MEREKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN HINDU
DALAM UPAYA MENUMBUHKEMBANGKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK UNTUK MENJADI INSAN
CERDAS DAN KOMPETITIF
Oleh :
Untung
Suhardi
E-mail
: usuhardi@gmail.com
Dosen
Jurusan Penerangan Agama di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang didalamnya membahas tentang pemahaman
ulang tentang sistem pendidikan Hindu dalam upayanya untuk menumbuhkembangkan
budi pekerti pada anak. Penelitian ini diketengahkan karena sistem pendidikan
Hindu, seperti gurukula, asrhama, mandala yang digunakan oleh guru pada masa
silam baik di India sampai dengan masa Majapahit banyak digunakan oleh
pendidikan setelahnya seperti; pesantren, pasraman dan bahkan pendidikan
nasional. Keadaan ini menjadi tidak jelas ketika sistem pendidikan Hindu hanya
dimaknai dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi sebenarnya bidang yang
dipelajari sejalan dengan pendidikan Hindu modern mulai dari awal perkembangan
siswa sampai dengan tingkat tinggi dan tujuan pendidikan nasional. Hasil
Penelitian ini adalah sistem pendidikan Hindu ini tidak sepenuhnya dilaksanakan
di Indonesia melainkan menyesuaikan dengan pendidikan formal yang ada. Sehingga
dalam pelaksanaannya dilaksanakan pendidikan informal dalam bentuk pendidikan
pasraman yang dikembangkan antara sistem pendidikan yang bernafaskan Hindu
dengan kurikulum yang digunakan mengikuti kurikulum pendidikan nasional.
Tulisan ini menghadirkan esensi dari sistem pendidikan Hindu dengan sistem
pendidikan nasional yang keduanya memiliki tujuan bahwa pendidikan harus ada
hasil berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, sinergi
pelaksanaan pendidikan Hindu dengan pendidikan nasional harus diwujudkan untuk
mencapai insan indonesia yang unggul dan kompetitif dalam segala bidang
kehidupan untuk mengahadapi era globalisasi.
Kata Kunci
: Pendidikan Hindu, Pendidikan Nasional, tingkah laku dan budi pekerti
ABSTRACT
RECONSTRUCT
THE EDUCATIONAL SYSTEM IN AN EFFORT TO GROWING THE HINDU MANNERS IN CHILDREN
FOR BEING SMART AND COMPETITIVE EMPLOYEE
This research
used the qualitative approach which discusses about the re-understanding of the
education system in an attempt to growing the Hindu manners in children. The
research of Surat due to Hindu educational system, such as the gurukula,
asrhama, mandala is used by teachers in the past both in India up to the
Majapahit era is widely used by later such as education; boarding school,
pasraman and even the national education. This situation became unclear when
Hindu educational system meant only with religious activities, but is actually
a field study in line with the modern Hindu education starting from the
beginning of the development of students up to high levels and goals of
national education. The results of this research were Hindu educational system
is not fully implemented in Indonesia but rather adapt to the existing formal
education. So in their implementation was carried out in the form of informal
education pasraman education developed between education system taking Hindu
with a curriculum used follows the national education curriculum. This paper
presents the essence of Hindu educational system with the national education
system, both of which have a purpose that education must be the result of the
knowledge, attitudes and skills. Therefore, the implementation of the synergies
of the Hindu education with national education should be implemented to achieve
a winning Indonesian people and competitive in all areas of life in the confront
era of globalization.
Keywords: Education,
National Education, Atitute And Manners
1.
Latar
Belakang
Pendidikan sebagai
salah satu hasil dari kebudayaan manusia, yang menyebabkan kegiatan pendidikan
tidak akan terlepas dari nilai-nilai kebudayaan manusia. Pendidikan dan
kebudayaan sebagai hubungan antara proses dan isi, pendidikan adalah proses
transfer kebudayaan sedangkan pendidikan sebagai usaha untuk mencapai isi
tersebut. Hal ini terlihat dari berbagai kenyataan, bahwa suatu masyarakat dan
bangsa maju pasti memiliki suatu sistem pendidikan yang baik. Kondisi ini dapat
ditafsirkan dengan dua hal. Pertama, pendidikan di negara maju baik karena
pemerintahnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, Kedua bisa
jadi karena pendidikan yang baik menghasilkan dan mendorong suatu masyarakat
dan bangsa menjadi maju. Kedua kemungkinan ini dapat saja terjadi, jika melihat
banyak pengalaman negara yang baru saja memasuki dalam kelompok negara maju,
seperti Cina dan India, kemajuan kedua negara ini karena mereka memiliki
komitmen yang kuat dan kepedulian yang tinggi akan dunia pendidikan
Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kemajuan
peradaban manusia, pendidikan yang baik akan mempengaruhi karakter
masyarakatnya, begitu pula sebaliknya. Agama Hindu merupakan agama yang telah
ada sejak dulu dan memiliki bentuk pendidikan dalam penyampaian ajaran kehinduan
dengan sistem aguron-guron, termasuk
zaman itihasa (Ramāyana dan Mahābhārata) dan purana (Titib, 2003: 15).
Pendidikan Hindu tidak saja terbatas pada ajaran apara widya tetapi juga para
widya, sehingga perpaduan kedua ajaran tersebut melahirkan kecerdasan
jasmani dan rohani. Kecerdasan jasmani tanpa diikuti kecerdasan rohani
menyebabkan awidya, akibatnya ilmu
yang dimiliki tidak berguna bagi kehidupan masyarakat.
Padahal kalau dikaji sejarah berkembangnya
Hindu di dunia, khususnya di India, pada dasarnya Hindu memiliki pola
pendidikan tradisional yang sangat sistematis dan terlembaga. Menurut (Sharmah,
1978 dalam Titib, 2003: 122) bahwa agama Hindu telah mengenal sistem pendidikan
agama yang terlembaga, yang merupakan ciri khas pendidikan Hindu sejak masa
awal perkembangannya. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dengan lahirnya
kitab-kitab upanisad yang merupakan
bagian dari kitab Veda. Kata upanisad dalam bahasa Sanskerta secara harfiah
berarti “duduk di dekat kaki guru”. Dalam pengertian yang lebih luas, kitab
upanisad berarti kitab-kitab Veda yang berisi ajaran spiritual yang dapat
membimbing manusia kepada jalan untuk mencapai kepada Tuhan, yang diajarkan
oleh seorang guru spiritual kepada para murid yang duduk dekat di hadapannya.
