Pendidikan Hindu: Tantangan dan Peluang



MEREKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN HINDU DALAM UPAYA MENUMBUHKEMBANGKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK UNTUK MENJADI INSAN CERDAS DAN KOMPETITIF

Oleh :

Untung Suhardi
Dosen Jurusan Penerangan Agama di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didalamnya membahas tentang pemahaman ulang tentang sistem pendidikan Hindu dalam upayanya untuk menumbuhkembangkan budi pekerti pada anak. Penelitian ini diketengahkan karena sistem pendidikan Hindu, seperti gurukula, asrhama, mandala yang digunakan oleh guru pada masa silam baik di India sampai dengan masa Majapahit banyak digunakan oleh pendidikan setelahnya seperti; pesantren, pasraman dan bahkan pendidikan nasional. Keadaan ini menjadi tidak jelas ketika sistem pendidikan Hindu hanya dimaknai dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi sebenarnya bidang yang dipelajari sejalan dengan pendidikan Hindu modern mulai dari awal perkembangan siswa sampai dengan tingkat tinggi dan tujuan pendidikan nasional. Hasil Penelitian ini adalah sistem pendidikan Hindu ini tidak sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia melainkan menyesuaikan dengan pendidikan formal yang ada. Sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan pendidikan informal dalam bentuk pendidikan pasraman yang dikembangkan antara sistem pendidikan yang bernafaskan Hindu dengan kurikulum yang digunakan mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Tulisan ini menghadirkan esensi dari sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan nasional yang keduanya memiliki tujuan bahwa pendidikan harus ada hasil berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, sinergi pelaksanaan pendidikan Hindu dengan pendidikan nasional harus diwujudkan untuk mencapai insan indonesia yang unggul dan kompetitif dalam segala bidang kehidupan untuk mengahadapi era globalisasi.

Kata Kunci : Pendidikan Hindu, Pendidikan Nasional, tingkah laku dan budi pekerti

ABSTRACT

RECONSTRUCT THE EDUCATIONAL SYSTEM IN AN EFFORT TO GROWING THE HINDU MANNERS IN CHILDREN FOR BEING SMART AND COMPETITIVE EMPLOYEE

This research used the qualitative approach which discusses about the re-understanding of the education system in an attempt to growing the Hindu manners in children. The research of Surat due to Hindu educational system, such as the gurukula, asrhama, mandala is used by teachers in the past both in India up to the Majapahit era is widely used by later such as education; boarding school, pasraman and even the national education. This situation became unclear when Hindu educational system meant only with religious activities, but is actually a field study in line with the modern Hindu education starting from the beginning of the development of students up to high levels and goals of national education. The results of this research were Hindu educational system is not fully implemented in Indonesia but rather adapt to the existing formal education. So in their implementation was carried out in the form of informal education pasraman education developed between education system taking Hindu with a curriculum used follows the national education curriculum. This paper presents the essence of Hindu educational system with the national education system, both of which have a purpose that education must be the result of the knowledge, attitudes and skills. Therefore, the implementation of the synergies of the Hindu education with national education should be implemented to achieve a winning Indonesian people and competitive in all areas of life in the confront era of globalization.

