Kearifan Lokal Pemujaan Lingga di Linggoasri Pekalongan, Jawa Tengah




MENELUSURI KEARIFAN LOKAL : MEDIA PEMUJAAN LINGGA SEBAGAI WUJUD TOLERANSI KEHIDUPAN BERAGAMA (Studi Kerukunan Beragama Di Desa Linggoasri, Pekalongan, Jawa Tengah)

Untung Suhardi





ABSTRAK
Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan bahwa dari pelaksanaan ritual pemujaan lingga yang dilakukan di desa Linggoasri berawal dari pemujaan lingga yang diakui oleh seluruh warga desa sebagai pemujaan kepada leluhur yang didalamnya banyak mengandung makna terpendam. Penelitian ini dengan menggunakan medode kualitatif deskriptif melalui wawancara, observasi dan pengamatan. Hasil penelitiann ini adalah Dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti yang terjadi di desa Linggoasri mencerminkan toleransi beragama dengan sama-sama menyadari pentingnya hidup berdampingan antara Hindu, Islam dan Kristen. Salah satu faktor pemersatu adalah media lingga yang diyakini sebagai media untuk melakukan hubungan kepada Tuhan karena ada keyakinan sebagai awal mula dari nenek moyang pendiri desa tersebut. Dalam hal ini sebagian besar digunakan oleh umat Hindu di desa Linggoasri, tetapi umat non-Hindu menghargai keadaan ini yang dalam hal ini bukan melakukan tindakan menduakan Tuhan, tetapi masyarakat di desa ini dari semua agama menyadari pentingnya penghormatan kepada leluhur yang bersusah payah mendirikan desa itu dan sebagai media untuk mendoakan leluhur yang telah berada dialam selanjutnya agar diberikan jalan yang mudah sesuai dengan perbuatannya.
Kata Kunci : Pemujaan Lingga, kerukunan dan Toleransi.
ABSTRACT
TRACING LOCAL WISDOM: MEDIA WORSHIP TOLERANCE LINGA AS A FORM OF RELIGIOUS LIFE ( The Study Of Religious Harmony In The Village Of Linggoasri, Pekalongan, Central Java )

Based on the research that I have done that from the implementation of the ritual worship of Linga which is done in the village of Linggoasri were derived from the worship of Linga which is recognized by the rest of the villagers as the adoration to their ancestor's many hidden meaning. This research by using qualitative descriptive medode through observation, interview and observation. The result of this is the research in the performance of religious activities such as happened in the village of Linggoasri reflect religious tolerance with equally recognize the importance of coexistence between Hinduism, Islam and Christianity. One unifying factor is believed to be lingam media as a medium to carry the relationship to God because there is a belief as an early manifestation of a common ancestor and founder of the village. In this case are mostly used by Hindus in the village of Linggoasri, but a non-Hindu people appreciate this situation which in this case is not performing actions ambiguous the Lord, but the community in the village of all faiths recognize the importance of homage to the ancestors who struggled and the village was established as a medium to pray for ancestors who have been hiking next to given an easy path according to his deeds.

Keywords : worship of the phallus, harmony and tolerance.



I.          PENDAHULUAN
Pengetahuan telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia terdiri bermacam-macam suku bangsa, beraneka ragam ras, bermacam-macam golongan, beragam budaya dan agama serta penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berjenis-jenis pula banyaknya. Hal itu merupakan faktor yang sangat rawan bagi tumbuhnya disintegrasi bangsa, apa-bila kita kurang waspada menyikapinya akan timbul bentrokan antara sesama suku, agama, ras dan antar golongan sehingga dapat menimbulkan perpecahan yang sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu pula tidak kalah pentingnya agar semua pemeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meningkatkan Sraddhā dan Bhakti, sehingga terwujud kualitas iman sebagai landasan moral yang tangguh demi tetap tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai negara NKRI.
Agama merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan sangat sensitif sehingga perlu mendapat kebebasan memilih dan memeluk agamanya masing-masing tanpa mendapat paksaan dari siapapun. Interaksi antara masyarakat yang berbeda agama perlu dibina serta ditangani secara arif dan bijaksana agar tidak menimbulkan rasa ketersinggungan pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya yang berbeda cara pelaksanaannya walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan kedamaian spiritual. Salah satu cara untuk merukunkan sesama umat beragama adalah dengan jalan musyawarah secara dialogis dan bertanggung jawab atas segala ucapan yang diikuti dengan tindakan yang konsekwen dan konsisten guna menghindari timbulnya permasalahan yang menjadi penyebab retaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga halnya senantiasa perlu dijaga dan dikembangkan kerjasama dan saling hormat menghormati sesama umat beragama. Kebebasan beragama di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang yaitu pasal 29 ayat 1 dan 2 yang secara tegas memberikan kewenangan kepada seluruh rakyat Indoneisa untuk memilih agama dan kepercayaan yang telah dianutnya tanpa paksaan dari siapapun (Sekretaris Negara MPR RI, 2012 : 14-15).
Hindu mengenal pemujaan Tuhan dengan nirguna (tanpa wujud) dan saguna (berwujud) keduanya sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan yang digunakan oleh umat Hindu (Titib, 2000). Pada dasarnya lingga merupakan pemujaan yang berwujud (saguna), kemudian keberadaan lingga ini sebagai lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat Hindu. Hal ini terbukti dengan peninggalan lingga yang kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.
Selain peninggalan  lingga yang tersebar di India khususnya di daerah Mohenjodaro dan Harappa, kemudian tersebar diwilayah kalimantan dan Jawa, keberadaannya ini ada juga yang terdapat didaerah perbukitan, seperti yang ada didaerah Linggoasri Pekalongan Jawa Tengah. Di Desa Linggoasri Kecamatan Kajen pada tahun 1934 dihuni oleh komunitas Hindu, di desa itu juga ditemui peninggalan sejarah  lingga. Munculnya nama Desa Linggoasri  menurut salah satu sesepuh Desa Linggoasri adalah adaptasi dari batu lingga atau prasasti. Lingga berbentuk bulat panjang dan bersegi lima yang memang dimiliki desa tersebut. Lingga itu dijadikan simbol bahwa desa itu telah berumur tua dan penuh dengan peninggalan sejarah (Majalah tempo 1987/8/8). Benda sejarah lain yang menyerupai pasangan lingga adalah yoni sehingga, keberadaan Lingga dan yoni itu diartikan sebagai perwujudan simbol laki-laki dan perempuan.
Seiring dengan perjalanan waktu lingga ini simbol desa Linggoasri itu sendiri, dan yang melakukan ritual ini tidak hanya umat Hindu, melainkan umat yang ada di sana dalam wujud ziarah. Dan umat disana menjadikan lingga ini sebagai suatu hal yang sakral karena sebagai simbol leluhur desa yang telah memberikan kehidupan kepada seluruh penduduk desa tersebut. Berangkat dari fakta ini penulis menjadikan  tulisan karena pada dasarnya kehidupan beragama tidak dapat terlepas dari hal yang bersifat magis dan spiritual (Koentjaraningrat, 1987). Kesadaran ini yang kemudian, sekarang banyak bermunculan masalah yang mengatasnamakan agama tertentu dengan mengklaim sebagai ajaran tertentu sebagai agama pemuja patung dan lain sebagainya. Keadaan ini sebenarnya sebagai emosi keagamaan yang ada di desa Linggoasri bahwa ritual lingga ini bukan untuk menduakan Tuhan sebagai sumber kehidupan di alam semesta ini, melainkan sebagai wujud toleransi dan kebersamaan yang didalamnya benyak tersirat bentuk ritual dan makna yang tidak  hanya diartikan sebagai sesuatu hal yang sempit dan menganggap bahwa hubungan antara leluhur dan manusia yang masih hidup ini terputus karena berbeda alam. Namun, jika dilihat secara mendalam justru pandangan ini semakin dijauhkan oleh alam pemikiran orang modern  yang mengetahui bahwa ada hubungan yang erat antara manusia di dunia dengan leluhur. Fenomena inilah yang menjadikan penulis mengangkat tulisan ini sebagai bentuk kearifan lokal yang masih berjalan di desa Linggoasri sebagai warisan adiluhung yang harus dilestarikan.

