Pandita Masa Depan

MEMPERSIAPKAN SULINGGIH MASA DEPAN
oleh :
Untung Suhardi


1.1  Latar Belakang
Pada zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharmanya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.
Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tali artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.
Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat. Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan.
Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi pandita tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa. Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dan ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini. Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa. Berdasarkan latar belakang masalah ini maka dapat ditemukan permasalahan bahwa peran serta Pandita dalam kehidupan diera globalisasi ini sangat perlu sekali untuk melakukan pembenahan diri, akan tetapi dalam hal ini sebagian besar orang suci (Sulinggih) ini belum siap untuk menghadapi arus global tersebut. 
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka ada beberapa yang menjadi permasalahan utama  yang dibahas dalam penulisan ini, yaitu :
1.      Bagaimanakah kedudukan sulinggih dalam Hindu ?
2.      Bagaimanakah esensi dari pelaksanaan Diksa dalam Hindu terutama pelaksanaan tentang upacara padiksan ?
3.      Bagaimanakah hal yang dilakukan untuk mempersiapkan generasi sulinggih yang akan datang ?
1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan makalah ini adalah sebagai media untuk menginventarisir tentang pengetahuan  tentang Kepanditaan, sehingga untuk menambah pengetahuan kita tentang sesana kesulinggihan.
1.3.2        Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan sulinggih, mengetahui eksistensi tentang pelaksanaan diksa dan untuk mengetahui tentang hal yang harus dilakukan untuk menyiapkan sulinggih dimasa depan.
1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang kepanditaan dan secara praktis adalah untuk bahan pertimbangan dan  pedoman bagi para calon sulinggih yang akan datang terutama para generasi muda yang akan menjadi sulinggih sehingga mampu untuk menghadapi jaman yang penuh dengan arus globalisasi.


BAB II
ANALISIS MASALAH

2.1 Kedudukan Sulinggih
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan demikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan Dharma. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda XII. I. I dan Yajurveda XIX. 36, sebagai berikut:
“Satyam brhad rtam ugram diksa ya tapo brahma yajna prithivim dharyanti”
Artinya :
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
“Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam,
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
Artinya :
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai satya)
Usaha menyucikan din melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma diamanatkan pula oleh Vrhaspatittatva seloka 25 yang merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: sila, yajna, tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga. Melalui keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan umat memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu meiniliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan deinikian diksa meiniliki kedudukan sebagai institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi Brahrnana. “janmana jayate sudrah samskarairdvija ucyate” semua orang lahir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa memiliki tujuan untuk menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan, Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana, Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan lain-lain yang meiniliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
2.1.1 Pengertian Sulinggih
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan. Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).



Karena kedudukannya sangat dihormati oleh umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada perubahan status dari sang walaka menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila keagamaan sudah mempunyai status sebagai seorang Pandita, yang berubah nama yang disebut amari-aran, merubah atribut (amari wesa) dan merubah aktivitas kehidupan (amari wisaya) (Putu Purwita, 1993 : 58). Perubahan dan pandangan masyarakat  tentang dirinya ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari pengakuan masyarakat terhadap kedudukan sulinggih. Selanjutnya bukan hanya masyarakat Hindu yang dituntu untuk melaksanakan tata-titi atau aturan kemasyarakatan saja, melainkan pada diri sulinggih juga dituntut untuk keteguhannya untuk melaksanakan dharmaning kawikon dan taat terhadap sasana kawikon serta menerapkan dasadharma kapanditaan. Karena beliau adalah lambang dari kebenaran maka beliau membawa tateken (tongkat), sebagai lambang atribut dewa Brahma yang mmerupakan simbol ketuaan yang berarti telah meninggalkan masa berkelurga (grhasta) menuju tahaan spiritual.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Sulinggih
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari. Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
  1. Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
  2. Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
  3. Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”. Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia. Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan syarat-syarat sipiritual seperti yang diuraikan di atas. Proses Diksa (Penobatan Sulinggih): seseorang yang ingin me-Diksa tentunya sudah memenuhi syarat-syarat formal seperti diuraikan pada A.1 di atas, kemudian sebagai langkah kedua menemukan Nabe (guru) yang bersedia mengangkatnya menjadi Sisia (murid). Syarat-syarat Nabe seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa adalah:
  1. Seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
  2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
  3. Tenang dan bijaksana.
  4. Selalu berpedoman kepada Kitab Suci Weda.
  5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda.