Keywords: Education, National Education, Atitute And Manners

1.      Latar Belakang
Pendidikan sebagai salah satu hasil dari kebudayaan manusia, yang menyebabkan kegiatan pendidikan tidak akan terlepas dari nilai-nilai kebudayaan manusia. Pendidikan dan kebudayaan sebagai hubungan antara proses dan isi, pendidikan adalah proses transfer kebudayaan sedangkan pendidikan sebagai usaha untuk mencapai isi tersebut. Hal ini terlihat dari berbagai kenyataan, bahwa suatu masyarakat dan bangsa maju pasti memiliki suatu sistem pendidikan yang baik. Kondisi ini dapat ditafsirkan dengan dua hal. Pertama, pendidikan di negara maju baik karena pemerintahnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, Kedua bisa jadi karena pendidikan yang baik menghasilkan dan mendorong suatu masyarakat dan bangsa menjadi maju. Kedua kemungkinan ini dapat saja terjadi, jika melihat banyak pengalaman negara yang baru saja memasuki dalam kelompok negara maju, seperti Cina dan India, kemajuan kedua negara ini karena mereka memiliki komitmen yang kuat dan kepedulian yang tinggi akan dunia pendidikan
Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kemajuan peradaban manusia, pendidikan yang baik akan mempengaruhi karakter masyarakatnya, begitu pula sebaliknya. Agama Hindu merupakan agama yang telah ada sejak dulu dan memiliki bentuk pendidikan dalam penyampaian ajaran kehinduan dengan sistem aguron-guron, termasuk zaman itihasa (Ramāyana dan Mahābhārata) dan purana (Titib, 2003: 15). Pendidikan Hindu tidak saja terbatas pada ajaran apara widya tetapi juga para widya, sehingga perpaduan kedua ajaran tersebut melahirkan kecerdasan jasmani dan rohani. Kecerdasan jasmani tanpa diikuti kecerdasan rohani menyebabkan awidya, akibatnya ilmu yang dimiliki tidak berguna bagi kehidupan masyarakat.
Padahal kalau dikaji sejarah berkembangnya Hindu di dunia, khususnya di India, pada dasarnya Hindu memiliki pola pendidikan tradisional yang sangat sistematis dan terlembaga. Menurut (Sharmah, 1978 dalam Titib, 2003: 122) bahwa agama Hindu telah mengenal sistem pendidikan agama yang terlembaga, yang merupakan ciri khas pendidikan Hindu sejak masa awal perkembangannya. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan lahirnya kitab-kitab upanisad yang merupakan bagian dari kitab Veda. Kata upanisad dalam bahasa Sanskerta secara harfiah berarti “duduk di dekat kaki guru”. Dalam pengertian yang lebih luas, kitab upanisad berarti kitab-kitab Veda yang berisi ajaran spiritual yang dapat membimbing manusia kepada jalan untuk mencapai kepada Tuhan, yang diajarkan oleh seorang guru spiritual kepada para murid yang duduk dekat di hadapannya.
Pola pendidikan Hindu yang berbasis Veda seharusnya menuntut para siswa tinggal menetap di tempat kediaman guru pengasuhnya selama menuntut ilmu pengetahuan spiritual yang terkandung dalam kitab-kitab Weda (Achyuthan, 1974),  Dalam kebudayaan Weda, pola pendidikan yang mengharuskan seorang siswa hidup dan tinggal bersama gurunya disebut pendidikan gurukula. Kata guru berarti “pendidik, pengajar”, sedangkan kula berarti ”tempat tinggal”, dapat pula diartikan sebagai “keluarga”. Jadi gurukula merupakan lembaga pendidikan tradisional Hindu yang bercirikan adanya asrama atau tempat pemondokan disekitar tempat kediaman guru, sebagai tempat tinggal bagi para siswanya selama mereka menuntut ilmu. Tempat pendidikan seperti itu sering pula disebut ashram (Titib, 2003: 121). Para pengasuh atau pemimpin ashram selain berperan sebagai guru agama, juga sekaligus menjadi pemimpin umat. Dalam perkembangannya, istilah gurukula dikenal secara luas sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional Hindu, yang bahkan menjadi pola pendidikan yang wajib diikuti oleh seseorang dalam masa awal kehidupannya. Kewajiban belajar di bawah bimbingan seorang guru spiritual yang berkualifikasi tersebut diserukan dalam banyak ayat-ayat kitab suci Weda (Bhaktivedanta, 1972).
Menurut Widyastana (2002) yang dimaksudkan dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang disamping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh siswanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstrakurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Tika (2002) menyatakan bahwa hingga saat ini di Indonesia belum ada satupun lembaga pendidikan formal setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas yang bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya banyak anak Hindu yang terpaksa bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan non Hindu, dengan konsekuensi kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut. Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya sistem pendidikan agama menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.  Selain itu, lemahnya sistem pendidikan agama Hindu di Indonesia yang diberikan selama ini ditengarai sebagai penyebab runtuh dan tenggelamnya nilai-nilai dan budaya-budaya Hindu di Indonesia (Mustika, 2002).
Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibuktikan fakta bahwa dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu telah terjadi pergeseran dari konsep dasar ajaran Hindu yang sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem dan berkelanjutan (Wiana, 2000: 17). Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas pada aspek ritual semata. Sebagai akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran agama Hindu terkesan lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan menurut Weda (Suryanto, 2002). Sehingga generasi penerusnya hanya memahami bahwa pelaksanaan kehidupan keagamaan Hindu  sebatas dimaknai dengan ritual tanpa dijelaskan maksud serta tujuan baik secara skala maupun niskala yang akhirnya umat Hindu tenggelam dalam ritual dan mengabaikan nilai-nilai tattwa dan susila yang terkandung didalamnya.
Penelitian yang dilakuan oleh Suryanto (2002), dengan membandingkan pendidikan agama Hindu yang ada di India dengan di Indonesia, pendidikan Hindu tradisional di India terbukti mampu berperan dalam melestarikan ajaran-ajaran Veda. Pelestarian ini diabadikan melalui proses pewarisan pengetahuan suci yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional keagamaan yang bernama gurukula, ashram, vidyapitha, pathasala, dan sebagainya. Dalam lembaga-lembaga inilah terjadi proses transformasi nilai-nilai dan pengetahuan Veda dari seorang guru atau acharya (orang yang menguasai pengetahuan Veda dan mendasarkan hidupnya pada ajaran-ajaran Veda) kepada para muridnya (Oka, 1992).
