MEMPERSIAPKAN SULINGGIH MASA DEPAN
oleh :
Untung Suhardi
Pada zaman
dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan
swadharmanya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan
perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam
Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan
kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan
jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul
diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.
Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tali artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.
Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tali artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.
Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang
hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa.
Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki
ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti
kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui
proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat. Pendidikan dan
latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat
tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai
kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang
dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana
pandita dikenakan.
Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan
dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi pandita
tersebut adalah Sang Satyawadi
artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat
dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya
beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan
Upadesa. Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan
petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda
Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14
adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut.
Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic
power yang berkonotasi
negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara
Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya
adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dan
ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja
nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu
kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai
kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh
beban derita karena kesalahan kita saat ini. Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera
dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa.
Berdasarkan latar belakang masalah ini maka dapat ditemukan permasalahan bahwa
peran serta Pandita dalam kehidupan diera globalisasi ini sangat perlu sekali
untuk melakukan pembenahan diri, akan tetapi dalam hal ini sebagian besar orang
suci (Sulinggih) ini belum siap untuk menghadapi arus global tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka ada beberapa yang menjadi permasalahan
utama yang dibahas dalam penulisan ini,
yaitu :
1. Bagaimanakah
kedudukan sulinggih dalam Hindu ?
2. Bagaimanakah
esensi dari pelaksanaan Diksa dalam Hindu terutama pelaksanaan tentang upacara
padiksan ?
3. Bagaimanakah
hal yang dilakukan untuk mempersiapkan generasi sulinggih yang akan datang ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan
Umum
Adapun
tujuan umum penulisan makalah ini adalah sebagai media untuk menginventarisir
tentang pengetahuan tentang Kepanditaan,
sehingga untuk menambah pengetahuan kita tentang sesana kesulinggihan.
1.3.2
Tujuan
Khusus
Adapun
tujuan khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan sulinggih,
mengetahui eksistensi tentang pelaksanaan diksa dan untuk mengetahui tentang
hal yang harus dilakukan untuk menyiapkan sulinggih dimasa depan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan kita
tentang kepanditaan dan secara praktis adalah untuk bahan pertimbangan dan pedoman bagi para calon sulinggih yang akan
datang terutama para generasi muda yang akan menjadi sulinggih sehingga mampu
untuk menghadapi jaman yang penuh dengan arus globalisasi.
BAB
II
ANALISIS
MASALAH
2.1 Kedudukan Sulinggih
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan
Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat
Hindu. Dengan demikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus
hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan
dalam rangka menegakkan Dharma. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda
XII. I. I dan Yajurveda XIX. 36, sebagai berikut:
“Satyam brhad rtam
ugram diksa ya tapo brahma yajna prithivim dharyanti”
Artinya :
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
“Vratena diksam
apnoti, diksayapnoti daksinam,
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
Artinya :
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa
seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha,
melalui sraddha seseorang mencapai satya)
Usaha menyucikan din melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma
diamanatkan pula oleh Vrhaspatittatva seloka 25 yang merupakan kewajiban setiap
umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: sila, yajna, tapa, dana, pravrjya, diksa dan
yoga. Melalui keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan umat
memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu meiniliki kewenangan belajar
dan mengajarkan Veda. Dengan deinikian diksa meiniliki kedudukan sebagai
institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi
Brahrnana. “janmana jayate sudrah
samskarairdvija ucyate” semua orang lahir sebagai sudra melalui
diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa memiliki tujuan untuk
menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk
mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau
Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan
diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama
abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan,
Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana,
Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan lain-lain yang meiniliki kewenangan
melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
2.1.1 Pengertian Sulinggih
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa,
yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian
karena ia terbebas menuju kelepasan. Pandita juga seseorang yang sudah mencapai
“Niskama Karma” yang meyakini hukum
karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang
utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Karena
kedudukannya sangat dihormati oleh umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada
perubahan status dari sang walaka menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila
keagamaan sudah mempunyai status sebagai seorang Pandita, yang berubah nama
yang disebut amari-aran, merubah
atribut (amari wesa) dan merubah
aktivitas kehidupan (amari wisaya)
(Putu Purwita, 1993 : 58). Perubahan dan pandangan masyarakat tentang dirinya ini merupakan sebuah
konsekuensi logis dari pengakuan masyarakat terhadap kedudukan sulinggih.