II.       RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah ini penulis membahas tentang : a. bagaimanakah makna yang terkandung dari pemujaan melalui media lingga ? b. Bagaimanakah upaya toleransi yang dilakukan kepada pemeluk agama lain ?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut tulisan ini memunyai tujuan dan manfaat sebagai berikut : untuk mengetahui makna yang terkadung dari pemujaan melalui media lingga dan mengetahui upaya toleransi yang dilakukan kepada pemeluk agama lain. Manfaat penulisannya adalah : memberikan sumbangan pemikiran tentang khasanah hidup beragama untuk berdampingan dengan pemeluk agama yang lain dan jangan mencela dan menjelekan agama atau kepercayaan pemeluk agama lain.

III.    METODE
Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Pengumpulan data yang digunakan dengan menggunakan wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan di desa Linggoasri kecamatan kajen, Pekalongan, Jawa Tengah. Adapun data primer yang didapat melalui wawancara adalah dengan juru kunci batu lingga, tokoh agama (pemangku), tokoh masyarakat (pemuka desa) serta masyarakat yang berada di Desa Linggo Asri yang dipandang mengetahui.
Penentuan informan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penulis memilih dengan metoda Purposive Sampling atau ditentukan berdasarkan tujuan dan kepentingan dari data yang diharapkan oleh penulis. Kemudian dari informan itu berkembang dalam bentuk Snowballing sampling yaitu dengan cara menentukan informan yang semula jumlahnya sedikit kemudian informan itu diminta untuk memilih teman yang lain yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang dikaji untuk dijadikan informan begitu seterusnya sehingga jumlah informan semakin banyak sampai kemudian sudah dianggap mampu merepresentatifkan dari informan yang lain dan mendapatkan data yang lengkap baru kemudian diakhiri. Dalam penelitian kualitatif yang beraliran fenomenologis lebih menitikberatkan pada kenyataan yang bersifat global, sehingga walaupun lokasinya terbatas, responden sedikit akan tetapi jika data yang tersebut merupakan kenyataan yang berlaku, maka data tersebut sudah cukup membuktikan kebenaran.
Selanjutnya dalam menganalisa hasil penelitian ini penulis melakukan serangkaian tentang pengkodifikasian tentang data yang  telah dikumpulkan dan menkombinasikannya dengan data yang sudah ada baik itu data primer ataupun data skunder (Danim, 2002 : 229). Berdasarkan uraian tersebut diatas penyajian data dilakukan dalam bentuk deskriptif yaitu data diuraikan dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu pengertian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

IV.    HASIL PENELITIAN
Ritual pemujaan tentang lingga dan Yoni ini merupakan ritus yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Linggoasri sebagai wujud kearifan lokal masyarakat setempat yang memiliki makna simbolis. Untuk mendapatkan kerangka referensi yang memadai penulis akan mengemukakan aspek penting, yakni
a.      Sejarah Singkat terbentuknya Desa Linggoasri
Desa Linggoasri merupakan salah satu desa dari wilayah Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah yang berada di dataran tinggi + 600 m diatas permukaan air laut. Dalam perkembangannya desa Linggoasri merupakan daerah pariwisata yang dalam lindungan Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pembicaraan tentang batu lingga ini pada awalnya hanya batu saja yang digunakan untuk tempat persembunyian sampai akhirnya menjadi tempat pemujaan Hindu dan penduduka disekitarnya sampai sekarang, sampai kemudian buat rumah untuk melindungi batu
dari hujan serta panas.
Oleh karena itulah, mulai dilakukan semacam ritual kejawen yang dikhususkan untuk melakukan pemujaan terhadap lingga ini, dan setelah dilakukan penyelidikan secara mendalam bahwa batu lingga ini pada jaman dahulu kala digunakan untuk pemujaan kepada Dewa Iswara yang dibuktikan dengan adanya tulisan sansekerta yang bertuliskan abad ke-6 Masehi.
Sebenarnya tanah ini merupakan tanah milik dari bapak Sahlan yang biasanya ditanami dengan hasil bumi seperti, singkong, ketela, jengkol dan tanaman lainnya. Selain itu, pada tahun 60-an ada seorang ulama yang bernama Suteja dari Kota Pekalongan bahwa diareal didesa lingga ini ada sebuah harta yang tidak ternilai harganya yang merupakan peninggalan leluhur desa yaitu sebuah pemujaan kuno yang diberi nama lingga, keberadaanya ini sangatalah identik dengen pemujaan dewa Siva yang merupakan aspek dari manifestasi Hyang Widhi sebagai pelebur segala malapetaka di alam semesta ini. 

