JEJAK SEJARAH DKI JAKARTA
Oleh:
Untung Suhardi
Kehidupan sosial
keagamaan suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan budaya yang turut serta
membangunnya. Keberadaan ini tidak terkecuali DKI Jakarta yang mengalami
dinamika sejarah yang sangat panjang juga terbentuk karena kentalnya budaya
masa silam yang mendahuluinya. Pembahasan kebudayaan ini pada lingkup yang
lebih luas dipahami dengan ruang baik fisik, psikis, social simbolik dan
sebagainya (Piliang, 2006). Kebudayaan
sebagai bagian dari pemahaman kehidupan manusia yang selalu mengalami
perkembangan dan dinamika yang terus mengalami perubahan dan proses perubahan
ini menjadi keniscayaan bagi setiap
makhluk. Perubahan cara pandang kebudayaan yang ada sudah mulai bergesar pada pandangan kea rah
budaya local karena adanya pergerakan yang dibangun atas kesadaran untuk menghidupkan
kembali potensi wilayah yang sudah ada.
Alur pemikiran yang menghidupakan budaya local akan kembali menghidupkan
identitas local yang sudah mengalami penurunan karena trend dan gaya hidup.
Rekam jejak Jakarta sebagai metropolitan sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan keramaian dan kanekaragaman suku
dan budayanya. Seluruh suku yang ada di Indonesia dan beberapa warga Negara
asing ada di Jakarta, sehingga Jakarta dapat dikatakan sebagai miniature
Indonesia. Pertumbuhan dan dinamika kebudayaan yang mewarnai Jakarta sudah ada
dalam kisaran zaman prasejarah menurut penuturan Solheim dan Gelderen
(1965-1966) bahwa Jakarta sudah didiami oleh masyarakat antara 3000 – 1000 SM
dengan adanya berbagai peninggalam purbakala pada zaman batu sampai dengan
perunggu (Kutoyo, 1978).
Jakarta merupakan satu-satunya kota
di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di
bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa
(sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra
(1619-1942), dan Djakarta (1942-1972). Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km²
(lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah
metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,
merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Jakarta
bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun
silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat
perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta
terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar
tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para
penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit (Admin, 1970).
Keberadaan
sejarah Jakarta dalam tulisan Babad Tanah
Betawi yang ditulis oleh Ridwan Saidi (2002) mengemukakan bahwa sejarah
Betawi sudah ada sejah 3500 tahun lalu atau pada masa jaman batu neoliticum (Saidi, 2002). Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya bentuk peninggalan zaman batu berupa kapak, beliung,
pahat, gurdi, jaspis, lampu perunggu, kapak perunggu, gerabah dan lainnya (Kutoyo, 1978). Penemuan ini
didasarkan pada temuan dari Solheim dan
Gelderen (1965-1966) bahwa mereka menyimpulkan adanya daerah-daerah yang ada di
Indonesia termasuk Jakarta diperkirakan mulai 3000 -1000 SM telah dihuni oleh
manusia dan sudah terdapat masyarakat dengan melakukan penggaliandi daerah
Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan. Perkembangan budaya ini menandakan bahwa
adanya dinamika jaman yang terus berkembang mulai zaman batu baru sampai dengan
zaman perunggu besi yang semuanya ini mendapat sumbangan kekayaan dari
kebudayaan India, Islam, dan kebudayaan barat (Kutoyo, 1978; Saidi, 2002).
Melanjutkan
pembahasan ini bahwa alur sejarah
Jakarta membentang sangat panjang yang dimulai dari Tanjung Priok pada abad ke-2. Disanalah
tinggal Aki Tirem sebagai seorang pedagang priuk (tempat memasak dan menyimpan
air) dengan istri dan anaknya yang bernama
Larasati yang tinggal di di kampung Warakas yang dalam bahasa kawi
artinya sakti (Saidi, 2002). Hal ini karena
Aki Tirem sering sekali melakukan perlawanan kepada para bajak laut yang ingin
merampok priuk. Karena sudah usia akhirnya Aki Tirem mengangkat seorang mantu
yang bernama Dewawarman yang berasal dari India, Aki Tirem berpikir bahwa
perdagangan yang dilakukan alangkah baiknya dilindungi oleh kerajaan yang
akhirnya diberi nama Salakanagara pada tahun 130 M. Hal ini karena penduduk
pada waktu itu masyarakat menganggap gunung sebagai kekuatan spiritual dan
sering terlihat berwarna keperak-perakan ketika terkena sinar matahari dan
menjadikan Condet di Jakarta Timur sebagai ibukota kerajaan (Saidi, 2002). Secara ritual
bahwa mereka melakukan nyadran dengan
menyembelih kerbau dan kepalanya dihanyutkan ke laut dan pada musim panen ada
upacara meghormati dewi Sri sebagai dewi kemakmuran. Pada saat itu juga dada
tradisi mengarak ondel-ondel (berwujud
boneka besar) sebagai lambang pembantu dewi Sri untuk mengusir kekuatan
negatife yang mengganggu sawah ladang. Pada tahun 363 kerajaan Salakanegara
berakhir dengan rajanya Dewawarman VIII dengan demikian kerajaan ini eksis
selama 233 tahun dalam catatan sejarah bahwa kerajaan ini tidak pernah
berperang untuk menaklukan kekuatan manapun.
Perkembangan
selanjutnya bahwa kerajaan Salakanegara berada di bahwa pengaruh Tarumanegara
yang mengalami dinamika sampai pada akhirya berdiri kerajaan Pajajaran dengan
raja terkenal Siliwangi (Saidi, 2002). Menurut berita
Cina pada tahun 414 M yang bernama Fa-Hien yang menumpang kapal dagang setelah
berangkat dari India, tertiup angina selama 90 hari dan sampailah di Jawadi.
