DALAM MASYARAKAT HINDU DI
BALI
Oleh:
Anak
Agung Ketut Patera
Ni
Putu
Limarandani
Untung Suhardi
A. Latar Belakang
Hindu
merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Etnis Bali, seperti
tertuang dalam data BPS Provinsi Bali tahun 2016 yang menyebutkan bahwa delapan
puluh persen penduduk Bali, menganut agama Hindu[1]. Homogenitas
masyarakat Bali, bukan hanya terlihat dari agama yang dianutnya tetapi juga
pada praktek budaya yang kemudian menjadi hukum adat yang tidak tertulis yang
dipatuhi oleh semua penganutnya. Hukum adat di Bali bukan hanya mengatur
kegiatan masyarakat di ranah publik, tetapi juga sampai masuk ke ranah pribadi
seperti perkawinan.
Perkawinan
pada masyarakat Bali, bukan hanya harus mengikuti ketentuan hukum negara UU
Nomor 1 tahun 1974, tetapi juga diharuskan taat pada hukum adat Bali. Ketentuan adat ini bukan
merupakan ketentuan tertulis, tetapi merupakan norma yang harus dipatuhi oleh
semua penganutnya. Sebuah perkawinan dapat dibatalkan, jika perkawinan itu
tidak diakui masyarakat setempat karena dianggap tidak memenuhi hukum adat yang
berlaku. Sedangkan ketentuan tertulis yang memuat berbagai peraturan-peraturan
terkait dengan perkawinan terdapat pada kitab Manawa Dharmasastra Adyaya IX yang terdiri dari 336 pasal. Kitab Manawa Dharmasastra dijadikan sumber
referensi dan pedoman hidup masyarakat
Hindu di Bali dalam kehidupan berumah
tangga.
Seperti yang tertulis dalam Manawa Dharmasastra II.67 bahwa Wiwaha
Samskara merupakan upacara sakral yang merupakan suatu peristiwa kemanusiaan
yang bersifat wajib bagi masyarakat Hindu di Bali. Dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
Hindu di Bali berpegang teguh pada dharma
khususnya kehidupan berumah tangga, terpaparkan dalam Manawa Dharmasastra IX. 101 dan 102,[2] sebagai berikut:
IX.101 : Anyonyasyawayabhicaro,
bhawedamaranantikah,
Esa dharmah
samasena jneyah stripumsayoh parah
Artinya : Hendaknya
hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap
sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-istri.
IX.102 : Tatha nityam yateyatam stripumsau tu kritakriyau
Yatha
nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram
Artinya : hendaknya
laki-laki dan perempuan terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan
tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan
sloka diatas, perkawinan merupakan awal dari terbentuknya sebuah keluarga
dan yang berlangsung sekali dalam hidup
manusia. Pasangan suami istri wajib menjaga kesucian masing-masing, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia, mengupayakan terbinanya
kepribadian dan ketenangan lahir dan batin dalam upaya melahirkan anak yang
baik (suputra). Menurut ayat ini
apapun yang terjadi dalam rumah tangga yang dapat memecah belah perkawinan ini
harus diusahakan untuk mengatasinya dengan tidak berputus asa agar tidak pernah
terjadi perceraian karena perceraian adalah perlanggaran kewajiban atau
mengingkari ikatan perkawinan suci tersebut.
Dalam
hukum adat tersebut dikenal dua cara perkawinan, yaitu: (1) perkawinan yang
dilangsungkan dengan cara memadik
(meminang) dan (2) perkawinan dengan cara ngerorod
(lari bersama). Sementara bentuk perkawinan yang umum dilaksanakan, yaitu (1)
perkawinan biasa dan (2) perkawinan nyentana dan (3) perkawinan padagelahang, atau perkawinan yang
prosesinya berada di antara
perkawinan biasa dan perkawinan nyentana.[3]
Perubahan
identitas pada perempuan pelaku perkawinan nyerod,
pada akhirnya bukan hanya berdampak pada perlakuan di dalam keluarga besar,
namun juga dalam lingkungan masyarakat adat. Perempuan-perempuan ini dituntut
untuk menyandang identitas barunya dalam setiap kesempatan, tidak semua pelaku nyerod dapat dengan mudah menerima
perubahan perlakuan ini, sehingga mereka harus mampu mengelola perilakunya
selama berada di lingkungan adat. Dalam pandangan Gofmann[4], orang akan
berusaha memahami makna untuk mendapat kesan dari berbagai tindakan orang lain,
baik yang dipancarkan dari mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan. Perilaku
orang dalam interaksi selalu melakukan permainan informasi agar orang lain
mempunyai kesan lebih baik.
Kompleksitas
dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan nyerod,
telah menarik minat banyak peneliti untuk melakukan kajian mendalam dari
berbagai disiplin ilmu, khususnya dari perspektif hukum dan sosial tentang
ketidakadilan yang dialami perempuan. Mereka menjadi korban hegomoni praktek
adat, yang mengkonstruksi perkawinan beda wangsa
sebagai suatu aib yang harus dihindari, dan jika dilaksanakan maka sanksi
sosial yang mereka terima tidak dapat dilepaskan selamanya.