Hindu di India dan Hindu di Indonesia memiliki banyak persamaan. Hindu di India juga memiliki sekte-sekte yang jumlahnya sangat banyak, demikian pula sekte-sekte Hindu yang berasal dari India pernah berkembang di Indonesia terutama di Bali (Gories, 1974). Masing-masing sekte Hindu tersebut memiliki pola pewarisan ajaran dan pola regenerasi yang hampir sama (Suryanto, 2002). Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa awal perkembangan agama Hindu di Indonesia, model pendidikan gurukula tersebut pernah menjadi model pendidikan keagamaan dengan mengalami perubahan nama menjadi mandala. Berdasarkan hasil penelitian Pigeaud (1938)  dan Koentjaraningrat (1985) dinyatakan bahwa pada jaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan agama bagi rakyat umum yang diselenggarakan oleh kerajaan (Nengah Bawa Atmaja, 2010 : 43). Pigeaud menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara berangsur-angsur mandala diubah menjadi pesantren yaitu lembaga pendidikan tradisional Islam yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Hal ini dibenarkan oleh pernyataan Koentjaraningrat, seorang peneliti kebudayaan Jawa bahwa para wali mengadopsi sistem pendidikan yang ada pada masa pra-Islam itu menjadi pesantren, tanpa mengubah pola-pola yang telah ada sebelumnya.
Sisa-sisa pendidikan tradisional Hindu sebenarnya masih dapat ditemukan di Bali yang mengenal sistem Desa Pekraman dimana dalam satu Desa Pekraman harus terdapat seorang guru spiritual dan sekaligus pemimpin agama yang tinggal di sebuah Griya, yang selanjutnya juga dikenal sebagai “Surya” atau Pedanda. Sementara anggota Desa Pekraman yang lain disebut sebagai “Sisya”. Kemungkinan kata “Pakraman” ini awalnya berasal dari “Pasraman” yang diadopsi dari kata “Ashrama atau Ashram” (Darmayasa, 1984). Sayangnya, saat ini sistem Desa Pekraman yang sejalan dengan konsep Pesraman atau Ashram hampir tidak dapat ditemukan lagi. Para Pedanda yang menjadi “Surya” yang seharusnya aktif mengajarkan Sisya-nya kitab suci Veda saat ini hanya menekankan aspek upacara. Sistem yang harusnya mengijinkan proses regenerasi dimana “Sisya” dari lapisan masyarakat manapun jika memiliki kualifikasi suatu saat boleh menggantikan guru spiritualnya sebagai “Surya” sudah menyimpang akibat derasnya feodalisme dengan penerapan sistem Wangsa.
Setelah di Indonesia diadopsi menjadi sistem pesantren, terbukti bahwa pendidikan tradisional Hindu model gurukula atau mandala ternyata mampu berperan sebagai lembaga pendidikan Islam yang handal. Sementara itu, umat Hindu di Indonesia yang semestinya mewarisi dan mengembangkan model pendidikan yang bersumber pada tradisi Veda, hingga saat ini ternyata tidak memiliki sebuah sistem pendidikan formal Hindu yang tersistem dan berkelanjutan.  Jadi, adalah tindakan yang sangat tepat jika segenap jajaran umat dan pemimpin-pemimpin Hindu di Indonesia kembali ke pada sistem pendidikan Gurukula yang memang tertuang dalam Veda dibandingkan harus membentuk formulasi pendidikan Hindu yang baru yang diadopsi dari sumber lain yang mungkin malahan dapat menggerogoti dan melemahkan ajaran Hindu itu sendiri. Sistem pendidikan Gurukula yang saya maksud di sini tidak terbatas pada adopsi sistem Gurukula yang ada di India, tetapi juga dapat dilakukan dengan membangkitkan dan mengembalikan sistem pendidikan Gurukula yang penah berkembang di Indonesia seperti sistem orisinil dari Desa Pekraman atau yang lebih umum adalah pasraman yang sudah ada di seluruh Inndonesia.  
Lembaga-lembaga pendidikan tradisional keagamaan Hindu yang bernama gurukula, ashram, vidyapitha, pathasala yang pernah berkembang pesat di India dan di Indonesia dikenal dengan nama mandala dan berubah lagi menjadi pasraman. Hal ini tentunya sebagai rangkaian dinamika perjalanan pendidikan Hindu yang ada di Indonnesia, fakta yang telah ditemukan bahwa perkembangan Hindu baik di India maupun di Indonesia karena adanya model ashram yang didalamnya banyak menyelenggarakan pendidikan Hindu dari segala aspek kehidupan. Akan tetapi, mengingat bahwa kondisi pendidikan di Indonesia yang terus mengalami perubahan baik dari susunan pemerintahan, kurikulum dan aspek pendidikan lainnya yang untuk saat ini sangat tidak memungkinkan tentang pendirian pendidikan Hindu menggunakan sistem gurukula, hal yang paling dasar adalah tidak ketersediaan alokasi anggaran penyelenggaraan dari pemerintah baik pusat maupun daerah.
Untuk menyiasati hal ini lembaga pendidikan Hindu memberikan arah pendidikan dengan mengadakan pendidikan non-formal yang dilakukan di pasraman. Keberadaan pasaraman ini sebenarnya memberikan citra yang positif terhadap perkembangan pendidikan Hindu yang diselenggarakan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah. Adapun sistem pengajarannya mengadopsi dari kurikulum yang berkembang mulai dari CBSA, KBK, KTSP dan sekarang kurikulum 2013 dengan berbasis konstruksivisme (Puskurbuk RI, 2013). Pendidikan yang ditawarkan oleh Hindu mulai dari jaman upanisad sampai dengan gurukula sudah memberikan nafas proses pembelajaran yang berbasis proses. Hal yang sama ketika mengacu pada kurikulum 2013 sekarang ini juga berbasis proses yang dikemas dengan sistem pendidikan modern dengan dukungan teori pendidikan barat.
Proses pendidikan pada masa silam telah dibuktikan oleh banyak para maharsi dan sisyanya untuk belajar tentang ilmu Veda melalui garis perguruan (parampara) dan menghasilkan keluaran lulusan (output) yang berkualitas dalam menyebarkan ajaran Veda ke seluruh dunia. Fakta yang terjadi menunjukan bahwa kontribusi sistem pendidikan Hindu dalam sistem pendidikan modern secara tidak langsung banyak tercermin didalamnya, walapun dikemas dengan sangat indah melalui kebudayaan yang berkembang mengikuti lokal genius yang ada. Berangkat dari uraian ini bahwa penulis mengangkat kontribusi sistem pendidikan Hindu dalam kaitannya dengan sistem pendidikan modern yang nantinya diharapkan memberikan sumbangan terhadap kemajuan manusia baik secara intelektual, emosional dan sosial. 