  6. Mampu membaca Sruti dan Smrti.
  7. Teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan kebajikan).
  8. Teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya Sisia diterima secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde”. Sejak saat itu Jero Gde “aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan perilaku suci agar memenuhi persyaratan spiritual seperti yang diuraikan dalam A.1 di atas. Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe. Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi seperti:
  1. Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten.
  2. Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI. Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga” yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa. Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
  1. Amari Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin kehidupan,
  2. Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
  3. Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih:
  1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.
  2. “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.
Tugas Sulinggih: mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui jalur spiritual. Kewajiban Sulinggih pada umumnya disebut “sasana kawikon” atau “dharmaning kawikon” terdapat pada Lontar Krama Madiksa sepuluh kewajiban (dasa krama paramartha), yaitu:
  1. Tapa (teguh memuja Hyang Widhi)
  2. Brata (membatasi indra)
  3. Yoga (menyeimbangkan Stulasarira dengan Suksmasarira)
  4. Samadhi (memusatkan pikiran kepada kebesaran Hyang Widhi)
  5. Santa (berpikir, berkata, dan berbuat serba tenang damai)
  6. Sanmata (berperasaan riang gembira)
  7. Maitri (senang mengatakan yang baik dan benar)
  8. Karuna (senang bertukar pikiran dengan sesama dan menyayangi semua mahluk)
  9. Upeksa (tahu perbuatan yang baik dan buruk serta memberi bimbingan kepada yang bodoh dan yang salah)
  10. Mudhita (mencintai kebenaran serta berbudi luhur)
Di samping itu kewajiban Sulinggih yang lain:
  1. Arcana ( memuja Hyang Widhi setiap hari dalam bentuk Njurya Sewana).
  2. Adhyaya (tekun belajar mendalami Weda, Tattwa, Susila, Upacara).
  3. Adhyapaka (suka mengajar hal-hal tentang Hyang Widhi dan kesucian).
  4. Swadhyaya (rajin belajar hal-hal yang diberikan Nabe).
  5. Dhyana (merenungkan Hyang Widhi serta hakekat kehidupan).
Untuk menjadi seorang Sulinggih yang baik sebenarnya sungguh berat, karena harus memenuhi kriteria utama dalam: kesucian, kecerdasan, kepandaian dalam berbicara/ berdialog, kesehatan/ kekuatan fisik, penampilan, ramah-tamah, sabar, cinta kasih, kepemimpinan (leadership), dan kewibawaan. Sulinggih adalah seorang yang all round (serba bisa), namun mempunyai kemampuan dan minat khusus tertentu. Misalnya ada yang senang kesusastraan, disebut Wiku Kawi; ada yang senang ber-dharma wacana dan ber-dharma tula disebut Wiku Acarya; ada yang sibuk hanya “muput-muput karya” saja disebut Wiku Pemuput Karya; ada yang madiksa untuk kepentingan kesucian diri sendiri saja, tidak melayani publik, disebut Wiku Ngeraga. Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat bersandar. Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif). Sehari-hari Sulinggih menyebut dirinya “Bapa” sedangkan Bapa dalam Kekawin Nitisastra mempunyai kewajiban antara lain “Matulung urip rikalaning bhaya” artinya menyelamatkan jiwa anak-anaknya tatkala ada ancaman bahaya.
Keselamatan jiwa dalam pengertian spiritual termasuk ancaman adharma, karena bila seseorang berlaku adharma, jiwanya terancam bahkan dapat berumur pendek dan kemudian rohnya mengalami siksaan neraka. Padahal tugas manusia dalam kehidupan di dunia adalah melaksanakan dharma agar di suatu saat kelak roh (Atman) sudah bersih sehingga dapat bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Tugas Sulinggih (ngelokaparasraya) intinya adalah membantu manusia agar senantiasa ada di jalan dharma. Jadi bukan hanya muput-muput karya saja ! Tugas muput-muput karya hanya sebahagian kecil dari tugas-tugas mulia lainnya. 
2.2 Hakikat Pandita
Mengenai makna diksa dvijati adalah merupakan proses transendensi dan sakralisasi menuju pencapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain itu diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya ) dengan murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI. 5. 3. menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung bayinya, kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan sebagai orang yang sangat mulia (dvijati).Dengan deinikian pelaksanaan diksa dvijati merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan avidya menuju vidya.