Pola pendidikan Hindu yang berbasis Veda
seharusnya menuntut para siswa tinggal menetap di tempat kediaman guru
pengasuhnya selama menuntut ilmu pengetahuan spiritual yang terkandung dalam
kitab-kitab Weda (Achyuthan, 1974), Dalam kebudayaan Weda, pola pendidikan
yang mengharuskan seorang siswa hidup dan tinggal bersama gurunya disebut
pendidikan gurukula. Kata guru berarti “pendidik, pengajar”,
sedangkan kula berarti ”tempat tinggal”, dapat pula diartikan sebagai
“keluarga”. Jadi gurukula merupakan lembaga pendidikan tradisional
Hindu yang bercirikan adanya asrama atau tempat pemondokan disekitar tempat
kediaman guru, sebagai tempat tinggal bagi para siswanya selama mereka menuntut
ilmu. Tempat pendidikan seperti itu sering pula disebut ashram (Titib, 2003: 121).
Para pengasuh atau pemimpin ashram selain berperan sebagai guru
agama, juga sekaligus menjadi pemimpin umat. Dalam perkembangannya, istilah gurukula
dikenal secara luas sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional Hindu,
yang bahkan menjadi pola pendidikan yang wajib diikuti oleh seseorang dalam
masa awal kehidupannya. Kewajiban belajar di bawah bimbingan seorang guru
spiritual yang berkualifikasi tersebut diserukan dalam banyak ayat-ayat kitab
suci Weda (Bhaktivedanta, 1972).
Menurut Widyastana (2002) yang dimaksudkan
dengan sekolah berbasis Hindu adalah sekolah yang disamping memberi pelajaran
formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama
hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh siswanya, menambahkan
pelajaran-pelajaran/ekstrakurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan
mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu
dalam kehidupan nyata. Tika (2002) menyatakan bahwa hingga saat ini di
Indonesia belum ada satupun lembaga pendidikan formal setingkat sekolah dasar
hingga sekolah menengah tingkat atas yang bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya
banyak anak Hindu yang terpaksa bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan non
Hindu, dengan konsekuensi kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan
oleh sekolah tersebut. Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya
sistem pendidikan agama menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun
2003. Selain itu, lemahnya sistem pendidikan agama Hindu di Indonesia
yang diberikan selama ini ditengarai sebagai penyebab runtuh dan tenggelamnya
nilai-nilai dan budaya-budaya Hindu di Indonesia (Mustika, 2002).
Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan
Hindu di Indonesia tersebut dibuktikan fakta bahwa dalam penerapan nilai-nilai
ajaran Hindu telah terjadi pergeseran dari konsep dasar ajaran Hindu yang
sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup
lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan
yang bersistem dan berkelanjutan (Wiana, 2000: 17). Pembinaan yang dilakukan
selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas pada aspek ritual semata.
Sebagai akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh
menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran
agama Hindu terkesan lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum
disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan
menurut Weda (Suryanto, 2002). Sehingga generasi penerusnya hanya memahami bahwa
pelaksanaan kehidupan keagamaan Hindu sebatas dimaknai dengan ritual tanpa
dijelaskan maksud serta tujuan baik secara skala
maupun niskala yang akhirnya umat
Hindu tenggelam dalam ritual dan mengabaikan nilai-nilai tattwa dan susila yang
terkandung didalamnya.
Penelitian yang dilakuan oleh Suryanto (2002),
dengan membandingkan pendidikan agama Hindu yang ada di India dengan di
Indonesia, pendidikan Hindu tradisional di India terbukti mampu berperan dalam
melestarikan ajaran-ajaran Veda. Pelestarian ini diabadikan melalui proses
pewarisan pengetahuan suci yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan
tradisional keagamaan yang bernama gurukula,
ashram, vidyapitha, pathasala, dan sebagainya. Dalam lembaga-lembaga inilah
terjadi proses transformasi nilai-nilai dan pengetahuan Veda dari seorang guru
atau acharya (orang yang menguasai
pengetahuan Veda dan mendasarkan hidupnya pada ajaran-ajaran Veda) kepada para
muridnya (Oka, 1992).
Hindu di India dan Hindu di Indonesia memiliki
banyak persamaan. Hindu di India juga memiliki sekte-sekte yang jumlahnya
sangat banyak, demikian pula sekte-sekte Hindu yang berasal dari India pernah
berkembang di Indonesia terutama di Bali (Gories, 1974). Masing-masing sekte
Hindu tersebut memiliki pola pewarisan ajaran dan pola regenerasi yang hampir
sama (Suryanto, 2002). Berdasarkan kajian sejarah, dalam masa awal perkembangan
agama Hindu di Indonesia, model pendidikan gurukula
tersebut pernah menjadi model pendidikan keagamaan dengan mengalami perubahan
nama menjadi mandala. Berdasarkan
hasil penelitian Pigeaud (1938) dan Koentjaraningrat (1985) dinyatakan
bahwa pada jaman Majapahit, terdapat lembaga pendidikan Hindu yang bernama mandala, yang merupakan pusat pendidikan
agama bagi rakyat umum yang diselenggarakan oleh kerajaan (Nengah Bawa Atmaja,
2010 : 43). Pigeaud menyatakan bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, secara
berangsur-angsur mandala diubah
menjadi pesantren yaitu lembaga
pendidikan tradisional Islam yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Hal
ini dibenarkan oleh pernyataan Koentjaraningrat, seorang peneliti kebudayaan
Jawa bahwa para wali mengadopsi sistem pendidikan yang ada pada masa pra-Islam
itu menjadi pesantren, tanpa mengubah pola-pola yang telah ada sebelumnya.
Sisa-sisa pendidikan tradisional Hindu
sebenarnya masih dapat ditemukan di Bali yang mengenal sistem Desa Pekraman
dimana dalam satu Desa Pekraman harus terdapat seorang guru spiritual dan
sekaligus pemimpin agama yang tinggal di sebuah Griya, yang selanjutnya juga
dikenal sebagai “Surya” atau Pedanda. Sementara anggota Desa Pekraman
yang lain disebut sebagai “Sisya”. Kemungkinan
kata “Pakraman” ini awalnya berasal
dari “Pasraman” yang diadopsi dari kata “Ashrama
atau Ashram” (Darmayasa, 1984).
Sayangnya, saat ini sistem Desa Pekraman yang sejalan dengan konsep Pesraman atau Ashram hampir tidak dapat ditemukan lagi. Para Pedanda yang menjadi
“Surya” yang seharusnya aktif
mengajarkan Sisya-nya kitab suci Veda saat ini hanya menekankan aspek upacara.
Sistem yang harusnya mengijinkan proses regenerasi dimana “Sisya” dari lapisan masyarakat manapun jika memiliki kualifikasi
suatu saat boleh menggantikan guru spiritualnya sebagai “Surya” sudah menyimpang akibat derasnya feodalisme dengan penerapan
sistem Wangsa.
