BRAHMASUTRA: PEDOMAN KEMURNIAN
MENUJU
MANUNGGALING
KAWULO LAN GUSTI
Oleh:
Untung
Suhardi
Pendahuluan
Kehidupan sastra
yang ada di Indonesia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan sejarah bangsa-bangsa dunia yang saling terkait, misalnya adalah
negeri India. Keberadaan sastra yang menjadi rujukan keanekaragaman bangsa
Indonesia ini tertuang dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular dengan baitnya
pada pupuh CXXXIX bait 5 yang berbunyi: bhinneka
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (berbeda namun satu jua, taka da
kebenaran ajaran yang mendua) menjadi sesanti bangsa Indonesia sampai saat ini
(Sedyawati, 2009:23).
Proses
kemanunggalan yang ada ini merupakan bentuk persatuan yang digambarkan dengan
jelas pada masa silam tentang Saiva dan Buddha yang pada masa itu sudah terjadi
dengan sangat harmonis. Pandangan ini tertulis oleh sarjana barat bernama H.
Kern pada tahun 1888 sudah membahas secara komprehensif ulasan penyatuan aliran
ini (Sedyawati, 2009: 22). Keadaan ini pada dasarnya adalah penamaan yang
nantinya menjadi cikal bakal terwujudnya keanekaragaman yang memuncak pada
keheningan jiwa masing-masing individu dalam mengembangkan kemampuan dan
kesadarannya untuk mencapai yang mahatunggal.
Penghargaan dan
pendeksripsian atas keunggulan Tuhan sangatlah sulit untuk dituliskan dalam
bentuk kata-kata karena banyak sekali aporisme
(kata singkat dan penuh makna) yang membutuhkan penelaahan lebih dalam. Hal ini
menandakan bahwa manusia sangat membutuhkan pedoman untuk menghayati keberadaan
yang mahakuasa ini (Donder, 2006: 255). Terlepas dari keadaan tentang
kemanunggala dengan mahakuasa, kehidupan manusia mempunyai dualisme yang ada
dalam dirinya seperti kelahiran, kematian, penyakit, penderitaan dan kesedihan
(Titib, 2003: 6). Keadaan ini bermula dari keinginan manusia yang tidak pernah
putus, oleh karena itu kehadiran brahmasutra sebagai bagian dari rujukan
kehidupan untuk menyeimbangkan rohani dan jasmani seseorang dalam mengarungi
kehidupan yang penuh dengan dinamika.
Inti
Ajaran Brahmasutra
Vedānta
mengajarkan bahwa nirvāna dapat
dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tak perlu menunggu setelah mati untuk
mencapainya. Nirvāna adalah kesadaran
terhadap diri sejati. Dan sekali mengetahui hal itu, walau sekejap, maka
seseorang tak akan pernah lagi dapat diberdaya oleh kabut individualitas.
Terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu yang pertama, bahwa orang
yang mengetahui diri sejatinya tak akan dipengaruhi oleh hal apapun. Dan yang
kedua bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia.
Seperti yang telah disebutkan bahwa filsafat Vedānta bersumber dari Upaniṣad. Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra dan Bhagavad Gītā. Brahma Sūtra mengandung 556 buah Sūtra, yang dikelompokkan atas 4 bab, yaitu Samanvaya, Avirodha, Sādhāna, dan Phala. Pada Bab I, pernyataan tentang sifat Brahman dan hubungannya dengan alam semesta serta roh pribadi. Pada Bab II, teori-teori Sāṁkya, Yoga, Vaiśeṣika dan sebagainya yang merupakan saingannya dikritik, dan jawaban yang sesuai diberikan terhadap lontaran pandangan ini. Pada Bab III, dibicarakan tentang pencapaian Brahmavidyā. Pada Bab IV, terdapat uraian tentang buah (hasil) dari pencapaian Brahmavidyā dan juga uraian tentang bagaimana roh pribadi mencapai Brahman melalui Devayana. Setiap bab memiliki 4 bagian (Pāda). Sūtra-sūtra pada masing-masing bagian membentuk Adikaraṇa atau topik-topik pembicaraan. Lima Sūtra pertama sangat penting untuk diketahui karena berisi intisari ajaran Brahma Sūtra, yaitu:
1. Sūtra pertama berbunyi : Athāto Brahmajijñāsā –oleh karena itu sekarang, penyelidikan ke
dalam Brahman. Aphorisma pertama menyatakan objek dari keseluruhan sistem dalam
satu kata, yaitu Brahma-jijñāsā
yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman.
2. Sūtra kedua adalah Janmādyasya yataḥ-Brahman yaitu Kesadaran Tertinggi, yang merupakan asal
mula, penghidup serta leburnya alam semesta ini.
3. Sūtra ketiga : Sāstra
Yonitvāt – Kitab Suci itu sajalah yang merupakan cara untuk mencari
pengetahuan yang benar.
4. Sūtra keempat : Tat
Tu Samvayāt – Brahman itu diketahui hanya dari kitab suci dan tidak secara
bebas ditetapkan dengan cara lainnya, karena Ia merupakan sumber utama dari
segala naskah Vedānta.
