MISTIKISME, IDENTITAS LOKAL DAN KEMUNCULAN
JATI DIRI DALAM PAGUYUBAN PENGHAYAT KABRIBADEN
Oleh :
Untung
Suhardi
A.
Pendahuluan
Menurut asal
katanya, mistik berasal berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap,
atau terselubung dalam kekelaman. Dalam buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950)
karya G.B.J. Hiltermann dan Van De Woestijne, kata mistik berasal dari bahasa
Yunani myein yang artinya menutup
mata. Kata mistik sejajar dengan kata Yunani lainnya musterion yang artinya
suatu rahasia. Paham mistik dilihat dari segi materi ajarannya dapat dipilah
menjadi dua, yaitu paham mistik keagamaan, yang terkait dengan tuhan dan
ketuhanan, dan paham mistik non-keagamaan, yang tidak terkait dengan ketuhanan.
Dalam kata mistik
itu terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak dapat dicapai dengan
cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik telah disebut sebagai
“arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang
paling luas, mistik bisa didefenisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan
tunggal – yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil. Namun,
defenisi-defenisi semacam itu hanya sekadar petunjuk saja. Sebab kenyataan yang
menjadi tujuan mistik, dan apa yang tak terlukiskan, memang tidak bisa
dipahami, dijelaskan dan diungkapkan dengan cara persepsi apapun; baik filsafat
maupun penalaran logis. Hanya kearifan hati, gnosis, ma`rifah, yang bisa mendalami beberapa di antara seginya.
Diperlukan sebuah pengalaman rohani yang tidak tergantung pada metode-metode
indera dan fikiran. Begitu si pencari memulai perjalanannya menuju kenyataan
akhir ini, ia akan dibimbing oleh cahaya batin. Cahaya itu akan semakin terang
ketika ia membebaskan diri dari keterikatannya dengan dunia atau, seperti kata
para sufi; menggosok cermin jiwanya sampai mengkilap. Hanya setelah masa
pemurnian yang lama – yang dalam mistik Kristen disebut via purgativa – si pencari bisa mencapai via iluminativa, tempat di mana ia diberkati cahaya dan kearifan.
Dari sana ia bisa mencapai sasaran akhir pencarian mistik, yakni unio mystica atau via unitiva. Hal ini
bisa dihayati dan diungkapkan sebagai perpaduan cinta, atau sebagai visio beatifica, yakni tempat jiwa
menyaksikan segala yang diluar jangkauan penglihatan, diliputi oleh cahaya
Tuhan. Hal ini bisa digambarkan sebagai penyingkapan cadar ketidaktahuan, cadar
yang menutupi ciri-ciri dasar Tuhan dan makhluknya, yang dalam istilah tasawuf
disebut kasyaf, mukasyafah.
Dalam agama
Islam, mistisisme diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut
sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk
mistisisme Islam dan istilah sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat
dalam agama-agama lain. Seperti halnya agama lain, mistisisme Islam bertujuan
membersihkan unsur-unsur batiniah manusia untuk mendapatkan kebersihan jiwa
dari segala yang mengotorinya sekaligus berusaha untuk sedekat mungkin kepada
Allah. Dari pengertian mistik di atas, dapat diketahui bahwa mistik bersifat
universal, terdapat di semua agama, bersifat rahasia dan sulit dicermati secara
ilmiah. Khusus dalam Islam, paham mistik disebut tasawuf atau sufisme. Tasawuf
yang berkembang di Indonesia telah mengalami perkembangan dan pada sebagian
ajarannya telah dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan pra-Islam dan ajaran
Hindu-Budha. Paham semacam ini disebut sebagai Islam kebatinan. Paham ini
melakukan sinkretisme antara ajaran tasawuf dengan ajaran kebatinan di luar
Islam. Di Indonesia, paham Islam kebatinan ini kemudian berkembang menjadi
berbagai macam aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan. Pada perkembangannya,
aliran-aliran tersebut kelihatan sudah jauh meninggalkan ajaran Islam yang
murni, bahkan hampir tidak ada kaitan sama sekali dengan ajaran Islam. Hal ini
juga yang terjadi pada paguyuban kapribaden yang didalamnya terdapat sebuah
mistikisme yang bisa membawa sebuah perubahan pada seseorang dalam kehidupan
yang didalamnya terdapat sebuah mistikisme yang bersifat sakral.