2.2.1 Pengertian Diksa
Kata diksa, menurut pustaka Wisnu Yamala berasal dari kata “di” dan “ksaya”. Kata “di” artinya sinar suci dan “ksaya” artinya melenyapkan. Diksa artinya mereka yang telah berhasil melenyapkan kegelapan hidupnya karena sudah bisa atmannya mencapai sinar suci Brahman atau Sang Hyang Widhi. Diksa dilakukan setelah melakukan Brata kemudian barulah dapat hidup terhormat yang disebut Daksina. Sarasamuscaya 40 menyatakan bahwa swadharma orang yang disebut pandita adalah Satya Vadi senantiasa mewacanakan kebenaran suci Weda yang disebut Satya. Sang Apta orang yang selalu mendapatkan kepercayaan umat secara luas. Sang Patirthan yaitu orang yang senantiasa memberikan penyucian pada masyarakat. Sang Panadahan Upadesa yaitu selalu memberikan atau menyebarkan pendidikan kerohanian pada masyarakat. Demikianlah utamanya beliau yang disebut pandita menurut pustaka suci Hindu.
2.2.2  Tujuan Dan  Landasan Sastra Diksa
Pelaksanaan upacara diksa mempunyai tujuan mulia yaitu untuk meningkatan kesucian baik dalam diri lahir maupun batin guna mencapai kesempurnaan hidup sebagai manusia, karena dalam hal ini ada falsafah bahwa aku hidup demi menyempurnakan kehidupan. Seperti yang telah diamanatkan dalam Bhuanakosa III : 80 yang menjelaskan bahwa : “Sakwehning jagadkabeh, mijil sangkeng bhatara siva ika, lina ya ring bhatara Siva ya. Artinya : Seluruh alam semesta ini muncul dari bhatara Siva dan akan lenyap kembali kepada Bhatara Siva juga”.  Dengan demikian pelaksanaan diksa ini bertujuan untuk mencapai yang disebut dengan atmalingga yaitu untuk mencapai dharma kelepasan tentang pengakuan sesuatu yang tidak kekal (sementara), serta untuk mencapai Sivalingga untuk mencapai dharma kahuripan yaitu sebuah pemanfaatan kesempatan hidup untuk mencapai kesempurnaan selama masih hidup (Jivan mukti).
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan Dharma yang meiniliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan deinikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan Dharma. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda XII. I. I dan Yajurveda XIX. 36, sebagai berikut:
Satyam brhad rtam ugram diksa ya tapo brahma yajna prithivim dharyanti
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
“Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam,
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai satya)
Usaha menyucikan din melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma diamanatkan pula oleh Wrhaspatittatva sloka 25 yang merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: sila, yajna, tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga. Melalui keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan umat memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu meiniliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan deinikian diksa meiniliki kedudukan sebagai institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi Brahrnana. “janmana jayate sudrah samskarairdvija ucyate” semua orang lahir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa meiniliki tujuan untuk menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan, Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana, Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan lain-lain yang meiniliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
Kemudian mengenai makna diksa dvijati adalah merupakan proses transendensi dan sakralisasi menuju pencapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain itu diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanyajalinan hubungan yang bersifatpnibadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya ) dengan murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI. 5. 3. menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung bayinya, kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan sebagai orang yang sangat mulia (dvijati).Dengan deinikian pelaksanaan diksa dvijati merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan avidya menuju vidya.
Dalam lembaga diksa dvijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana/dharmaning kawikon. Maka deini menegakkan Dharrna berdasarkan ketentuan sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru Nabe (manavaguru), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha Guru ataupun Divya Guru.