Selanjutnya bukan hanya masyarakat Hindu yang dituntu untuk melaksanakan tata-titi atau aturan kemasyarakatan
saja, melainkan pada diri sulinggih juga dituntut untuk keteguhannya untuk
melaksanakan dharmaning kawikon dan
taat terhadap sasana kawikon serta menerapkan dasadharma kapanditaan. Karena beliau adalah lambang dari kebenaran
maka beliau membawa tateken
(tongkat), sebagai lambang atribut dewa Brahma yang mmerupakan simbol ketuaan
yang berarti telah meninggalkan masa berkelurga (grhasta) menuju tahaan
spiritual.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Sulinggih
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir
dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda
(Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses
Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut
Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana
sehari-hari. Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati
Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu
Yoga yang terdiri dari:
- Jnanabhyudreka (mengerti ajaran
tattwa),
- Indriyayogamarga (tidak terikat
oleh indra),
- Tresnadosaksaya (dapat
menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang
Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”. Kemudian kitab Taiteria
Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena
kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia. Kesimpulan:
seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan
syarat-syarat sipiritual seperti yang diuraikan di atas. Proses Diksa
(Penobatan Sulinggih): seseorang yang ingin me-Diksa tentunya sudah memenuhi
syarat-syarat formal seperti diuraikan pada A.1 di atas, kemudian sebagai
langkah kedua menemukan Nabe (guru) yang bersedia mengangkatnya menjadi Sisia
(murid). Syarat-syarat Nabe seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987
tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa adalah:
- Seorang yang selalu dalam
keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
- Mampu melepaskan diri dari
ikatan keduniawian.
- Tenang dan bijaksana.
- Selalu berpedoman kepada Kitab
Suci Weda.
- Paham dan mengerti tentang
Catur Weda.
- Mampu membaca Sruti dan Smrti.
- Teguh melaksanakan
Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan kebajikan).
- Teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya Sisia diterima secara resmi menjadi murid/
putra dengan upacara “meperas” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde”. Sejak
saat itu Jero Gde “aguron-guron”
(belajar teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan
perilaku suci agar memenuhi persyaratan spiritual seperti yang diuraikan dalam
A.1 di atas. Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe.
Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan
administrasi seperti:
- Surat permohonan mediksa kepada
PHDI Kabupaten.
- Keterangan: berbadan sehat,
berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri,
dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik
kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa
(ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat maka
dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI. Puncak upacara Madiksa didahului
dengan upacara “seda raga” yaitu
“penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa. Setelah
seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati yang
sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
- Amari
Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin
kehidupan,
- Amari
Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
- Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih:
- Memimpin warga dalam upaya
mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.
- “Ngelokaparasraya” yaitu
menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun
dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan
bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual
atas permintaan warga.
Tugas Sulinggih: mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui jalur
spiritual. Kewajiban Sulinggih pada umumnya disebut “sasana kawikon” atau
“dharmaning kawikon” terdapat pada Lontar Krama Madiksa sepuluh kewajiban (dasa krama paramartha), yaitu:
- Tapa (teguh memuja Hyang Widhi)
- Brata (membatasi indra)
- Yoga (menyeimbangkan Stulasarira
dengan Suksmasarira)
- Samadhi (memusatkan pikiran
kepada kebesaran Hyang Widhi)
- Santa (berpikir, berkata, dan
berbuat serba tenang damai)
- Sanmata (berperasaan riang
gembira)
- Maitri (senang mengatakan yang
baik dan benar)
- Karuna (senang bertukar pikiran
dengan sesama dan menyayangi semua mahluk)
- Upeksa (tahu perbuatan yang
baik dan buruk serta memberi bimbingan kepada yang bodoh dan yang salah)
- Mudhita (mencintai kebenaran
serta berbudi luhur)
Di samping itu kewajiban Sulinggih yang lain:
- Arcana ( memuja Hyang Widhi
setiap hari dalam bentuk Njurya Sewana).
- Adhyaya (tekun belajar
mendalami Weda, Tattwa, Susila, Upacara).
- Adhyapaka (suka mengajar
hal-hal tentang Hyang Widhi dan kesucian).
- Swadhyaya (rajin belajar
hal-hal yang diberikan Nabe).
- Dhyana (merenungkan Hyang Widhi
serta hakekat kehidupan).
Untuk menjadi seorang Sulinggih yang baik sebenarnya
sungguh berat, karena harus memenuhi kriteria utama dalam: kesucian,
kecerdasan, kepandaian dalam berbicara/ berdialog, kesehatan/ kekuatan fisik,
penampilan, ramah-tamah, sabar, cinta kasih, kepemimpinan (leadership), dan
kewibawaan. Sulinggih adalah seorang yang all
round (serba bisa), namun mempunyai kemampuan dan minat khusus tertentu.
Misalnya ada yang senang kesusastraan, disebut Wiku Kawi; ada yang senang ber-dharma
wacana dan ber-dharma tula disebut Wiku Acarya; ada yang sibuk hanya
“muput-muput karya” saja disebut Wiku Pemuput Karya; ada yang madiksa untuk
kepentingan kesucian diri sendiri saja, tidak melayani publik, disebut Wiku
Ngeraga. Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka
artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat
bersandar. Jadi lokaparasraya artinya
tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar
masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat
(aktif). Sehari-hari Sulinggih menyebut dirinya “Bapa” sedangkan Bapa dalam
Kekawin Nitisastra mempunyai kewajiban antara lain “Matulung urip rikalaning bhaya” artinya menyelamatkan jiwa
anak-anaknya tatkala ada ancaman bahaya.