B. Agama Lokal; Studi Aliran Kebatinan
a. Definisi Agama Lokal
Istilah agama
lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan penggunaan istilah agama asli atau
agama pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan
datang dari luar suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut
agama suku atau kelompok masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya
dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut
oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu. Menurut
David Barret dan Todd Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun
diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research penganut
agama lokal di dunia ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar
237.386.000 orang. Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78%
dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Bila kita
bandingkan dengan kondisi di Indonesia, maka para penganut agama lokal, hanya
sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka tinggal
di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman
Sulawesi, dan beberapa daerah pulau Jawa. Jika kita amati prilaku beragama pada
masyarakat Indonesia, maka sebenarnya secara kuantitas pastilah para penganut
agama lokal akan jauh lebih banyak melampaui data statistik di atas. Faktanya,
keyakinan dan praktek agama lokal ini masih dianut dan diyakini serta
dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai
penganut agama resmi dunia. Para pelaku agama resmi terkadang juga secara
bersamaan meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau melakukan sinkretisme
agama-agama. Dan hal ini terjadi tidak hanya bagi para penganut agama Islam
saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar Islam yang ada di Indonesia.
Untuk
menemukan prilaku umat beragama yang melakukan singkretisme agama tidak-lah
sulit. Lihat saja di antara sekeliling kita masih banyak yang mengunjungi
tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat yang bernilai sakral. Masng
banyak juga di antara masyarakat kita yang masih meminta pertolongan kepada
para dukun-dukun. Bahkan kalau kita tanya ternyata
dukun itu pun juga penganut salah satu agama resmi dunia. Bahkan kalau kita
lihat di media-media (elektronik maupun cetak) banyak sekali di tawar-tawarkan
beraneka ragam jimat yang katanya mempunyai kesaktian. Bahkan juga kalau kita
perhatikan di masyarakat, masih banyak ritual-ritual yang berkaitan dengan
siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan
kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama
asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di
antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan
para penganutnya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama.
b. Aliran Kebatinan
Jika dilihat
dari akar katanya, maka istilah ”kebatinan” berasal dari kata “batin”
(bahasa Arab) yang berarti “di dalam”, “yang tersembunyi”. Karena sifatnya yang
tersembunyi, maka kebatinan sangat sulit untuk dirumuskan karena bersifat
subjektif. Meskipun begitu, ada banyak definisi istilah kebatinan yang telah
dirumuskan, di antaranya; Pertama, Definisi yang dikemukakan oleh
H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kata ”batiny” terambil dari kata ”batin”
yang artinya bagian dalam. Kata ”batiny” dapat diartikan sebagai
orang-orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci.