2.3 Persiapan Pandita Masa Depan
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”. Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia. Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan syarat-syarat sipiritual diuraikan dibawah ini :
2.3.1 Ketentuan  Calon Diksita
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat:
  1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari
  2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)
  3. Pasangan suami/ istri
  4. Umur minimal 40 tahun
  5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
  6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana
  7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
  8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan
  9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih. Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain di Bhagawadgita percakapan ke IV-19 disebutkan:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMA SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH PANDITAM BUDHAH
artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Berdasarkan sloka diatas bahwa seorang pandita harus menjalankan swadharmanya dengan sebaik-baiknya, yaitu harus menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat negatif. Sehingga jalan untuk menuju pembebasan dapat dilalui dengan mudah untuk mencapai kepada sangkan paraning dumadi (kepada asal yang menciptakan kehidupan). Sehingga beliau akan menjadi panutan dan sebagai Guru spiritual ini mereka selalu mengutamakan kesucian dan sering mereka melakukan pengasingan diri. Konsep pengasingan dalam Hindu bukanlah untuk terbebas dari tindakan, akan tetapi pengasingan untuk melepaskann keterikatan pada hasil tindakan (Bansi Pandit, 2006 : 137). Dalam hal inilah seseorang tidak bisa lepas dari tanggungjawab untuk duniawi, akan  tetapi harus tetap berkarya dalam hidup ini untuk keharmonisan dunia dengan melakukan tindakan yang bersumber pada aturan baik aturan pemerintah maupun agama. Dan  tindakan ini dilakukan untuk kebaikan semua makhluk dengan semangat tanpa keterikatan pada hasil kerja.
2.3.2 Pelaksanaan Samskara Diksa
  1. Syarat- syarat madiksa.
    Umat Hindu dan segala warga yang memenuhi syarat tersebut di bawah ini dapat disucikan (didiksa).
    1. Laki- laki yang sudah kawin dan yang nyukla Brahmacari.
    2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kanya).
    3. Pasangan suami istri.
    4. Umur minimal 40 tahun.
    5. Paham dalam bahasa Kawi. Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran- ajaran agama.
    6. Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana.
    7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana.
    8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
    9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
  2. Syarat- syarat nabe.
    1. Seorang selalu yang dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun batin.
    2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
    3. Tenang dan bijaksana.
    4. Selalu berpedoman kepada kitab suci Weda.
    5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda.
    6. Mampu membaca Sruti dan Smrti.
    7. Teguh melaksanakan Dharma Sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan).
    8. Teguh melaksanakan tapa dan brata.
  1. Pelaksanaan upacara pediksan.
    1. Upacara awal.
      1. Upacara mejauman.
        Sang Calon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa upakara semestinya.
      2. Sembah pamitan pada keluarga. Sang Calon Diksita wajib menyembah orang tua yang masih hidup atau yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita juga minta ijin kepada sanak saudaranya yang berumur lebih muda. Sembah pamitan kepada orang tua merupakan sembah terakhir karena di kemudian hari seorang sulinggih tidak boleh menyembah si apapun yang masih walaka.
      3. Upakara mapinton.
        Pertama: ke Segara gunung untuk membersihkan diri asucilaksana. Dalam hal ini sekurang- kurangnya ke Kahyangan tiga.
        Kedua: upacara mapinton ke pemerajan calon nabe yang langsung dipuput oleh calon nabe sendiri.
        Di samping untuk memohon restu upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa dengan guru nabe.
        Upacara ini dilaksanakan menurut dresta.
    2. Upacara Puncak.
      1. Upacara mati raga atau Penyekeban.
        Sebelum mati raga, calon Diksita dilukat oleh nabe di merajannya calon diksita dilanjutkan .dengan muspa. Selesai upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga. Busana serba putih, sikap tangan ngregep dan ngramasika, yaitu mono
        brata dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum upacara diksa.
      2. Upacara Andi.
        Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 WITA. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi, calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan oleh guru saksi perempuan. Dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaian serba putih (sarwa petak), diantar menuju ke merajan tempat calon diksita melakukan diksa.
    3. Upacara pokok.
      1. Pedanda nabe memuja atau ngarga.
      2. Calon diksita ada di hadapan sanggar untuk melakukan upacara mabeakaon, kemudian dilanjutkan dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama)
      3. Calon diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
      4. Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak, (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh di atas ubun- ubun.
      5. Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
      6. Anuhun pada . . . Guru nabe napak calon diksita.
      7. Di atas ubun- ubun diberi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
      8. Sambutang kusa pengaras yaitu diambilkan daun alang- alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali (inderakna ring sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang- alang ditaruh.
      9. Pungu- punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara untuk ubun- ubun.
      10. Diambilkan pancakorsika (alang- alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirta.
      11. Mengunting : rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengah) rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri(ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
      12. Halap atmaya : jiwanya sisya diambil.
      13. Dagdhi damalaning sariranya: tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib).
      14. Api membakar dihentikan (pademi).
      15. Merta kramaning : sisya metirta, Sanghyang Atma diturunkan kembali.
      16. Guru nabe karasadhananing, yaitu mengadakan pemujaan setelah itu sisya kakaduti sekar (disuntingkan bunga di dada).
      17. Di dadanya mohana cecatu : wawisik dan guru nabe, dautang, prastawa" : cincin sisya diambil nabe. tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung.