Keselamatan jiwa dalam pengertian spiritual termasuk
ancaman adharma, karena bila seseorang berlaku adharma, jiwanya terancam bahkan
dapat berumur pendek dan kemudian rohnya mengalami siksaan neraka. Padahal
tugas manusia dalam kehidupan di dunia adalah melaksanakan dharma agar di suatu
saat kelak roh (Atman) sudah bersih sehingga dapat bersatu dengan Brahman
(Hyang Widhi). Tugas Sulinggih (ngelokaparasraya) intinya adalah membantu
manusia agar senantiasa ada di jalan dharma. Jadi bukan hanya muput-muput karya
saja ! Tugas muput-muput karya hanya sebahagian kecil dari tugas-tugas mulia
lainnya.
2.2 Hakikat Pandita
Mengenai makna diksa dvijati adalah merupakan proses transendensi dan
sakralisasi menuju pencapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain itu
diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan
hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya ) dengan
murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI. 5. 3. menguraikan bahwa saat
pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan
murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung bayinya,
kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan sebagai orang yang sangat mulia
(dvijati).Dengan deinikian pelaksanaan diksa dvijati merupakan transisi dan
gelap menuju terang, dan avidya menuju vidya.
2.2.1 Pengertian Diksa
Kata diksa, menurut pustaka Wisnu Yamala berasal dari kata “di” dan
“ksaya”. Kata “di” artinya sinar suci dan “ksaya” artinya melenyapkan. Diksa
artinya mereka yang telah berhasil melenyapkan kegelapan hidupnya karena sudah
bisa atmannya mencapai sinar suci Brahman atau Sang Hyang Widhi. Diksa
dilakukan setelah melakukan Brata kemudian barulah dapat hidup terhormat yang
disebut Daksina. Sarasamuscaya 40 menyatakan bahwa swadharma orang yang disebut
pandita adalah Satya Vadi senantiasa mewacanakan kebenaran suci Weda yang
disebut Satya. Sang Apta orang yang selalu mendapatkan kepercayaan umat secara
luas. Sang Patirthan yaitu orang yang senantiasa memberikan penyucian pada
masyarakat. Sang Panadahan Upadesa yaitu selalu memberikan atau menyebarkan
pendidikan kerohanian pada masyarakat. Demikianlah utamanya beliau yang disebut
pandita menurut pustaka suci Hindu.
2.2.2 Tujuan Dan Landasan Sastra Diksa
Pelaksanaan upacara diksa mempunyai tujuan mulia yaitu untuk meningkatan
kesucian baik dalam diri lahir maupun batin guna mencapai kesempurnaan hidup
sebagai manusia, karena dalam hal ini ada falsafah bahwa aku hidup demi
menyempurnakan kehidupan. Seperti yang telah diamanatkan dalam Bhuanakosa III :
80 yang menjelaskan bahwa : “Sakwehning
jagadkabeh, mijil sangkeng bhatara siva ika, lina ya ring bhatara Siva ya.
Artinya : Seluruh alam semesta ini muncul dari bhatara Siva dan akan lenyap
kembali kepada Bhatara Siva juga”.
Dengan demikian pelaksanaan diksa ini bertujuan untuk mencapai yang
disebut dengan atmalingga yaitu untuk
mencapai dharma kelepasan tentang pengakuan sesuatu yang tidak kekal
(sementara), serta untuk mencapai Sivalingga untuk mencapai dharma kahuripan
yaitu sebuah pemanfaatan kesempatan hidup untuk mencapai kesempurnaan selama
masih hidup (Jivan mukti).
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan
Dharma yang meiniliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat
Hindu. Dengan deinikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus
hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan
dalam rangka menegakkan Dharma. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda
XII. I. I dan Yajurveda XIX. 36, sebagai berikut:
“Satyam brhad
rtam ugram diksa ya tapo brahma yajna prithivim dharyanti”
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
“Vratena diksam
apnoti, diksayapnoti daksinam,
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa,
dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai
sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai satya)
Usaha menyucikan din melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma
diamanatkan pula oleh Wrhaspatittatva sloka 25 yang merupakan kewajiban setiap
umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: sila, yajna,
tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga. Melalui keyakinan terhadap kebenaran
diksa ini, mengantarkan umat memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu
meiniliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan deinikian diksa
meiniliki kedudukan sebagai institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan
diksa seseorang menjadi Brahrnana. “janmana jayate sudrah samskarairdvija
ucyate” semua orang lahir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi
Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa meiniliki tujuan untuk
menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk
mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau
Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan
diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama
abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan, Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi,
Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana, Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan
lain-lain yang meiniliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun
Lokapalasraya kepada umat.
Kemudian mengenai makna diksa dvijati adalah merupakan proses transendensi
dan sakralisasi menuju pencapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain
itu diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan
adanyajalinan hubungan yang bersifatpnibadi dan mendalam antara Guru Nabe
(Acarya ) dengan murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI. 5. 3.
menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya
seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang
ibu mengandung bayinya, kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan sebagai
orang yang sangat mulia (dvijati).Dengan deinikian pelaksanaan diksa dvijati
merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan avidya menuju vidya.
