Yajna Pada Jaman Kaliyuga

Kewajiban Manusia
Pada Zaman Kaliyuga

                                                                 Oleh : Hardi 




Anye krtayuge dharmastre
tayam dwapere” pare
anye kaliyuge nrrnam
yugahrasa nurupatah
Terjemahan
Kewajiban manusia di zaman krtayuga berbeda macamnya dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di zaman tretayuga dan di zaman dwapara demikian
pula di zaman kaliyuga, sesuai menurut panjangnya masa yang semakin
berkurang (Mds. I. 85)

I. Pendahuluan
                  Agama Hindu mengenal adanya 4 (empat) zaman yang disebut “Catur Yuga” yang terdiri dan : Krtayuga, Trta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh kedamaian dimana pada masa tersebut tidak ada manusia yang berbuat adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa itu selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Yang ada dalam kehidupan manusia pada masa tersebut adalah : berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan diatas jalannya dharma sehingga jaman tersebut sering juga dinamakan: Zaman Satya Yuga yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup didalam kesetiaan. “Masa kertayuga ini berlangsung selama 1.460.000 tahun manusia dengan ketentuan masa berikutnya berkurang satu”. (Penjelasan Manawadharmasastra hal. 45).
                 Zaman selanjutnya disebut Trta Yuga yang merupakan masa kedua dari catur yuga. Pada masa ini pikiran manusia mulai dikotori oleh sesuatu kejahatan untuk menghancurkan manusia lainnya. “Pada masa ini mulailah muncul kerajaan-kerajaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya. Masa ini diawali dengan kehancuran Kerajaan Arjuna Sashrabahu dan diakhiri dengan runtuhnya kerajaan Sri Rama: (I Ketut Nila, Penjelasan Mata Kuliah Wiracarita STKIP Agama Hindu Singaraja th. 1988). Sedangkan zaman ketiga disebut zaman Dwapara Yuga, dirnana pada masa ini manusia sudah mulai berwatak dua yakni sebagian dirinya merupakan kebaikan dan sebagian lainnya tersimpan kejahatan. Pada zaman ini manusia sudah mulai merasa pamrih untuk membantu orang lain, maksudnya mereka membantu orang lain karena ada maksud dan tujuan untuk mendapatkan imbalan dari pekerjaan yang dilakoninya. “Zaman ini diakhiri oleh pemerintahan Parikesit yang merupakan cucunya dari Arjuna”. (I Ketut Nila Mata Kuliah Wiracarita STKIP Agama Hindu Singaraja th. 1988). Demikianlah uraian mengenai 3 (tiga) yuga yang mendahului zaman Kali Yuga. 

II. Kewajiban manusia pada zaman Kaliyuga.
Kaliyuga adalah merupakan zaman terakhir menurut ajaran Agama Hindu. Bila ditinjau dari segi arti katanya, kaliyuga adalah merupakan kebalikan dari zaman Krta/Satya Yuga, dimana kalau pada zaman krta yuga hati manusia benar-benar tertuju kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengembali alam beserta isinya, maka pada zaman kaliyuga kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari manusia. Pada zaman ini apabila manusia sudah dapat memenuhi segala sesuatu yang bersifat keduniawian baik itu berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan) maka puaslah orang tersebut. Sesungguhnya kewajiban utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah: berdana punya sebagaimana dinyatakan dalam kitab Parasara Dharmasastra sebagai berikut:
Tapah Param Krtayuge Tretayam Jnananucyate
Dvapare Yajnamityacurddanam Ekam kalau yuge.
Terjemahan : 
Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kewajiban pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jnana) pada tretayuga; pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dwaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga (Parasara Dharmasastra 1,23). 


