Penghayat Kapribaden


MISTIKISME, IDENTITAS LOKAL DAN KEMUNCULAN JATI DIRI DALAM PAGUYUBAN PENGHAYAT KABRIBADEN
Oleh :
Untung Suhardi




A.                 Pendahuluan
Menurut asal katanya, mistik berasal berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman. Dalam buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950) karya G.B.J. Hiltermann dan Van De Woestijne, kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata. Kata mistik sejajar dengan kata Yunani lainnya musterion yang artinya suatu rahasia. Paham mistik dilihat dari segi materi ajarannya dapat dipilah menjadi dua, yaitu paham mistik keagamaan, yang terkait dengan tuhan dan ketuhanan, dan paham mistik non-keagamaan, yang tidak terkait dengan ketuhanan.
Dalam kata mistik itu terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak dapat dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik telah disebut sebagai “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang paling luas, mistik bisa didefenisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal – yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil. Namun, defenisi-defenisi semacam itu hanya sekadar petunjuk saja. Sebab kenyataan yang menjadi tujuan mistik, dan apa yang tak terlukiskan, memang tidak bisa dipahami, dijelaskan dan diungkapkan dengan cara persepsi apapun; baik filsafat maupun penalaran logis. Hanya kearifan hati, gnosis, ma`rifah, yang bisa mendalami beberapa di antara seginya. Diperlukan sebuah pengalaman rohani yang tidak tergantung pada metode-metode indera dan fikiran. Begitu si pencari memulai perjalanannya menuju kenyataan akhir ini, ia akan dibimbing oleh cahaya batin. Cahaya itu akan semakin terang ketika ia membebaskan diri dari keterikatannya dengan dunia atau, seperti kata para sufi; menggosok cermin jiwanya sampai mengkilap. Hanya setelah masa pemurnian yang lama – yang dalam mistik Kristen disebut via purgativa – si pencari bisa mencapai via iluminativa, tempat di mana ia diberkati cahaya dan kearifan. Dari sana ia bisa mencapai sasaran akhir pencarian mistik, yakni unio mystica atau via unitiva. Hal ini bisa dihayati dan diungkapkan sebagai perpaduan cinta, atau sebagai visio beatifica, yakni tempat jiwa menyaksikan segala yang diluar jangkauan penglihatan, diliputi oleh cahaya Tuhan. Hal ini bisa digambarkan sebagai penyingkapan cadar ketidaktahuan, cadar yang menutupi ciri-ciri dasar Tuhan dan makhluknya, yang dalam istilah tasawuf disebut kasyaf, mukasyafah.
Dalam agama Islam, mistisisme diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam dan istilah sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Seperti halnya agama lain, mistisisme Islam bertujuan membersihkan unsur-unsur batiniah manusia untuk mendapatkan kebersihan jiwa dari segala yang mengotorinya sekaligus berusaha untuk sedekat mungkin kepada Allah. Dari pengertian mistik di atas, dapat diketahui bahwa mistik bersifat universal, terdapat di semua agama, bersifat rahasia dan sulit dicermati secara ilmiah. Khusus dalam Islam, paham mistik disebut tasawuf atau sufisme. Tasawuf yang berkembang di Indonesia telah mengalami perkembangan dan pada sebagian ajarannya telah dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan pra-Islam dan ajaran Hindu-Budha. Paham semacam ini disebut sebagai Islam kebatinan. Paham ini melakukan sinkretisme antara ajaran tasawuf dengan ajaran kebatinan di luar Islam. Di Indonesia, paham Islam kebatinan ini kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan. Pada perkembangannya, aliran-aliran tersebut kelihatan sudah jauh meninggalkan ajaran Islam yang murni, bahkan hampir tidak ada kaitan sama sekali dengan ajaran Islam. Hal ini juga yang terjadi pada paguyuban kapribaden yang didalamnya terdapat sebuah mistikisme yang bisa membawa sebuah perubahan pada seseorang dalam kehidupan yang didalamnya terdapat sebuah mistikisme yang bersifat sakral.