2.      Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas ada beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan penulis, yaitu :
1.      Bagaimanakah sistem pendidikan Hindu yang tertuang dalam ajaran kitab suci Veda !
2.      Apasajakah kontribusi sistem pendidikan Hindu dengan tujuan nasional pendidikan yang ada di Indonesia !
3.      Bagaimanakah implementasi sistem pendidikan Hindu dalam upaya untuk menumbuhkembangkan budi pekerti anak !

3.      Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan pokok pembahasan yang dilakukan penulis yang menjadi tujuan penulis adalah :
1.      Untuk mengungkap sistem pendidikan Hindu yang tertuang dalam ajaran kitab suci Veda
2.      Untuk mengetahui kontribusi sistem pendidikan Hindu dengan tujuan nasional pendidikan yang ada di Indonesia
3.      Untuk mengetahui tentang implementasi sistem pendidikan Hindu dalam upaya untuk menumbuhkembangkan budi pekerti anak.

Adapun manfaat dalam penulisan ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kekayaan keilmuan dalam bidang agama dan budaya. Serta menambah referensi bacaan di perpustakaan dan untuk bahan dalam penelitian selanjutnya serta untuk mengisi ruang kosong dan pengembangan dari penelitian sebelumnya.

4.      Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Pengumpulan data yang digunakan dengan menggunakan wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Penentuan informan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penulis memilih dengan metoda Purposive Sampling atau ditentukan berdasarkan tujuan dan kepentingan dari data yang diharapkan oleh penulis. Kemudian dari informan itu berkembang dalam bentuk Snowballing sampling yaitu dengan cara menentukan informan yang semula jumlahnya sedikit kemudian informan itu diminta untuk memilih teman yang lain yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang dikaji untuk dijadikan informan begitu seterusnya sehingga jumlah informan semakin banyak sampai kemudian sudah dianggap mampu merepresentatifkan dari informan yang lain dan mendapatkan data yang lengkap baru kemudian diakhiri.
Dalam penelitian kualitatif yang beraliran fenomenologis lebih menitikberatkan pada kenyataan yang bersifat global, sehingga walaupun lokasinya terbatas, responden sedikit akan tetapi jika data yang tersebut merupakan kenyataan yang berlaku, maka data tersebut sudah cukup membuktikan kebenaran.
Selanjutnya dalam menganalisa hasil penelitian ini penulis melakukan serangkaian tentang pengkodifikasian tentang data yang telah dikumpulkan dan mengkombinasikannya dengan data yang sudah ada baik itu data primer ataupun data skunder (Sudarwan Danim, 2002 : 229). Berdasarkan uraian tersebut di atas penyajian data dilakukan dalam bentuk deskriptif yaitu data diuraikan dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu pengertian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5.      Pembahasan
Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (knowledge) saja, sebenarnya tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa, sehingga jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.
5.1 Pendidikan Menurut Kitab Suci Veda
Di dalam ajaran Agama Hindu, baik kitab suci Veda maupun susastra lainnya dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat (Titib, 2003: 14). Sekolah-sekolah pada jaman Veda disebut sakha atau patasala dan pada masa belakangan dikenal dengan nama ashrama. Di Bali, di samping istilah ashrama (kini disebut pasraman) dikenal pula istilah katyagan (dari kata Bahasa Sanskerta, tyaga yang berarti tempat untuk melepaskan diri dari ikatan rumah untuk belajar di sekolah) sedang komponen yang memberikan pendidikan (pendidik) dikenal dengan sebutan “tri kang sinangguh guru” yang artinya tiga yang disebut guru. Adapun ketiga guru itu adalah guru rupaka, yang berada dilingkungan rumah yaitu orang tua, guru pangajyan (dari kata adhyaya yang artinya belajar) yaitu guru yang memberikan pendidikan formal di sekolah-sekolah, dan guru wisesa seperti pemerintah, pemuka-pemuka agama atau tokoh-tokoh masyarakat.
Kegiatan pendidikan di dalam Agama Hindu, dikenal dengan istilah “aguron-guron”, atau “asewakadharma”. Pengertian pendidikan dalam Agama Hindu, tidak akan terlepas dari kedudukan kitab Veda sebagai sumber ajaran Agama Hindu. Oleh karena itu kitab Veda dan susastra Hindu lainnya berfungsi sebagai pedoman yang menuntun manusia dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, termasuk dalam kegiatan pendidikan.
Dalam sistem pendidikan menurut Veda, anak menjadi pusat perhatian, artinya anak merupakan aset dan peserta didik yang mendapat perhatian utama. Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata “putra pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra (Manavadharmasastra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Adiparva Mahabharata 74,27, juga dinyatakan sama dalam Valmiki Ramayana II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu. Kata yang lain untuk putra adalah: “sunu, atmaja, atmasambhava, nandana, kumara dan samtana”. Rupanya kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. “Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu- cucunya” (Adiparva,74,38).
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak. Tambahan pula Adiparva, Mahabharata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. “Disebutkan bahwa seorang anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali seorang anak” (74, 52, 55, 57).”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia (74, 61-63). Lebih jauh Maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa” (II.28).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak sejak usia dini, dan bahkan sejak bayi dalam kandungan atau prenatal (Titib, 2003: 45). Tentang pendidikan ini, kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III, 30. 3). “Putra dan orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Rigveda I.160.3). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami seorang putra yang gagah berani, giat bekerja, cerdas, mampu memeras Soma (tekun berbakti) dan memiliki keimanan yang mantap lahir pada keluarga kami” (Rigveda III.4.9). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah kami memperoleh putra dengan kulitnya yang kuning langsat, yang tampan, panjang umurnya, patuh kepada orang tua dan gurunya, berani dan saleh” (Rigveda II.3.9). “Wahai anak, datang dan berdirilah di atas batu ini. Kuatkanlah badanmu seperti batu ini” (Atharvaveda II.13.4). “Sesungguhnya anak laki-laki dari putra seorang ayah yang masyhur akan menjadi mulia” (Atharvaveda XX.128.3). Terjemahan mantra Veda yang terakhir ini adalah logis, bila orang tuanya memiliki nama yang harum, maka putranya memperoleh teladan yang baik menjadikan mereka mulia.
Bila diperhatikan dengan seksama, maka pendidikan menurut kitab suci Veda lebih menekankan pada pendidikan budi pekerti yang luhur, karena tujuan akhir dari pendidikan adalah karakter yang baik. Dengan karakter yang baik, serta kecerdasan, giat bekerja/suka bekerja keras, dan bertanggungjawab, maka seorang anak didik (sisya) akan sukses menatap masa depan mereka.
5.2 Kontribusi sistem pendidikan Hindu pada tujuan pendidikan nasional
Sistem pendidikan menurut Veda bahwa anak menjadi pusat perhatian, artinya anak merupakan aset dan peserta didik yang mendapat perhatian utama. Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata “putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan),
Tentang anak yang “suputra”, Maharsi Cànakya dalam bukunya Nìtisàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang “suputra” (II.16). “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman” (II.18). Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu: anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci” (IV.10). Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang “kuputra” (bertentangan dengan suputra). Tentang anak yang “kuputra” ini, Maharsi Cànakya menyatakan: “Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang “kuputra”, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (II.15). “Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik” (II.17). “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”(III.16). Hal yang sama diulangi kembali dalam Nìtisàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan”(IV.7).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Dasavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, srì, manuh, mànusa, ràja, deva, dan raksasa” . Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak seseuai hari “daúavara”-nya tersebut.
Sistem dan tujuan pendidikan menurut kitab suci di atas sejalan dengan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 3 Tahun 2003 yang mengamanatkan untuk mengembangkan kecerdasan hoslistik. Selanjutnya tentang kecerdasan holistik, di dalam buku panduan pelatihan membangun kecerdasan holistik (PMKH) (Ditjen Dikti, 2008:1-2) dijelaskan bahwa sesuai Undang Undang Pendidikan Nasional disebutkan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berkaitan dengan potensi yang dimiliki oleh seseorang maka diperlukan kecerdasan, hal ini seperti pada pemikiran Gardner (Ulianta, Jurnal pasupati, 2014) bahwa kecerdasan yang  dimiliki oleh manusia tidak hanya membahas tentang kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan sosial, emosional, kinestetik dan yang lainnya. Pada dasarnya semua kecerdasan ini saling berhubungan dengan yang lainnya untuk membentuk pribadi dari seseorang yang nantinya membentuk kepekaan sosial seseorang dalam kehidupan (Barbara K. Given, 2007: 219). Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk mewujudkan indonesia emas pada tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional berhasrat menghasilkan Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Makna Insan Indonesia Cerdas meliputi:
a.       Cerdas Intelektual (a. Gandrung akan olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif, dan imajinatif).
b.      Cerdas Emosional (a. Gandrung akan olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas terhadap kehalusan dan keindahan, serta meningkatkan kemampuan ekspresi estetis. b. Aktualisasi insan sosial yang mampu membina hubungan timbal balik, empatik dan simpatik, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan yang sadar akan hak dan kewajiban warga negara).
c.       Cerdas Spiritual (a. Gandrung akan olah hati/kalbu untuk menumbuhkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. b. Aktualisasi insan beragama mampu membina hubungan yang harmonis, menghargai kebhinekaan dalam beragama, dan menumbuhkembangkan inklusifitas beragama).
d.      Cerdas Kinestetik (a. Gandrung akan olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan trengginas. b. Aktualisasi insan adiraga).
Berangkat dari pembahasan ini bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah tingkahlaku menuju arah yang lebih baik. Pada hakekatnya keberadaan manusia adalah sebagai makhluk sosial yang bertanggungawab terhadap bangsa dan negaranya. Sehingga tujuan pendidikan ini adalah untuk menuju insan Indonesia yang kompetitif yang dalam hal ini meliputi:
1) Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
Adapun kegiatan dalam upaya mengembangkan kecerdasan holistik tersebut memperkenalkan logika, etika, humaniora, kepekaan sosial, spiritualitas dan soft skills. dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengendalian diri, integritas, moralitas, kerjasama, kepedulian sosial, dan kreatifitas.Tujuan pendidikan di atas dapat dijabarkan sebagai usaha membantu menumbuhkan sifat prima manusia atau karakter yang sempurna dalam diri seorang siswa. Para orang tua dan guru semuanya bertanggung jawab atas pendidikan anak. Para orang tua adalah guru di rumah dan para guru di sekolah adalah guru profesional. Agar sifat-sifat prima dalam diri anak berkembang, para orang tua, guru dan lingkungan masyarakat harus bekerja sama dan saling membantu. Orang tua dan guru harus mempraktekkan terlebih dahulu sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak-anak. Agar efektif, para guru harus mengajar dari hati dan menyentuh hati sang anak. Karena itu, guru perlu berbicara berdasarkan pengalaman dan bukan hanya mengulang apa yang ada di buku saja.