Setelah di Indonesia diadopsi menjadi sistem pesantren, terbukti bahwa pendidikan
tradisional Hindu model gurukula atau
mandala ternyata mampu berperan
sebagai lembaga pendidikan Islam yang handal. Sementara itu, umat Hindu di
Indonesia yang semestinya mewarisi dan mengembangkan model pendidikan yang
bersumber pada tradisi Veda, hingga saat ini ternyata tidak memiliki sebuah
sistem pendidikan formal Hindu yang tersistem dan berkelanjutan. Jadi,
adalah tindakan yang sangat tepat jika segenap jajaran umat dan pemimpin-pemimpin
Hindu di Indonesia kembali ke pada sistem pendidikan Gurukula yang memang tertuang dalam Veda dibandingkan harus
membentuk formulasi pendidikan Hindu yang baru yang diadopsi dari sumber lain
yang mungkin malahan dapat menggerogoti dan melemahkan ajaran Hindu itu
sendiri. Sistem pendidikan Gurukula
yang saya maksud di sini tidak terbatas pada adopsi sistem Gurukula yang ada di
India, tetapi juga dapat dilakukan dengan membangkitkan dan mengembalikan
sistem pendidikan Gurukula yang penah
berkembang di Indonesia seperti sistem orisinil dari Desa Pekraman atau yang
lebih umum adalah pasraman yang sudah ada di seluruh Inndonesia.
Lembaga-lembaga pendidikan tradisional
keagamaan Hindu yang bernama gurukula,
ashram, vidyapitha, pathasala yang pernah berkembang pesat di India dan di
Indonesia dikenal dengan nama mandala dan
berubah lagi menjadi pasraman. Hal ini tentunya sebagai rangkaian dinamika
perjalanan pendidikan Hindu yang ada di Indonnesia, fakta yang telah ditemukan
bahwa perkembangan Hindu baik di India maupun di Indonesia karena adanya model ashram yang didalamnya banyak
menyelenggarakan pendidikan Hindu dari segala aspek kehidupan. Akan tetapi,
mengingat bahwa kondisi pendidikan di Indonesia yang terus mengalami perubahan
baik dari susunan pemerintahan, kurikulum dan aspek pendidikan lainnya yang
untuk saat ini sangat tidak memungkinkan tentang pendirian pendidikan Hindu menggunakan
sistem gurukula, hal yang paling
dasar adalah tidak ketersediaan alokasi anggaran penyelenggaraan dari
pemerintah baik pusat maupun daerah.
Untuk menyiasati hal ini lembaga pendidikan
Hindu memberikan arah pendidikan dengan mengadakan pendidikan non-formal yang
dilakukan di pasraman. Keberadaan pasaraman ini sebenarnya memberikan citra
yang positif terhadap perkembangan pendidikan Hindu yang diselenggarakan mulai
dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah. Adapun sistem
pengajarannya mengadopsi dari kurikulum yang berkembang mulai dari CBSA, KBK,
KTSP dan sekarang kurikulum 2013 dengan berbasis konstruksivisme (Puskurbuk RI,
2013). Pendidikan yang ditawarkan oleh Hindu mulai dari jaman upanisad sampai
dengan gurukula sudah memberikan
nafas proses pembelajaran yang berbasis proses. Hal yang sama ketika mengacu
pada kurikulum 2013 sekarang ini juga berbasis proses yang dikemas dengan
sistem pendidikan modern dengan dukungan teori pendidikan barat.
Proses pendidikan pada masa silam telah
dibuktikan oleh banyak para maharsi dan sisyanya untuk belajar tentang ilmu
Veda melalui garis perguruan (parampara)
dan menghasilkan keluaran lulusan (output)
yang berkualitas dalam menyebarkan ajaran Veda ke seluruh dunia. Fakta yang
terjadi menunjukan bahwa kontribusi sistem pendidikan Hindu dalam sistem
pendidikan modern secara tidak langsung banyak tercermin didalamnya, walapun
dikemas dengan sangat indah melalui kebudayaan yang berkembang mengikuti lokal
genius yang ada. Berangkat dari uraian ini bahwa penulis mengangkat kontribusi
sistem pendidikan Hindu dalam kaitannya dengan sistem pendidikan modern yang
nantinya diharapkan memberikan sumbangan terhadap kemajuan manusia baik secara
intelektual, emosional dan sosial.
2.
Rumusan
Masalah
Berangkat
dari latar belakang masalah di atas ada beberapa hal yang menjadi pokok
pembahasan penulis, yaitu :
1. Bagaimanakah
sistem pendidikan Hindu yang tertuang dalam ajaran kitab suci Veda !
2. Apasajakah
kontribusi sistem pendidikan Hindu dengan tujuan nasional pendidikan yang ada
di Indonesia !
3. Bagaimanakah
implementasi sistem pendidikan Hindu dalam upaya untuk menumbuhkembangkan budi
pekerti anak !
3.
Tujuan
dan Manfaat
Berdasarkan
pokok pembahasan yang dilakukan penulis yang menjadi tujuan penulis adalah :
1. Untuk
mengungkap sistem pendidikan Hindu yang tertuang dalam ajaran kitab suci Veda
2. Untuk
mengetahui kontribusi sistem pendidikan Hindu dengan tujuan nasional pendidikan
yang ada di Indonesia
3. Untuk
mengetahui tentang implementasi sistem pendidikan Hindu dalam upaya untuk
menumbuhkembangkan budi pekerti anak.
Adapun
manfaat dalam penulisan ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan yang
kemudian menjadi kekayaan keilmuan dalam bidang agama dan budaya. Serta
menambah referensi bacaan di perpustakaan dan untuk bahan dalam penelitian
selanjutnya serta untuk mengisi ruang kosong dan pengembangan dari penelitian
sebelumnya.
4.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif,
dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Pengumpulan data yang
digunakan dengan menggunakan wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Penentuan informan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan penulis memilih dengan metoda Purposive
Sampling atau ditentukan berdasarkan tujuan dan kepentingan dari data yang
diharapkan oleh penulis. Kemudian dari informan itu berkembang dalam bentuk Snowballing sampling yaitu dengan cara
menentukan informan yang semula jumlahnya sedikit kemudian informan itu diminta
untuk memilih teman yang lain yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang
dikaji untuk dijadikan informan begitu seterusnya sehingga jumlah informan
semakin banyak sampai kemudian sudah dianggap mampu merepresentatifkan dari
informan yang lain dan mendapatkan data yang lengkap baru kemudian diakhiri.
Dalam penelitian kualitatif yang beraliran
fenomenologis lebih menitikberatkan pada kenyataan yang bersifat global,
sehingga walaupun lokasinya terbatas, responden sedikit akan tetapi jika data
yang tersebut merupakan kenyataan yang berlaku, maka data tersebut sudah cukup
membuktikan kebenaran.