Dalam lembaga diksa dvijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki
hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tidak terjadi pengingkaran terhadap
sasana/dharmaning kawikon. Maka deini menegakkan Dharrna berdasarkan ketentuan
sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru Nabe
(manavaguru), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha Guru ataupun Divya Guru.
2.3 Persiapan Pandita Masa Depan
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula
sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu
“Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”. Kemudian
kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan
Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia
di dunia. Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat
formal dan syarat-syarat sipiritual diuraikan dibawah ini :
2.3.1 Ketentuan Calon Diksita
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek
Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, umat Hindu
dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat:
- Laki-laki yang sudah kawin dan
yang nyuklabrahmacari
- Wanita yang sudah kawin dan
yang tidak kawin (kania)
- Pasangan suami/ istri
- Umur minimal 40 tahun
- Paham Bahasa Kawi, Sanskerta,
Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran
agama
- Sehat lahir bathin dan berbudi
luhur sesuai dengan sesana
- Berkelakuan baik, tidak pernah
tersangkut perkara pidana
- Mendapat tanda kesediaan dari
pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan
- Sebaiknya tidak terikat akan
pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal
keagamaan
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang
Sulinggih. Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang
disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain di Bhagawadgita percakapan ke
IV-19 disebutkan:
YASYA SARVE
SAMARAMBHAH, KAMA SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH
PANDITAM BUDHAH
artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu
pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Berdasarkan sloka diatas bahwa seorang pandita harus
menjalankan swadharmanya dengan sebaik-baiknya, yaitu harus menghindarkan diri
dari hal-hal yang bersifat negatif. Sehingga jalan untuk menuju pembebasan
dapat dilalui dengan mudah untuk mencapai kepada sangkan paraning dumadi (kepada asal yang menciptakan kehidupan).
Sehingga beliau akan menjadi panutan dan sebagai Guru spiritual ini mereka
selalu mengutamakan kesucian dan sering mereka melakukan pengasingan diri.
Konsep pengasingan dalam Hindu bukanlah untuk terbebas dari tindakan, akan
tetapi pengasingan untuk melepaskann keterikatan pada hasil tindakan (Bansi
Pandit, 2006 : 137). Dalam hal inilah seseorang tidak bisa lepas dari
tanggungjawab untuk duniawi, akan tetapi
harus tetap berkarya dalam hidup ini untuk keharmonisan dunia dengan melakukan
tindakan yang bersumber pada aturan baik aturan pemerintah maupun agama.
Dan tindakan ini dilakukan untuk
kebaikan semua makhluk dengan semangat tanpa keterikatan pada hasil kerja.
2.3.2 Pelaksanaan Samskara Diksa
- Syarat-
syarat madiksa.
Umat Hindu dan segala warga yang memenuhi syarat tersebut di bawah ini dapat disucikan (didiksa). - Laki-
laki yang sudah kawin dan yang nyukla Brahmacari.
- Wanita
yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kanya).
- Pasangan
suami istri.
- Umur
minimal 40 tahun.
- Paham
dalam bahasa Kawi. Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum,
pendalaman intisari ajaran- ajaran agama.
- Sehat
lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana.
- Berkelakuan
baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana.
- Mendapat
tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
- Sebaiknya
tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta
kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
- Syarat-
syarat nabe.
- Seorang
selalu yang dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun batin.
- Mampu
melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
- Tenang
dan bijaksana.
- Selalu
berpedoman kepada kitab suci Weda.
- Paham
dan mengerti tentang Catur Weda.
- Mampu
membaca Sruti dan Smrti.
- Teguh
melaksanakan Dharma Sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan).
- Teguh melaksanakan tapa dan brata.
- Pelaksanaan
upacara pediksan.
- Upacara
awal.
- Upacara
mejauman.
Sang Calon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa upakara semestinya. - Sembah
pamitan pada keluarga. Sang Calon Diksita wajib menyembah orang tua yang
masih hidup atau yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan
pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita juga minta ijin kepada
sanak saudaranya yang berumur lebih muda. Sembah pamitan kepada orang
tua merupakan sembah terakhir karena di kemudian hari seorang sulinggih
tidak boleh menyembah si apapun yang masih walaka.
- Upakara
mapinton.
Pertama: ke Segara gunung untuk membersihkan diri asucilaksana. Dalam hal ini sekurang- kurangnya ke Kahyangan tiga.
Kedua: upacara mapinton ke pemerajan calon nabe yang langsung dipuput oleh calon nabe sendiri.
Di samping untuk memohon restu upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa dengan guru nabe.
Upacara ini dilaksanakan menurut dresta. - Upacara
Puncak.
- Upacara
mati raga atau Penyekeban.