Pendapat lain juga diungkapkan oleh tokoh agama di Linggoasri yang mengatakan bahwa pada awalnya batu lingga ini disebut batu wurungan karena hanya dianggap batu biasa, akan tetapi setelah berkembangnya waktu keberadaan  batu lingga ini sangatlah disakralkan karena sangatlah berhubungan erat dengan sejarah desa linggaasri yang berawal dari adanya batu lingga ini, untuk itu pada bulan sura tepatnya pada hari jumat kliwon dilakukan adanya pemujaan berupa penyucian batu lingga yang maksudnya adalah untuk memohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi melalui sarana seperti air bunga, minyak klentik dan kelapa.
b.      Keadaan penduduk Desa Linggoasri
Secara umum penduduk Linggoasri adalah berprofesi sebagai petani dengan tingkat pendidikan yang sedang. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa sistem pendidikan di Desa Linggoasri ini termasuk dalam daftar yang menengah kebawah, karena sebagian besar penduduknya sudah bisa membaca dan menulis walaupun hanya tamat SD dan pendidikan tertinggi S-1. Data penduduk dalam hal ini termasuk dalam penduduk yang jarang karena dihuni  oleh 959 laki-laki dan 905 perempuan. Adapun untuk data pendidikan desa Linggoasari adalah : 
Tabel  Data Tingkat Pendidikan Desa Linggoasri
Tingkat pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Usia 18 – 56 th tidak pernah sekolah
3
2
Usia 18 – 56 th pernah SD tetapi tidak lulus
116
107
Tamat SD
621
552
Tamat SMP
75
72
Tamat SMA
35
26
Tamat D – 2
2
1
Tamat D – 3
2
2
Tamat S – 1
3
2
Sumber : Profil Desa Linggoasri, 2011 : 18 -19.
Data tentang kependudukan desa Linggoasri merupakan penduduk yang terdiri dari pemeluk agama Hindu dan Islam. Komposisi Penduduk berdasarkan Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti “menambatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: “sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati” (Reese, W.L. 1980). Dari adanya pengertian tentang agama ini bahwa yang mendominasi tentang adanya sistem religi yang terjadi di Desa Linggoasri adalah tentang adanya agama Islam yang mendominasi kemudian disusul oleh Hindu untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :
Tabel. Data Penduduk berdasarkan Agama
Agama dan kepercayaan
         Laki-laki
Perempuan
Islam
792
852
Hindu
164
151
Budha
3
2
Total 
959
905
Sumber : Profil Desa linggoasri, 2011 ; 20

Merujuk dari tabel diatas, menunjukan bahwa sebagian besar dari masyatakat Desa Lingoasri adalah berkeyakinan Islam hampir 80%, akan tetapi walapun Islam termasuk dalam kelompok yang mayoritas kehidupan beragama selalu dalam lingkup yang damai dan penuh dengan toleransi antaragama. Dan adanya pelaksanaan tentang kehidupan keagamaan Hindu selalu berjalan dengan baik dan seimbang dan mereka tetap optimis untuk menjalankan kehidupan beragamaan mereka. Pada pelaksanaan kehidupan sosial keagamaan biasanya ada golongan yang beragama Islam tetapi melaksanakan ritual adat jawa seperti, membuat tumpengan, sesajian dan lainnya. Sejalan dengan hal ini Geertz (1960) membagi masyarakat jawa dalam 3 tipe ideal berdasarkan ciri-ciri yang terbentuk sebagai aktualisasi dan pengalaman kehidupan sosial keagamaan dan politik, dalam pengklasifikasian ini terdiri dari abangan, santri dan priyayi (Mulder, 1985 : 17-18 dalam, Riyani, 2005 : 85).
Sejalan dengan konsep ini bahwa golongan Islam biasanya masuk dalam golongan santri dan priyayi yang sudah melakukan ketentuan Islam akan tetapi berdasarkan penelitian Geertz golongan tersebut masih menghormati adat jawa yang telah dilakukan oleh leluhurnya dahulu. Jadi dalam hal ini golongan kejawen tidak secara terang-terangan dan membentuk perkumpulan tertentu  tetapi mereka tetap menjadi Islam namun masih tetap menjalankan adat istiadat leluhurnya seperti melaksanakan slametan, tumpengan melakukan nyekar pada kuburan orang tua dan ritual lainnya.

c.       Bentuk Pemujaan melalui Media Lingga
Proses pemujaan lingga ini mempunyai urutan yang sangat sistematis, untuk mempermudah pemahaman, penulis menyajikan keterangan dan gambar berkaitan dengan tatacara penyucian lingga, yaitu :
1.      Proses persiapan dengan pemujaan oleh juru kunci
Tahab awal yang dilakukan oleh juru kunci adalah melakukan pemujaan kepada leluhur bahwa akan dilakukan pemujaan lingga, untuk mohon ijin agar beliau memberikan berkah dan kelancaran acara pemujaan ini. Sarana yang digunakan dalam pemujaan ini adalah banten yang sederhana, seperti dupa, daksina dan perlengkapan persembahyangan lainnya. Wujud upacara awal ini dalam bahasa jawa adalah sowan atau meminta ijin akan melakukan pemujaan lingga. Konsep yang dibawa oleh Alexander dalam (Sanderson, 2000 : 9) mengatakan bahwa Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya  yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu, salah satu bagian dari mekanisme itu adalah komitmen dari anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.  

2.      Juru kunci  menjelaskan tentang urutan pemujaan lingga
Setelah persiapan awal sudah dilakukan tahapan yang selanjutnya adalah tentang adanya pelaksanaan dharma wacana yang dilakukan untuk memberikan pencerahan tentang pelaksanaan proses ritual pemujaan lingga yang dilakukan oleh masyarakat di desa linggoasri. Tahapan ini dilakukan untuk memberikan arahan tentang pelaksanaan ritual batu lingga yang secara fisik merupakan sebuah simbol pemujaan kepada hyang Siva yang mampu melenyapkan segala kekotoran dialam semesta ini. Selama penulis melakukan pengamatan secara langsung tentang pencerahan atas rangkaian upacara pembersihan lingga ini bahwa yang dibicarakan dalam pencerahan ini adalah sebuah pemahaman oleh juru kunci dalam hal ini adalah bapak Waris kepada umat yang hadir untuk mengikuti prosesi pelaksanaan pemujaan lingga tersebut. Dan secara tidak langsung juru kunci adalah sebagai Dharma Pracharaka, yakni orang yang akan ”mewedarkan” atau ”membabarkan” ajaran Agama Hindu kepada umat atau komunitasnya (Titib, 2007: 2). Hal ini bertujuan untuk melakukan pembinaan umat secara intern yang dilakukan setiap jumat kliwon. 

3.      Juru kunci dan beberapa umat membersihkan batu lingga
Prosesi penyucian ini diawali dengan membuka saput dari lingga yang terbuat dari kain berwarna kuning dan merah. Selanjutnya, pemujaan diawali dengan menyiramkan bunga setaman kepada sekeliling lingga dalam hal ini bunga dilambangkan sebagai ketulusikhlasan sebagai pemuja kepada yang dipuja. Kemudian mencampurkan air kelapa, susu, jeruk, madu dan minyak kelapa untuk dilumurkan dari atas lingga dan sisanya dicipratkan pada lingga tersebut. 

4.      Melakukan persembahyangan bersama dengan dipimpin oleh pemangku dilanjutkan dengan kramaning sembah, meditasi dan pemercikan tirtha.
Setelah  semua prosesi tentang persiapan dan pembersihan tentang lingga maka tibalah saatnya tentang pemujaan puncak yaitu tentang upacara ritual pemujaan dan prosesi meditasi di areal batu lingga. Sampai saat ini selama pengamatan penulis secara langsung bahwa yang mengikuti pemujaan lingga itu adalah umat Hindu sendiri baik  itu dari  kalangan anak-anak, remmaja, dewasa dan para sesepuh umat hindu.