B. Agama Lokal; Studi Aliran Kebatinan
a. Definisi Agama Lokal
Istilah agama lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau kelompok masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu. Menurut David Barret dan Todd Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research penganut agama lokal di dunia ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar 237.386.000 orang.  Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78% dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Bila kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, maka para penganut agama lokal, hanya sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman Sulawesi, dan beberapa daerah pulau Jawa. Jika kita amati prilaku beragama pada masyarakat Indonesia, maka sebenarnya secara kuantitas pastilah para penganut agama lokal akan jauh lebih banyak melampaui data statistik di atas. Faktanya, keyakinan dan praktek agama lokal ini masih dianut dan diyakini serta dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai penganut agama resmi dunia. Para pelaku agama resmi terkadang juga secara bersamaan meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau melakukan sinkretisme agama-agama. Dan hal ini terjadi tidak hanya bagi para penganut agama Islam saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar Islam yang ada di Indonesia.
Untuk menemukan prilaku umat beragama yang melakukan singkretisme agama tidak-lah sulit. Lihat saja di antara sekeliling kita masih banyak yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat yang bernilai sakral. Masng banyak juga di antara masyarakat kita yang masih meminta pertolongan kepada para dukun-dukun. Bahkan kalau kita tanya ternyata dukun itu pun juga penganut salah satu agama resmi dunia. Bahkan kalau kita lihat di media-media (elektronik maupun cetak) banyak sekali di tawar-tawarkan beraneka ragam jimat yang katanya mempunyai kesaktian. Bahkan juga kalau kita perhatikan di masyarakat, masih banyak ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan para penganutnya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama.

b. Aliran Kebatinan
Jika dilihat dari akar katanya, maka istilah ”kebatinan” berasal dari kata “batin” (bahasa Arab) yang berarti “di dalam”, “yang tersembunyi”. Karena sifatnya yang tersembunyi, maka kebatinan sangat sulit untuk dirumuskan karena bersifat subjektif. Meskipun begitu, ada banyak definisi istilah kebatinan yang telah dirumuskan, di antaranya; Pertama, Definisi yang dikemukakan oleh H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kata ”batiny” terambil dari kata ”batin” yang artinya bagian dalam. Kata ”batiny” dapat diartikan sebagai orang-orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci. Mereka mengartikan kata-kata itu tidak menurut bunyi hurufnya tetapi menurut bunyi interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut ta’wil (penjelasan suatu kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya atau yang sewajarnya).  Kedua, Definis yang dikemukakan oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) bahwa kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu bayuning bawono; artinya; kebatinan adalah tidak punya maksud yang menguntungkan, giat bekerja, dan berupaya utuk mensejahterakan dunia”. Definisi tersebut kemudian pada kongres BKKI yang ke-2 dirubah menjadi ”Kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”. Definisi kebatinan hasil kongres BKKI yang ke 2 tersebut mendapat kritik dari H.M Rayidi. Ia menyatakan bahwa definisi hasil kongres BKKI tersebut adalah terbalik. Menurutnya, bukannya kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber Kebatinan. Pernyataan ini di bantah oleh Suwarno Imam, menurutnya definisi kebatinan tersebut sudahlah pas dan tidak terbalik. Kerana definisi kebatinan sudah tentu untuk orang penganut kebatinan. Ketuhanan bagi orang kebatinan atau penghayatan kebatinan bagi orang kebatinan adalah pendalaman batin. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa definisi tersebut memang terbalik jika kita memahaminya dari sudut agama dalam hal ini agama Islam. Ketiga, Definisi yang dikemukakan oleh Rahmat Subagyo. Ia menjelaskan bahwa kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan Absolut, yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa pengantara.  Keempat, Sumantri Mertodipuro mendefinisikan lebih kepada fungsi. Ia mengatakan bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di Indonesia, kebatinan apa pun namanya sperti tasawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Karena itu-lah selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam agama atau diluarnya.  Kelima, M.M Djojodigoeno mengatakan bahwa kebatinan itu mempunyai empat unsur yang penting, yaitu; gaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur.  Keenam, Kamil Kartapadja mendefinisikan kebatinan sebagai gerak badan jasmani disebut olah raga dan gerak badan rohani dinamai olah batin atau kebatinan. Jadi kebatinan dapat disimpulkan sebagai olah batin yang macam apa pun.

