SENI DAN RITUAL KEAGAMAAN
Oleh:
Untung Suhardi
Seni Secara Universal
Perkembangan
kehidupan kekagamaan Hindu menjadi tolok ukur dalam menempuh kesejajaran pada
pola kehidupan pada tatanan kemasyarakatan. Hal ini yang menjadikan bahwa
manusia pada dasarnya adalah sesuatu yang mampu menjadikan dirinya maju
menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Seni sebagai bagian dari nafas
kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan manusia. Sebagaimana
dalam memvisualkan ajaran-ajaran Hindu ke dalam berbagai bentuk simbol seni
budaya, ternyata telah dilaksanakan oleh para pemimpin atau para rohaniawan dan
para ahli agama Hindu dari jaman ke jaman. Ajaran agama yang sangat rahasia dan
luhur itu, diwujudkan sesuai desa, kala,
dan patra yang pada jaman itu. Wujud
buadaya agama itu dari jaman ke jaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap
memiliki konsepsi yang konsisten. Artinya prinsip-prinsip ajaran itu tidak berubah,
yakni menghayati Sang Hyang Widhi Wasa (Wiana, 2004:61).
Agama Hindu
(yang mengantarkan memasuki masa sejarah) kiranya dapat dilihat melalui
kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan seperti yang diajukan oleh C. Kluckhohn
dalam karangannya Universal Categories of
Culture (1953) seperti yang disetujui oleh Koentjaraningrat (2011:80-81) yang terdiri dari:
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan sistem kesenian.
Seni dalam Sastra Veda
Seni sebagai bagian integral dari kehidupan manusia. Pola yang
dikedepankan dalam seni menjadi ciri khas dalam mengejawantahkan seni dalam
kehidupan. Hal ini meunjukan bahwa seni dan manusia mampu melebur dalam bagian
yang diwujudkan dalam bentuk budaya. Kitab Veda smriti memunyai bagian yaitu Gandharwaveda sebagai kelompok Upaveda, menduduki tempat yang penting
dan ada hubungannya dengan Sama Veda.
Di dalam kitab Purāna kita jumpai
pula keterangan mengenai Gandharwa Veda.
Gandharwaveda juga mengajarkan
tentang tari, musik atau seni suara. Adapun nama-nama buku yang tergolong Gandharwaveda tidak diberi nama
Gandharwaveda, melainkan dengan nama
lain.
Penulis terkenal Sadasiwa, Brahma dan
Bharata. Bharata menulis buku yang
dikenal dengan Natyasāstra, dan
sesuai menurut namanya, Natya berarti
tari-tarian, karena itu isinya pun jelas menguraikan tentang seni tari dan
musik. Sebagaimana diketahui musik, tari-tarian dan seni suara tidak dapat
dipisahkan dari agama. Bahkan Siva terkenal
sebagai Natarāja yaitu Dewa atas ilmu
seni tari. Dari kitab itu diperoleh keterangan tentang adanya tokoh penting
lainnya, Wrddhabhārata dan Bhārata. Wrddhabhārata terkenal karena
telah menyusun sebuah Gandharwaveda dengan
nama Natyavedāgama atau dengan nama
lain, Dwadasasahari. Natyasāstra itu sendiri juga dikenal
dengan Satasahasri. Adapun Bhārata sendiri membahas tentang rasa
dan mimik dalam drama. Dattila menulis
kitab disebut Dattila juga yang
isinya membahas tentang musik. Atas dasar kitab-kitab itu akhirnya berkembang
luas penulisan Gandharwaveda antara
lain Nātya Śāstra, Rasarnawa, dan Rasarat Nasamucaya
Keberadaan dinamika sastra yang ada di Indonesia pada
tataran susastra India yang muncul adalah Nātyaśāstra.