Lingga merupakan lambang dari dewa Siva yang berfungsi sebagai pelebur dan pemusnah segala malapetaka di alam semesta ini. Bentuk lingga yang ada di desa Linggoasri mempunyai tiga bagian utama, yaitu bagian bawah (brahmabaga), bagian tengah (wisnu bhaga) dan bagian atas (siva Bhaga). Ketiga bagian ini merupakan satu kesatuan khusus yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga ketiganya ini merupakan sebuah penopang dalam menjalankan kegiatan ritual keagamaan dalam pemujaan lingga yang dilaksanakan di Linggoasri. Adapun prose pemujaannya adalah dengan membersihkan lingga tersebut dari ketiga bagian ini kemudian melakukan proses meditasi dan persembahyangan bersama. Oleh karena itu, dalam hal realitas yang sakral Mircea Eliade [Terjmah Nuwanto, 2002] : Kehidupan dibagi menjadi dua bidang:  pertama adalah Sakral (supernatural, luar biasa, mengesankan, penting, abadi, penuh substansi, keteraturan, kesempurnaan, rumah para leluhur dan para dewa. Kedua adalah profan (sebaliknya biasa, penuh bayang-bayang).  Berangkat dari kedua hal inilah muncul konsep tentang hierofani (penampakan yang sarkral) dalam membangun sebuah tempat. Dan tempat itu menjadi sebuah pusat dunia (cosmos) tempat keteraturan. Tempat ini umumnya ditandai oleh sebatang pohon atau sebuah gunung yang dianggap axis mundi (poros dunia, tempat berputarnya seluruh dunia).    

d.      Makna Pemujaan Lingga
Pemujaan Lingga sebagai wujud kebudayaan yang ada dalam kehidupan ini mempunyai makna yang bersifat sosial keagamaan, adapun makna sebagai berikut :
1)      Makna Solidaritas kehidupan beragama
Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya, tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya di bawah supra empiris. Manusia adalah mahluk sosial yang selalu dihadapkan pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungannya. Beradaptasi merupakan salah satu bentuk reaksi atas kebutuhan kebersamaan yang dapat berwujud sebagai kesetiakawanan. Salah satu aspek budaya di Indonesia, kesetiakawanan itu dapat tercermin melalui sistem nilai, yaitu :
a.       Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komitmennya, masyarakat dan alam sekitarnya.
b.      Dalam segala aspek kehidupannya, manusia pada hakekatnya tergantung kepada sesamanya.
c.       Ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan balik dengan sesamanya, tergantung oleh jiwa sama rata-sama rasa.
d.      Ia selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama rendah dan bersama dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi rendahnya (Koentjaraningrat, 2002 : 62).

Sebagai mahluk sosial, manusia tentu tidak dapat hidup sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, sikap saling menolong dan kesetiakawanan mutlak diperlukan. Hidup manusia selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya terutama di dalam masa-masa kesusahan. Konsep ini memberikan suatu landasan yang kokoh bagi rasa keamanan hidup. Konsep kebersamaan juga memberikan kewajiban kepadanya yaitu kewajiban untuk terus-menerus memperhatikan solidaritas sosialnya untuk menjaga keberadaannya. Kebersamaan tersebut di dalam aspek sosial kemasyarakatan oleh umat Hindu di Desa Linggoasri  dijadikan dasar untuk berpikir teologis bahwa Tuhan pun dalam manifestasiNya adalah kesatuan sosial. Aktivitas ritual pemujaan Lingga ini sebagai prosesi pemujaan kepada leluhur desa Linggoasri dan sekaligus sebagai pemujaan Siva serta kehadiran para deva atau Ida Bhattara manifestasi Tuhan untuk memberikan anugrah kepada umatnya. Keadaan ini memang dijelaskan dalam Samaveda 3 : 72 sebagai berikut :
Sāmate visva ojasa patim divo
Ya eka id bḥur atithjananam
Sa purvyo nutanam ajigosam
Tam vartanot anu vavṛta ekā it
                   Terjemahannya:
Berkumpullah wahai engkau semua, dengan kekuatan jiwa menuju Tuhan Yang Maha Esa, tamu seluruh umat manusia, Yang Abadi yang kini datang, semua jalan menuju kepada-Nya (Terjemah : Dewanto, 2009).

Makna kebersamaan atau solidaritas di dalam pemujaan Lingga tampak dari persiapan maupun pelaksanaan prosesi upacara sampai pemujaan kepada Dewa Siva serta mendoakan untuk leluhur. Warga masyarakat juga menunjukkan dengan kesungguhan hatinya. Kebersamaan dalam wujud ngayah (kerja bakti) melaksanakan tugas-tugas persiapan maupun pelaksanaan menyukseskan rangkaian ritual pemujaan batu lingga di desa Linggoasri tersebut. Kebersamaan di dalam ngayah juga dijelaskan di dalam Kitab Suci Rg Veda X. 191.2 sebagai berikut :
 Saṁ gacchadhvaṁ saṁ vadadhvaṁ Saṁ vo manāṁsi jāntām Devā bhāgaṁ yathā pūrve Sañjānānā upāsate
Terjemahannya :
Wahai umat manusia, anda seharusnya bersama-sama, berbicara bersama-sama dan berpikir yang sama, seperti halnya Para Deva dimasa lalu untuk menerima persembahan masing-masing (Terjemah : Dewanto, 2009 :1100).

