MENGHAYATI KETUHANAN DALAM
HINDU
Oleh :
Hardi
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang membuat sebuah sentuhan kritis
kepada generasi muda Hindu untuk meneliti, mengoreksi dari pelaksanaan kegiatan
keagamaan yang dilakukan secara mentradisi oleh nenek moyang kita terdahulu. Pada
tulisan ini dijadikan sebagai titik tolak dalam mengembangkan pemikiran yang
terkait dengan kemahakuasaan Hyang Widhi yang bersifat imanent sekaligus
sebagai transenden.
Dewasa ini banyak dilakukan penelitian yang
terkait dengan adanya hal-hal yang terkait dengan sosial keagamaan yang
menuntut seseorang untuk melakukan sebuah terobosan baru tentang fenomena yang
terjadi dalam kehidupan keagamaan dewasa ini yang tidak hanya berorientasi pada
pelaksanaan upacara akan tetapi sudah menyentuh tentang nilai-nilai tattwa
keagamaan sehingga apriori tentang hindu sebagai agama hyang berorientasi pada
pelaksanaan ritual bisa ditepis dengan metoda ilmiah seperti yang dilakukan
oleh para sarjana dan para cendikiawan hindu lainnya.
Bertolak dari pemikiran ini maka pada
uraian yang dilakukan oleh penulis akan mengkaji tentang hakekat ketuhanan
Hindu yang pada pelaksanaannya banyak dipertanyakan oleh umat lain bahkan umat
Hindu itu sendiri yang nota bene sangat minim pengetahuan tentang Hindu. Disisi
lain bahwa banyak fakta yang terjadi pada keidupan sosial keagamaan sudah
banyak menggunakan atribut dan simbol dalam hindu yang digunakan oleh umat lain
sebagai simbol agamanya seperti penggunaan sesanti berbahasa jawa kuno dalam
pelaksanaan keagamaan di Gereja dan arsitektur bangunan tempat ibadah yang
bercirikan Hindu namun untuk tempat ibadah umat lain serta kejadian-kejadian
yang lain. Menyimak fakta ini maka, penulis menggugah pemikiran para sarjana
dan para cendikiawan untuk melakukan sebuah upaya untuk memahami ajaran Hindu
dari aspek ketuhanannnya yang dikemas
dalam pemahaman dasar yang digunakan untuk menepis dari segala tudingan umat
lain bahwa agama Hindu adalah penyembah barhala, pemuja setan, menyembah banyak
dewa, Tuhan umat Hindu lapar karena setiap sembahyang banyak disediakan
makanan, tidak mengikuti aturan sesuai dengan yang ada di India serta
pertanyaan-pertanyaan lain yang dilontarkan oleh umat lain bahkan umat Hindu
sendiri bertanya tentang hal tersebut.
Keadaan ini tidaklah salah karena pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu, tetapi jika pertanyaan
itu menyinggung perasaan apalagi sudah membawa masalah SARA, maka hal ini yang
harus diluruskan bukan melakukan aksi kekerasan. Mengingat kejayaan pada masa
silam pada kerajaan Kutai, Salakanegara, padjajaran sampai dengan Majapahit
bahwa konsep ketuhanan dalam Hindu ini dianggap ajaran yang sangat keramat dan
hanya orang rohaniawan sajalah yang boleh untuk mempelajarinya dan umat awam tidak
boleh untuk membacanya dengan alasan akan terkena hal-hal negatif akibat
membaca ajaran tersebut. Oleh karena itu, pada masa silam mampu meninggalkan
bangunan yang megah dengan arsitektur yang menawan yang didalamnya berisikan
ajaran-ajaran kebenaran (dharma), tetapi pada umat kebanyakan ajaran ini hanya
sebagai dongeng yang tidak disublimasikan kedalam ajaran kerohanian. Dengan
demikian, pada uraian ini penting kiranya untuk dimengerti tentang adanya
sebuah pemahaman umat Hindu tanpa mengenal adanya sebuah stratifikasi sosial
dalam masyarakat untuk bersama-sama memahami dan memperkenalkan ajaran
ketuhanan dalam hindu yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang
ditempatkan pada singgasana yang sakral dan tidak boleh dijamah oleh umat
biasa.
1.1
Keesaan Hyang Widhi Wasa
Pemahaman
umat Hindu tentang keesaaan Tuhan pada pemahaman awal mengundang serangkaian
problematika yang diusung oleh umat Hindu itu sendiri. Hal ini dikarenakan umat
Hindu masih memegang sebuah dogmatik yang mengganggap bahwa Tuhan ditempatkan
pada sebuah singgasana tinggi yang mengawasi kehidupan manusia dan alam
semesta. Berkaitan dengan itu bahwa keesaan Tuhan dalam Hindu sudah jelas
dituangkan dalam sastra suci Veda bahwa Tuhan hanya satu tetapi orang bijaksana
menyebutkanya dengan banyak nama. Selain itu, dalam bait trisandhya ke 2 yang
berbunyi bahwa narayanona dwityo sti kascit artinya bahwa engkau adalah hyang
tunggal dan tidak ada yang kedua.