Mereka mengartikan kata-kata itu tidak menurut bunyi hurufnya tetapi menurut
bunyi interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut ta’wil (penjelasan
suatu kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya atau yang
sewajarnya). Kedua, Definis yang dikemukakan oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia)
bahwa kebatinan adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu bayuning
bawono; artinya; kebatinan adalah tidak punya maksud yang menguntungkan,
giat bekerja, dan berupaya utuk mensejahterakan dunia”. Definisi tersebut
kemudian pada kongres BKKI yang ke-2 dirubah menjadi ”Kebatinan adalah sumber
asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna
kesempurnaan hidup”. Definisi kebatinan hasil kongres BKKI yang ke 2 tersebut
mendapat kritik dari H.M Rayidi. Ia menyatakan bahwa definisi hasil kongres
BKKI tersebut adalah terbalik. Menurutnya, bukannya kebatinan yang menjadi
sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi
sumber Kebatinan. Pernyataan ini di bantah oleh Suwarno Imam, menurutnya
definisi kebatinan tersebut sudahlah pas dan tidak terbalik. Kerana definisi
kebatinan sudah tentu untuk orang penganut kebatinan. Ketuhanan bagi orang
kebatinan atau penghayatan kebatinan bagi orang kebatinan adalah pendalaman
batin. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa definisi tersebut memang terbalik jika
kita memahaminya dari sudut agama dalam hal ini agama Islam. Ketiga,
Definisi yang dikemukakan oleh Rahmat Subagyo. Ia menjelaskan bahwa kebatinan
adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan Absolut, yang mempelajari kenyataan dan
mengenal hubungan langsung dengan Allah tanpa pengantara. Keempat, Sumantri Mertodipuro mendefinisikan lebih kepada
fungsi. Ia mengatakan bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan
kebahagiaan. Di Indonesia, kebatinan apa pun namanya sperti tasawuf, ilmu
kesempurnaan, teosofi dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan
memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Karena itu-lah
selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka
kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam agama atau diluarnya. Kelima, M.M Djojodigoeno mengatakan bahwa kebatinan itu
mempunyai empat unsur yang penting, yaitu; gaib, union mistik, sangkan
paraning dumadi dan budi luhur. Keenam, Kamil Kartapadja mendefinisikan kebatinan sebagai gerak badan jasmani
disebut olah raga dan gerak badan rohani dinamai olah batin atau kebatinan.
Jadi kebatinan dapat disimpulkan sebagai olah batin yang macam apa pun.
c. Sejarah
Munculnya Aliran Kebatinan
Di atas
telah di jelaskan bahwa kebatinan adalah cara atau ala orang Indonesia
mendapatkan kebahagiaan. Jika memang betul demikian, maka pertanyaannya mengapa
aliran kebatinan ini muncul di Indonesia?. Ada banyak pendapat yang diutarakan
oleh peneliti terkait latar belakang kemunculan aliran kebatinan di Indonesia.
Di antaranya isu modernisme dan globalisasi. Globalisasi dan modernisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana dunia ini
seakan tak bersekat, batas-batas teritorial seakan tak berarti. Dalam era
globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah
dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa
dinafikan—baik bersifat positif maupun negatif. Dan, pada akhirnya globalisasi
menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya, peradaban, idiologi,
bahkan masuk pada agama. Dan ujungnya agama, budaya, idiologi, dan peradaban
telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-unsur lain.
Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa
ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat
“penular” telah menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi
atau budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini, maka
kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak sesuai
dengan karakteristik kultur dan sosialnya. Karena alasan itu-lah maka ada sebagian kelompok (baca: aliran kebatinan)
yang berusaha ”lari” atau menghindari perkembangan dunia modern dan mulai
gandrung akan romatisme masa lalu. Biasanya kelompok ini mulai menelusuri
nilai-nilai asli dahulu yang kini sudah terdesak dengan arus modernisasi dan
globalisasi. Pendapat senada pun diungkapkan
oleh Selo Sumardjan. Menurutnya bahwa apabila terjadi kegoncangan-kegoncangan
yang luas dan lama di dalam kehidupan masyarakat, ilmu kebatinan di rasakan
sekali keperluannya. Karena itu, timbulnya banyak aliran kebatinan itu justru
ketika masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan karena tekanan jiwa yang
meluas dalam waktu yang panjang pada masa penjajahan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan munculnya
aliran kebatinan dipicu oleh dampak negatif dari modernisme yang menggerus
nilai-nilai moral, estetika, sehingga membawa manusia jatuh pada jurang
materialisme. Karena itu, aliran kebatinan hadir sebagai solusinya. Jika di
lihat dari latar belakang kemunculannya, kondisi ini hampir mirip dengan latar
belakang kemunculan sufisme dalam Islam.
d. Motivasi
seseorang masuk aliran kebatinan
Ada beberapa motiv masyarakat menggemari aliran kebatinan. Menurut M.M.