Dari uraian diatas makna kebersamaan juga berarti menumbuhkan hubungan sosial yang berbudaya, artinya adanya suatu keseimbangan antara hubungan berdasarkan pada kasih sayang dan hubungan berdasarkan pada kepentingan. Kepentingan yang menjadi dasar hubungan sosial itu hendaknya harus bersifat untuk kepentingan umum dan bukanlah untuk kepentingan individu yang tidak berlandaskan pada dharma. Peningkatan hidup rohani maupun jasmani tidak dapat diraih dengan baik tanpa adanya prema dan bhakti. Prema adalah kasih sayang sebagai dasar hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya, sedangkan bhakti adalah landasan hubungan manusia dengan Tuhan.
Pemujaan tentang lingga ini merupakan wadah umat untuk melakukan sosialisasi dalam pelaksanaannya yang berguna untu memupuk rasa persudaraan dan rasa kesetiakawanan sosial baik intern maupun ekstern beragama. Pembicaraan  tentang ritus yang digunakan untuk pemujaan dalam hal ini adalah lingga sejalan dengan pemikiran Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1987 : 74) yang mengatakan bahwa ritus dari upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan semangat kehidupan sosial masyarakat. Dalam praktik dilapangan pemujaan lingga ini mempunyai sebuah makna untuk memberikann rasa persudaraan sesama umat dan dan tempat saling mengenal satu dengan yang lainnya.   Sehingga dalam hubungan interaksi sosial budaya dalam masyarakat di Desa Linggoasri semakin meningkat dengan adanya pelaksanaan pemujaan tersebut. Dan dalam strukturfungsional keberadaan ini semakin terjadi dan tergantung  dan saling terkait antara satu dengan yang lain yang membentuk susunan struktural keagamaan. Karena dalam hal ini pemujaan lingga sebagai peran seni yang dalam agama sebenarnya merupakan satu kesatuan dengan fungsi yang sama, agama dalam hal ini sebagai dunia imajinasi yang sangat penting yang berfungsi secara sosial.
 Jadi, dalam pandangan sturktural fungsional mengatakan bahwa adanya karakteristik dasar manusia, manusia hidup dalam ketidakpastian, dalam kondisi konflik antara keinginan dan kenyataan manusia hidup dalam ketidak berdayaan dan manusia hidup dalam kondisi kelangkaan (O’Dea, 1995 dalam Sumandiyo Hadi, 2006 : 293-294). Dengan adanya kenyataan ini manusia sering dihadapkan pada suatu kondisi nyata bahwa kadangkala permasalahan yang muncul dari adanya suatu permasalahan yang berkaitan dengan adanya pemujaan lingga baik itu masalah sosial adakalanya tidak dapat terlampaui atau melebihi batas akal manusia sehingga hanya dijawab dengan adanya pelaksanaan kegiatan yang bersifat transenden. Pendapat ini sejalan dengan konsep Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat, 1987 : 67-68) yang mengatakan bahwa pelaksanan upacara religi yang dilakukan pemeluk agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Pelaksanaan agama tidak hanya untuk memuaskan rasa keagamaan secara pribadi tetapi mereka beranggapan bahwa pelaksanaan ajaran agama merupakan suatu kewajiban sosial sebagai pendorog dalam solidaritas sosial sebagai fungsi azasi dari religi atau ajaran agama yang dianutnya. Fungsi agama inilah yang berperan sebagai penyelesaian masalah sosial keagamaan. Maka dari pendangan ini dapat disimpulkan bahwa pemujaan lingga merupakan sebuah pemujaan sakral yang mampu mendekatkan sebuah hubungan kekerabatan yang dapat menumbuhkan semangat kebersamaan sesama umat khususnya dan kesetiakawanan sosial kepada umat non-Hindu yang ada di Desa Linggoasri sebagai wujud persatuan dan kesatuan.

2)      Makna Keseimbangan
Setiap kondisi yang mampu untuk membuat eksisnya sesuatu tergantung pada dimensi jasmaniah dan rohaniah. Dimensi tersebut melekat pada hakekat manusia sebagai mahluk jasmani. Manusia yang normal selalu mendambakan kebahagiaan hidup lahir dan bhatin, keseimbangan, material dan spiritual serta keharmonisan dengan sesama dan lingkungannya. Konsep mengenai keseimbangan dan keharmonisan di dalam agama Hindu disebut dengan istilah Tri Hita Karana (Gede Jaman, 2008). Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar.
Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Secara umum tri hita karana mengandung pengertian tiga hubungan yang harmonis yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia yang harmonis dengan sesama manusia (pawongan) dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam (palemahan) beserta mahluk hidup lainnya. Penerapan Tri Hita Karana dalam konsepsi Hindu bisa kita jumpai dalam perwujudannya yaitu parhyangan, palemahan dan pawongan.  Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: 
Sahayajñaḥ prajāḥ sristvā puro vācha prājāpatiḥ
 anena prasavishya dhvam esha vo'stv ishta kāmadhuk
Terjemahan :
Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. (Pendit, 2002: 89).

Berdasaran sloka diatas bahwa  dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bhakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya. Tri Hita Karana bermakna sebagai tiga hal yang mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan yakni hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia dan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam. Kaitan Tri Hita Karana dengan falsafah Tri murti, Tri kahyangan, dan Tri kaya parisudha, adalah: untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera lahir dan bathin (mokshartam jagaditaya ca iti dharmah), manusia hendaknya mampu melaksanakan Tri kaya parisudha: pikiran baik, perkataan yang baik dan benar, dan perbuatan yang baik.  
Sejalan dengan pendapat di atas bahwa keseimbangan dan keharmonisan dengan sesama manusia dapat kita wujudkan dengan kerjabhakti bersama sepanjang persiapan pemujaan Lingga dan mempersiapkan ritual pemujaan tersebut. Selain tercermin dari aktivitas yang serempak dalam suasana saling membantu yang dilandasi dengan hati dan keramah-tamahan didalam proses persiapan sarana sampai dengan prosesi ritual pemujaan Lingga.. Sedangkan keseimbangan dan keharmonisan dengan alam dapat diwujudkan melalui upacara yang merupakan rangkaian dan siklus upacara, berupa upacara penyucian oleh juru kunci batu Lingga, serta adanya penyucian semua sarana dan prasarana pemujaan yang berasal dari bahan daun, buah, bunga serta minyak klentik dan hasil bumi lainnya yang menunjukkan kerukunan kita dengan alam lingkungan dan mahluk bawahan lainnya yang diwujudkan melalui berbagai prosesi ritual untuk para leluhur dan makhluk bawahan.
Berdasarkan data diatas sangatlah jelas bahwa dalam strukturfungsional mengatakan bahwa adanya sebuah keterkaitan antara satu dengan yang lain  yang mempunyai fungsi dan peran masing-masing (Sanderson, 2000). Hal ini dilakukan oleh masyarakat Hindu di desa Linggoasri sangat yakin bahwa ada kekuatan yang menentukan keharmonisan ekosistem yaitu : Tuhan Yang maha Esa, para deva, roh suci leluhur, dan bhutakala. Melalui berbagai upacara yajna dan tindakan nyata dengan melestarikan alam lingkungan sekitarnya dimaksudkan untuk membina keseimbangan dan keharmonisan sesuai dengan konsep atau ajaran Tri Hita Karana. Dalam bentuknya yang terdiri dari pemujaan Lingga sebagai perwujudan Tuhan dengan manifestasi-Nya, sehingga masyarakat di desa Linggoasri menyelaraskan antara konsep dengan kenyataan dan berharap untuk mampu membentuk hubungan yang harmonis secara keseluruhan. Dalam hal ini hubungan itu tidak hanya kepada Tuhan tetapi juga dihaturkan kepada sesama mausia dan alam sekitar. Kitab suci dari berbagai agama mungkin saja telah menyebutkan hal itu, atau mungkin lebih tegas lagi bahwa, bila manusia merusak alam atau lingkungan, maka alam-pun akan menghancurkan manusia. Ini adalah hubungan sebab – akibat yang sangat logis dengan mencari berbagai contoh bencana-bencana alam yang disebabkan karena ulah manusia.