Bertolak
dari pengertian ini bahwa Tuhan itu satu tetapi dalam pelaksanaannya Tuhan itu disebut
dengan banyak nama seperti, Indra, gautama, Siva, Visnu, Brahma dan sebutan
yang lain. Karena pada dasarnya Tuhan sebagai hal yang bersifat abstrak maka,
untuk memudahkan pemahaman itu dibuatkan sebuah arca, patung untuk mendekatkan
antara Tuhan dengan pemujanya. Keterbukaan wacana ini membawa penulis pada
sebuah pengertian bahwa sebuah penjernihan konsep itu sangat penting jangan
sampai umat Hindu yang selama ini dianggap sebagai agama Sanatana Dharma justru
membingungkan umatnya. Padahal hakekat yang sebenarnya umat Hindu memuja Tuhan
sesuai dengan fungsi dan kekuatan-Nya beliau.
Oleh
karena itulah, perlu ditegaskan bahwa untuk menyelami pemahaman tentang
ketuhanan Hindu kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengertian hakekat,
penghayatan dan praktis. Karena pada hakekatnya bahwa umat Hindu adalah memuja
satu Tuhan, namun dalam penghayatannya umat Hindu telah menyembah Tuhan melalui
prabhawanya dalam bentuk dewa-dewa. Dan untuk kehidupan praktisnya umat Hindu
melakukan sebuah rangkaian pemujaan kepada para bhuta kala yang telah membantu
memberikan kesejahteraaan kepada dunia ini maka dibuatkanlah pecaruan sebagai
wujud terimakasih kepada alam dan makhluk yang tidak nampak, selanjutnya adalah
memuja para laluhur yang nantinya diharapkan akan memberikan sinar sucinya
kepada keturunannya dan leluhur tersebut dapat menyatu dengan Brahman. Dan
selanjutnya Umat Hindu memuja kekuatan Hyang Widhi Wasa dalam bentuk pemujaan
kepada para dewa yang bersemayam di segala penjuru mata angin yang dikenal dengan
dewata nawa sangga. Dengan demikian, wujud keharmonisan umat hindu tidak hanya
terjadi secara vertikal tetapi dalam skup yang holistik juga telah melakukan
keseimbangan (harmonisasi) terhadap alam dan makhluk yang ada dialam semesta
ini beserta isinya.
1.2
Perwujudan Tuhan
Uraian
diatas menunjukan tentang adanya sebuah pemujaan bahwa Tuhan sebagai suatu hal
yang bersifat abstrak. Oleh karenanya Tuhan dalam pemahaman filsafat Hindu
digambarkan dalam ruang dan waktu yang bersifat sakral. Pemahaman ini tidak hanya
terjadi pada sebuah tempat atau waktu akan tetapi didalamnya terdapat sebuah
konsekuensi logis bahwa Tuhan harus ditempatkan pada hal yang suci dan dalam
proses penyuciannya itu membutuhkan suatu proses, hal ini lah yang kemudian
dikenal dengan proses sakralisasi (proses pasupati). Karena penggambaran Tuhan
yang bersifat abstrak maka, Tuhan diwujudkan dalam saguna dan nirguna. Wujud
yang saguna digambarkan dengan Tuhan yang nampak seperti, penggamabran dewa,
arca, simbol aksara suci dan Nirguna adalah penggambaran Tuhan yang tidak
nampak, hal ini sangatlah sulit untuk digambarkan karena Tuhan bersifat tidak
terpikirkan, sehingga penggambaran Tuhan bersifat tidak terpikirkan.
1.3
Tempat dan Arah Memuja Tuhan
Memuja
Tuhan pada dasarnya adalah sebuah kesadaran tentang untuk melakukan pemujaan
kepada sang pencipta. Tuhan bersifat melingkupi semua arah dialam semesta ini
sehingga pemujaan Tuhan yang ideal ini pada dasarnya yang ada dalam agama Hindu
adalah bersifat fleksibel karena semua yang ada di dunia ini adalah
penggambaran dari Tuhan itu sendiri. Untuk itulah, bahwa untuk melakukan
pemujaan Tuhan hendaknya dilakukan sesuai dengan aturan kitab suci bahwa semua
arah adalah simbol Tuhan, karena pada pemahaman tentang Nawa dewata bahwa
setiap arah penjuru mata angin adalah simbol dari dewata.
0 Response to "Ketuhanan Hindu"
Post a Comment