Selanjutnya dalam menganalisa hasil penelitian
ini penulis melakukan serangkaian tentang pengkodifikasian tentang data yang telah
dikumpulkan dan mengkombinasikannya dengan data yang sudah ada baik itu data
primer ataupun data skunder (Sudarwan Danim, 2002 : 229). Berdasarkan uraian
tersebut di atas penyajian data dilakukan dalam bentuk deskriptif yaitu data
diuraikan dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu pengertian yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5.
Pembahasan
Pendidikan
agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai
persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang
didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk
mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas
pada transfer ilmu pengetahuan (knowledge) saja, sebenarnya tujuan
pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yakni bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi
budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab terhadap pembangunan bangsa, sehingga jelas bahwa arah dan strategi
pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan
aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.
5.1 Pendidikan Menurut Kitab Suci Veda
Di dalam ajaran Agama Hindu, baik kitab suci Veda maupun susastra
lainnya dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat
(Titib, 2003: 14). Sekolah-sekolah pada jaman Veda disebut sakha
atau patasala dan pada masa belakangan dikenal dengan nama ashrama.
Di Bali, di samping istilah ashrama (kini disebut pasraman)
dikenal pula istilah katyagan (dari kata Bahasa Sanskerta, tyaga
yang berarti tempat untuk melepaskan diri dari ikatan rumah untuk belajar di
sekolah) sedang komponen yang memberikan pendidikan (pendidik) dikenal dengan
sebutan “tri kang sinangguh guru” yang artinya tiga yang disebut guru.
Adapun ketiga guru itu adalah guru rupaka, yang berada dilingkungan
rumah yaitu orang tua, guru pangajyan (dari kata adhyaya yang
artinya belajar) yaitu guru yang memberikan pendidikan formal di
sekolah-sekolah, dan guru wisesa seperti pemerintah, pemuka-pemuka agama
atau tokoh-tokoh masyarakat.
Kegiatan pendidikan di dalam Agama Hindu, dikenal dengan istilah “aguron-guron”,
atau “asewakadharma”. Pengertian pendidikan dalam Agama Hindu, tidak
akan terlepas dari kedudukan kitab Veda sebagai sumber ajaran Agama Hindu. Oleh
karena itu kitab Veda dan susastra Hindu lainnya berfungsi sebagai pedoman yang
menuntun manusia dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, termasuk dalam
kegiatan pendidikan.
Dalam sistem pendidikan menurut Veda, anak menjadi pusat perhatian,
artinya anak merupakan aset dan peserta didik yang mendapat perhatian utama.
Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata “putra” pada
mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan
mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak
yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut put
(neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra”
(Manavadharmasastra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam
Adiparva Mahabharata 74,27, juga dinyatakan sama dalam Valmiki Ramayana
II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra
suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam
pendidikan Hindu. Kata yang lain untuk putra adalah: “sunu, atmaja,
atmasambhava, nandana, kumara dan samtana”. Rupanya kata yang terakhir ini
di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. “Seseorang dapat
menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi,
memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi
dengan kelahiran cucu- cucunya” (Adiparva,74,38).
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga
memiliki anak. Tambahan pula Adiparva, Mahabharata memandang dari sudut yang
berbeda tentang kelahiran anak ini. “Disebutkan bahwa seorang anak merupakan
pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat
menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua
terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang
berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari
bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah
demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia
erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali
seorang anak” (74, 52, 55, 57).”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan
anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai
tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak
melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan
anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia (74, 61-63). Lebih
jauh Maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak,
seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Maha
Esa” (II.28).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya
pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak
sejak usia dini, dan bahkan sejak bayi dalam kandungan atau prenatal (Titib, 2003: 45). Tentang
pendidikan ini, kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak
irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan dan melakukan
tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di
antara mereka” (Atharvaveda: III, 30. 3). “Putra dan orang tuanya yang saleh,
gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan-perbuatannya
yang mulia” (Rigveda I.160.3). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada
kami seorang putra yang gagah berani, giat bekerja, cerdas, mampu memeras Soma
(tekun berbakti) dan memiliki keimanan yang mantap lahir pada keluarga kami”
(Rigveda III.4.9). “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah kami memperoleh putra
dengan kulitnya yang kuning langsat, yang tampan, panjang umurnya, patuh kepada
orang tua dan gurunya, berani dan saleh” (Rigveda II.3.9). “Wahai anak, datang
dan berdirilah di atas batu ini. Kuatkanlah badanmu seperti batu ini”
(Atharvaveda II.13.4). “Sesungguhnya anak laki-laki dari putra seorang ayah
yang masyhur akan menjadi mulia” (Atharvaveda XX.128.3). Terjemahan mantra Veda
yang terakhir ini adalah logis, bila orang tuanya memiliki nama yang harum,
maka putranya memperoleh teladan yang baik menjadikan mereka mulia.
Bila diperhatikan dengan seksama, maka pendidikan menurut kitab suci
Veda lebih menekankan pada pendidikan budi pekerti yang luhur, karena tujuan
akhir dari pendidikan adalah karakter yang baik. Dengan karakter yang baik,
serta kecerdasan, giat bekerja/suka bekerja keras, dan bertanggungjawab, maka
seorang anak didik (sisya) akan
sukses menatap masa depan mereka.
5.2 Kontribusi sistem pendidikan Hindu pada tujuan
pendidikan nasional
Sistem pendidikan menurut Veda bahwa anak
menjadi pusat perhatian, artinya anak merupakan aset dan peserta didik yang
mendapat perhatian utama. Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata
“putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini
dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh
karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan),
Tentang anak yang “suputra”, Maharsi
Cànakya dalam bukunya Nìtisàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum
baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak.
Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang “suputra” (II.16). “Asuhlah anak dengan memanjakannya
sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama
sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai
teman” (II.18). Demikianlah idealnya,
setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan,
sehat jasmani dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua
dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai
anak yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang
menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu: anak, istri dan pergaulan
dengan orang-orang suci” (IV.10).
Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat
dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masyarakat
sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang “kuputra”
(bertentangan dengan suputra). Tentang anak yang “kuputra” ini, Maharsi Cànakya menyatakan: “Seluruh hutan terbakar
hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang
“kuputra”, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (II.15). “Apa gunanya melahirkan anak begitu
banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia
seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (suputra) membantu keluarga.
Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik” (II.17). “Bagaikan bulan menerangi malam dengan
cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang
memiliki pengetahuan rohani,insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra
yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”(III.16). Hal yang sama diulangi kembali dalam
Nìtisàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang
benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah
seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak
yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu
lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh.
Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja.
Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya
memberikan penderitaan”(IV.7).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa
ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai
pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini,
pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula
ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang
berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka
karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Dasavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, srì, manuh,
mànusa, ràja, deva, dan raksasa” . Demikian pula pemberian nama kepada
seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak seseuai hari “daúavara”-nya
tersebut.