Sebelum mati raga, calon Diksita dilukat oleh nabe di merajannya calon diksita dilanjutkan .dengan muspa. Selesai upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga. Busana serba putih, sikap tangan ngregep dan ngramasika, yaitu mono
brata dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum upacara diksa. - Upacara
Andi.
Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 WITA. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi, calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan oleh guru saksi perempuan. Dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaian serba putih (sarwa petak), diantar menuju ke merajan tempat calon diksita melakukan diksa. - Upacara
pokok.
- Pedanda
nabe memuja atau ngarga.
- Calon
diksita ada di hadapan sanggar untuk melakukan upacara mabeakaon,
kemudian dilanjutkan dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur
amari sudana (ganti nama)
- Calon
diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar)
segawu.
- Calon
diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok
dengan kayu putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak, (dilisahi
dening minyak), kaki tersebut ditaruh di atas ubun- ubun.
- Guru
nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat
empuning pada tengen.
- Anuhun
pada . . . Guru nabe napak calon diksita.
- Di
atas ubun- ubun diberi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan
gunting.
- Sambutang
kusa pengaras yaitu diambilkan daun alang- alang diusapi badannya dan
dikelilingi tiga kali (inderakna ring sariranya ping tiga), dijilat
dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada
tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang-
alang ditaruh.
- Pungu-
punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara untuk ubun- ubun.
- Diambilkan
pancakorsika (alang- alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirta.
- Mengunting
: rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut
bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengah) rambut
bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri(ring kiwa) dan rambut
bagian tengah (ring pusehan).
- Halap
atmaya : jiwanya sisya diambil.
- Dagdhi
damalaning sariranya: tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib).
- Api
membakar dihentikan (pademi).
- Merta
kramaning : sisya metirta, Sanghyang Atma diturunkan kembali.
- Guru
nabe karasadhananing, yaitu mengadakan pemujaan setelah itu sisya
kakaduti sekar (disuntingkan bunga di dada).
- Di dadanya
mohana cecatu : wawisik dan guru nabe, dautang, prastawa" : cincin
sisya diambil nabe. tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga :
diusapi bunga tunjung.
- Pangpadhayadi:
guru nabe memberikan bhasma, sirawista, diperciki air suci siwamba,
anecepi. meraup tiga kali.
- Nuhun
Sekah : Sisya menunjang sekah dewa- dewi disertai peras dan sesarik.
- Tetebus
: sisya metebus.
- Guru
nabe nyiratang tirta pada bebanten - sesayut, dana pemulih, pengambyan
setanan. Sorohan, panyeneng, jerimpen, bebangkit
- Angayab
sesayut :sang sisya ngayab atau nganteb sayut.
- Masirat
: sang sisya mendekat pada nabe matirta (matoya).
- Majaya-
jaya . sang sisya- majaya- jaya oleh guru nabe dengan prana bayu murti
Bhuwana.
- Tatabi
dupidipa : sisya ngayab atau natab dupa.
- Minum
air suci . siwamba (sang sisya).
- Amet
tetebus : diberikan tetebus sang sisya. dicium 3 kali kemudian ditaruh
di hulu hati (ring radaya).
- Wahi
wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal) Ini berarti pawisik
sasipanan.
- Wehi
sekar : sisya diberi sekar(bunga).
- Malaba
padambel : sisya mapedambel.
- Menyembah
: terakhir sisya menyembah mepamit pada kaki guru nabe (raris tamuita
anikel ri pada nira dang guru panembaha), lanjut menerima biseka dari
nabe.
- Demikianlah
urutan upacara diksa telah berakhir.
- Loka
Pala Sraya.
Loka Pala Sraya dapat dilakukan setelah mendapat ijin (pengesahan) dan nabe, setelah ngelinggihan puja kemudian melaksanakan tirtayatra. - Amurub
sasana (pelanggaran).
Apabila terdapat kasus yang menyimpang dan sesana sulinggih patut ditangani oleh nabe, Parisada, aparat pemerintah. - Hak
untuk mencabut status kesulinggihannya tetap pada nabe sesuai dengan
aguron- guron.
2.3.3 Kapasitas Pandita di Masa
Mendatang
Pandita yang ahli disebut Bramana
Sista. Brahmana Sista inilah menurut Manawa Dharmasastra XII.110. dapat duduk
sebagai lembaga Parisada yang memiliki peran dalam menata atau mengendalikan
penerapan ajaran Agama Hindu atau pustaka suci Weda dalam kehidupan umat Hindu.
Brahmana Sista inilah yang semakin dikuatkan kedudukan dan fungsinya di
Parisada. Karena sejak tahun 2001 Anggaran Dasar Parisada menetapkan yang
berhak menetapkan keputusan atau ketetapan Bhisama dan atau keputusan keagamaan
Hindu adalah Sabha Pandita. Isi Weda adalah kebenaran yang kekal abadi atau
Sanatana Dharma. Menurut Swami Siwananda Sanatana Dharma itu harus diterapkan
dengan konsep Nutana antinya
senantiasa ada upaya peremajaan dan penyegaran dalam sistem penerapan.