      18. Pangpadhayadi: guru nabe memberikan bhasma, sirawista, diperciki air suci siwamba, anecepi. meraup tiga kali.
      19. Nuhun Sekah : Sisya menunjang sekah dewa- dewi disertai peras dan sesarik.
      20. Tetebus : sisya metebus.
      21. Guru nabe nyiratang tirta pada bebanten - sesayut, dana pemulih, pengambyan setanan. Sorohan, panyeneng, jerimpen, bebangkit
      22. Angayab sesayut :sang sisya ngayab atau nganteb sayut.
      23. Masirat : sang sisya mendekat pada nabe matirta (matoya).
      24. Majaya- jaya . sang sisya- majaya- jaya oleh guru nabe dengan prana bayu murti Bhuwana.
      25. Tatabi dupidipa : sisya ngayab atau natab dupa.
      26. Minum air suci . siwamba (sang sisya).
      27. Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya. dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
      28. Wahi wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal) Ini berarti pawisik sasipanan.
      29. Wehi sekar : sisya diberi sekar(bunga).
      30. Malaba padambel : sisya mapedambel.
      31. Menyembah : terakhir sisya menyembah mepamit pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira dang guru panembaha), lanjut menerima biseka dari nabe.
      32. Demikianlah urutan upacara diksa telah berakhir.
  2. Loka Pala Sraya.
    Loka Pala Sraya dapat dilakukan setelah mendapat ijin (pengesahan) dan nabe, setelah ngelinggihan puja kemudian melaksanakan tirtayatra.
    1. Amurub sasana (pelanggaran).
      Apabila terdapat kasus yang menyimpang dan sesana sulinggih patut ditangani oleh nabe, Parisada, aparat pemerintah.
    2. Hak untuk mencabut status kesulinggihannya tetap pada nabe sesuai dengan aguron- guron.
2.3.3 Kapasitas Pandita di Masa Mendatang
Pandita yang ahli disebut Bramana Sista. Brahmana Sista inilah menurut Manawa Dharmasastra XII.110. dapat duduk sebagai lembaga Parisada yang memiliki peran dalam menata atau mengendalikan penerapan ajaran Agama Hindu atau pustaka suci Weda dalam kehidupan umat Hindu. Brahmana Sista inilah yang semakin dikuatkan kedudukan dan fungsinya di Parisada. Karena sejak tahun 2001 Anggaran Dasar Parisada menetapkan yang berhak menetapkan keputusan atau ketetapan Bhisama dan atau keputusan keagamaan Hindu adalah Sabha Pandita. Isi Weda adalah kebenaran yang kekal abadi atau Sanatana Dharma. Menurut Swami Siwananda Sanatana Dharma itu harus diterapkan dengan konsep Nutana antinya senantiasa ada upaya peremajaan dan penyegaran dalam sistem penerapan. Sarasamuscaya 260 menyatakan bahwa Veda Abhyasa artinya Weda itu harus diterapkan menjadi kebiasaan hidup. Kebiasaan dalam adat istiadat kehidupan beragama Hindu inilah yang dalam periode tertentu wajib diremajakan dan disegarkan oleh umat Hindu melalui majelis tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada ini. Karena itu menurut Manawa Dharmasastra XII.111. yang duduk di Parisada adalah lima kelompok ahli dan Brahmana Sista dan tiga wakil golongan yaitu mewakili Brahmacari, Grhastha dan Wana Prastha Asrama. Sedangkan Sanyasin Asrama adalah beliau yang sudah lepas sama sekali dengan kehidupan bersama di dunia ini. Karena itu Sanyasin Asrama tidak duduk di lembaga Parisada.