Djojodiguna bahwa alasan orang Indonesia menganut aliran kebatinan karena para pemimpin agama kurang memperhatikan soal
kebatinan dan tidak cakap dalam menyimpulkan ajaran agamanya dalam prinsip-prinsip
pokok yang sederhana, yang mudah dipergunakan sebagai pegangan bagi seorang
manusia, bagaimana ia harus menentukan sikapnya, tingkah lakunya terhadap
Tuhan, dan terhadap sesama manusia dalam menghadapi berbagai kesulitan
sehari-hari.
Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh HM. Rasyidi. Menurutnya hal
ini terjadi karena para ulama pada masa lampau banyak yang hanya mengetahui
kitab-kitab yang dipelajari di pesantren adalah produk pada dua atau tiga abad
yang lalu. Dan kitab-kitab yang dipelajarinya tersebut hanya pelajaran bahasa
Arab dan fikih yang secara metodologi dan (isinya: penulis) telah usang.
Karena itu-lah maka para ulama tersebut tidak dapat menjiwai pesan Islam,
mereka hanya merasakan formalitas semata-mata. Selain alasan itu, kondisi
Indonesia sendiri yang masih terdapat kalangan orang-orang Jawa abangan, agama
suku pedalaman yang memiliki latar belakang tradisi kebudayaan spiritual nenek
moyang yang masih kuat dipengaruhi oleh spiritualitas Hindu-Budha atau
Hindu-Jawa. Dalam kasus aliran kebatinan ini, mereka yang Jawa abangan ini yang
kemudian menganut kepercayaan kejawen atau aliran kebatinan tertentu yang
sesuai dengan pandangan hidupnya.
Di samping faktor di atas, menurut Suwarno Imam masih banyak lagi faktor
lainnya yang juga tak kalah pentingnya sebagai pemicu kenapa orang menganut
aliran kebatinan, diantaranya; Pertama, Ajaran kebatinan dipandang lebih sederhana
dan mudah dipahami karena menggunakan bahasa daerah, dibandingkan dengan ajaran
agama lainnya. Kedua, Amalan kebatinan dianggap tidak terlalu berat
dibandingkan dengan amalan-amalan yang diajarkan agama lainnya. Amalan
kebatinan lebih menitikberatkan penghayatan batin. Ketiga, di
kalangan kebatinan ada yang dipercayai memiliki ilmu gaib dan melayani
pengobatan penyakit secara gaib yang ternyata digemari oleh masyarakat. Keempat,
Hak hidup dan kehidupan aliran kebatinan atau kepercayaan dilindungi oleh
pemerintah semenjak ketetapan MPR RI tahun 1973 dan dikukuhkan kembali oleh
Ketetapan MPR RI tahun 1978.
e. Kebatinan dan Pencarian
Identitas
Meskipun sejak kemunculannya, aliran kebatinan dianggap sebagai aliran
sempalan yang menyimpang, akan tetapi perjuangan politik identitas yang
dilakukan oleh aliran kebatinan ini sampailah pada titik legalitasnya meskipun
tak cukup memuaskan. Secara organisasi, perjuangan
aliran kebatinan di mulai ketika BKKI melakukan kongres pertama di Semarang
pada 19-21 Agustus 1955 yang dihadiri oleh 70 anggota aliran kebatinan. Dalam
kongres ini dihasilkan kesepakatan akan definisi kebatinan yaitu; kebatinan
adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawono.