c.  Sejarah Munculnya Aliran Kebatinan
            Di atas telah di jelaskan bahwa kebatinan adalah cara atau ala orang Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Jika memang betul demikian, maka pertanyaannya mengapa aliran kebatinan ini muncul di Indonesia?. Ada banyak pendapat yang diutarakan oleh peneliti terkait latar belakang kemunculan aliran kebatinan di Indonesia. Di antaranya isu modernisme dan globalisasi. Globalisasi dan modernisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas teritorial seakan tak berarti. Dalam era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.
Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya. Karena alasan itu-lah maka ada sebagian kelompok (baca: aliran kebatinan) yang berusaha ”lari” atau menghindari perkembangan dunia modern dan mulai gandrung akan romatisme masa lalu. Biasanya kelompok ini mulai menelusuri nilai-nilai asli dahulu yang kini sudah terdesak dengan arus modernisasi dan globalisasi. Pendapat senada pun diungkapkan oleh Selo Sumardjan. Menurutnya bahwa apabila terjadi kegoncangan-kegoncangan yang luas dan lama di dalam kehidupan masyarakat, ilmu kebatinan di rasakan sekali keperluannya. Karena itu, timbulnya banyak aliran kebatinan itu justru ketika masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan karena tekanan jiwa yang meluas dalam waktu yang panjang pada masa penjajahan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan munculnya aliran kebatinan dipicu oleh dampak negatif dari modernisme yang menggerus nilai-nilai moral, estetika, sehingga membawa manusia jatuh pada jurang materialisme. Karena itu, aliran kebatinan hadir sebagai solusinya. Jika di lihat dari latar belakang kemunculannya, kondisi ini hampir mirip dengan latar belakang kemunculan sufisme dalam Islam.  

d. Motivasi seseorang masuk aliran kebatinan
Ada beberapa motiv masyarakat menggemari aliran kebatinan. Menurut M.M. Djojodiguna bahwa alasan orang Indonesia menganut aliran kebatinan karena para pemimpin agama kurang memperhatikan soal kebatinan dan tidak cakap dalam menyimpulkan ajaran agamanya dalam prinsip-prinsip pokok yang sederhana, yang mudah dipergunakan sebagai pegangan bagi seorang manusia, bagaimana ia harus menentukan sikapnya, tingkah lakunya terhadap Tuhan, dan terhadap sesama manusia dalam menghadapi berbagai  kesulitan sehari-hari.
Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh HM. Rasyidi. Menurutnya hal ini terjadi karena para ulama pada masa lampau banyak yang hanya mengetahui kitab-kitab yang dipelajari di pesantren adalah produk pada dua atau tiga abad yang lalu. Dan kitab-kitab yang dipelajarinya tersebut hanya pelajaran bahasa Arab dan fikih yang secara metodologi dan (isinya: penulis) telah usang. Karena itu-lah maka para ulama tersebut tidak dapat menjiwai pesan Islam, mereka hanya merasakan formalitas semata-mata.  Selain alasan itu, kondisi Indonesia sendiri yang masih terdapat kalangan orang-orang Jawa abangan, agama suku pedalaman yang memiliki latar belakang tradisi kebudayaan spiritual nenek moyang yang masih kuat dipengaruhi oleh spiritualitas Hindu-Budha atau Hindu-Jawa. Dalam kasus aliran kebatinan ini, mereka yang Jawa abangan ini yang kemudian menganut kepercayaan kejawen atau aliran kebatinan tertentu yang sesuai dengan pandangan hidupnya.
Di samping faktor di atas, menurut Suwarno Imam masih banyak lagi faktor lainnya yang juga tak kalah pentingnya sebagai pemicu kenapa orang menganut aliran kebatinan, diantaranyaPertama, Ajaran kebatinan dipandang lebih sederhana dan mudah dipahami karena menggunakan bahasa daerah, dibandingkan dengan ajaran agama lainnya. Kedua, Amalan kebatinan dianggap tidak terlalu berat dibandingkan dengan amalan-amalan yang diajarkan agama lainnya. Amalan kebatinan lebih menitikberatkan penghayatan batin. Ketiga, di kalangan kebatinan ada yang dipercayai memiliki ilmu gaib dan melayani pengobatan penyakit secara gaib yang ternyata digemari oleh masyarakat. Keempat, Hak hidup dan kehidupan aliran kebatinan atau kepercayaan dilindungi oleh pemerintah semenjak ketetapan MPR RI tahun 1973 dan dikukuhkan kembali oleh Ketetapan MPR RI tahun 1978.