Dari uraian di atas sangat jelas terlihat bahwa berdana adalah merupakan kewajiban manusia pada zaman kaliyuga. Namun dalam kehidupan sekarang ini kita melihat banyak orang kaya yang kikir dan tidak mau mendermakan kekayaannya walaupun untuk yajna sekalipun.
Apakah yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi? Ini disebabkan oleh karena mereka beranggapan bahwa makin sering bersedekah maka makin berkuranglah harta miliknya. Pandangan yang demikian adalah sangat keliru karena sesungguhnya makin banyak kita bersedekah maka makin banyak pula kenikmatan yang akan diperoleh sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sarasamuscaya sebagai berikut:
Kuneng phalaning tyagadana yawat katemung bhogapabhoga ring palaloka dlaha, yapwan phalaning sewaka ring wwang kabayan, katemung medaguna, si yatnan kitatutur, kuneng phalaning ahingsa, si tan pamati-mati, kadirghayusan mangka ling sang pandita.
Artinya:
Maka hasil pemberian sedekah yang berlimpah-limpah adalah diperolehnya berbagai kenikmatan di dunia lain kelak; akan pahala pengabdian kepada orang tua-tua adalah diperolehnya hikmah kebijaksanaan yaitu tetap waspada dan sadar, adapun akibat ahimsa yaitu tidak melakukan perbuatan membunuh adalah usia panjang; demikian kata sang pandita (orang arif bijaksana). (S.S. Sloka 171).
Oleh sebab itulah mengingat berdana punya merupakan kewajiban utama pada zaman kaliyuga ini marilah kita mencoba membuka hati kita untuk melaksanakan dana punya. Kitab Sarasamuscaya memberikan tuntutan agar dapat melatih diri untuk berdana punya sebagai berikut:
Kuneng tekapanika sang mataki-taki dana karma, alpa wastu sakareng danakena, kadyangganingprat, lunggat, lutik, bungkila, samsam prakara, telas parityaga pwa irika, licin anglugas alaris ri kawehanya, makanimittang abhyasa,
dadya ika mehakena rah dagingnya mene,
Artinya:
Bagi orang yang melatih atau menguji diri untuk perbuatan memberikan sedekah, hendaknya dengan cara memberikan sedekah barang-barang yang tak berarti untuk sementara, sebagai misalnya salur-saluran, pucuk tumbuh-tumbuhan, tunas tanam-tanaman, umbi-umbian dan semacamnya tanam-tanaman yang daunnya boleh dimakan; jika untuk itu telah ada keikhlasan pengorbanan, licin, bebas dan lancar jalannya pemberian sedekah itu disebabkan karena telah merupakan kebiasaan dapat terjadi bahwa orang itu akan memberikan darah dagingnya sendiri nanti. (S.S. Sloka 212).
Setelah kita menyadari bahwa betapa besarnya pahala berdana punya tersebut bagi kehidupan kita, alangkah mulianya bila kita dapat menjadi tauladan dalam hal bersedekah, janganlah hanya dapat memberikan nasehat orang untuk dapat bersedekah, namun dirinya tidak pernah melaksanakan. Jika hal ini dilakukan, betapa nistanya kata-kata yang diucapkannya, karena sesungguhnya apa yang disampaikan akan sia-sia dan tiada akan membuahkan hasil sebagaimana diungkapkan dalam Sarasamusccaya sebagai berikut:
Kunang ikang wwang mapitutur juga, makon agawaya danapunya, akweh akadika tuwi, ikang wwang mangkana kramanya, ya ika tan siddhasadhya dlaha, wiluma asingsesta prayojananya, kadi kramaning kliba, tan paphala polahnya.
Artinya:
Tetapi orang yang hanya memberi ingat atau nasehat saja menyuruh agar berbuat kebajikan memberi sedekah, baik banyak ataupun sedikit, orang yang demikian prilakunya, adalah tidak kesampaian maksudnya kelak, sekalian cita-cita dan tujuannya akan sia-sia, sebagai keadaan seorang mati pucuk (mandul) tidak berhasil perbuatannya (S.S. Sloka 214),
Perbuatan itu sama hasilnya dengan memberikan punya dengan hati marah akan tidak menuai hasil sama sekali seperti diungkapkan dalam lontar Slokantara sebagai berikut:
Walaupun seandainya dana itu berjumlah amat besar. Tetapi diberikan dengan hati marah Akhirnya tidak berbeda dengan abu. Dan setumpuk ilalang dibakar oleh api yang kecil saja. (Sloka 20 (5)).
Oleh karena itu, marilah kita berusaha melatih diri untuk mampu berdana punya sesuai dengan kemampuan kita, walau sekecil apapun karena yang terpenting dalam bersedekah adalah ketulusan hati dan bukan dengan kesombongan, gen gsi ataupun dengan maksud memamerkan kekayaan. Di dalam kitab Sarasamusccaya diungkapkan secara jelas mengenai hal tersebut sebagai berikut:
Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya, agong phalanika, yadyapin akweha tuwi; mangke welkang tuwi, yan antukning anyaya, nisphala ika, kalinganya, tan si kweh, tan si kedik, amuhara kweh kedik ning danaphala, kaneng paramarthanya, nyayanyaya ning dana juga.
Artinya:
Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya; meski banyak apalagi menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu; tegasnya, bukan yang banyak atau bukan yang sedikit, menyebabkan banyak atau sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu (S.S. Sloka 184).
Hal senada diungkapkan pula dalam Lontar Slokantara, sebagai berikut:
Walaupun dana itu berjumlah kecil dan tidak berarti,
Tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira
Sebagai halnya sebuah biji pohon beringin.
(Sloka 194). 

Dari beberapa kutipan sloka di atas, dapatlah diambil intisarinya bahwa kewajiban utama manusia pada zaman Kaliyuga adalah melaksanakan dana punya, dimana sedekah tersebut semestinya dilakukan dengan hati yang suci dan ikhlas bukan dengan jalan memamerkan diri terlebih-lebih dengan harapan untuk mendapatkan pujian, sia-sialah semuanya itu.Selain itu, bahwa dana punia yang kita lakukan merupakan sebuah anugerah dari Hyang Widhi yang juga harus dibagi pada orang-orang yang membutuhkan. Dan dalam memberikan ini hendaknya kita jangan berharap bahwa akan mendapatkan lebih dari itu karena dalam kepercayaan Hindu bahwa setiap yang akan kita lakukan itu akan mendapatkan phala (hasil perbuatan) agar mendapatkan pencerahan rohani. Banyak orang dalam kehidupan ini ketika memberi berharap untuk mendapatkan imbalan yang lebih berupa benda-benda material. Akan tetapi, hal ini merupakan tujuan yang bersifat sementara tetapi jauh dari itu ada sebuah tujuan mulia yaitu sebuah kesadaran spiritual dalam memandang dunia material ini. Karena sesungguhnya dunia material ini bersifat sementara dan yang nyata adalah kebahagiaan Rohani yang menghantarkan seseorang pada gerbang dari pintu kedamaian yang disebut dengan pelayanan (sevanam) kepada semua makhluk.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Yajna Pada Jaman Kaliyuga"

Post a Comment