Selanjutnya pada kongres BKKI yang kedua di Solo tanggal 7-9 Agustus 1956
dilakukan perubahan definisi aliran kebatinan menjadi; ”kebatinan
adalah sumber asas dan sila ketuhanan yang maha esa, untuk mencapai budi luhur,
guna kesempurnaan hidup”. Alasan digantinya definisi kebatinan adalah
karena pada definisi pertama masih ada kemungkinan bagi suatu aliran yang
mengingkari dan memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Perjuangan selanjutnya adalah pada kongres BKKI yang ketiga di Jakarta
17-20 Juli 1958. Dalam kongres ini disepakati bahwa aliran kebatinan bukanlah
klenik sebagaimana yang dituduhkan orang. Dan perjuangan aliran kebatinan untuk
mendapatkan legalitasnya mulai berbuah ketika kongres ke empat di Malang pada
bulan Juli 1960. Dalam kongres ini dibahas tentang nisbah antara aliran
kebatinan dan agama pada dasarnya sama, hanya titik berat yang berbeda. Agama
minitikberatkan penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan menekankan
pengalaman batin dan penyempurnaan manusia. Perjuangan kelompok aliran kebatinan berbuah manis yakni ketika
dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973-22 Maret 1973 yang mengakui
eksistensi aliran kebatinan di Indonesia meskipun dengan nama lain yakni
”Aliran Kepercayaan”. Meskipun eksistensi secara
legalitas diakui keberadaannya di Indonesia, akan tetapi dalam praktek
kebijakan-kebijakannya kerapkali berprilaku tidak adil dan diskriminatif. Lihat
saja, sampai saat ini pemerintah masih sering menuding agama atau kepercayaan masyarakat
adat sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Akan tetapi
sampai saat ini para penganut agama lokal, justru agama dan kepercayaan
merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk yang
sebenarnya. Menurut mereka, agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha) yang kini diakui secara resmi oleh pemerintah adalah justru
merupakan agama impor (kiriman). Jauh sebelum kelima agama tersebut datang ke
Indonesia, agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun.
Lalu mengapa mereka sampai saat ini masih mendapatkan diskriminasi pengakuan
identitas ?
Aliran-aliran kebatinan, kepercayaan sampai saat ini masih di anggap
sebagai bukan agama, ia adalah produk manusia. Karena itu, kebatinan lebih
tepat disebut dengan “kebudayaan spiritual” atau “kebudayaan batin”. Oleh sebab
itu wajar dan tepat bila pemerintah kemudian memindahkan urusan kebatinan dari
Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut PAMA PUJA (Panguyuban Masyarakat Adat Pulau Jawa, yaitu gerakan
yang mewakili masyarakat adat di Jawa), salah satu masalah paling berat yang
dihadapi masyarakat adat Jawa adalah hak untuk menjalankan agama atau
kerpercayaannya, dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
Salah satu bentuk diskriminasi lainnya adalah belum adanya pengakuan
aliran-aliran kebatinan sebagai agama. Hal ini terlihat dari rumusan definisi agama versi pemerintah. Menurut
pemerintah Indonesia, “agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan
kitab suci memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci”. Dari
definisi ini, maka aliran kebatinan tetap tidak diakui sebagai agama. Kementerian Agama dalam hal ini hanya mengakui dan menetapkan enam agama
secara resmi, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu. Penetapan
itu antara lain menyebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang
“menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.” Ini dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden
ini pertama-tama mencegah agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dari
ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama
dari agama yang bersangkutan”. Salah satu korban dari kebijakan
negara dalam soal ini adalah kelompok-kelompok penganut agama adat atau aliran
kepercayaan. Mereka semuanya diarahkan kembali ke agama induk, misalnya para
penganut Sunda Wiwitan (Baduy) diarahkan kembali ke agama Hindu. Bahkan aliran
kepercayaan tidak dianggap sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar
agama, melainkan dipandang sebagai budaya saja. Diskriminasi ini menurut hemat saya adalah hal yang aneh. Bukankah jika
kita mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E , dijelaskan bahwa;
1.
Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya...
2.
Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
3.