Pendidikan agama dan nilai-nilai kemanusiaan menggunakan cara yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam semua mata pelajaran. Di banyak negara, ada kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Negara. Selanjutnya, guru harus mengajar sesuai dengan isi kurikulum yang telah ditetapkan. Pendidikan agama dan nilai-nilai kemanusiaan tidak menghalangi isi kurikulum itu. Nilai-nilai ini hanya menunjukkan cara menggunakan kurikulum nasional dalam mengajar anak-anak sehingga berkembang sepenuhnya, karakter sempurna atau sifat-sifat prima mereka.
Di dalam Veda, seseorang yang memberikan pendidikan disebut àcàrya. Nama lainnya adalah “adhyàpaka” yang juga berarti guru, di samping kata “guru” itu sendiri, sedang siswa (perubahan dari kata sisya) disebut Brahmacàri, juga disebut “vidyàrti”, yang berarti yang mengejar dan mempelajari ilmu pengetahuan. Àcàrya berarti seseorang yang dianggap tidak hanya memberikan ilmu pengetahuannya secara teoritis kepada para siswa, tetapi juga memperbaiki karakter mereka. Pengertian àcàrya adalah: “àcàraý grahayatìti àcàryaá” yang berarti ia yang memberikan pendidikan karakter (seseorang).
Dua hal penting dalam sistem pendidikan menurut Veda adalah brahmacarya dan àcàrya dan melalui kebersamaan keduanya seorang siswa dapat meningkatkan perbaikan moralitas dan karakternya. Adalah tugas seorang guru, ketika seorang siswa menghadapnya, untuk meminta diajarkan kepadanya tentang kebenaran yang sesungguhnya yang ia ketahui (Mundaka Upaniśad I.2.13), tanpa menyembunyikan sesuatu dari padanya, untuk sesuatu yang disembunyikan akan mengakibatkan kejatuhannya (Praśna Upaniśad VI.1). Kitab Taittirìya Àraṅyaka (VII.4) menguraikan bahwa seorang guru mestinya mengajar siswanya dengan sepenuh hati dan jiwanya. Ia juga terikat, yang menurut Śatapatha Bràhmaṅa (XIV.I.1.26.27) untuk menguraikan segala sesuatunya kepada para siswa, yang tinggal selama setahun penuh (saývatsara-vàsin). Seorang guru hendaknya cukup bebas, hal itu mestinya dipahami, untuk menurunkan pengetahuan kepada siswanya, yakni pengetahuan tentang segala sesuatu yang tidak setara. Satu catatan tentang kasus-kasus tertentu tentang proses belajar mengajar yang bersifat rahasia kepada orang tertentu yang bersifat terbatas.
Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988: 259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam pendidikan menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia) meningkat kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat manusia yang memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan yang tinggi, tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniśad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta tidak lalai dan membuang waktu (satyaývàda-dharmàcara-svadhyàya-na pramadaá). Dengan memahami hakekat dan tujuan pendidikan menurut ajaran suci Veda yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa, kiranya kita dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan tersebut, mengingat ajaran suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha” yakni tidak berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku sepanjang masa.
5.3  Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam menumbuhkan budi pekerti pada anak
Ada dua cara mengajar di sekolah, pertama guru agama mengajarkan secara langsung ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan secara langsung kepada anak-anak. Kedua, diintegrasikan ajaran agama tersebut dengan semua mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah. Supaya terjadi transformasi anak-anak dengan efektif dan tertanamnya pendidikan agama dalam diri anak-anak, maka mata pelajaran agama setiap hari haruslah metoda langsung yang dapat menyentuh hati setiap diri anak.
Waktu mata pelajaran lainnya, guru-guru mata pelajaran yang lain atau guru kelas dapat mengintegrasikan pendidikan agama ke dalam pelajaran yang mereka ajarkan. Para guru harus bermufakat mengenai nilai pendidikan agama yang mereka ajaran dalam setiap minggunya. Guru agama tidak hanya mengajarkan pokok materi, tetapi lebih dari itu adalah menangkap pesan dari materi itu. Pendidikan agama, yang memancar dalam bentuk kasih sayang, mencakup 5 hal, yaitu: 1) prilaku yang benar (right action/dharmàcara) 2) kedamaian (peace/śàntiḥ) 3) kebenaran (truth/satyam) 4) cinta kasih (love/parama prema) 5) tanpa kekerasan (non violence/ahimsa).
Matematika, ilmu pengetahuan dan semua mata pelajaran lainnya digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dari pendidikan agama di atas. setiap anak akan dapat melihat contoh dan mendengarkan perilaku yang benar dan baik, mewujudkan kedamaian hati, kebenaran senantiasa jaya, cinta kasih yang tulus dan sejati serta prilaku yang jauh dari kekerasan atau penyiksaan.
Bila seorang guru agama memilik metoda secara langsung, maka digunakan metoda langsung. Di sekolah-sekolah yang menggunakan metoda langsung, bila penyampaiannya baik, maka anak-anak sangat menikmati pelajaran tersebut. Untuk itu para guru agama harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga menjadikannya menarik bagi anak-anak. Untuk membuat rencana pelajaran yang menggunakan metoda langsung dalam mengajarkan ajaran agama, maka penguasaan terhadap materi yang akan disajikan benar-benar harus disiapkan. Adapun teknik yang telah tebukti digunakan dibeberapa negara maju antara lain: 1) hening atau meditasi sebelum pelajaran dimulai (silent sitting) 2) sembahyang/berdoa (prayers) dan selesainya diterjemahkan doa tersebut kedalam bahasa yang mudah dipahami 3) berceritra, ceramah dan menjelaskan (story telling) 4) menyanyi bersama (group singing) 5) kegiatan berkelompok (group activities).
Mengingat bahwa seorang guru agama dan guru-yang lain adalah contoh seluruh siswa, maka keteladanan bagi guru sangat ditekankan. Ketika anak masih di lingkungan keluarga, pra TK dan prasekolah, maka ibu dan bapak adalah tokoh yang ideal bagi anak yang bersangkutan, tetapi demikian anak itu mengenyam pendidikan baik di TK maupundi SD maka para guru tersebut senantiasa menjadi tokoh idola bagi anak tersebut, tokoh idola akan memudar sesuai dengan evolusi dan perkembangan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan lingkungannya, tokoh-tokoh legendaris lebih atau tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang akan menjadi perhatian mereka di kemudian hari. Bhagawan Vararuci merumuskan dalam salah satu ajaran tentang perbuatan baik atau tatasusila yang bersumber pada Mahàbhàrata meliputi pikiran, wicara, dan tindakan disebut Karmapatha, yang mengandung makna jalan perbuatan, yang kemudian lebih populer dengan ajaran Trikaya Pariśuddha, seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya (73-76), sebagai berikut: Pertama: Tiga hal pengendalian pikiran, yaitu: (1) Tidak ingin memiliki dan dengki terhadap milik orang lain. (2) Tidak cepat marah (emosional). (3) Meyakini kebenaran ajaran Karmaphala (hukum pahala perbuatan). Kedua, Empat hal pengendalian perkataan, yaitu: (4). Tidak berkata jahat (tidak jujur). (5) Tidak berkata kasar dan menghardik. (6) Tidak memfitnah. (7) Tidak berbohong. Ketiga, Tiga hal pengendalian perbuatan, yakni: (8) Tidak membunuh (menyakiti) makhluk lain. (9). Tidak mencuri. (10) Tidak berzina (berhubungan seks dengan yang tidak patut). Setelah memahami ajaran Trikaya Pariśuddha di atas, maka dikemukakan beberapa kiat untuk meningkatkan implementasi pendidikan budi pekerti dalam rangka ketahanan mental dan spiritual sebagai insan beragama, sebagai berikut.