e. Kebatinan  dan Pencarian Identitas
Meskipun sejak kemunculannya, aliran kebatinan dianggap sebagai aliran sempalan yang menyimpang, akan tetapi perjuangan politik identitas yang dilakukan oleh aliran kebatinan ini sampailah pada titik legalitasnya meskipun tak cukup memuaskan. Secara organisasi, perjuangan aliran kebatinan di mulai ketika BKKI melakukan kongres pertama di Semarang pada 19-21 Agustus 1955 yang dihadiri oleh 70 anggota aliran kebatinan. Dalam kongres ini dihasilkan kesepakatan akan definisi kebatinan yaitu; kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono. Selanjutnya pada kongres BKKI yang kedua di Solo tanggal 7-9 Agustus 1956 dilakukan perubahan definisi aliran kebatinan menjadi;  ”kebatinan adalah sumber asas dan sila ketuhanan yang maha esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”. Alasan digantinya definisi kebatinan adalah karena pada definisi pertama masih ada kemungkinan bagi suatu aliran yang mengingkari dan memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Perjuangan selanjutnya adalah pada kongres BKKI yang ketiga di Jakarta 17-20 Juli 1958. Dalam kongres ini disepakati bahwa aliran kebatinan bukanlah klenik sebagaimana yang dituduhkan orang. Dan perjuangan aliran kebatinan untuk mendapatkan legalitasnya mulai berbuah ketika kongres ke empat di Malang pada bulan Juli 1960. Dalam kongres ini dibahas tentang nisbah antara aliran kebatinan dan agama pada dasarnya sama, hanya titik berat yang berbeda. Agama minitikberatkan penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan menekankan pengalaman batin dan penyempurnaan manusia. Perjuangan kelompok aliran kebatinan berbuah manis yakni ketika dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973-22 Maret 1973 yang mengakui eksistensi aliran kebatinan di Indonesia meskipun dengan nama lain yakni ”Aliran Kepercayaan”.  Meskipun eksistensi secara legalitas diakui keberadaannya di Indonesia, akan tetapi dalam praktek kebijakan-kebijakannya kerapkali berprilaku tidak adil dan diskriminatif. Lihat saja, sampai saat ini pemerintah masih sering menuding agama atau kepercayaan masyarakat adat sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Akan tetapi sampai saat ini para penganut agama lokal, justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk yang sebenarnya. Menurut mereka, agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) yang kini diakui secara resmi oleh pemerintah adalah justru merupakan agama impor (kiriman). Jauh sebelum kelima agama tersebut datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun. Lalu mengapa mereka sampai saat ini masih mendapatkan diskriminasi pengakuan identitas ?
Aliran-aliran kebatinan, kepercayaan sampai saat ini masih di anggap sebagai bukan agama, ia adalah produk manusia. Karena itu, kebatinan lebih tepat disebut dengan “kebudayaan spiritual” atau “kebudayaan batin”. Oleh sebab itu wajar dan tepat bila pemerintah kemudian memindahkan urusan kebatinan dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut PAMA PUJA (Panguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa, yaitu gerakan yang mewakili masyarakat adat di Jawa), salah satu masalah paling berat yang dihadapi masyarakat adat Jawa adalah hak untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya, dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
Salah satu bentuk diskriminasi lainnya adalah belum adanya pengakuan aliran-aliran kebatinan sebagai agama. Hal ini terlihat dari rumusan definisi agama versi pemerintah. Menurut pemerintah Indonesia,  “agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Dari definisi ini, maka aliran kebatinan tetap tidak diakui sebagai agama. Kementerian Agama dalam hal ini hanya mengakui dan menetapkan enam agama secara resmi, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu. Penetapan itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.” Ini dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”. Salah satu korban dari kebijakan negara dalam soal ini adalah kelompok-kelompok penganut agama adat atau aliran kepercayaan. Mereka semuanya diarahkan kembali ke agama induk, misalnya para penganut Sunda Wiwitan (Baduy) diarahkan kembali ke agama Hindu. Bahkan aliran kepercayaan tidak dianggap sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan dipandang sebagai budaya saja. Diskriminasi ini menurut hemat saya adalah hal yang aneh. Bukankah jika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E , dijelaskan bahwa;
1.       Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...
2.       Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3.       Bahkan dalam Pasal 28I, juga dijelaskan pula;
... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
4.       Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5.       Dalam Pasal 29
Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
6.       Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
7.       Bahkan dalam Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 dijelaskan;
8.       Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
9.       Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Hukum Internasional Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa;
1.    Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2.    Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah menurut hemat saya, nampaknya agama-agama besar telah melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan. Undang-undang yang dirancang nampaknya tidak hanya murni kepentingan hukum saja, akan tetapi juga di dalamnya kental kepentingan politik, sehingga undang-undang yang dirancang sangat bias kepentingan mayoritas dan menganaktirikan kelompok minoritas dalam hal ini agama atau kepercayaan lokal.