Bahkan dalam Pasal 28I, juga
dijelaskan pula;
... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
4.
Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5.
Dalam Pasal 29
Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
6.
Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
7.
Bahkan dalam Undang-Undang No
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 dijelaskan;
8.
Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
9.
Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Hukum Internasional ”Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa;
1.
Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau
tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah,
pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2.
Tidak seorang pun dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah menurut hemat saya, nampaknya agama-agama besar telah melakukan
perselingkuhan dengan kekuasaan. Undang-undang yang dirancang nampaknya tidak
hanya murni kepentingan hukum saja, akan tetapi juga di dalamnya kental
kepentingan politik, sehingga undang-undang yang dirancang sangat bias
kepentingan mayoritas dan menganaktirikan kelompok minoritas dalam hal ini
agama atau kepercayaan lokal.
C.Penghayat kapribaden Sebagai Wahana untuk
pelestarian Budaya dan interaksi sosial
Sejarahnya
tentang pewahyuan dalam panca gaib diturunkan kepada Romo Heru Cokrosemono yang
pada saat itu sebagai tentara. Pada sejarah singkat hidupnya beliau berasal
dari keluarga yang sederhana. Namun dalam menempuh pendidikan beliau sangat
prestisius sehingga dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Setelah
beranjak dewasa beliau mmelanjutkan kepada pendidikan TNI-AL yang setelah
pendidikan pertama beliau ditempatkan pada armada perang. Pada suatu ketika
tepatnya pada malam 14 tahun setempat beliau mendapatkan wahyu tentang panca
gaib yang mampu untuk menyelamatkan diri dan orang lain dari mara bahaya. Pada
saat ini ajaran kapribaden telah disahkan bahwa Asmo Satriyo untuk seorang priya , Asmo Wanito untuk seorang Wanita setelah
tahun 1980 , adalah sesuai dengan “ Sabda “ dan “ Keputusan Sarasehan Agung IV
“ ( Asmo kadhang sejak 14 Nopember 1980 , adalah seperti dalam
Ketetapan Sarasehan Agung IV Paguyuban Penghayat Kapribaden Nomor :
TAP.VI /SA.IV /2007, Tanggal 4 Agustus 2007 ). Hal ini kemudian diikuti oleh seluruh umat
manusia yang ada diseluruh pelosok nusantara tanpa membedakan suku, asal, ras
dan agama.
Pada
perayaan ini yang dilakukan pada hari rabu, 13 November 2013 tepatnya pada
malam 14 November 2013 yang dipeingati sebagai turunya wahyu panca gaib yang
dihadiri oleh seluruh kadang (sebutan untuk orang yang ikut pada paguyuban
kapribaden) yang diperingati sebgai pagelaran wayang kulit dan acara tumpengan.
Pada momen ini bahwa digunakan untuk oleh kara kadang untuk merenungkan dengan
cara bersembahyang pada makam romo dan ibu yang diyakini sebagai tempat untuk
memberikan berkah kepada siapapun yang berdoa disana. Karena hal ini diyakini
oleh pada penganut bahwa saat ini adalah penting untuk menyatukan antara moho
suci dan insun. Dan ajaran ini sebanarnya tidak memaksa akan tetapi untuk
sebuah panggilan hati.
Kebanyakan
orang ketika datang ke purworejo yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan
pemujaan menuturkan bahwa ajaran ini bersifat luwes dan pas dengan ajaran orang
jawa. Karena fleksibelnya ajaran ini banyak orang yang ikut pada paguyuban ini.
Dan banyak orang yang datang kepenghayat kapribaden bukannya dipaksa justru
mereka datang sendiri kepada para sesepuh untuk diberikan inisiasi berupa sabdo
suci untuk menyatakan dirinya masuk pada paguyuban kapribaden.