Hal ini terdiri dari ajaran pemaknaan susastra, muncul emosi dasar (sthayibhāva) yang melahirkan rasa
berasal dari bahasa sanskerta ras
berarti bergema, berteriak (Astra, 2001) dalam bahasa Jawa Kuno perasaan, isi,
air (Zoetmulder, 1995 : 926). Teori Rasa ini dikemukankan oleh Muni Bharata
dalam kitab Nātyaśāstra yang ditulis
pada abad 1-4 Masehi (Suamba, 2005 dalam Suka Yasa, 2007 : 3). Ada juga yang
mengatakan ditulis antara 500 SM hingga 300 Masehi oleh Sage Bharatha, ia
berfungsi sebagai panduan yang komprehensif, luas mencakup semua aspek teater. Menurut Muni Bharata ada 9 emosi dasar dan 9 rasa yang berkaitan dengan
Istadewatanya (Rangacharya, 1999). Adapun 9 rasa itu (Nawarasa) adalah :
No
|
Sthayibhāva
(Emosi
dasar)
|
Rasa
|
Iṣṭadewata
|
Warna
|
1.
|
Rati
(Cinta)
|
Śranggāra
(Asmara, Erotis)
|
Wiṣṇu
|
Biru
tua
|
2.
|
Hāsa (Humor)
|
Hāsya
(Komik, lucu)
|
Pramartha
(Ganesha)
|
Putih
|
3.
|
Śoka (Sedih)
|
Karuṇa
(Belas kasihan)
|
Yama
|
Putih
keabu-abuan
|
4.
|
Krodha
(marah)
|
Raudra
(Ganas)
|
Rudra
|
Merah
|
5.
|
Utsāha
(Teguh)
|
Wira (keberanian)
|
Mahendra
|
Kekuning-kuningan
|
6.
|
Bhaya
(Takut)
|
Bhayānaka
(Khawatir)
|
Kāla
|
Hitam
|
7.
|
Jugupsā
(Muak)
|
Bībatsa
(Ngeri)
|
Mahākāla
|
Biru
|
8.
|
Vismaya
(Heran)
|
Adbhuta
(Takjub)
|
Brahma
|
Kuning
|
9.
|
Śama (Tenang)
|
Śānta
(Damai)
|
Siva
|
Kristal
9 warna
|
Tabel
3.1:
Teori Rasa.
Sumber : Suka Yasa, 2007 (Teori Rasa) : 14.
Keberadaan
ini terlihat ketika ada penerapan tentang seni berbusana yang ada dalam
kehidupan social keagamaan Hindu. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia
sudah berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontar-lontar yang menunjukkan
tentang busana . Secara umum busana dibagi tiga yaitu, Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk
persembahyangan (busana adat yang belum lengkap), Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara
filosofis sudah lengkap) dan Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah
lengkap secara aksesoris).
Keberadaaan busana ini terkait dengan adat Bali telah tercantum dalam Himpunan
Kesatuan Tafsir Agama Hindu tahun 1996 yang dalam menggunakan busana Bali telah
disepakati tentang hal-hal yang berhubungan dengan daerah Bali dan pelaksanaan
adat Bali. Untuk kelengkapan komposisinya terdiri dari 4 bagian yaitu busana gede (agung), busana jangkep (lengkap), busana madya (sedang) dan busana alit (SDHD DKI Jaya, 1996 :
27-28).
Seni dan Ritual Keagamaan
Kehidupan keagamaan yang ada tidak
dapat lepas dari ritual karena hal inilah yang memberikan warna
tersendiri dalam semaraknya kehidupan kaitannya dengan pemujaan kepada penguasa
alam semesta. Dalam studinya mengenai
agama, Eliade mengkhususkan pada studi dengan masyarakat arkhais, yaitu
masyarakat pra-sejarah dengan peradaban paling kuno. Mereka berburu, bercocok
tanam, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan alami lainnya. Dalam masyarakat ini,
akan selalu ditemui apa yang disebut sebagai pemisahan antara yang Sakral ialah Sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat
penting, dan tidak mudah dilupakan (Nuwanto, 2002). Sementara dan yang
Profan adalah Sesuatu yang biasa,
bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur dan
acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Seluruh pemikiran masyarakat
arkhais mengenai yang sakral adalah dorongan akan satu hal: yaitu dorongan
untuk melepaskan diri dari sejarah dan ingin kembali pada waktu ketika seisi
dunia diciptakan.