Lima kelompok ahli Brahmana Sista itu adalah ahli Weda, ahli Mimamsa yaitu yang ahli dalam penelitian ajaran Weda secara sistematis, ahli Nirukta yaitu ahli tentang asal-usul bahasa Weda atau sejenis ahli etimologi. Nirukta bagian Sadangga Weda yaitu Siksa, Kalpa, Wyakarana, Nirukta Chanda dan Jyothesa. Ahli logika dan ahli Dharmasastra. Demikian juga dengan seorang  guru spiritual atau Sulinggih selain sebagai narasumber dalam dunia kerohanian, maka seorang pandita tidak hanya hafal terhadap Puja atau stawa saja, namun secara idealnya juga harus mengetahui berbagai ilmu pengetahuan baik sruti atau smrti dan ilmu pengetahuan yang lain.
2.3.3.1  Keterampilan Atau Kompetensi Yang Harus Dimiliki Sulinggih
Kedudukan pandita dalam masyarakat Hindu sangatlah terhormat dan strategis. Orang yang dapat diberi gelar pandita adalah mereka yang telah mencapai dwijati. Pertama lahir dari rahim ibu kandung atau deha mata dan kedua lahir dan rahimnya Weda atau Weda Mata. Dalam pustaka Nitisastra 1.6 ada dinyatakan ciri-ciri orang yang bergelar pandita adalah Ksama (pemaaf), Mudita (berbudhi tenang), Santosa (sabar). Upeksa (teliti), Mordawa (lemah lembut). Sastrajnya (berpengetahuan suci), wuwus nira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan). Bhagavad Gita IV. 19 menyatakan bahwa orang yang telah mencapai Niskama Karma karena dicerahkan oleh Jnana Agni yang dapat disebut pandita. Artinya selalu berbuat baik dan benar dengan tidak mengharapkan hasilnya. karena sangat yakin akan kebenaran hukum karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya juga baik dan benar. Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar keabadian berupa hidup yang abadi.
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
artinya: maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Berdasarkan sloka diatas bahwa seorang Sulinggih harus mempunyai kompetensi yang harus dimiliki dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal dalam membimbing umatnya, dalam hal ini adalah :
1.        Sang Satya Wadi
Pengertian tentang Satya Wadi adalah selalu benar, dalam menyampaikan dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat Hindu pada umumnya. Karena seorang Pandita ini merupakan teladan bagi umat yang selalu dijadikan contoh dalam kehidupan sosial keagamaan. Selain itu, satya vadi berarti mewartakan kebenaran dan mengatakan yang benar dengan jujur, hal ini tersurat dalam kakawin Nitisastra VI : 2 bahwa :
Tidak ada kewajiban yang lebih baik dari pada cinta pada kebenaran, wajiblah orang itu berusaha mennepati kebenaran itu, tidak ada kawah   yang laing mengerikan dari pada penghukum si pembohong, dari itu janganlah berbohong karena dewa agni, surya, candra, yama dan Bayu menjadi saksi ketiga jagad ini. Jika ingin dipuji diseluruh dunia maka berkatalah yang benar walaupun sampai mendatangkan ajal.
Berdasarkan sloka diatas jelaslah bahwa kebenaran adalah hal yang tertinggi karena dewa agni, candra, surya, yama dan bayu sebagai saksi atas kebenaran itu, dengan demikian bahwa pandita merupakan sumber panutan kepada umatnya sehingga beliau disebut sebagai acharya deva bhavo artinya : seorang pandita merupakan perwujudan dari dewata. Selanjutnya makna satya menurut Aharva Veda XII, 1.1 mengatakan bahwa kebenaran merupakan ajaran yang sama dengan kepercayaan kepaa Tuhan, demikian juga dalam Rg Veda VIII.62.12 menjelaskan bahwa satya merupakan sifat dari Tuhan (Pudja, 1984 :10 dalam Satuan Mahagotra Pasek, 2011 :30). Selanjutnya satya atau kebenaran menurut Saiva Sidhanta bahwa seseorang yang telah melaksanakan diksa disebut Ngalinggihang Siva ring sarira yang telah memahami adanya Sivalingga tahapan bahwa siva telah memasuki badan manusia dan Atmalingga tahapan jiwa telah menyatu dengan sang Hyang Siva.