1.      Menjaga integritas diri seperti kejujuran, ketulusan, kerja keras, dan berperilaku sopan, karena hidup senantiasa menghadapi ujian. Keperibadian Indonesia, khususnya kepribadian orang Bali telah dikenal di mancanegara sebagai orang yang jujur, tulus, ikhlas, giat bekerja, sopan santun dalam berprilaku, hendaknya hal tersebut ditingkatan terus dengan senantiasa belajar terutama menyangkut ketrampilan dalam etika profesional internasional universal. Dalam ajaran Agama Hindu terdapat doktrin yang menyatakan: Satyam eva jayate. Kejujuran senantiasa menang. Satyam nasti paro Dharma, kejujuran merupakan wujud agama yang tertinggi. Ahimsa parama Dharma, tidak menyakiti hati orang lain merupakan Dharma tertinggi. Tat-tvam-asi, hendaknya memandang orang lain seperti diri kita sendiri. Sarvaprani hitankarah, semoga semua makhluk hidup sejahtra dan bahagia. Vasudhaiva kutumbhakam, semua makhluk bersaudara. Athiti devo bhava, tamu adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti dihormati dengan baik, dan sebagainya. Dengan demikian dalam pelayanan yang prima dan profesional syarat mutlak yang diperlukan adalah kejujuran (integritas), keikhlasan, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar dan bahkan melebihi standar yang diperlukan.
2.      Memahami pekerjaan, tugas dan kewajiban, serta tanggungjawab sesuai dengan swadharma masing-masing. Bahwa yang dimaksud adalah seseorang profesional di bidangnya dengan kualitas atau standar tertentu yang dibutuhkan oleh pasaran kerja di bidang pariwisata, budaya, seni, agama dan lainnya, melainkan pada seluruh bidang kehidupan ini.
3.      Mewujudkan keramah-tamahan yang sejati. Atas dasar ajaran Agama Hindu yang telah dijelaskan di atas (butir 2) maka syarat mutlak sebagai insan adalah keramah-tamahan dan bertanggung jawab dengan tidak perlu malu untuk meminta maaf bila melakukan kesalahan.
4.      Membina hubungan sosial yang mantap sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni secara vertikal (ke atas) dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan Roh Suci Leluhur. Dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan sekitar (termasuk makhluk-makhluk rendahan).
5.      Memilih pergaulan (saýsarga) yang tidak menyesatkan (menjerumuskan). Pergaulan bebas dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penderitaan. Melakukan karma-karma buruk seperti menggaruk-garuk gatal, enak pada mulanya, perih, dan luka pada akhirnya
Untuk merealisasikan atau mengimplementasikan kiat-kiat tersebut di atas, hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut.
1)       Membiasakan diri (abhyàsa). Segala sesuatu untuk mengubah karakter (sifat pribadi) seseorang adalah dengan melatih diri (drill). Jadikanlah melayani seseorang dengan ramah sebagai kebiasaan. Biasakanlah berdoa setiap saat dan dalam berbagai situasi. Bila doa diucapkan dengan hati yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa akan mengabulkan doa tersebut, seperti kebiasaan berdoa sebelum menikmati makanan, berdoa ketika melewati tempat suci, arca atau pura. Hilangkan kebiasaan mengumpat, memaki, mencaci, dan berkata-kata kasar.
2)      Mengikhlaskan diri (tyàga). Segala sesuatu yang dihadapi mesti diterima dengan ikhlas, tidak menggerutu, apalagi mengumpat dan memfitnah. Misalnya sebuah gelas milik kita pecah atau tidak sengaja dipecahkan oleh orang lain. Ikhlaskan karena sesuatu terjadi sebagai akibat dari ajaran karma yang pernah dilakukan sebelumnya.
3)      Tidak mengikatkan diri (vairàgya). Sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan, belum tentu memberikan kebahagiaan. Seseorang jangan sampai terikat (ketagihan) minum minuman keras, merokok, dan sebagainya. Mampu mengendalikan diri, seperti seorang kena penyakit diabetes diminta mengendalikan diri, utamanya berpuasa terhadap makanan tertentu.
4)      Mensyukuri (santosa). Segala sesuatu yang diterima hendaknya dapat disyukuri sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pepatah Barat menyatakan, jangan mengeluh baru tidak memiliki sepatu, coba lihat orang yang tidak mempunyai kaki.
5)      Seimbang dalam suka dan duka. Dalam suka dan duka seseorang hendaknya dapat hidup tenang. Seimbang dalam suka dan duka dapat dibandingkan dengan orang yang sedang bermain selancar di pantai, tidak selalu di atas gelombang, tapi kadang-kadang juga sekali-sekali tenggelam ke dalam air laut. Ketika kembali meniti gelombang dia tersenyum manis menikmati enaknya berselancar. Sifat-sifat inilah yang hendaknya dimiliki oleh seorang siswa dalam belajar yang tidak putus asa jika mendapatkan teguran dan masukan dari guru atau temannya.
Berdasarkan uraian di atas, peranan orang tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh-tokoh agama sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian (karakter) manusia yang akan mengantarkan seorang anak didik mampu menjadi manusia dewasa yang sempurna. Hal ini tentunya harus ada peran kedua orang tua dalam melakukan pembinaan pendidikan anak di keluarga. Sehingga, ketika anak itu tumbuh dan memasuki masa belajar maka, seorang ibu khususnya akan mempunyai andil besar dalam pembinaan perkembangan anak itu. Ada pendapat yang keliru bahwa pendidikan anak itu sepenuhnya merupakan tugas sekolah dan lembaga keagamaan. Dalam hal mendidik anak seorang ibu lebih berperan dari pada Ayahnya karena seorang ibu lebih dekat dengan anaknya selain itu, seorang ayah selalu sibuk dengan mencari nafkah untuk keluarganya. Dalam hal mendidik seorang ibu mempunyai peran utama dan lebih mendominasi dalam hal mendidik anak dari pada Ayah salah satu alasannya adalah seorang ibu lebih dekat dengan anaknya. Hal ini dijelaskan dalam Kakawin Nitisastra IV:21 yang menyatakan bahwa :