3)   Makna Kebersamaan
Ajaran agama Hindu tentang kebahagiaan dinyatakan dengan istilah bahasa Sanskrta yaitu anandam atau sukha. Kebahagiaan yang tertinggi dan  kekal abadi disebut dengan sukha tan pawali dukha, yang digambarkan sebagai keadaan penyatuan Sang Diri Atma dengan Tuhan yang di sebut dengan moksa dan merupakan tujuan yang tertinggi di dalam agama Hindu. Istilah yang paling populer didalam ajaran agama Hindu adalah Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah, yang artinya adalah tujuan dharma adalah kesejahteraan lahir (jagadhita) dan kebahagiaan batin (Moksa). Penyatuan diri dengan Sang Pencipta yang disebut dengan moksa itulah tujuan terakhir kita hidup di dunia ini.
Nilai-nilai yang dianut kemudian diekspresikan menurut pemahaman mereka yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku baik secara jasmani maupun rohani dan dapat dikatakan bahwa kebudayaan memiliki paling sedikitnya tiga wujud, yaitu :
a.       Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idea-idea, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia di dalam masyarakat, dan
c.       Wujud kebudayaan sebagai benda-benda dari hasil karya manusia.    (Koentjaraningrat, 2002 : 5-6)

Wujud pertama adalah merupakan sebuah ideal dari masyarakat, yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba. Lokasinya pun ada di kepala atau dengan perkataan lain ada dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Bila warga masyarakat tadi tidak mengatakan akan gagasan-gagasan atau idea-idea mereka itu ke dalam tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal sering berada dalam karangan atau buku-buku hasil karya para penulis yang bersangkutan.
Lebih jauh di dalam Kitab Suci Atharvaveda IX.9.21 dikatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber dari kebahagiaan yang tertinggi, yaitu “Tannonnasad yah pitaram na veda : Tidak seorangpun mencapai kebahagiaan tanpa mengetahui Tuhan Yang Maha Esa yang bagaikan ayah (Titib, 2003 : 171)”. Ajaran Hindu bahwa semua yang ada dialam semesta ini merupakan satu sumber, yaitu Brahman (Hyang Widhi Wasa). Dengan demikian, semua yang ada ini merupakan saudara kita (Vasudaiva Kutumbhakam) karena  merupakan sama-sama ciptaan Tuhan. Jadi, yang menjadi dasar etika Hindu ini adalah Tat Twam Asi, hal ini terdapat dalam Chandogya Upanisad VI.8.7 yang menyatakan bahwa :

Sa ya eso nimā aitad atmyaṁ idam sarvam, tatsatyam, sa ātmā: tat tvam asi, śvetaketo  iti bhūya eva mā bahavān vijñāpayatv iti, tathā saumya iti hovāca
Terjemahan :
Yang itu adalah sari yang paling halus (akar dari semuanya) seluruh atman ini menjadikannya sebagai atman-Nya. Itulah memang kebenaran itulah atman Tat Tvan Asi Svetaketu, Mohon junjunganku ajarkanlah kepada hamba lebih jauh lagi, baiklah anakku, kata beliau (Radhakrisnan, 2008 : 536).

Merujuk sloka diatas mengandung makna yang sangat dalam bahwa Tat Twam Asi berarti engkau adalah itu, engkau adalah aku dan aku adalah engkau  dan semua makhluk adalah Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu oleh karena itu, jiwatman dan prakerti semua makhluk adalah tunggal dengan jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Dengan demikian, engkau adalah aku dan aku adalah engkau, itulah kebenaran. Ajaran Tat Twam Asi ini mengakui dan mengajarakan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama. Perbedaannya adalah pada guna (sifat) dan kerja serta  kualitas pengabdiannya (Adiputra, 2003 : 75).
Menyadari hal itulah, bahwa dalam kehidupan ini hendaknya saling berempati dengan sesama manusia dan makhluk lainnya, karena menyakiti makhluk lain berarti sama dengan menyakiti diri sendiri secara tidak langsung. Dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan manusia lainya sebagai suatu sistem masyarakat. Dalam hal inilah, rasa kesetiakawanan sosial perlu dipupuk dan ditumbuhkembangkan, sehingga membentuk suatu budaya saling menghormati, saling menghargai sebagai sesama manusia.
Selain itu, didalam Veda juga dikuatkan dengan adanya ajaran Tat Twam Asi antara lain, Brhadaranyaka Upanisad I.4.10 menyatakan “Aham Brahma Asmi”, Aku adalah Brahman. Hal ini mengandung makna bahwa semua yang berada dijagad raya ini adalah bagian dari Brahman. Selain itu, didalam Bhagavad-Gita VII : 9 dan 10 hal senada juga diungkapka bahwa “Aku adalah bau suci tanah dan benderang nyala api, Aku adalah Nyawa-Nya semua makhluk dan aku adalah semangat  tapa brata pertapa. Ketahuilah O Partha. Aku adalah benih abadi dari semua makhluk. Aku adalah akal dari kaum intelektul dan aku adalah cemerlangnya sinar cahaya (Pudja, 2002 )”.
Menyimak dari sloka ini menunjukan bahwa pada dasarnya seluruh alam semesta ini bagian dari Brahman yang segala sesuatunya akan kembali kepada-Nya. Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, berbagai manifestasi dan dengan persepsi yang beragam oleh umat Hindu, ternyata Dia yang menjadi sumber yang selalu dituju baik secara sadar maupun tidak sadar. Dia Brahman adalah sumber kebahagiaan yang tertinggi, persepsi umat Hindu dapat menangkap dari jalan yang ditempuh dan salah satunya adalah melalui jalan bhakti marga. Jalan bhakti marga inilah yang diterapkan oleh umat Hindu di desa linggoasri melalui pemujaan lingga Dengan demikian dapat di katakan bahwa maksud umat Hindu di desa linggoasri melaksanakan pemujaan lingga itu adalah untuk memperoleh kebahagiaan, dengan mendekatkan diri Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam praktek nyata melalui perwujudan-Nya.
Pelaksanaan tentang pemujaan lingga yang dilakukan di desa linggoasri merupakan sebuah pemujaan sakral yang sudah dilakukan secara turun temurun dan secara historis sudah dilakukan sejak jaman sebelum kemerdekaan. Sesuai dengan konsep dari Eliade (Nuwanto, 2000) mengatakan bahwa tentang pelaksanaan suatu ritual memiliki dimensi yang sakral yang berkaitan langsung dengan Tuhan. Untuk mencapai dimensi ini manusia  harus mampu membedakan antara segala yang bersifat sakral dan profan untuk menginternalisaikan diri manusia menuju kebahagiaan baik secara duniawi (Jagadhita) dan kebahagiaan rohani (moksa).