5. Sūtra kelima: Īkṣater Nā Aśabdam – Disebabkan ‘berfikir’, Prakṛti atau Pradhāna bukan didasarkan pada kitab suci.
Sūtra terakhir
dari Bab IV adalah Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt – tak ada kembali bagi roh bebas, disebabkan kitab
suci menyatakan tentang akibat itu. Masing- masing buku tersebut memberikan
ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya
yang berbeda. Walaupun objeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya
dengan orang buta yang meraba gajah dari sudut yang berbeda, tentu hasilnya
akan berbeda pula. Demikian pula halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada
yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak
menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan
dari diri-Nya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya
menimbulkan suatu teka-teki, apakah dunia ini benar- benar ada ataukah dunia
ini betul-betul maya.
Hal ini
menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari penafsiran
tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Vedānta. Sūtra-sūtra atau
Aphorisma dari Vyāsa merupakan dasar dari filsafat Vedānta dan telah dijelaskan
oleh berbagai pengulas yang berbeda-beda sehingga dari ulasan-ulasan itu muncul
beberapa aliran filsafat, yaitu:
- Kevala Advaita dari Śrī Ṣaṇkarācārya
- Viśiṣṭādvaita dari Śrī Rāmānujācārya
- Dvaita dari Śrī Madhvācārya
- Bhedābedhā dari Śrī Caitanya
- Śuddha Advaita dari Śrī
Vallabhācarya, dan
- Siddhānta dari Śrī Meykāṇdar.
Masing-masing
filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu, Tuhan, alam, dan
roh. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari
pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan yang menuju kebenaran
terakhir, yaitu Para Brahman. Mereka merupakan anak-anak tangga pada tangganya
Yoga, yang sama sekali tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya
saling memuji satu sama lainnya. Tahapan ini disusun
secara selaras dalam rangakaian pengalaman spiritual berjenjang, yang
dimulai dengan Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita murni yang semuanya ini
akhirnya memuncak pada Advaita Vedāntis perwujudan dari yang mutlak atau Triguṇatītā Ananta
Brahman
transcendental.
Madhva mengatakan: “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran Dvaita-nya. Rāmānuja berkata: “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat Viśiṣṭādvaita-nya. Śaṅkara mengatakan: “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan menegakkan filsafat Kevala Advaita-nya. Nimbārkācārya mendamaikan semua perbedaan pandangan mengenai Tuhan yang dipakai oleh Śaṅkara, Rāmānuja, Madhva dan yang lainnya serta membuktikan bahwa pandangan- pandangan mereka semua benar, dengan petunjuk pada aspek terentu dari Brahman, yang berhubungan dengannya, masing-masing dengan caranya sendiri. Śaṅkara telah menerima realitas pada aspek transendental-Nya, sedangkan Rāmānuja menerima- Nya pada aspek immanent-Nya, secara prinsipil, tetapi Nimbārkā telah menyelesaikan perbedaan pandangan yang diterima oleh para pengulas yang berbeda tersebut.
Penutup
Perbedaan
konsepsi tentang Brahman tiada lain hanya merupakan perbedaan cara pendekatan
terhadap Realitas, dan sangat sulit bahkan hampir tak mungkin bagi roh terbatas
untuk memperolehnya sekaligus konsepsi tentang Yang Tak Terbatas atau Roh Tak
Terbatas ini secara jelas, lebih-lebih lagi untuk menyatakannya dengan istilah
yang memadai. Semuanya tak dapat menjamah ketinggian filsafat Kevala Advaita
dari Śrī Śaṅkara sekaligus dan untuk itu pikiran harus
didisiplinkan seperlunya sebelum dipakai sebagai sebuah alat yang pantas untuk
memahami pendapat dari Advaita Vedānta-Nya Śrī Śaṅkara.
Berdasarkan
uraian ini kita sepatutnya merasa bersyukur dengan kehadiran beliau sebagai
Avatāra Puruṣa, yang masing-masing menjelmakan diri di bumi ini
untuk melengkapi suatu misi yang tak terbatas, untuk mengajarkan serta
menyebarkan ajaran-ajaran tertentu, yang tumbuh subur pada masa tertentu, yang
ada pada tahapan evolusi tertentu, dan semua aliran filsafat diperlukan, yang
masing-masing dianggap paling sesuai bagi tipe manusia tertentu karena
perbedaan konsep mengenai Brahman hanyalah perbedaan pendekatan terhadap
realitas yang ada di dunia ini.
Daftar
Bacaan
Sedyawati, Edi. 2009. Siva dan Buddha di Indonesia. Edisi I. Denpasar: Widhya Dharma.
Donder, I Ketut. 2006. Teologi Kasih Semesta. Surabaya:
Paramitha.
Titib, I Made. 2003. Menumbuhkembangkan Budhi Pekerti pada Anak
(Perspektif Hindu), Editor: IGB. Widyantara. Jakarta: Ganeca Exact.
0 Response to "Brahmasutra dan Inti Ajarannya"
Post a Comment