Jangan memanjakan anak, anak yang dimanjakan akan menjadi jahat dan pasti ia akan menyimpang dari jalan yang benar. Bukanlah banyak orang bijaksana yang meninggalkan anaknya (perlu bertapa), apalagi istrinya. Jika kita dapat menggunakan peraturan ketertiban dan hukuman dengan seksama, maka anak itu akan menjadi baik perangainya lagi berpengetahuan, anak yang semacam itu akan dihormati oleh wanita dan disayangi serta dihargai oleh orang-orang baik (Tim Penyusun PGAHN, 1987 : 35).

Dengan demikian, seorang ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak haruslah mengajari anak tersebut dengan budi pekerti yang sehat dan moral yang tinggi, karena pendidikan yang harmonis adalah pendidikan yang meliputi kecerdasan akal, pikiran dan mental spiritual. Pendidikan inilah dimulai ketika bayi masih dalam kandungan ibunya sudah mengalami pendidikan yaitu pendidikan prenatal. Oleh karena itu, seorang ibu dalam saat itu haruslah berhati-hati dalam segala pikiran, ucapan dan tindakan. Dalam hal ini Napoleon Bonaparte mengatakan “Pengetahuan dan budi pekerti yang luhur yang dimiliki oleh seorang ibu merupakan jembatan emas yang akan dilalui oleh anak-anaknya menuju pantai kebahagiaan”. Dalam hal inilah seorang ibu mempunyai tugas yang berat dalam mendidik anak-anaknya agar dikemudian hari anak tersebut menuai kesuksesan.
6.      Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas maka mengimplementasikan pendidikan Agama Hindu berbasis global adalah mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, membangun kecerdasan yang seimbang antara spiritual, intelektual, emosional, dan kinestetika serta dengan metode yang akrab antara guru atau orang tua dan peserta didik serta sebanyak mungkin memberikan contoh dan keteladanan. Sistem pendidikan yang terdapat dalam susastra Veda telah banyak memberikan petunjuk bahwa di dalamnya ada gurukula dengan menggunakan asrama dengan sistem pendidikan guru dan murid dalam satu sekolah dengan lama studi yang telah ditentukan.
            Tentunya sistem pendidikan Hindu ini tidak sepenuhnya dilaksanakan  di Indonesia melainkan menyesuaikan dengan pendidikan formal yang ada. Sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan pendidikan informal dalam bentuk pendidikan pasraman yang dikembangkan antara sistem pendidikan yang bernafaskan Hindu dengan kurikulum yang digunakan mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Tulisan ini menghadirkan esensi dari sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan nasional yang keduanya memiliki tujuan bahwa pendidikan harus ada hasil berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, sinergi pelaksanaan pendidikan Hindu dengan pendidikan nasional harus diwujudkan untuk mencapai insan indonesia yang unggul dan kompetitif dalam segala bidang kehidupan dalam mengahadapi era globalisasi.
Daftar Pustaka