Sarasamuscaya 260 menyatakan bahwa Veda
Abhyasa artinya Weda itu harus diterapkan menjadi kebiasaan hidup.
Kebiasaan dalam adat istiadat kehidupan beragama Hindu inilah yang dalam
periode tertentu wajib diremajakan dan disegarkan oleh umat Hindu melalui
majelis tertinggi umat Hindu yang disebut Parisada ini. Karena itu menurut
Manawa Dharmasastra XII.111. yang duduk di Parisada adalah lima kelompok ahli
dan Brahmana Sista dan tiga wakil golongan yaitu mewakili Brahmacari, Grhastha
dan Wana Prastha Asrama. Sedangkan Sanyasin Asrama adalah beliau yang sudah
lepas sama sekali dengan kehidupan bersama di dunia ini. Karena itu Sanyasin Asrama
tidak duduk di lembaga Parisada.
Lima kelompok ahli Brahmana Sista itu adalah ahli Weda, ahli Mimamsa yaitu
yang ahli dalam penelitian ajaran Weda secara sistematis, ahli Nirukta yaitu
ahli tentang asal-usul bahasa Weda atau sejenis ahli etimologi. Nirukta bagian
Sadangga Weda yaitu Siksa, Kalpa,
Wyakarana, Nirukta Chanda dan Jyothesa. Ahli logika dan ahli Dharmasastra. Demikian
juga dengan seorang guru spiritual atau
Sulinggih selain sebagai narasumber dalam dunia kerohanian, maka seorang
pandita tidak hanya hafal terhadap Puja atau stawa saja, namun secara idealnya
juga harus mengetahui berbagai ilmu pengetahuan baik sruti atau smrti dan ilmu
pengetahuan yang lain.
2.3.3.1 Keterampilan Atau Kompetensi Yang Harus
Dimiliki Sulinggih
Kedudukan pandita dalam masyarakat Hindu sangatlah terhormat dan strategis.
Orang yang dapat diberi gelar pandita adalah mereka yang telah mencapai
dwijati. Pertama lahir dari rahim ibu kandung atau deha mata dan kedua lahir
dan rahimnya Weda atau Weda Mata. Dalam pustaka Nitisastra 1.6 ada dinyatakan
ciri-ciri orang yang bergelar pandita adalah Ksama (pemaaf), Mudita (berbudhi
tenang), Santosa (sabar). Upeksa (teliti), Mordawa (lemah lembut). Sastrajnya
(berpengetahuan suci), wuwus nira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan).
Bhagavad Gita IV. 19 menyatakan bahwa orang yang telah mencapai Niskama Karma
karena dicerahkan oleh Jnana Agni yang dapat disebut pandita. Artinya selalu
berbuat baik dan benar dengan tidak mengharapkan hasilnya. karena sangat yakin
akan kebenaran hukum karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya
juga baik dan benar. Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar
ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar
keabadian berupa hidup yang abadi.
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH
PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH
SANATANAH
artinya: maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh
Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista
(Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang
menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Berdasarkan sloka diatas bahwa seorang
Sulinggih harus mempunyai kompetensi yang harus dimiliki dan harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal dalam membimbing umatnya, dalam hal
ini adalah :
1.
Sang Satya Wadi
Pengertian tentang Satya Wadi adalah
selalu benar, dalam menyampaikan dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat
Hindu pada umumnya. Karena seorang Pandita ini merupakan teladan bagi umat yang
selalu dijadikan contoh dalam kehidupan sosial keagamaan. Selain itu, satya
vadi berarti mewartakan kebenaran dan mengatakan yang benar dengan jujur, hal
ini tersurat dalam kakawin Nitisastra VI : 2 bahwa :
Tidak ada kewajiban yang lebih baik dari
pada cinta pada kebenaran, wajiblah orang itu berusaha mennepati kebenaran itu,
tidak ada kawah yang laing mengerikan
dari pada penghukum si pembohong, dari itu janganlah berbohong karena dewa
agni, surya, candra, yama dan Bayu menjadi saksi ketiga jagad ini. Jika ingin
dipuji diseluruh dunia maka berkatalah yang benar walaupun sampai mendatangkan
ajal.
Berdasarkan sloka diatas jelaslah bahwa
kebenaran adalah hal yang tertinggi karena dewa agni, candra, surya, yama dan
bayu sebagai saksi atas kebenaran itu, dengan demikian bahwa pandita merupakan
sumber panutan kepada umatnya sehingga beliau disebut sebagai acharya deva
bhavo artinya : seorang pandita merupakan perwujudan dari dewata. Selanjutnya
makna satya menurut Aharva Veda XII, 1.1 mengatakan bahwa kebenaran merupakan
ajaran yang sama dengan kepercayaan kepaa Tuhan, demikian juga dalam Rg Veda
VIII.62.12 menjelaskan bahwa satya merupakan sifat dari Tuhan (Pudja, 1984 :10
dalam Satuan Mahagotra Pasek, 2011 :30). Selanjutnya satya atau kebenaran
menurut Saiva Sidhanta bahwa seseorang yang telah melaksanakan diksa disebut Ngalinggihang Siva ring sarira yang
telah memahami adanya Sivalingga tahapan bahwa siva telah memasuki badan
manusia dan Atmalingga tahapan jiwa telah menyatu dengan sang Hyang Siva.