C.Penghayat kapribaden Sebagai Wahana untuk pelestarian Budaya dan interaksi sosial

Sejarahnya tentang pewahyuan dalam panca gaib diturunkan kepada Romo Heru Cokrosemono yang pada saat itu sebagai tentara. Pada sejarah singkat hidupnya beliau berasal dari keluarga yang sederhana. Namun dalam menempuh pendidikan beliau sangat prestisius sehingga dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Setelah beranjak dewasa beliau mmelanjutkan kepada pendidikan TNI-AL yang setelah pendidikan pertama beliau ditempatkan pada armada perang. Pada suatu ketika tepatnya pada malam 14 tahun setempat beliau mendapatkan wahyu tentang panca gaib yang mampu untuk menyelamatkan diri dan orang lain dari mara bahaya. Pada saat ini ajaran kapribaden telah disahkan bahwa Asmo Satriyo untuk seorang priya , Asmo Wanito untuk seorang Wanita setelah tahun 1980 , adalah sesuai dengan “ Sabda “ dan “ Keputusan Sarasehan Agung IV “ ( Asmo kadhang sejak 14 Nopember 1980 , adalah seperti dalam Ketetapan Sarasehan Agung IV Paguyuban Penghayat Kapribaden  Nomor : TAP.VI /SA.IV /2007, Tanggal 4 Agustus 2007 ). Hal ini kemudian diikuti oleh seluruh umat manusia yang ada diseluruh pelosok nusantara tanpa membedakan suku, asal, ras dan agama.
Pada perayaan ini yang dilakukan pada hari rabu, 13 November 2013 tepatnya pada malam 14 November 2013 yang dipeingati sebagai turunya wahyu panca gaib yang dihadiri oleh seluruh kadang (sebutan untuk orang yang ikut pada paguyuban kapribaden) yang diperingati sebgai pagelaran wayang kulit dan acara tumpengan. Pada momen ini bahwa digunakan untuk oleh kara kadang untuk merenungkan dengan cara bersembahyang pada makam romo dan ibu yang diyakini sebagai tempat untuk memberikan berkah kepada siapapun yang berdoa disana. Karena hal ini diyakini oleh pada penganut bahwa saat ini adalah penting untuk menyatukan antara moho suci dan insun. Dan ajaran ini sebanarnya tidak memaksa akan tetapi untuk sebuah panggilan hati.
Kebanyakan orang ketika datang ke purworejo yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pemujaan menuturkan bahwa ajaran ini bersifat luwes dan pas dengan ajaran orang jawa. Karena fleksibelnya ajaran ini banyak orang yang ikut pada paguyuban ini. Dan banyak orang yang datang kepenghayat kapribaden bukannya dipaksa justru mereka datang sendiri kepada para sesepuh untuk diberikan inisiasi berupa sabdo suci untuk menyatakan dirinya masuk pada paguyuban kapribaden.
Perkembangan tentang ritual dan instansi atau hubungan antar sesama kadang romo mauoun dengan kegiatan sosial dengan umat lain seperti,  tokoh agama dan tokoh masyarakat sampai saat ini berlangsung dengan harmonis. Hal ini terlibat pada pelaksanaan yang dilakukan pada kegiatan sosial keagamaan. Pada pelaksanaannya bahwa seseorang yang menganut kapribaden sangat dihormati oleh umat lain. Hal ini tentunya sebagai sebuah konsekuensi yang dihadapi seseorang dalam lingkungannya. Keberadaan dari paguyuban kapribaden sebagai sebuah wadah untuk untuk melestarikan budaya leluhur yang sudah dilestarikan secara berangsur-angsur. Dalam konteks sosial keagamaan paguyuban ini tidak memaksakan kehendak yang lain agar ikut dalam paguyuban ini, akan tetapi sebuah kesadaran yang timbul sebagai sebuah pegangan hidup.