Sistem dan tujuan pendidikan menurut
kitab suci di atas sejalan dengan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang
Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 3 Tahun 2003 yang mengamanatkan untuk
mengembangkan kecerdasan hoslistik. Selanjutnya tentang kecerdasan holistik, di
dalam buku panduan pelatihan membangun kecerdasan holistik (PMKH) (Ditjen
Dikti, 2008:1-2) dijelaskan bahwa sesuai Undang Undang Pendidikan Nasional
disebutkan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berkaitan dengan potensi yang dimiliki
oleh seseorang maka diperlukan kecerdasan, hal ini seperti pada pemikiran
Gardner (Ulianta, Jurnal pasupati, 2014) bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh manusia tidak hanya membahas
tentang kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan sosial, emosional,
kinestetik dan yang lainnya. Pada dasarnya semua kecerdasan ini saling
berhubungan dengan yang lainnya untuk membentuk pribadi dari seseorang yang
nantinya membentuk kepekaan sosial seseorang dalam kehidupan (Barbara K. Given,
2007: 219). Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk mewujudkan indonesia emas pada
tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional berhasrat menghasilkan Insan Indonesia
cerdas dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Makna Insan Indonesia Cerdas
meliputi:
a.
Cerdas Intelektual (a.
Gandrung akan olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. b. Aktualisasi insan intelektual yang kritis,
kreatif, dan imajinatif).
b. Cerdas
Emosional (a. Gandrung akan olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan
apresiasivitas terhadap kehalusan dan keindahan, serta meningkatkan kemampuan
ekspresi estetis. b. Aktualisasi insan sosial yang mampu membina hubungan
timbal balik, empatik dan simpatik, ceria dan percaya diri, menghargai
kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan yang
sadar akan hak dan kewajiban warga negara).
c. Cerdas
Spiritual (a. Gandrung akan olah hati/kalbu untuk menumbuhkan keimanan,
ketaqwaan, dan akhlak mulia. b. Aktualisasi insan beragama mampu membina
hubungan yang harmonis, menghargai kebhinekaan dalam beragama, dan menumbuhkembangkan
inklusifitas beragama).
d.
Cerdas Kinestetik (a.
Gandrung akan olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya
tahan, sigap, terampil, dan trengginas. b. Aktualisasi insan adiraga).
Berangkat dari
pembahasan ini bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang yang tujuan
utamanya adalah untuk mengubah tingkahlaku menuju arah yang lebih baik. Pada
hakekatnya keberadaan manusia adalah sebagai makhluk sosial yang
bertanggungawab terhadap bangsa dan negaranya. Sehingga tujuan pendidikan ini
adalah untuk menuju insan Indonesia yang kompetitif yang dalam hal ini meliputi:
1)
Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
Adapun kegiatan dalam upaya
mengembangkan kecerdasan holistik tersebut memperkenalkan logika, etika,
humaniora, kepekaan sosial, spiritualitas dan soft skills. dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengendalian
diri, integritas, moralitas, kerjasama, kepedulian sosial, dan kreatifitas.Tujuan
pendidikan di atas dapat dijabarkan sebagai usaha membantu menumbuhkan sifat
prima manusia atau karakter yang sempurna dalam diri seorang siswa. Para orang
tua dan guru semuanya bertanggung jawab atas pendidikan anak. Para orang tua
adalah guru di rumah dan para guru di sekolah adalah guru profesional. Agar
sifat-sifat prima dalam diri anak berkembang, para orang tua, guru dan
lingkungan masyarakat harus bekerja sama dan saling membantu. Orang tua dan
guru harus mempraktekkan terlebih dahulu sebelum mengajarkan sesuatu kepada
anak-anak. Agar efektif, para guru harus mengajar dari hati dan menyentuh hati
sang anak. Karena itu, guru perlu berbicara berdasarkan pengalaman dan bukan
hanya mengulang apa yang ada di buku saja.
Pendidikan agama dan nilai-nilai
kemanusiaan menggunakan cara yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan ke
dalam semua mata pelajaran. Di banyak negara, ada kurikulum nasional yang telah
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Negara. Selanjutnya, guru harus mengajar
sesuai dengan isi kurikulum yang telah ditetapkan. Pendidikan agama dan
nilai-nilai kemanusiaan tidak menghalangi isi kurikulum itu. Nilai-nilai ini
hanya menunjukkan cara menggunakan kurikulum nasional dalam mengajar anak-anak
sehingga berkembang sepenuhnya, karakter sempurna atau sifat-sifat prima
mereka.
Di dalam Veda, seseorang yang memberikan
pendidikan disebut àcàrya. Nama
lainnya adalah “adhyàpaka” yang juga
berarti guru, di samping kata “guru” itu sendiri, sedang siswa (perubahan dari
kata sisya) disebut Brahmacàri, juga disebut “vidyàrti”, yang berarti yang mengejar dan mempelajari ilmu
pengetahuan. Àcàrya berarti seseorang
yang dianggap tidak hanya memberikan ilmu pengetahuannya secara teoritis kepada
para siswa, tetapi juga memperbaiki karakter mereka. Pengertian àcàrya adalah: “àcàraý grahayatìti àcàryaá” yang
berarti ia yang memberikan pendidikan karakter (seseorang).
Dua hal penting dalam sistem pendidikan
menurut Veda adalah brahmacarya dan àcàrya dan melalui kebersamaan keduanya
seorang siswa dapat meningkatkan perbaikan moralitas dan karakternya. Adalah
tugas seorang guru, ketika seorang siswa menghadapnya, untuk meminta diajarkan
kepadanya tentang kebenaran yang sesungguhnya yang ia ketahui (Mundaka Upaniśad
I.2.13), tanpa menyembunyikan sesuatu dari padanya, untuk sesuatu yang
disembunyikan akan mengakibatkan kejatuhannya (Praśna Upaniśad VI.1). Kitab
Taittirìya Àraṅyaka (VII.4) menguraikan bahwa seorang guru mestinya mengajar
siswanya dengan sepenuh hati dan jiwanya. Ia juga terikat, yang menurut
Śatapatha Bràhmaṅa (XIV.I.1.26.27) untuk menguraikan segala sesuatunya kepada
para siswa, yang tinggal selama setahun penuh (saývatsara-vàsin). Seorang guru hendaknya cukup bebas, hal itu
mestinya dipahami, untuk menurunkan pengetahuan kepada siswanya, yakni
pengetahuan tentang segala sesuatu yang tidak setara. Satu catatan tentang
kasus-kasus tertentu tentang proses belajar mengajar yang bersifat rahasia
kepada orang tertentu yang bersifat terbatas.
Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988: 259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988: 259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam pendidikan
menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava”
(umat manusia) meningkat kualitas hidup dan kehidupannya menjadi para “madhava”, yakni umat manusia yang
memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan yang tinggi,
tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni manusia dengan
karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk lainnya. Di dalam
Taittirìya Upaniśad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban seorang siswa untuk
dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara benar/membicarakan kebenaran,
rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta tidak lalai dan membuang waktu
(satyaývàda-dharmàcara-svadhyàya-na
pramadaá). Dengan memahami hakekat dan tujuan pendidikan menurut ajaran
suci Veda yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa, kiranya kita dapat memetik
nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan tersebut, mengingat ajaran
suci Veda bersifat “anadi-ananta-nirvigraha”
yakni tidak berawal-tidak berakhir, tidak berubah, abadi dan dapat berlaku
sepanjang masa.
5.3
Implementasi
Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam menumbuhkan budi pekerti pada anak
Ada dua cara
mengajar di sekolah, pertama guru agama mengajarkan secara langsung ajaran
agama dan nilai-nilai kemanusiaan secara langsung kepada anak-anak. Kedua,
diintegrasikan ajaran agama tersebut dengan semua mata pelajaran yang harus
diajarkan di sekolah. Supaya terjadi transformasi anak-anak dengan efektif dan
tertanamnya pendidikan agama dalam diri anak-anak, maka mata pelajaran agama
setiap hari haruslah metoda langsung yang dapat menyentuh hati setiap diri
anak.
Waktu mata pelajaran lainnya, guru-guru mata pelajaran yang lain atau guru kelas dapat mengintegrasikan pendidikan agama ke dalam pelajaran yang mereka ajarkan. Para guru harus bermufakat mengenai nilai pendidikan agama yang mereka ajaran dalam setiap minggunya. Guru agama tidak hanya mengajarkan pokok materi, tetapi lebih dari itu adalah menangkap pesan dari materi itu. Pendidikan agama, yang memancar dalam bentuk kasih sayang, mencakup 5 hal, yaitu: 1) prilaku yang benar (right action/dharmàcara) 2) kedamaian (peace/śàntiḥ) 3) kebenaran (truth/satyam) 4) cinta kasih (love/parama prema) 5) tanpa kekerasan (non violence/ahimsa).
Waktu mata pelajaran lainnya, guru-guru mata pelajaran yang lain atau guru kelas dapat mengintegrasikan pendidikan agama ke dalam pelajaran yang mereka ajarkan. Para guru harus bermufakat mengenai nilai pendidikan agama yang mereka ajaran dalam setiap minggunya. Guru agama tidak hanya mengajarkan pokok materi, tetapi lebih dari itu adalah menangkap pesan dari materi itu. Pendidikan agama, yang memancar dalam bentuk kasih sayang, mencakup 5 hal, yaitu: 1) prilaku yang benar (right action/dharmàcara) 2) kedamaian (peace/śàntiḥ) 3) kebenaran (truth/satyam) 4) cinta kasih (love/parama prema) 5) tanpa kekerasan (non violence/ahimsa).
Matematika, ilmu
pengetahuan dan semua mata pelajaran lainnya digunakan untuk mengajarkan
nilai-nilai yang terkandung dari pendidikan agama di atas. setiap anak akan
dapat melihat contoh dan mendengarkan perilaku yang benar dan baik, mewujudkan
kedamaian hati, kebenaran senantiasa jaya, cinta kasih yang tulus dan sejati
serta prilaku yang jauh dari kekerasan atau penyiksaan.
Bila seorang guru agama memilik metoda secara langsung, maka digunakan metoda langsung. Di sekolah-sekolah yang menggunakan metoda langsung, bila penyampaiannya baik, maka anak-anak sangat menikmati pelajaran tersebut. Untuk itu para guru agama harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga menjadikannya menarik bagi anak-anak. Untuk membuat rencana pelajaran yang menggunakan metoda langsung dalam mengajarkan ajaran agama, maka penguasaan terhadap materi yang akan disajikan benar-benar harus disiapkan. Adapun teknik yang telah tebukti digunakan dibeberapa negara maju antara lain: 1) hening atau meditasi sebelum pelajaran dimulai (silent sitting) 2) sembahyang/berdoa (prayers) dan selesainya diterjemahkan doa tersebut kedalam bahasa yang mudah dipahami 3) berceritra, ceramah dan menjelaskan (story telling) 4) menyanyi bersama (group singing) 5) kegiatan berkelompok (group activities).
Bila seorang guru agama memilik metoda secara langsung, maka digunakan metoda langsung. Di sekolah-sekolah yang menggunakan metoda langsung, bila penyampaiannya baik, maka anak-anak sangat menikmati pelajaran tersebut. Untuk itu para guru agama harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga menjadikannya menarik bagi anak-anak. Untuk membuat rencana pelajaran yang menggunakan metoda langsung dalam mengajarkan ajaran agama, maka penguasaan terhadap materi yang akan disajikan benar-benar harus disiapkan. Adapun teknik yang telah tebukti digunakan dibeberapa negara maju antara lain: 1) hening atau meditasi sebelum pelajaran dimulai (silent sitting) 2) sembahyang/berdoa (prayers) dan selesainya diterjemahkan doa tersebut kedalam bahasa yang mudah dipahami 3) berceritra, ceramah dan menjelaskan (story telling) 4) menyanyi bersama (group singing) 5) kegiatan berkelompok (group activities).
Mengingat bahwa
seorang guru agama dan guru-yang lain adalah contoh seluruh siswa, maka
keteladanan bagi guru sangat ditekankan. Ketika anak masih di lingkungan
keluarga, pra TK dan prasekolah, maka ibu dan bapak adalah tokoh yang ideal
bagi anak yang bersangkutan, tetapi demikian anak itu mengenyam pendidikan baik
di TK maupundi SD maka para guru tersebut senantiasa menjadi tokoh idola bagi
anak tersebut, tokoh idola akan memudar sesuai dengan evolusi dan perkembangan
pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan lingkungannya, tokoh-tokoh legendaris
lebih atau tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang akan menjadi perhatian
mereka di kemudian hari. Bhagawan Vararuci merumuskan dalam salah satu ajaran
tentang perbuatan baik atau tatasusila yang bersumber pada Mahàbhàrata meliputi
pikiran, wicara, dan tindakan disebut Karmapatha,
yang mengandung makna jalan perbuatan, yang kemudian lebih populer dengan
ajaran Trikaya Pariśuddha, seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya
(73-76), sebagai berikut: Pertama: Tiga hal pengendalian pikiran, yaitu: (1)
Tidak ingin memiliki dan dengki terhadap milik orang lain. (2) Tidak cepat
marah (emosional). (3) Meyakini kebenaran ajaran Karmaphala (hukum pahala
perbuatan). Kedua, Empat hal pengendalian perkataan, yaitu: (4). Tidak berkata
jahat (tidak jujur). (5) Tidak berkata kasar dan menghardik. (6) Tidak
memfitnah. (7) Tidak berbohong. Ketiga, Tiga hal pengendalian perbuatan, yakni:
(8) Tidak membunuh (menyakiti) makhluk lain. (9). Tidak mencuri. (10) Tidak
berzina (berhubungan seks dengan yang tidak patut). Setelah memahami ajaran
Trikaya Pariśuddha di atas, maka dikemukakan beberapa kiat untuk meningkatkan
implementasi pendidikan budi pekerti dalam rangka ketahanan mental dan
spiritual sebagai insan beragama, sebagai berikut.