Sebutan ini menurut Groenevelt adalah
pulau Jawa yang pada saat itu
mendapatkan pengaruh dari India yaitu pada kerajaan Tarumanegara. Namun,
berdasarkan prasasti kota Kapur JL. Moens dan Purbatjaraka mengemukakan bahwa
runtuhnya kerajaan Tarumanegara karena serangan dari kerajaan Sriwijaya yang
terjadi pada tahun 686 dengan sebab utama bahwa bhumi Jawa tidak lagi bhakti
kepada Kerajaan Sriwijaya sehinga diadakan penyerangan (Kutoyo, 1978). Setelah
lenyapnya kerajaan Tarumanegara dan kerajaan-kerajaan kecil lainya seperti
Galuh, bukti peninggalan kerajaan tidaklah dapat ditelusuri, kemudian pada
tahun 1255 saka atau 1333M munculah kerajaan Pakuan Pajajaran dengan pusat
kerajaan di Bogor dan menjadikan pelabuhan Kelapa sebagai salah satu
pelabuhannya. Hal ini didapatkan dari berita Tom Pires yang berkebangsaan
Portugis bahwa pelabuhan kelapa sangat ramai dengan adanya berbagai aktivitas
perdagangan yang terjadi (Saidi, 2002).
Berdasarkan
naskah Purwaka Caruban Nagari yang disusun pangeran Arya Carbon pada tahun 1720
menerangkan adanya proses dan dinamika yang terus berkembang ada dalam lingkup
pemerintahan di bumi betawi sampai akhirnya terjadi penyerangan oleh Fadhillah dengan membawa tentara dari Caruban dan Demak (Kutoyo, 1978). Dari peristiwa
itu akhirnya Sunda Kelapa dapat ditaklukan dan Fadhillah diangkat sebagai
bupati di Jakarta. Keberadaan
ini merupakan sebagai akibat dari perebuatan kekuasaan yang pada puncaknya
mengalami kehancuran, tentunya di Jawa sendiri pada saat itu sudah ada Kerajaan
kuat Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk yang kemudian runtuh pada tahun 1478.
Namun, ketika beliau meninggal tidak ada satupun raja yang mampu
menggantikannya dan terjadi perebutan kekuasaan (Atmadja, 2010).
Kedatangan Belanda
pertam akali mendarat di pelabuhan
kelapa pada tanggal 13 – 16 November 1596 masih menunjukan kerahamannya pada
penduduka setempat. Namun pada perkembangannya pada 9 April 1619 Kyai Arya bertempur
untuk menyerang pasukan Belanda karena adanya ketidakadilan dan kekejaman
kepada rakyat. Keadaan terus mengalami perkembangan dan pada tahun 1945 Indonesia
merdeka dan dimulailah sistem pendidikan dan kesejahteraan masyarakat
diperbaharui sehingga mengalami peningkatan taraf hidup dan sampai saat ini
Jakarta menjadi rumah bersama untuk semua suku, agama, budaya, dan bahkan
bangsa-bangsa di dunia.
Kehidupan
pemertahanan identitas orang Betawi yang pada masa silam merupakan pemegang
tradisi Hindu yang kuat karena leluhurnya
adalah dari Kerajaan Salakanegara. Corak yang dikemukakan dalam
kehidupan sosial keagamaan Salakanegara pada saat itu sama sekali tidak
menunjukan adanya peperangan ataupun tindak permusuhan dengan kerajaan lain
justru membangun budaya damai (Saidi, 2002).
Perkembangan
dewasa ini menunjukan adanya kasus yang banyak dialami dalam bingkai
kebersamaan, seolah-olah Jakarta hanya milik sekelompok tertentu dan menganggap
orang lain yang kecil atau minoritas adalah tidak berhak dan mendapatkan
perilaku diskiminasi. Pandangan ini sesuai dengan pendapat Heidegger bahwa
dunia ini adalah hal yang merupakan satu kesatuan utuh karena di dalamnya ada
relasi antara obyek dan subyek (Heidegger, 1995). Pandangan ini
juga menentukan konsep ruang yang
didalamnya mengarah pada relasi kekuasaan yang beroperasi pada dominasi ruang
dan waktu, informasi, semiotika, relasi sosial dan kehidupan sosial (Piliang, 2006).
Daftar Bacaan
Admin. (1970). Sejarah Jakarta. Retrieved from
http://www.jakarta.go.id/v2/news/1970/01/Sejarah-Jakarta.
Atmadja, N. B. (2010). Genealogi Keruntuhan Majapahit
Islamisasi, Tolerasi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali (I). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Heidegger, M. (1995). Being And Time (I). Oxford:
Basil Blackwell.
Kutoyo, S. (1978). Sejarah Daerah DKI Jakarta. ( et
all Kartadarmadja, Soenjata, Ed.) (I). Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Piliang, Y. A. (2006). Dunia yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. (A. dan K. Adlin, Ed.) (II). Yogyakarta:
Jalasutra.
Saidi, R. (2002). Babad Tanah Betawi (I). Jakarta: PT.
Gria Media Prima.
Tioga Gold - Titanium Arts
ReplyDeleteTioga Gold is an American rock music titanium apple watch band lounge. We have been 2019 ford edge titanium for sale producing titanium hammer premium American rock mens titanium rings music since 2011, and since 2013, we've added more and fallout 76 black titanium more premium