e.       Upaya mewujudkan toleransi umat beragama di Desa Linggoasri
1.      Pola Pemahaman Ajaran Agama Kepada Generasi Muda
Untuk umat Hindu sendiri disana sudah ada sarjana akan tetapi karena pekerjaan dia pindah ke Sumatra. Dan umat Hindu sekarang dengan penyuluhan mandiri dari para sesepuh dan pemangku memberikan pemahaman tentang ajaran Hindu. Untuk mengerti tentang adanya pemahaman ajaran Hindu perlu adanya regenerasi yang nantinya Hindu di Desa Linggoasri tidak musnah ditelan oleh zaman. Untuk itulah pembinaan kepada generasi selanjutnya sangat penting yang dimulai dari anak usia dini sudah dilaksanakan pembinaan ajaran Hindu melalui pasraman, kemudian pendidikan anak SD sampai dengan SMA walapun disekolah tidak ada guru Hindu secara berkala setiap hari Minggu diadakan pendidikan agama Hindu di Pasraman yang difasilitasi oleh guru agama Hindu di desa  tersebut.
Pada pelaksanaannya mereka mendapatkan pengajaran Hindu mulai dari materi keagamaan, tentang ritual keagamaan dan untuk tingkat SMP sampai SMA mendapat bimbingan khusus untuk persiapan di masyarakat jangan sampai ikut terjebak dalam arus kemerosotan generasi yang tidak mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran Hindu. Hal ini juga kaum muda diberikan bekal tentang tolerasi hidup beragama,  tidak mencela agama lain dan bersifat inklusife pada setiap pemeluk agama lain.
2.      Membina Sikap Toleransi Intern Hindu dan Antar Umat di Desa Linggoasri
 Sejalan dengan pemikiran ini umat Hindu sendiri sudah menjelaskan tentang pemujaan Lingga yang dilakukan oleh umat Hindu di Linggoasri kepada umat lain. Tetapi mereka terus menyerang teologi Hindu dengan dogma yang dianut oleh umat muslim tersebut, oleh karena itu peran lembaga desa dan penyuluh agama Hindu sangat diperlukan sebagai upaya mediasi dalam menghindari konflik antar agama ini. Hal ini sejalan dengan pemikiran Parson (G.Ritzer, 2011) bahwa suatu sistem sosial akan berfungsi untuk meredam konflik yang terjadi dengan jalan sistem norma yang berlaku dalam masyarakat diaktifkan melalui para pemimpin masyarakat sebagai pemegang kendali. Dan dalam hal ini maka dilakukan pembaharuan tentang adanya suatu hal untuk meredam konflik antar agama ini pihak umat Hindu telah membentuk suatu lembaga untuk memberikan kemudahan dan pelayanan umat dalam menjalankan praktik ritualnya karena suatu masyarkat akan merasa terlindungi dengan adanya semacam keteraturan yang terwujud dalam hukum adat yang berlaku pada desa Linggoasri. Umat disana belum mengerti tentang adanya ajaran hindu yang sebenarnya, sehingga mudah tertipu oleh adanya oknum yang tidak bertanggungjawab untuk merusak tatanan kehidupan sosial keagamaan  Hindu. Sehingga untuk memperkuat tatanan ini umat di Linggoasri ini selain patuh pada tatanan  yang berlaku dengan mengikuti norma adat juga harus memperdalam ajaran agama sebagai bekal untuk dirinya terjun di masyarakat dan kehidupan sehari-hari umat di Linggoasri, dan adanya konversi agama sebagai benih pengacau tatanan struktural masyarakat dapat diantisipasi sejak dini dengan pola pemahaman yang terintegrasi. 
Pemahaman ini akan tercermin ketika sudah menyadari bahwa dalam kehidupan beragama sebagai nafas dalam setiap kebudayaan yang ada. Sehingga perbuatan yang merugikan pihak lain atas nama agama atau kepercayaan tertentu akan diredam seiring dengan pemahaman masyarakat tentang pemujaan lingga yang dilakukan oleh umat Hindu itu sendiri bukan sebagai kepercayaan sesat melainkan sebagai wujud toleransi kehidupan beragama yang dilandaskan pada tradisi keagamaan. Ketika toleransi ini terwujud maka kerukunan yang ada dalam diri  umat Hindu akan tumbuh, dan kerukunan di masyarakat akan tercipta dengan menyadari tentang konsep kebhinekaan Indonesia dan tri kerukunan hidup beragama dapat dilaksanakan dengan baik.
3.      Pendirian forum untuk diskusi lintas agama
Forum diskusi yang dilakukan di desa Linggoasri sebagai wadah untuk saling memberikan pemahaman terkait dengan agama masing-masing yang terdapat di desa Linggoasri untuk mewujudka kerukunan beragama. Kegiatan dalam diskusi ini adalah untuk membicarakan tentang tanggungjawab bersama dan kerjasama dengan warga yang berasal dari berbagai agama di Desa Linggoasri dan kerjasama antarawarga dengan pemerintah desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.
Selain itu, di Linggoasri untuk pembinaan umat Hindu untuk mencegah konflik horizontal adalah dengan pembinaan yang diberikan oleh pendharma wacana  (penyuluh agama Hindu), tetapi dengan catatan, bahwa pendharma wacana diharapkan mengerti karakter dan latar belakang kehidupan, pendidikan, sehingga sangat mudah memberi pembinaan. Penyampaian Dharma Wacana bagi seorang Pendharmawacana sebaiknya menggunakan teknik cakap dialogis, artinya bila mengutip sebuah ucapan pakailah kalimat langsung seperti kalimat aslinya, seakan-akan orangnya yang dikutip kalimatnya itu langsung berbicara. Bila konteksnya dalam cerita diperankan oleh dua orang atau lebih, pakai pula sebaiknya metode dramastis. Metode ini lebih menghidupkan isi cerita dan pesan yang disampaikan akan lebih berkesan dan diingat oleh pendengar (Jendra, 2000:31).
Upaya penyuluhan yang harus dilakukan adalah melakukan penyuluhan agama hindu, sehingga pemahaman umat disana dalam mengaplikasikan ajaran Hindu ini tidak terpotong akan tetapi dipahami secara integral dan komprehensif tentang ajaran Hindu. Bekal pemahaman yang menyeluruh ini nantinya akan menjadikan umat yang peka terhadap lingkungan karena di dalam inti dari agama Hindu dikenal dengan konsep sevanam (pelayanan). Sehingga mempunyi bekal untuk hidup berdampingan dengan agama lain dengan selalu mengupayakan nilai-nilai toleransi beragama.  
f.       Kearifan Lokal dan kerukunan
Pelaksanaan kehidupan beragama yang ada di desa Linggoasri sampai sekarang ini belum pernah terjadi konflik baik vertikal maupun horizontal. Hal yang lain juga, dapat menimbulkan potensi integrasi adalah sosial ekonomi, pertanian dan potensi konflik adalah tentang pelaksanaan tata cara keagamaan, tempat ibadah dan peribadatan. Hal yang paling dominan yang memungkinkan terjadi di Desa Linggoasri adalah tentang tatacara keagamaan Hindu yang banyak menggunakan sarana berupa sesajen yang dipersembahkan di Pura maupun ketika melakukan pemujaan di lingga. Untuk itu, kearifan lokal yang muncul untuk mewujudkan pelaksanaan kerukunan yang ada adalah dengan hal-hal sebagai berikut :
1.      Kuatnya hukum adat di desa Linggoasri
Pelaksanaan hukum adat yang ada di desa linggoasri ini masih sangat erat dengan hukum adat yang menjadikan juru kunci atau sesepuh desa sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk menentukan yang dikehendakinya jika ada warga yang melakukan perbuatan melanggar norma adat. Disamping itu, lembaga adat desa yang didalamnya ada pamong desa sangat memberikan pengayoman tentang kehidupan kemasyarakatan baik itu kehidupan agama, sosial dan ekomomi. Semuanya ini terjalin erat dengan susunan kelembagaan yang menjadikan ketua pamong atau sesepuh  sebagai orang yang sangat dihormati.
2.      Pelaksanaan gotong royong atau sambatan
Gotong royong ini sebagai wadah untuk saling menolong dalam kehidupan bermasyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Termasuk didalamnya pelaksanaan pembangunan rumah warga, pelaksanaan hajatan dan pembangunan rumah ibadah. Pelaksanaan sambatan ini menjadikan jembatan dalam menghubungkan perbedaan yang tidak hanya agama saja melainkan, pada hubungan sosial sebagai satu kesatuan pada masyarakat di desa Linggoasri.
3.      Tradisi selametan tumpengan sebagai rumat bumi (kebersihan dunia)
Potensi yang lain dalam mewujudkan keharmonisan kehidupan beragama adalah dengan adanya pelaksanaan tradisi yang dilestarikan oleh warga desa. Tradisi ini adalah pelaksanaan tumpengan yang dilakukan setiap tahun sekali oleh seluruh warga desa sebagai salah satu prosesi pembersihan desa secara rohani yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan, kesuburan lahan pertanian dan ketenteraman desa agar sejahtera. Tradisi lain yang masih digunakan adalah pelaksanaan upacara tingkeban, upacara sebelum panen (metik pari) yang masih dilaksanakan secara turun temurun oleh warga desa linggoasri sampai sekarang.
Potensi yang ada ini sebagai kekayaan budaya dalam membangun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat  yang tentunya untuk mewujudkan bangsa dan negara yang berdasarkan atas 4 pilar yaitu ; pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan negara kesatuan republik indonesia (NKRI). Kearifan lokal ini menjadikan dasar dan alat pemersatu desa Linggoasri yang didaalamnya terdapat keanekaragaman, namun dapat disatukan dengan tradisi setempat.