Keinginan ini oleh Eliade dinamakan
dengan nostalgia surga firdaus. Jauh di lubuk hati masyarakat arkhais, mereka
ingin meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka dan segala sesuatu yang sifatnya
profan. Yang profan ini merupakan sejarah mereka, sejarah hidup dan nenek
moyang mereka diluar penciptaan bumi dan seisinya. Mereka ingin kembali ke
Surga. Dengan demikian, kehidupan itu sama sekali tidak ada artinya bagi
mereka. Mereka ingin meraih kekekalan, keindahan, kesempurnaan, dan sejarah
hanya membawa mereka pada yang sulit, yang tidak sempurna, dan yang pahit.
Dengan kata lain, kehidupan sebenarnya tidak akan bisa dicapai melalui sejarah.
Berbeda dengan masyarakat arkhais,
filsuf-filsuf modern dn masyarakat ilmiah berkeinginan sebaliknya. Dengan
perkembangan dan kemajuan pemikiran yang ada, mereka merasa bahwa sejarah tidak
perlu dihapuskan. Manusia tidak perlu kembali pada yang sakral karena yang
sakral itu sebenarnya tidak ada. Kita saat ini sudah bisa hidup tanpa adanya
yang sacral. Oleh karena itu yang menjadi pemikiran pokok pemikiran Mircea Eliade
adalah :
1.
Aksioma I bahwa
agama adalah ndipenden yang bagianya tidak dapat dijelaskan hanya sekedar
hasil dari suatu realitas yang lain. Sebagai suatu unsur dalam perilaku
manusia, agama berfungsi sebagai sebab, bukan akibat
2.
Aksioma II bahwa metode mempelajari agama sejarah agama
dan fenomenologi.
3.
Kehidupan dibagi menjadi dua bidang: Yang
Sakral (supernatural, luar biasa, mengesankan, penting, abadi, penuh
substansi, keteraturan, kesempurnaan, rumah para leluhur dan para dewa. Yang
profan (sebaliknya biasa, penuh bayang-bayang, dll).
4.
Konsep hierofani (penampakan yang sarkral) dalam
membangun sebuah tempat. Dan tempat itu menjadi sebuah pusat dunia (cosmos)
tempat keteraturan. Tempat ini umumnya ditandai oleh sebatang pohon atau sebuah gunung yang
dianggap axis mundi (poros dunia; tempat berputarnya seluruh dunia.
5.
Mitos dan Simbol : simbol berakar pada prinsip-prinsip
seperti keserupaan atau analogi. Hal-hal tertentu memiliki kualitas, karakter
yang serupa dengan sesuatu yang lain. Mitos adalah juga simbolik, tetapi dalam
suatu cara yang sedikit lebih complicated; mitos adalah simbol yang
diletakkan dalam bentuk cerita
6.
Umat manusia di
sepanjang waktu terus-menerus bekerja untuk menyatakan kembali perssepsi
merekaa tentang yang sakral melelui cara-cara yang awal, menciptakan
mitos-mitos yang baru, menemukan
simbol-simbol yang segar dan menyusunnya kembali ke sistem yang berbeda atau
lebih luas.
7.
Simbolisme langit: dewa langit dan dewa-dewa lainnya,
merupakan realitas keagamaan manusia
purba, yang masing-masing memiliki kuasa atas alam semesta, seperti matahari,
bulan, dewa badai, dewa air, batu dan sebagainya (baca: teofani = penampakan
wujud dewa pada suatu benda atau gejala). (Mircea Eliade, [terj : Nuwanto] 2002 :
157).
Perdebatan dan cara pandang kehidupan keagamaan yang ada dalam
memunculkan pelestarian tradisi dan budaya merupakan bagian dari kontestasi
kehidupan. Dalam hal ini sebagai contoh, masyarakat Jawa terkenal dengan budaya seninya yang
terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Kekhasan
cerita wayang atau lakon
sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata.
merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang
juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan
tradisi Jawa.