Perkembangan
tentang ritual dan instansi atau hubungan antar sesama kadang romo mauoun
dengan kegiatan sosial dengan umat lain seperti, tokoh agama dan tokoh masyarakat sampai saat
ini berlangsung dengan harmonis. Hal ini terlibat pada pelaksanaan yang
dilakukan pada kegiatan sosial keagamaan. Pada pelaksanaannya bahwa seseorang
yang menganut kapribaden sangat dihormati oleh umat lain. Hal ini tentunya
sebagai sebuah konsekuensi yang dihadapi seseorang dalam lingkungannya. Keberadaan
dari paguyuban kapribaden sebagai sebuah wadah untuk untuk melestarikan budaya
leluhur yang sudah dilestarikan secara berangsur-angsur. Dalam konteks sosial
keagamaan paguyuban ini tidak memaksakan kehendak yang lain agar ikut dalam
paguyuban ini, akan tetapi sebuah kesadaran yang timbul sebagai sebuah pegangan
hidup.
Pokok pemikiran
ini senada dari buah karya Clinfort Gertz yang menandang bahwa sebuah agama
tidak bisa dipisahkan dari ritus budaya yang berkembang dimasyarakat. Pada konteks
ini menunjukan bahwa agama dijadikan landasan dalam kehidupan. Akan tetapi, bisa
terjadi sebuah perubahan kebudayaan yang mengakibatkan suatu kebudayaan bisa
mengalami sebuah stagnasi dan yang lebih parah lagi adalah kebudayaan bisa
ditinggalkan oleh masyarakatnya karena dinilai tidak relevan dengan dinamika
jaman yang terjadi. Melihat dari keadaaan ini bahwa paguyuban kepribaden
sebagai sebuah tuntunan yang diyakini oleh para kadang sebagai tuntunan yang
dinilai sebagai hal j yang bersifat fleksibel yang mampu mengikuti perkembangan
jaman. Hal ini terlihat semakin bertambahnya jumlah penganut dari tahun
ketahun. Hal ini tentunya sebagai hasil perjuangan para tokoh paguyuban
kapribaden yang telah berjuang dalam mengesahkan dan meyakini bahwa penganutnya
sebagai ajaran sah dan bukan ajaran sesat. Dari pemikiran ini menunjukan bahwa
sebuah agama dan budaya dapat menyatu dalam kehidupan masyarakat dalambentuk
pemahaman yang sederhana sehingga ada sebuah kesan bahwa agama dan budaya
menyatu dalam sebuah konteks yang bisa disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Menyimak uraian
sebelumnya bahwa pemikiran kebudayaan dari Gertz bahwa masyarakat jawa menunjukan
adanya pembagian pengggolongan dari tatanan masayarakat dibagi menjadi abangan,
priyayi dan santri. Pada golongan abangan menunjukan bahwa seseorang walaupun
sudah menganut salah satu agama yang telah disahkan oleh pemerintah RI tetapi
mereka masih melaksanakan ritual yang dilakukan oleh para leluhurnya dalam
bentuk sesajen dan bahasa mantram dengan bahasa hati dan ada juga dengan bahasa
jawa kuno. Priyayi adalah golongan yang mengusung tentang golongan para
kerajaan yang menandang bahwa agama dan ritual sangat perlu dilakukan untuk
sarana dalam pemujaan kepada leluhur dan Tuhan. Selanjutnya adalah santri yang
merupakan golongan masyarakat yang dengan ketat melakukan sebuah syariat islam
dengan mutlak. Melanjutkan pemahaman ini
bahwa sebenarnya orang jawa tidak bis alepas dari pakaian dan cara pandang kejawen yang masih
melaksanakan ritual yang bercorak jawa berupa sesajen.
Dasar pemikiran
ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan sebuah tradisi tidak bisa lepas dari unsur religi dan
kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat.
Menyimak keadaaan ini bahwa pemikiran Mircea Eliade tentang sakral dan profan
selalu ada dalam setiap kegaiatan keagamaan suatu masyarakat yang ditentukan
oleh adanya sebuah ruang dan waktu yang
kemudian proses sampai dengan adanya sebuah konsensus dari masyarakat bahwa
suatu ruang atau waktu tertentu dijadikan sebagai sebuah kesakralan dan profan.