1. Menjaga
integritas diri seperti kejujuran, ketulusan, kerja keras, dan berperilaku
sopan, karena hidup senantiasa menghadapi ujian. Keperibadian Indonesia,
khususnya kepribadian orang Bali telah dikenal di mancanegara sebagai orang
yang jujur, tulus, ikhlas, giat bekerja, sopan santun dalam berprilaku,
hendaknya hal tersebut ditingkatan terus dengan senantiasa belajar terutama
menyangkut ketrampilan dalam etika profesional internasional universal. Dalam
ajaran Agama Hindu terdapat doktrin yang menyatakan: Satyam eva jayate. Kejujuran senantiasa menang. Satyam nasti paro Dharma, kejujuran
merupakan wujud agama yang tertinggi. Ahimsa
parama Dharma, tidak menyakiti hati orang lain merupakan Dharma tertinggi. Tat-tvam-asi, hendaknya memandang orang
lain seperti diri kita sendiri. Sarvaprani
hitankarah, semoga semua makhluk hidup sejahtra dan bahagia. Vasudhaiva kutumbhakam, semua makhluk
bersaudara. Athiti devo bhava, tamu
adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti dihormati dengan baik, dan
sebagainya. Dengan demikian dalam pelayanan yang prima dan profesional syarat
mutlak yang diperlukan adalah kejujuran (integritas), keikhlasan, dan kemampuan
untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar dan bahkan melebihi
standar yang diperlukan.
2. Memahami
pekerjaan, tugas dan kewajiban, serta tanggungjawab sesuai dengan swadharma masing-masing. Bahwa yang
dimaksud adalah seseorang profesional di bidangnya dengan kualitas atau standar
tertentu yang dibutuhkan oleh pasaran kerja di bidang pariwisata, budaya, seni,
agama dan lainnya, melainkan pada seluruh bidang kehidupan ini.
3. Mewujudkan
keramah-tamahan yang sejati. Atas dasar ajaran Agama Hindu yang telah dijelaskan
di atas (butir 2) maka syarat mutlak sebagai insan adalah keramah-tamahan dan
bertanggung jawab dengan tidak perlu malu untuk meminta maaf bila melakukan
kesalahan.
4. Membina
hubungan sosial yang mantap sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni secara
vertikal (ke atas) dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan Roh Suci Leluhur.
Dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan sekitar (termasuk makhluk-makhluk
rendahan).
5. Memilih
pergaulan (saýsarga) yang tidak
menyesatkan (menjerumuskan). Pergaulan bebas dapat menjerumuskan seseorang ke
dalam penderitaan. Melakukan karma-karma buruk seperti menggaruk-garuk gatal,
enak pada mulanya, perih, dan luka pada akhirnya
Untuk
merealisasikan atau mengimplementasikan kiat-kiat tersebut di atas, hendaknya
dilakukan hal-hal sebagai berikut.
1) Membiasakan diri (abhyàsa). Segala sesuatu untuk mengubah karakter (sifat pribadi)
seseorang adalah dengan melatih diri (drill). Jadikanlah melayani seseorang
dengan ramah sebagai kebiasaan. Biasakanlah berdoa setiap saat dan dalam berbagai
situasi. Bila doa diucapkan dengan hati yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa akan
mengabulkan doa tersebut, seperti kebiasaan berdoa sebelum menikmati makanan,
berdoa ketika melewati tempat suci, arca atau pura. Hilangkan kebiasaan
mengumpat, memaki, mencaci, dan berkata-kata kasar.
2) Mengikhlaskan
diri (tyàga). Segala sesuatu yang
dihadapi mesti diterima dengan ikhlas, tidak menggerutu, apalagi mengumpat dan
memfitnah. Misalnya sebuah gelas milik kita pecah atau tidak sengaja dipecahkan
oleh orang lain. Ikhlaskan karena sesuatu terjadi sebagai akibat dari ajaran
karma yang pernah dilakukan sebelumnya.
3) Tidak
mengikatkan diri (vairàgya). Sesuatu
yang menyenangkan atau memuaskan, belum tentu memberikan kebahagiaan. Seseorang
jangan sampai terikat (ketagihan) minum minuman keras, merokok, dan sebagainya.
Mampu mengendalikan diri, seperti seorang kena penyakit diabetes diminta
mengendalikan diri, utamanya berpuasa terhadap makanan tertentu.
4) Mensyukuri
(santosa). Segala sesuatu yang
diterima hendaknya dapat disyukuri sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pepatah
Barat menyatakan, jangan mengeluh baru tidak memiliki sepatu, coba lihat orang
yang tidak mempunyai kaki.
5) Seimbang
dalam suka dan duka. Dalam suka dan duka seseorang hendaknya dapat hidup
tenang. Seimbang dalam suka dan duka dapat dibandingkan dengan orang yang
sedang bermain selancar di pantai, tidak selalu di atas gelombang, tapi
kadang-kadang juga sekali-sekali tenggelam ke dalam air laut. Ketika kembali
meniti gelombang dia tersenyum manis menikmati enaknya berselancar. Sifat-sifat
inilah yang hendaknya dimiliki oleh seorang siswa dalam belajar yang tidak
putus asa jika mendapatkan teguran dan masukan dari guru atau temannya.
Berdasarkan uraian di atas, peranan
orang tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh-tokoh agama sangat menentukan
dalam pembentukan kepribadian (karakter) manusia yang akan mengantarkan seorang
anak didik mampu menjadi manusia dewasa yang sempurna. Hal ini tentunya harus
ada peran kedua orang tua dalam melakukan pembinaan pendidikan anak di keluarga.