Selain itu, untuk mewujudkan adanya satya
ini maka seorang pandita harus mampu untuk melaksanakan Vrata, hal ini
diajarakan dalam kitab Silakrama yang meliputi adanya Panca yama brata dan
panca nyama Brata, sedangkan menurut Sarasamuccaya 258-260 adanya dasa yama
brata dan dasa nyama brata. Selanjutnya mampu untuk melaksanakan diksa, karena
ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar kepanditaan, untuk itu beliau
selalu melakukan penyucian diri baik lahir maupun batin
2.
Sang Apta
Hal ini berarti orang yang bisa dipercaya, karena selalu berkata
benar, sehingga seorang pandita itu janganlah sampai mendapat kata kasar dari
orang lain. Untuk dapat dipercaya oleh umatnya seorang Sulinggih harus mampu
untuk memahami hakekat kebenaran dan tahu tentang cara menyampaikan kebenaran,
selain itu juga seorang sulinggih harus mempunyai moralitas dan kepribadian,
konsekuen dalam melaksanakan swadharma dan menghindarkan diri dari perilaku
yang menyebabkan patita.
Seorang pandita sudah terjun kedalam dunia
spiritual dia harus selalu menjaga moralitas yang luhur, seperti yang
dijelaskan dalam Bhagavad XII : sloka 13, yang artinya “Dia yang tidak membenci
segala makhluk, memiliki sifat bersahabat dan penuh cinta kasih, bebas dari
keakuan dan keangkuhan sama dalam suka
dan duka dan rela memaafkan”. Berdasarkan sloka ini menujukan bahwa seseorang
yang telah menelekuni dunia spiritual maka dia harus mampu untuk mengekang hawa
nafsunya untuk mencapai hidup yang bahagia baik dunia skala dan niskala, karena
yang dijadikan pegangan oleh para umat kebanyakan adalah seseorang yang telah
terjun dalam dunia spiritual harus mempunyai telenta yang kuat dalam
menjalankan hidup ini agar tidak terjebak dalam dunia yang penuh dengan
kesengsaraan.
3.
Sang Patirthan
Hal ini maksudnya adalah orang yang selalu
memberikan penyucian bagi umatnya. Hal ini maksudnya adalah menuntun umat untuk
selalu hidup suci agar terhindar dari perbuatan yang tercela untuk mewujudkan
hidup yang bahagia. Seseorang sadhaka yang selalu menjaga kesucian atau
suddha untuk mampy melahirkan siddhis
atau kekuatan untuk mencapai sidhha atau kebahgaiaan. Dalam hal ini seeorang
yang telah mencapai kesucian harus selalu berpegang pada kode etik pandita yang
dijabarkan dengan brata dan sesana sebagai landasan dalam pemahaman keagamaan.
Karena perannya sangat vital maka yang harus dilakukan oleh seorang padita
adaalh dengan melakukan yang disebut dengan Mantra, yantra dan mudra. Hal ini
dilakukan untuk memberikan pelalayaan kepada umat dalam melakukan Lokapalasraya
sesuai jenis dan tingkatan dari pada yajna.
4.
Sang Penadahan Upadesa
Hal
ini maksudnya adalah dengan selalu memberikan wacana dan pendidikan moral
kepada umat. Terkait dengan tugasnya sebagai sang penadahan upadesa, maka
fungsi dari pandita ini adalah sebagai pendidik, guru yang dijadikan narasumber
untuk menuntuk umat menuju hidup yang sentosa. Dalam hal ini seorang padnita
harus mempunyai kemampuan dalammenguasai Veda dalam pengamalannya dalam
kehidupan, karena Veda merupakan ajaran yang sangat luas dan menjadi sumber
dalam pedoman hidup manusia. Sekanjutnya seorang pandita harus memahami
perkembangan jaman, hal ini dimaksudkan adalah dalam penyampaian ajaran dharma
maka yang perlu diperhatikan oleh seorang sulnggih adalah dengan membrikan
pemahaman umat sesuai dengan perkembangan jaman sehingga dalam hal ini
umat tidak mempunyai kesan kuno dalam penyapaian ajaran agama Hindu.