Pokok pemikiran ini senada dari buah karya Clinfort Gertz yang menandang bahwa sebuah agama tidak bisa dipisahkan dari ritus budaya yang berkembang dimasyarakat. Pada konteks ini menunjukan bahwa agama dijadikan landasan dalam kehidupan. Akan tetapi, bisa terjadi sebuah perubahan kebudayaan yang mengakibatkan suatu kebudayaan bisa mengalami sebuah stagnasi dan yang lebih parah lagi adalah kebudayaan bisa ditinggalkan oleh masyarakatnya karena dinilai tidak relevan dengan dinamika jaman yang terjadi. Melihat dari keadaaan ini bahwa paguyuban kepribaden sebagai sebuah tuntunan yang diyakini oleh para kadang sebagai tuntunan yang dinilai sebagai hal j yang bersifat fleksibel yang mampu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini terlihat semakin bertambahnya jumlah penganut dari tahun ketahun. Hal ini tentunya sebagai hasil perjuangan para tokoh paguyuban kapribaden yang telah berjuang dalam mengesahkan dan meyakini bahwa penganutnya sebagai ajaran sah dan bukan ajaran sesat. Dari pemikiran ini menunjukan bahwa sebuah agama dan budaya dapat menyatu dalam kehidupan masyarakat dalambentuk pemahaman yang sederhana sehingga ada sebuah kesan bahwa agama dan budaya menyatu dalam sebuah konteks yang bisa disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Menyimak uraian sebelumnya bahwa pemikiran kebudayaan dari Gertz bahwa masyarakat jawa menunjukan adanya pembagian pengggolongan dari tatanan masayarakat dibagi menjadi abangan, priyayi dan santri. Pada golongan abangan menunjukan bahwa seseorang walaupun sudah menganut salah satu agama yang telah disahkan oleh pemerintah RI tetapi mereka masih melaksanakan ritual yang dilakukan oleh para leluhurnya dalam bentuk sesajen dan bahasa mantram dengan bahasa hati dan ada juga dengan bahasa jawa kuno. Priyayi adalah golongan yang mengusung tentang golongan para kerajaan yang menandang bahwa agama dan ritual sangat perlu dilakukan untuk sarana dalam pemujaan kepada leluhur dan Tuhan. Selanjutnya adalah santri yang merupakan golongan masyarakat yang dengan ketat melakukan sebuah syariat islam dengan mutlak.  Melanjutkan pemahaman ini bahwa sebenarnya orang jawa tidak bis alepas dari  pakaian dan cara pandang kejawen yang masih melaksanakan ritual yang bercorak jawa berupa sesajen.
Dasar pemikiran ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan sebuah  tradisi tidak bisa lepas dari unsur religi dan kepercayaan yang dianut oleh  suatu masyarakat. Menyimak keadaaan ini bahwa pemikiran Mircea Eliade tentang sakral dan profan selalu ada dalam setiap kegaiatan keagamaan suatu masyarakat yang ditentukan oleh adanya sebuah ruang dan  waktu yang kemudian proses sampai dengan adanya sebuah konsensus dari masyarakat bahwa suatu ruang atau waktu tertentu dijadikan sebagai sebuah kesakralan dan profan. Hal ini juga terjadi pada paguyuban kapribaden bahwa pada momen yang penting yaitu setiap tanggal 14 November yang dijadikan waktu untuk memperingati turunnya wahyu panca gaib dengan cara bersembahyang di makam romo dan ibu agar diberikan restu dalam menjalani kehidupan ini sesuai dengan sakdharmaning laku.