Hal ini juga terjadi pada paguyuban kapribaden bahwa pada momen yang penting
yaitu setiap tanggal 14 November yang dijadikan waktu untuk memperingati
turunnya wahyu panca gaib dengan cara bersembahyang di makam romo dan ibu agar
diberikan restu dalam menjalani kehidupan ini sesuai dengan sakdharmaning laku.
D. Kesimpulan
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang ada di Indonesia,
hendaknya mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan kultural bangsa ini, dan
bukan malah dicurigai dan diperangi sebagaimana pengalaman sejarah. Dari sana
dapat terbangun suatu suasana masyarakat yang damai dan hidup sosial yang
harmonis
Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah
bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan
menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk,
dirawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh manusia Indonesia,
mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya
karena beda agama, pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis
lainnya. Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah dan dibakar
hanya karena perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada
resolusinya. Dan para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau warisan
nilai untuk itu. Pandangan ini mengusung sebuah pemikiran bahwa dalam
tindakan manusia akan menentukan sebuah hasil yang nantinya bisa dinikmati pada
kehidupan sekarang atau pada kehidupan setelah mati.
Daftar bacaan
Abdul Munir Mulkan, “Dilema
Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th. Sumartana
(ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia,
(Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001).
Bahtiar Efendi, Masyarakat
Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani
dan Etos Kewirausahaan, (Yogjakarta, Galang Press, 2001).
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Penj.
Machnun Husein, (Jakarta: Kencana, 1995).
David Barret dan Todd Johnson, Annual
Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of
Missionary Research. (Vol 27 No 1. Denville, New Jersey., 2003)
H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan,
(Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967).
Jamhari Ma'ruf, Pendekatan Antropologi Dalam
Kajian Islam, Artikel Pilihan Dalam Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, www.ditpertais.net.
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari
Orang Jawa; Kelangsungan dan Perubahan Kulturil,(Jakarta: Gramedia, 1980).
Paul Stange, Kejawen Modern; Hakikat dalam
Penghayatan Sumaroh,(Yogyakarta: LKiS, 2009).
Rahmat Subagyo, Kepercayaan
Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, (Majalaj Spektrum No. 3, Tahun
1973)
Selo Sumardjan, “Ilmu Gaib,
Kebatinan dan Agama dalam Kehidupan Masyarakat”, dalam Simposium IAIN
Syarif Hidayatullah.
_______, Mengamankan Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jakarta: CV. Tanjung Pengharanan, 1970)
Sumantri Mertodipuro, Aliran
Kebatinan di Indonesia, (Mayapada v, No. 13, 1967)
Suwarno Imam S, Konsep
Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2005)
UU No.1/PNPS/1965, dan UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama.
Terima kasih atas pandangan nya yg menurut saya bisa diterima oleh akal sehat.
ReplyDeleteMantap..setuju
ReplyDeleteIdentitas Lokal dalam era globalisasi ini sangat penting untuk dilestarikan karena merupakan akar dari budaya bangsa Indonesia....
DeleteSaya penghayat kapribaden. Trima kasih sdh menulis ttg kepercayaan thd tuhan yme dan penghayat kapribaden. Walau tulisan. Ini sdh sjk th 2013, tp baru sy baca hr ini krn ada teman yg share di fb. Apkh bln nov 2013 yll Bapak hadir ke purworejo?
ReplyDeleteSalam kenal bu Retno, terimakasih telah membaca artikel saya.... dibulan November 2013 kebetulan sy juga hadir ke Purworejo dan saya membuat artikel ini untuk dikembangkan dalam aspek agama dan Budaya.... mohon maaf ibu tinggal dimana,,,,, sy tinggal di daerah Pasar Rebo-Jakarta Timur
Delete