Kendati dalam realitasnya, wayang lebih berwujud sebagai tontonan, namun
pada akhirnya pergelaran wayang berkembang menjadi bukan sekedar tontonan,
tetapi juga merupakan tuntunan. Terutama setelah pertunjukkan wayang digunakan
sebagai media pencerahan agama Hindu, sehingga nilai pesan yang disampaikan
banyak yang bersifat universal maka spirit wayang sudah menemukan korelasinya
dengan dunia batin orang Jawa, baik pemeluk Hindu maupun yang non Hindu.
Artinya banyak pesan moral dalam wayang diterima dan merasuk ke hati sanubari
orang Jawa sehingga dikukuhkan menjadi ajaran moral masyarakat. Hal ini yang
menjadikan Masyarakat Hindu Etnis Jawa
dalam kegiatan sehari-hari tidak melepaskan tradisi tersebut, sebagai contoh
dalam kegiatan hari-hari suci keagamaan Hindu masyarakat Hindu Etnis Jawa
biasanya melantunkan kidung-kidung yang bersumber pada nilai-nilai Hindu.
Keberadaan tri kerangka dasar agama Hindu yaitu tattwa, susila dan acara
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan karena mempunyai bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Ritual sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran Veda menjadi titik temu seluruh
aliran keagamaan bahkan aliran tradisi yang akhirnya membentuk pencampuran
kebudayaan. Keterlibatan adat, budaya dan seni dalam ritual keagamaan mampu
untuk mengukuhkan daya spiritualitas yang terlepas (Murtana, 2011:62). Seni
ritual dalam ritus agama merupakan konkretisasi dan transformasi dari
nilai-nilai keagamaan yang didalamnya menyatu dalam sikap hidup mulai dari hal
yang profan menuju ke hal yang sakral.
Pelaksanaan ritual dan seni sebagai afiliasi yang relevan dengan realitas
sosial sebagai perwujudan yang bersifat estetis sebagai bagian dari pelaksanaan
sakral. Keterlibatan ritual keagamaan dalam wujud upacara dan pelaksanaan
kesenian yang melibatkan ruang sakral. Sehingga perasatuan antara ritual dan seni
dapat memperkokoh ikatan sosial dan emosi keagamaan yang merekatkan kehidupan
keagamaan umat Hindu yang menjadikan tri kerangka dasar agama Hindu sebagai
pedoman pelaksanaan kehidupan. Aplikasi yang kemudian muncul adalah festival
keagamaan yang dihadirkan pada level lokal, provinsi dan nasional sebagai langkah
awal untuk mewujudkan pelestarian kehidupan keagamaan dan ritual yang terjadi
dan secara berkelanjutan dapat diteruskan oleh generasi yang akan datang.
Seni dapat dinikmati melalui media pendengaran (audio art), penglihatan (visual
art), dan kombinasi keduanya (audio
visual art). Secara umum, seni dapat dibedakan menjadi lima kelompok,
yaitu:
1. Seni Musik
Seni musik
merupakan karya seni yang menggunakan bunyi sebagai unsur utamanya. Selain itu,
di dalam musi terdapat juga unsur lain seperti harmonisasi, melodi, dan notasi.
Selain dari alat-alat musik, suara musik juga berasal dari manusia, misalnya
akapela atau beatbox.
2. Seni Rupa
Seni rupa adalah
karya seni yang dapat dinikmati melalui media penglihatan, atau visual art.
Seni rupa fokus pada karya yang memiliki wujud dan rupa yang diekspresikan
dalam bentuk lukisan, gambar, patung, kerajinan tangan, multimedia, dan
lain-lain.
3. Seni Tari
Seni tari
merupakan bentuk seni yang memanfaatkan gerakan tubuh sebagai keindahan.
Seorang pengarah tari (koreografer) dapat menyampaikan maksud atau pesan
tertentu melalui gerakan tarian. Pada umumnya seni tari digabungkan dengan seni
musik. Dengan begitu maka konsentrasi dan konsistensi gerakan tari menjadi
lebih sempurna dalam penyampaian pesan dan perasaan.