Selain itu, untuk mewujudkan adanya satya ini maka seorang pandita harus mampu untuk melaksanakan Vrata, hal ini diajarakan dalam kitab Silakrama yang meliputi adanya Panca yama brata dan panca nyama Brata, sedangkan menurut Sarasamuccaya 258-260 adanya dasa yama brata dan dasa nyama brata. Selanjutnya mampu untuk melaksanakan diksa, karena ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar kepanditaan, untuk itu beliau selalu melakukan penyucian diri baik lahir maupun batin
2.        Sang Apta
Hal ini berarti orang  yang bisa dipercaya, karena selalu berkata benar, sehingga seorang pandita itu janganlah sampai mendapat kata kasar dari orang lain. Untuk dapat dipercaya oleh umatnya seorang Sulinggih harus mampu untuk memahami hakekat kebenaran dan tahu tentang cara menyampaikan kebenaran, selain itu juga seorang sulinggih harus mempunyai moralitas dan kepribadian, konsekuen dalam melaksanakan swadharma dan menghindarkan diri dari perilaku yang menyebabkan patita.
Seorang pandita sudah terjun kedalam dunia spiritual dia harus selalu menjaga moralitas yang luhur, seperti yang dijelaskan dalam Bhagavad XII : sloka 13, yang artinya “Dia yang tidak membenci segala makhluk, memiliki sifat bersahabat dan penuh cinta kasih, bebas dari keakuan dan keangkuhan sama dalam  suka dan duka dan rela memaafkan”. Berdasarkan sloka ini menujukan bahwa seseorang yang telah menelekuni dunia spiritual maka dia harus mampu untuk mengekang hawa nafsunya untuk mencapai hidup yang bahagia baik dunia skala dan niskala, karena yang dijadikan pegangan oleh para umat kebanyakan adalah seseorang yang telah terjun dalam dunia spiritual harus mempunyai telenta yang kuat dalam menjalankan hidup ini agar tidak terjebak dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan.
3.        Sang Patirthan
Hal ini maksudnya adalah orang yang selalu memberikan penyucian bagi umatnya. Hal ini maksudnya adalah menuntun umat untuk selalu hidup suci agar terhindar dari perbuatan yang tercela untuk mewujudkan hidup yang bahagia. Seseorang sadhaka yang selalu menjaga kesucian atau suddha  untuk mampy melahirkan siddhis atau kekuatan untuk mencapai sidhha atau kebahgaiaan. Dalam hal ini seeorang yang telah mencapai kesucian harus selalu berpegang pada kode etik pandita yang dijabarkan dengan brata dan sesana sebagai landasan dalam pemahaman keagamaan. Karena perannya sangat vital maka yang harus dilakukan oleh seorang padita adaalh dengan melakukan yang disebut dengan Mantra, yantra dan mudra. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelalayaan kepada umat dalam melakukan Lokapalasraya sesuai jenis dan tingkatan dari pada yajna.
4.        Sang Penadahan Upadesa
Hal ini maksudnya adalah dengan selalu memberikan wacana dan pendidikan moral kepada umat. Terkait dengan tugasnya sebagai sang penadahan upadesa, maka fungsi dari pandita ini adalah sebagai pendidik, guru yang dijadikan narasumber untuk menuntuk umat menuju hidup yang sentosa. Dalam hal ini seorang padnita harus mempunyai kemampuan dalammenguasai Veda dalam pengamalannya dalam kehidupan, karena Veda merupakan ajaran yang sangat luas dan menjadi sumber dalam pedoman hidup manusia. Sekanjutnya seorang pandita harus memahami perkembangan jaman, hal ini dimaksudkan adalah dalam penyampaian ajaran dharma maka yang perlu diperhatikan oleh seorang sulnggih adalah dengan membrikan pemahaman umat sesuai dengan perkembangan jaman sehingga dalam  hal ini  umat tidak mempunyai kesan kuno dalam penyapaian ajaran agama Hindu.
Berkaitan dengan uraian diatas bahwa yang harus dimiliki oleh seorang pandita adalah dengan memberikan pemahaman kepada umat tentang adanya pembenahan internalisasi agama, mengadapai kemajemukan beragama dan melakukan gerakan untuk menghilangkan  fanatisme  agama melalui gerakan rasionalisme  agama. Hal ini dilakukan adalah bertujuan untuk mewujudkan pendalaman tentang adanya pemahaman tentang adanya religius literacy atau kemelekan beragama. Dan hal yang tidak boleh dilupakan dalam kemampuan seorang pandita adalah dengan selalu membuka diri untuk berdialog dengan umat sehingga keterbukaan, toleransi dapat duwujudkan dalam kehidupan sosial keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
2.3.3.2 Kepekaan Terhadap Perkembangan Jaman
Kemampuan seorang pandita tidak hanya cakap dalam hal keagamaan, akan tetapi harus memiliki skill (keterampilan) dalam hal yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Tekhnologi dan Komunikasi (IPTEK). Jadi kecakapan dari seorang pandita ini harus mempunyai kemampuan yang luas, baik dari segi keagamaan, yaitu menguasai pengetahuan tentang Veda dan sesana kepanditaan juga harus mengikuti perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman sekarang ini, yaitu harus tetap terbuka pada perkembangan tekhnologi dan informasi yang sangat pesat dewasa ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan harus mampu menguasai IT tersebut dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan kondisi umat Hindu yang sedang berkembang di jaman yang penuh dengan modernitas.