D. Kesimpulan
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang ada di Indonesia, hendaknya mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan kultural bangsa ini, dan bukan malah dicurigai dan diperangi sebagaimana pengalaman sejarah. Dari sana dapat terbangun suatu suasana masyarakat yang damai dan hidup sosial yang harmonis
              Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya karena beda agama, pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya. Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada resolusinya. Dan para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan nilai untuk itu. Pandangan ini mengusung sebuah pemikiran bahwa dalam tindakan manusia akan menentukan sebuah hasil yang nantinya bisa dinikmati pada kehidupan sekarang atau pada kehidupan setelah mati.

Daftar bacaan

Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Yogjakarta, Galang Press, 2001).
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Penj. Machnun Husein, (Jakarta: Kencana, 1995).
David Barret dan Todd Johnson, Annual Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. (Vol 27 No 1. Denville, New Jersey., 2003)
H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967).
Jamhari Ma'ruf, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil,(Jakarta: Gramedia, 1980).
Paul Stange, Kejawen Modern; Hakikat dalam Penghayatan Sumaroh,(Yogyakarta: LKiS, 2009).
Rahmat Subagyo, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, (Majalaj Spektrum No. 3, Tahun 1973)
Selo Sumardjan, “Ilmu Gaib, Kebatinan dan Agama dalam Kehidupan Masyarakat”, dalam Simposium IAIN Syarif Hidayatullah.
_______, Mengamankan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jakarta: CV. Tanjung Pengharanan,  1970)
Sumantri Mertodipuro, Aliran Kebatinan di Indonesia, (Mayapada v, No. 13, 1967)
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005)
UU No.1/PNPS/1965, dan UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.  



Subscribe to receive free email updates:

5 Responses to "Penghayat Kapribaden"

  1. Terima kasih atas pandangan nya yg menurut saya bisa diterima oleh akal sehat.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Identitas Lokal dalam era globalisasi ini sangat penting untuk dilestarikan karena merupakan akar dari budaya bangsa Indonesia....

      Delete
  3. Saya penghayat kapribaden. Trima kasih sdh menulis ttg kepercayaan thd tuhan yme dan penghayat kapribaden. Walau tulisan. Ini sdh sjk th 2013, tp baru sy baca hr ini krn ada teman yg share di fb. Apkh bln nov 2013 yll Bapak hadir ke purworejo?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal bu Retno, terimakasih telah membaca artikel saya.... dibulan November 2013 kebetulan sy juga hadir ke Purworejo dan saya membuat artikel ini untuk dikembangkan dalam aspek agama dan Budaya.... mohon maaf ibu tinggal dimana,,,,, sy tinggal di daerah Pasar Rebo-Jakarta Timur

      Delete