4. Seni Sastra
Seni sastra
merupakan bentuk seni yang dinikmati melalui media pendengaran dan penglihatan.
Melalui seni sastra dalam kata-kata, seseorang bisa menyampaikan pesan dan
kesan dengan cara yang indah. Contoh seni sastra misalnya puisi (suara) dan kaligrafi
(tulisan).
5. Seni Teater
Seni teater
adalah seni yang memvisualisasikan imajinasi atau menggambarkan buah pikir
seseorang. Hasil imajinasi tersebut berhubungan dengan perilaku mahluk hidup,
baik secara individu maupun kelompok.
Adapun beberapa kemampuan dasar dalam seni teater adalah kemampuan
menciptakan naskah, memahami karakter, dan mengekspresikan karakter dalam
naskah. Perkembangan seni Indonesia mengalami dinamika dalam berbagai aspek
karena interaksi budaya. Selanjutnya, pada tradisi ilustrasi berkembang sejak
zaman Hindu dan pada puncaknya sebagai ekkspresi seni klasik di Jawa dan Bali (Damayanti, 2007). Penggambaran tentang seni ini pada dasarnya
adalah penerapan filsafat hidup, tatacara adat istiadat setempat menyesuaikan
dengan sistem kepercayaan yang dianut.
Bahan Bacaan
Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi
dan Reproduksi Kebudayaan cet. III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Adi Suripto. 2006. Nilai-nilai
Hindu dalam Budaya Jawa. Jakarta. Media Hindu.
Adiputra, I Gd Rudia. 2003. Pengetahuan Dasar Agama Hindu. Jakarta :
STAH Dharma Nusantara.
Afif, Aftonul. Menjadi
Indonesia, Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Yogyakarta :
Parikesit Institute
Astiyanto,
Heniy. 2006. Filsafat Jawa (Menggali
Butir-Butir Kearifan Lokal) Cet I. Yogyakarta : Shahida Yogyakarta.
Bagus, I Putu Suamba. 2007. Siva-Budha Di Indonesia (Ajaran dan perkembangannya). Denpasar : Widhya
Dharma.
Damayanti, N., & Suadi, H. (2007). Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi
Naskah Nusantara 1800-1900-an. Journal of Visual Art and Design, 1(1),
66-84.
Donder. I Ketut. 2006. Brahmavidya Theologi Kasih Semesta.
Surabaya : Paramita
Effendi Djohan. 2001. Agama-Agama
Manusia. Obor Indonesia. Jakarta
Koenjaraningrat. 1997. Antropologi Budaya. Jakarta : Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar
Ilmu Antropologi. Rieneka Cipta. Jakarta
Ma’mun, dkk. 2012. Potret Hubungan
Etnis dan Agama Di Jakarta, Jakarta. Refrensi
Mantra, IB. 1997. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar :
upada sastra, Surabaya : Paramitha.
Mas Putra, Ny.IGA. 2000. Panca Yadnya. Denpasar : pemda Tk 1 Bali
Media Hindu, 2011. Juni 2011. Edisi 88.
Mudjiono, Ricky, dkk. 2008. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tengerang :
Scientific press.
Murtana, I. N. (2011). Afiliasi Ritus Agama dan Seni Ritual Hindu
Membangun Kesatuan Kosmis. Mudra Jurnal Seni Budaya, 26(1).
Pandit, Bansi. 2006.
Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah
IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Puja, G, Tjokorda Rai
Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium
Hukum Hindu. Jakarta:
CV Felita Nursatama Lestari.
Sanderson, Stephen. K. 2000. Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Triguna, IBG. Yudha. 2000. Teori Simbol. Denpasar : Widya Dharma
Zoetmulder, P.J. 2005. AdiParva (Bahasa Jawa Kuno Dan Indonesia).
Surabaya : Paramitha.
0 Response to "Seni dan Agama"
Post a Comment