan agama. Sebagian karya itu berjudul God is
not great: How religion poisoned everything (Tuhan tidak lagi agung, bagaimana
agama telah meracuni semuanya). Karya lain ada yang berjudul How religion
poisoned people (Bagaimana agama sudah meracuni manusia). Itu baru sebagian
kecil, jumlah karya-karya semacam itu terus bertambah dari hari ke hari. Tanpa
kepekaan dan kecermatan yang cukup, kecenderungan ini bisa berujung pada
runtuhnya institusi agama. Bila ini terjadi, lantas ke mana manusia mencari
payung berteduh?
Pergi ke dalam
Bagi kita di Timur yang belum terbiasa bersahabat dengan komunitas tanpa
konsep Tuhan, kesan pertama terhadap kelompok non believer ini serba negatif:
jahat, tanpa etika. Namun sejumlah guru meditasi di Barat bertutur
sebaliknya. Sebagian manusia tanpa agama ini justru lebih cepat menyentuh
keindahan meditasi yang bernama samadhi. Ini
bisa terjadi karena mereka memasuki dunia
meditasi tanpa penghalang konsep (benar-salah, baik-buruk, suci-kotor).
Dengan mengungkapkan ini bukan berarti agama negatif ateis positif. Sekali
lagi bukan!. Cuman ia menyibak misteri, rupanya ada juga ruang kedamaian di
luar institusi agama. Sekaligus menghadirkan tantangan buat agama-agama, kalau
institusi agama bukan satu-satunya sumber air kedamaian.
Kecenderungan seperti ini tidak saja menghadirkan ruang berbenah bagi
agama-agama, namun juga memberikan inspirasi bagi pejalan kaki ke dalam diri,
di dalam sana ada ruang-ruang tidak terbatas yang bisa diakses oleh siapa saja.
Dalam bahasa seorang guru, menggali ke dalam seperti menggali sumur. Awalnya
berjumpa rumput, akar, lumpur, batu (baca: halangan, cercaan, penderitaan).
Namun dengan ketekunan suatu hari akan berjumpa kejernihan air kedamaian.
Di Bali ia disebut Tapa Yadnya. Sebentuk Yadnya yang dilakukan dengan
menggali ke dalam diri. Di Hindu ia diberi sebutan tapa brata yoga samadhi. Di
Buddha ia melewati tiga langkah sila, samadhi, panna. Di Islam dilakukan dengan
menapaki syariat, tariqat, hakekat, ma’rifat. Sejumlah Santo (sebagai contoh
Santo Theresia) menyebutkan pada akhirnya yang tersisa hanya kerinduan untuk
mencinta.
Dirangkum menjadi satu, ada pergeseran dari kesalehan ritualistik (tunduk
pada kebiasaan tua berupa upacara yang dogmatis), menuju kesalehan asketik
(pengendalian diri) sehingga kemarahan, keserakahan lenyap diganti rasa lapar
untuk menyayangi.
Batin yang sejuk
Di Bali, tetua juga menyisakan pesan serupa. Di kepala pulau Bali ada desa
tua bernama Jagaraga (jaga diri baik-baik). Di kaki pulau Bali, tidak
jauh dari Pura Sakenan (berasal dari kata Shakyamuni artinya ia yang
mempraktekkan kesempurnaan keheningan), nama desanya Suwung (sunyi, sepi,
Embang, Shunya). Dan di Bali Tengah tetua mewariskan pura Pusering Jagat
(pusatnya dunia).
Dibaca menjadi satu, langkah-langkah Tapa Yadnya ala tetua Bali dimulai
dengan mendisiplinkan diri. Ujung perjalanannya bisa melihat kekosongan sejati.
Ia serupa dengan lingkaran sempurna (mirip dengan matahari, bulan purnama dan
bumi yang bulat sempurna). Lingkaran boleh berputar, namun di titik pusat
lingkaran (pusering jagat), tidak terjadi gerakan dan perputaran. Hanya Embang,
suwung, Shunya, parama shanti, sunyi.
Terinspirasi dari sini, akan sangat bijaksana bila kita tetap menghargai
orang tua yang masih merasa nyaman dengan upacaranya, karena
penghargaan terhadap perbedaan adalah salah satu barometer kesuksesan
Tapa Yadnya. Sama pentingnya dengan menghargai perbedaan, mendidik diri
untuk senantiasa terkendali adalah wajah lain Tapa Yadnya.
Dalam badan ada tiga hal yang layak didisiplinkan: hindari membunuh, hindari
selingkuh, hindari mencuri. Dalam mulut ada empat hal yang perlu diawasi secara
ketat: bohong, gosip, kata-kata kasar dan mengobrol tidak karuan ke sana
ke mari. Dalam pikiran ada tiga hal yang mesti diterangi cahaya kesadaran:
kebodohan seolah-olah dualitas (baik-buruk, benar-salah, suci-kotor dll) itu
ada, keserakahan (termasuk serakah hidup harus selalu tenang, damai dan gembira
tanpa gangguan), kedengkian alias kemarahan. Inilah Dasa Tapa Yadnya. Bila
ditambah dengan banyak menyayangi, menjadi sebelas Tapa Yadnya. Tidak
saja menyayangi manusia juga seluruh alam.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, tidak kebetulan kalau kata sila
(inti pengendalian diri) dalam bahasa Sansekerta berarti keadaan batin yang
sejuk. Karena dalam keseharian yang dibimbing etika dan tata susila, jauh lebih
sedikit mahluk yang disakiti, jauh lebih banyak mahluk yang bisa disayangi.
Kerap ada yang bertanya, apa tanda keberhasilan Tapa Yadnya? Kemarahan, kedengkian,
kelelahan dan sejenisnya hanya terjadi dalam batin yang belum terdisiplinkan.
Dalam batin yang terdisiplinkan rapi, manusia bisa “beristirahat” pada apa saja
yang terjadi. Tidak saja dalam kebahagiaan dan kesuksesan manusia bisa
istirahat, dalam kesedihan dan kegagalan juga bisa berisitirahat. Ciri manusia
yang beristirahat dalam keheningan adalah tidak ada lagi yang perlu dilawan dan
ditendang, semuanya sudah mengalir sempurna sesuai dengan putaran waktunya.
Meminjam salah satu cerita zen, ketika hujan turun ayam berteduh di bawah
pohon, bebek menyemplungkan dirinya di kolam. Keduanya menempuh jalan berbeda,
namun keduanya berbahagia di tempat masing-masing apa adanya. Bulan boleh
berputar, bumi boleh berputar, tapi di titik pusat lingkaran (pusering jagat)
tidak ada gerakan maupun putaran, hanya keheningan yang menawan. Cuman,
keheningan baru sempurna bila dipadukan dengan kasih sayang.
0 Response to "Makna Bulan Purnama"
Post a Comment