Sehingga,
ketika anak itu tumbuh dan memasuki masa belajar maka, seorang ibu khususnya
akan mempunyai andil besar dalam pembinaan perkembangan anak itu. Ada pendapat
yang keliru bahwa pendidikan anak itu sepenuhnya merupakan tugas sekolah dan
lembaga keagamaan. Dalam hal mendidik anak seorang ibu lebih berperan dari pada
Ayahnya karena seorang ibu lebih dekat dengan anaknya selain itu, seorang ayah
selalu sibuk dengan mencari nafkah untuk keluarganya. Dalam hal mendidik
seorang ibu mempunyai peran utama dan lebih mendominasi dalam hal mendidik anak
dari pada Ayah salah satu alasannya adalah seorang ibu lebih dekat dengan
anaknya. Hal ini dijelaskan dalam Kakawin Nitisastra IV:21 yang menyatakan
bahwa :
Jangan memanjakan anak, anak
yang dimanjakan akan menjadi jahat dan pasti ia akan menyimpang dari jalan yang
benar. Bukanlah banyak orang bijaksana yang meninggalkan anaknya (perlu
bertapa), apalagi istrinya. Jika kita dapat menggunakan peraturan ketertiban
dan hukuman dengan seksama, maka anak itu akan menjadi baik perangainya lagi
berpengetahuan, anak yang semacam itu akan dihormati oleh wanita dan disayangi
serta dihargai oleh orang-orang baik (Tim Penyusun PGAHN, 1987 : 35).
Dengan demikian, seorang ibu sebagai pengasuh
dan pendidik anak haruslah mengajari anak tersebut dengan budi pekerti yang
sehat dan moral yang tinggi, karena pendidikan yang harmonis adalah pendidikan
yang meliputi kecerdasan akal, pikiran dan mental spiritual. Pendidikan inilah
dimulai ketika bayi masih dalam kandungan ibunya sudah mengalami pendidikan
yaitu pendidikan prenatal. Oleh karena itu, seorang ibu dalam saat itu haruslah
berhati-hati dalam segala pikiran, ucapan dan tindakan. Dalam hal ini Napoleon
Bonaparte mengatakan “Pengetahuan dan budi pekerti yang luhur yang dimiliki
oleh seorang ibu merupakan jembatan emas yang akan dilalui oleh anak-anaknya
menuju pantai kebahagiaan”. Dalam hal inilah seorang ibu mempunyai tugas yang
berat dalam mendidik anak-anaknya agar dikemudian hari anak tersebut menuai
kesuksesan.
6.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka mengimplementasikan pendidikan Agama Hindu berbasis global adalah mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, membangun kecerdasan yang seimbang antara spiritual, intelektual, emosional, dan kinestetika serta dengan metode yang akrab antara guru atau orang tua dan peserta didik serta sebanyak mungkin memberikan contoh dan keteladanan. Sistem pendidikan yang terdapat dalam susastra Veda telah banyak memberikan petunjuk bahwa di dalamnya ada gurukula dengan menggunakan asrama dengan sistem pendidikan guru dan murid dalam satu sekolah dengan lama studi yang telah ditentukan.
Berdasarkan uraian di atas maka mengimplementasikan pendidikan Agama Hindu berbasis global adalah mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, membangun kecerdasan yang seimbang antara spiritual, intelektual, emosional, dan kinestetika serta dengan metode yang akrab antara guru atau orang tua dan peserta didik serta sebanyak mungkin memberikan contoh dan keteladanan. Sistem pendidikan yang terdapat dalam susastra Veda telah banyak memberikan petunjuk bahwa di dalamnya ada gurukula dengan menggunakan asrama dengan sistem pendidikan guru dan murid dalam satu sekolah dengan lama studi yang telah ditentukan.
Tentunya
sistem pendidikan Hindu ini tidak sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia melainkan menyesuaikan dengan
pendidikan formal yang ada. Sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan
pendidikan informal dalam bentuk pendidikan pasraman yang dikembangkan antara
sistem pendidikan yang bernafaskan Hindu dengan kurikulum yang digunakan
mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Tulisan ini menghadirkan esensi dari
sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan nasional yang keduanya memiliki
tujuan bahwa pendidikan harus ada hasil berupa pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Oleh karena itu, sinergi pelaksanaan pendidikan Hindu dengan
pendidikan nasional harus diwujudkan untuk mencapai insan indonesia yang unggul
dan kompetitif dalam segala bidang kehidupan dalam mengahadapi era globalisasi.
Daftar Pustaka
Achyuthan,
M. (1974). Educational practices in Manu, Panini and Kautilya.
Trivandrum: M. Easwaran, College Book House.
Bhaktivedanta,
A.C. (1972). Bhagavad-gita As-It-Is. Singapore: Bhaktivedanta Book
Trust.
Boeree,
George. 2008. Metoda Pembelajaran Dan
Pengajaran (Kritik Dan Sugesti Terhadap Dunia Pendidikan Embelajaran Dan
Pengajaran). Yogyakarta: Arruzz Media.
Darmayasa,
Made (1984). Vaisnava Dharma,
Denpasar: ____.
Given,
Barbara. 2007. Brain Based Teaching
(Merancang Kegiatan Belajar Mengajar Yang Melibatkan Otak Emosional. Sosial.
Kognitif, Kinestetis Dan Reflektif. Bandung : Mizan Pustaka.
Gories,
R. (1954). Prasasti Bali I dan II. Bandung : C.V. Masa Baru
Koentjaraningrat.
(1985). Javanese culture. Singapore: Oxford University Press.
Mustika,
Made. (2002). Disfungsi pendidikan Hindu. Majalah Hindu Raditya. No 61
Agustus 2002.
Oka,
Gedong. (1992). Menyelaraskan pola pendidikan tradisional Hindu dengan
dinamika pembangunan. Surabaya : Team Pembina Kerohanian Hindu ITS
Pigeaud,
Th. (1938). Javaansche volksvertoningen (performances of the Javanese
people). Batavia : Volkslectuur.
Poerbatjaraka,
RMNg. 1983. Nitisastra Kakawin.
Denpasar, Bali: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Puja
G, Sudharta Tjokordha Rai.2005. Manavadharmasastra (Veda Smerti). Surabaya:
Penerbit Paramita.
Radhakrishnan,
S. 1990. Principal Upaniûads. Centenary
Edition, Oxford University Press: New Delhi-Bombay-Banares.
Sarmah,
J. (1978). Philosophy of education in the Upanisads. India : Gauhaty
University.
Satyavrata
Siddhantalankar. 1980. Exposition of
Vedic Thought. New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Sivananda
Swami. 1988. All About Hinduism.
Himalaya, India: A Divine Life Socoety,
Suryanto.
(2004). Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu
Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional
Model Gurukula Di India. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.
Tika,
N. & Setia, P. (2002). Mengatasi
problema proselisasi. Majalah Hindu Raditya, No 61 Agustus 2002.
Titib,
I Made. 1996.Veda, Sabda Suci Pedoman
Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Titib,
I Made.2008. Buku Panduan Pelatihan
Membangun Kecerdasan Holistik (PMKH). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Wiana,
Ketut. (2002). Penerapan ajaran Weda
di Bali. Majalah Hindu Raditya No 35 Juni
2002,
Widyastana, P.A.( 2002).
Yadnya pengetahuan, menyelamatkan
generasi. Majalah Hindu Raditya No 35.
0 Response to "Pendidikan Hindu: Tantangan dan Peluang"
Post a Comment