Achyuthan, M. (1974). Educational practices in Manu, Panini and Kautilya. Trivandrum: M. Easwaran, College Book House.
Bhaktivedanta, A.C. (1972). Bhagavad-gita As-It-Is. Singapore: Bhaktivedanta Book Trust.
Boeree, George. 2008. Metoda Pembelajaran Dan Pengajaran (Kritik Dan Sugesti Terhadap Dunia Pendidikan Embelajaran Dan Pengajaran). Yogyakarta: Arruzz Media.
Darmayasa, Made (1984). Vaisnava Dharma, Denpasar: ____.
Given, Barbara. 2007. Brain Based Teaching (Merancang Kegiatan Belajar Mengajar Yang Melibatkan Otak Emosional. Sosial. Kognitif, Kinestetis Dan Reflektif. Bandung : Mizan Pustaka.
Gories, R. (1954). Prasasti Bali I dan II. Bandung : C.V. Masa Baru
Koentjaraningrat. (1985). Javanese culture. Singapore: Oxford University Press.
Mustika, Made. (2002). Disfungsi pendidikan Hindu. Majalah Hindu Raditya. No 61 Agustus 2002.
Oka, Gedong. (1992). Menyelaraskan pola pendidikan tradisional Hindu dengan dinamika pembangunan. Surabaya : Team Pembina Kerohanian Hindu ITS
Pigeaud, Th. (1938). Javaansche volksvertoningen (performances of the Javanese people).  Batavia : Volkslectuur.
Poerbatjaraka, RMNg. 1983. Nitisastra Kakawin. Denpasar, Bali: Pemerintah Daerah           Tingkat I Bali.
Puja G, Sudharta Tjokordha Rai.2005. Manavadharmasastra (Veda Smerti). Surabaya: Penerbit Paramita.
Radhakrishnan, S. 1990. Principal Upaniûads. Centenary Edition, Oxford University Press: New Delhi-Bombay-Banares.
Sarmah, J. (1978). Philosophy of education in the Upanisads. India : Gauhaty University.
Satyavrata Siddhantalankar. 1980. Exposition of Vedic Thought. New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Sivananda Swami. 1988. All About Hinduism. Himalaya, India: A Divine Life Socoety,
Suryanto. (2004). Problematika Penyelenggaraan Pendidikan  Berbasis Hindu  Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan  Hindu Tradisional Model Gurukula Di India. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.
Tika, N. & Setia, P. (2002). Mengatasi problema proselisasi. Majalah Hindu Raditya, No 61 Agustus 2002.
Titib, I Made. 1996.Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Titib, I Made.2008. Buku Panduan Pelatihan Membangun Kecerdasan Holistik (PMKH). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Wiana, Ketut. (2002). Penerapan ajaran Weda di Bali.  Majalah Hindu Raditya     No 35 Juni 2002,
Widyastana, P.A.( 2002). Yadnya pengetahuan, menyelamatkan generasi. Majalah Hindu Raditya No 35.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendidikan Hindu: Tantangan dan Peluang"

Post a Comment