Disamping itu adalah kemampuan tentang adanya pemahaman tentang bahasa, baik itu yang digunakan dalam penyampaian materi kepada umat berupa bahasa pengantar bahasa Indonesia, juga harus mampu menggunakan bahasa jawa kuno dan bahasa sansekerta karena teks kitab suci Hindu sebagian besar adalah menggunakan bahasa sansekerta dan bahasa jawa kuno. Dan tidak kalah pentingnya adalah penggunaan  bahasa inggris yang tidak menutup kemungkinan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu harus mengunakan bahasa tersebut sebagai bahasa Internasional. Kemudian hal yang harus dimiliki oleh seorang sulinggih adalah penggunaan IT yang sebagai media yang mutlak dikuasai dalam menjalin informasi dengan umat Hindu pada umumnya. Dengan demikian, keterampilan  yang harus dimiliki oleh seorang sulinggih dimasa depan adalah harus mampu untuk menyesuaikan dan mampu melakukan filterisasi dalam perkembangan jaman  yang penuh dengan dinamika ini.

BAB III
KESIMPULAN
Karena kedudukannya sangat dihormati oleh umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada perubahan status dari sang walaka menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila keagamaan sudah mempunyai status sebagai seorang Pandita, yang berubah nama yang disebut amari-aran, merubah atribut (amari wesa) dan merubah aktivitas kehidupan (amari wisaya). Perubahan dan pandangan masyarakat  tentang dirinya ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari pengakuan masyarakat terhadap kedudukan sulinggih. Selanjutnya bukan hanya masyarakat Hindu yang dituntu untuk melaksanakan tata-titi atau aturan kemasyarakatan saja, melainkan pada diri sulinggih juga dituntut untuk keteguhannya untuk melaksanakan dharmaning kawikon dan taat terhadap sasana kawikon serta menerapkan dasadharma kapanditaan.
Swadharma orang yang disebut pandita adalah Satya Vadi senantiasa mewacanakan kebenaran suci Weda yang disebut Satya. Sang Apta orang yang selalu mendapatkan kepercayaan umat secara luas. Sang Patirthan yaitu orang yang senantiasa memberikan penyucian pada masyarakat. Sang Panadahan Upadesa yaitu selalu memberikan atau menyebarkan pendidikan kerohanian pada masyarakat. Demikianlah utamanya beliau yang disebut pandita menurut pustaka suci Hindu. Karena pada dasarnya proses inisiasi dari walaka menuju sadhaka merupakan sesuatu yang bersifat sakral yang harus dijalankan dengan penuh keyakinan dalam pelaksanaannya terutama tentang sesana kepanditaan yang harus dilaksanakan penuh dengan komitmen. Kecakapan dari seorang pandita ini harus mempunyai kemampuan yang luas, baik dari segi keagamaan,yaitu menguasai pengetahuan tentang Veda dan sesana kepanditaan juga harus mengikuti perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman sekarang ini, yaitu harus tetap terbuka pada perkembangan tekhnologi dan informasi yang sangat pesat dewasa ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan harus mampu menguasai IT tersebut dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan kondisi umat Hindu yang sedang berkembang di jaman yang penuh dengan modernitas.
DAFTAR PUSTAKA

Kajeng, I Nyoman dkk.1999.  Sarasamuccaya Teks Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya : Paramita.
Made, Ngakan Madrasuta. 2005. Hindu Akan Ada Selamanya cet I. Jakarta : Media Hindu.
Pandit, Bansi. 2006.  Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum Hindu.   Jakarta:  CV Felita Nursatama Lestari.
Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Bhagavad-Gita (Pancama Veda). Surabaya : Paramita.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pandita Masa Depan"

Post a Comment