IV KESIMPULAN
Pelaksanaan ritual pemujaan lingga merupakan sebuah simbol yang mempunyai pemujaan kuno yang menggambarkan adanya sebuah lambang yang menggambarkan tentang sebuah kesuburan dan kesejahteraan. Selanjutnya Dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti yang terjadi di desa Linggoasri mencerminkan toleransi beragama dengan sama-sama menyadari pentingnya hidup berdampingan antara Hindu, Islam dan Budha. Salah satu faktor pemersatu adalah media lingga yang diyakini sebagai media untuk melakukan hubungan kepada Tuhan karena ada keyakinan sebagai awal mula dari nenek moyang pendiri desa tersebut. Dalam hal ini sebagian besar digunakan oleh umat Hindu di desa Linggoasri, tetapi umat non-Hindu menghargai keadaan ini yang dalam hal ini bukan melakukan tindakan menduakan Tuhan, tetapi masyarakat di desa ini dari semua agama menyadari pentingnya penghormatan kepada leluhur yang bersusah payah mendirikan desa itu dan sebagai media untuk mendoakan leluhur yang telah berada dialam selanjutnya agar diberikan jalan yang mudah sesuai dengan perbuatannya.
Keseluruhan ini sebagai wujud toleransi kehidupan beragama di desa linggoasri karena menyadari adanya ikatan persaudaraan yang kuat walaupun adanya perbedaan keyakinan mereka tetap menjalankan kehidupan yang harmonis.

V REKOMENDASI
Demi kepentingan umat banyak maka perlu adanya penyuluhan dari Bimas Hindu Provinsi Jawa Tengah tentang pelaksanaan pemujaan lingga yang menyesuaikan dengan waktu, tempat dan keadaan umat.  Selain itu, adanya upaya dialogis antara Kemenag Pusat dengan daerah untuk menjalin kerjasama tentang kehidupan beragama dari berbagai unsur masyarakat di Pekalongan, Jawa Tengah meliputi pengadaan buku kehidupan beragama, seminar lintas agama, pengadaan sanpras untuk pembinaan kehidupan beragama, misalnya dengan pengembangan bakat dan minat pemuda.






VI DAFTAR PUSTAKA

Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa (Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal) Cet I. Yogyakarta : Shahida Yogyakarta.
Bagus, I Putu  Suamba. 2007. Siva-Budha Di Indonesia (Ajaran dan perkembangannya). Denpasar : Widhya Dharma.
Bibek Debroy dan Dipavalli Debroy. 2002. Lingga Purana. Terjm: I Wayan maswinara. Surabaya : Paramitha.
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, kebudyaan dan Lingkungan (Tinjauan Antropologis) cet II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif (Ancaman Metofologi, Presetasi Dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa Dan Peneliti Pemula Dalam Bidang Sosial, Pendidikan Dan Humaniora). Bandung : CV. Pustaka Setia.
Donder. I Ketut. 2006. Brahmavidya Theologi Kasih Semesta. Surabaya : Paramita
Eliade, Mircea. 2002. Sakral Dan Profan. Nuwanto (Terj). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Ihromi. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Koenjaraningrat. 1997. Antropologi Budaya. Jakarta : Dian Rakyat
Maswinara, I Wayan.1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya : Paramitha
Mudjiono, Ricky, dkk. 2008. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tengerang : Scientific press..
Nair, N Shanta. 2009. The Lord Shiva (His 12 Jyotirlingams And 5 Bhoota Lingams). New Delhi : Pustaka Mahal-110002
Pandit, Bansi. 2006.  Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Sanderson, Stephen. K. 2000. Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramitha.
Triguna, IBG. Yudha. 2000. Teori Simbol. Denpasar : Widya Dharma.








Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kearifan Lokal Pemujaan Lingga di Linggoasri Pekalongan, Jawa Tengah"

Post a Comment