Berkaitan
dengan uraian diatas bahwa yang harus dimiliki oleh seorang pandita adalah
dengan memberikan pemahaman kepada umat tentang adanya pembenahan internalisasi
agama, mengadapai kemajemukan beragama dan melakukan gerakan untuk
menghilangkan fanatisme agama melalui gerakan rasionalisme agama. Hal ini dilakukan adalah bertujuan
untuk mewujudkan pendalaman tentang adanya pemahaman tentang adanya religius
literacy atau kemelekan beragama. Dan hal yang tidak boleh dilupakan dalam
kemampuan seorang pandita adalah dengan selalu membuka diri untuk berdialog dengan
umat sehingga keterbukaan, toleransi dapat duwujudkan dalam kehidupan sosial
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
2.3.3.2 Kepekaan Terhadap
Perkembangan Jaman
Kemampuan
seorang pandita tidak hanya cakap dalam hal keagamaan, akan tetapi harus
memiliki skill (keterampilan) dalam hal yang berhubungan dengan Ilmu
Pengetahuan Tekhnologi dan Komunikasi (IPTEK). Jadi kecakapan dari seorang
pandita ini harus mempunyai kemampuan yang luas, baik dari segi keagamaan, yaitu
menguasai pengetahuan tentang Veda dan sesana kepanditaan juga harus mengikuti
perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman sekarang ini, yaitu harus tetap
terbuka pada perkembangan tekhnologi dan informasi yang sangat pesat dewasa
ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan harus mampu menguasai IT tersebut
dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan kondisi umat Hindu yang sedang
berkembang di jaman yang penuh dengan modernitas.
Disamping
itu adalah kemampuan tentang adanya pemahaman tentang bahasa, baik itu yang
digunakan dalam penyampaian materi kepada umat berupa bahasa pengantar bahasa
Indonesia, juga harus mampu menggunakan bahasa jawa kuno dan bahasa sansekerta
karena teks kitab suci Hindu sebagian besar adalah menggunakan bahasa
sansekerta dan bahasa jawa kuno. Dan tidak kalah pentingnya adalah
penggunaan bahasa inggris yang tidak
menutup kemungkinan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu harus mengunakan
bahasa tersebut sebagai bahasa Internasional. Kemudian hal yang harus dimiliki
oleh seorang sulinggih adalah penggunaan IT yang sebagai media yang mutlak
dikuasai dalam menjalin informasi dengan umat Hindu pada umumnya. Dengan
demikian, keterampilan yang harus
dimiliki oleh seorang sulinggih dimasa depan adalah harus mampu untuk
menyesuaikan dan mampu melakukan filterisasi dalam perkembangan jaman yang penuh dengan dinamika ini.
BAB
III
KESIMPULAN
Karena
kedudukannya sangat dihormati oleh umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada
perubahan status dari sang walaka menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila
keagamaan sudah mempunyai status sebagai seorang Pandita, yang berubah nama
yang disebut amari-aran, merubah
atribut (amari wesa) dan merubah
aktivitas kehidupan (amari wisaya).
Perubahan dan pandangan masyarakat
tentang dirinya ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari pengakuan
masyarakat terhadap kedudukan sulinggih. Selanjutnya bukan hanya masyarakat
Hindu yang dituntu untuk melaksanakan tata-titi
atau aturan kemasyarakatan saja, melainkan pada diri sulinggih juga dituntut
untuk keteguhannya untuk melaksanakan dharmaning
kawikon dan taat terhadap sasana kawikon serta menerapkan dasadharma kapanditaan.
Swadharma orang yang disebut pandita adalah Satya Vadi senantiasa
mewacanakan kebenaran suci Weda yang disebut Satya. Sang Apta orang yang selalu
mendapatkan kepercayaan umat secara luas. Sang Patirthan yaitu orang yang
senantiasa memberikan penyucian pada masyarakat. Sang Panadahan Upadesa yaitu
selalu memberikan atau menyebarkan pendidikan kerohanian pada masyarakat.
Demikianlah utamanya beliau yang disebut pandita menurut pustaka suci Hindu.
Karena pada dasarnya proses inisiasi dari walaka menuju sadhaka merupakan
sesuatu yang bersifat sakral yang harus dijalankan dengan penuh keyakinan dalam
pelaksanaannya terutama tentang sesana kepanditaan yang harus dilaksanakan
penuh dengan komitmen. Kecakapan dari seorang pandita ini harus
mempunyai kemampuan yang luas, baik dari segi keagamaan,yaitu menguasai
pengetahuan tentang Veda dan sesana kepanditaan juga harus mengikuti
perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman sekarang ini, yaitu harus tetap
terbuka pada perkembangan tekhnologi dan informasi yang sangat pesat dewasa
ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan harus mampu menguasai IT tersebut
dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan kondisi umat Hindu yang sedang
berkembang di jaman yang penuh dengan modernitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Kajeng, I Nyoman
dkk.1999. Sarasamuccaya Teks Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya : Paramita.
Made, Ngakan Madrasuta. 2005. Hindu Akan Ada Selamanya cet I. Jakarta : Media Hindu.
Pandit, Bansi. 2006.
Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah
IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Puja, G, Tjokorda
Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium
Hukum Hindu. Jakarta:
CV Felita Nursatama Lestari.
Puja, G, Tjokorda
Rai Sudharta. 2002. Bhagavad-Gita
(Pancama Veda). Surabaya : Paramita.
0 Response to "Pandita Masa Depan"
Post a Comment