Pada
penelitian ini, peneliti mencoba menggali lebih dalam bagaimana perkawinan nyerod ini dikonstruksi oleh masyarakat
Hindu Bali secara umum dan bagaimana makna perkawinan ini bagi para pelakunya.
Dengan menggunakan metode fenomenologi, peneliti berusaha mengkaji lebih dalam
permasalahan yang dihadapi perempuan setelah melakukan perkawinan nyerod. Fokus utama dari penelitian ini
adalah tentang makna dan konstruksi sosial perkawinan perempuan Triwangsa sebagai pelaku perkawinan nyerod.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penelitian
ini berfokus untuk mengangkat masalah penelitian yakni; fenomena perkawinan nyerod dalam interaksi simbolik dan
konstruksi identitas perempuan Bali. Berangkat dari latar
belakang masalah penelitian diatas,
maka peneliti berfokus pada batasan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah Pola Komunikasi Intra-Budaya Masyarakat Hindu di Bali
?
2.
Bagaimanakah Pola Komunikasi Intra-Budaya Masyarakat Hindu Bali
Tentang Perkawinan Nyerod
?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
penulisan ini adalah untuk menganalisis tentang pola Komunikasi Intra-Budaya Masyarakat Hindu di Bali
dan menganalisis Pola Komunikasi
Intra-Budaya Masyarakat Hindu Bali Tentang
Perkawinan Nyerod. Adapun
manfaat secara teoritis adalah model
konstruksi identitas di balik sebuah perkawinan nyerod dalam adat wangsa
masyarakat Hindu di Bali utamanya dalam prespektif konstruktivisme dan kajian
komunikasi interaksi simbolik dalam masyarakat Hindu di Bali.
Sedangkan secara praktis adalah Memberikan
gambaran tentang interaksi simbolik dan konstruksi identitas perempuan Bali
dibalik perkawinan nyerod dalam adat wangsa masyarakat Hindu di Bali.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini
menggunakan dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan perempuan pelaku
perkawinan nyerod, tokoh adat,
akademisi, pemerintahan, organisasi perempuan dan orang tua perempuan yang
melakukan perkawinan nyerod dan orang
tua dari perempuan Bali yang belum kawin yang berasal dari wangsa brahmana sebagai wangsa tertinggi dalam strata sosial
Hindu Bali..
Dalam penelitian
tentang perkawinan nyerod, peneliti
akan melakukan teknik pengumpulan data yang diutamakan, seperti tradisi
sosiokultural, adalah dengan melakukan wawancara yang mendalam. Wawancara akan
dilakukan dengan terbuka dan tidak berstruktur, dokumentasi hasil wawancara
melalui alat perekam audio (tape recorder) dan pengambilan gambar (kamera
digital). Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diajukan tidak berstruktur,
dan dalam suasana bebas, dan peneliti akan menghilangkan kesan formal, dengan
menyesuaikan keadaan dengan para pelaku nyerod,
misalnya dengan berbicara santai, mengenakan pakaian sederhana (adat sederhana)
dengan suasana yang dibuat menyenangkan.
Dalam prosedur
pencatatan data hasil wawancara, Creswell[5] menyarankan
empat hal yang harus diperhatikan, yaitu; Pertama,
peneliti sebaiknya menggunakan judul untuk mencatat informasi penting dan
sebagai pengingat tujan wawancara yan dilakukan; Kedua, peneliti harus
menempatkan jarak di antara pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada lembaran
khusus; Ketiga, mengingat
pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memperkecil kehilangan kontak mata; Keempat, mencatat komentar-komentar
penutup yang menyatakan ucapan terima kasih atas wawancara yang telah
dilakukan, dan mintalah informasi lanjut kepada orang yang diwawancarai, jika
peneliti memerlukannya di kemudian hari.
Data dalam
penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data yang
diperkenalkan oleh Strauss dan Corbin[6], dengan
melakukan pengkodean atau coding. Coding pada dasarnya merupakan proses
analisis data, yaitu data dirinci, dikonseptualisasikan dan diletakan kembali
bersama-sama dalam cara baru. Ini merupakan proses sentral dimana teori-teori
dibentuk dari data[7]. Pengkodean atau coding terdiri dari tiga
tahapan: open coding, axial coding dan
selective coding.
E. Hasil Penelitian
5.1
Pola Komunikasi Intra-Budaya Masyarakat Hindu di Bali
Homogenitas
masyarakat Bali dalam keseharian, menghasilkan pola komunikasi yang khas dan
unik yang hanya ada pada kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Sesuatu yang tercermin dalam agama dan adat
istiadat bali yang begitu melekat dalam kehidupan masyarakatnya dan tidak
ditemukan pada masyarat lainya di Indonesia serta menjadi identitas dari warga
dan masyarakat Bali itu sendiri. Ketika agama, adat, dan kebudayaan menjadi
satu, berurat akar dalam kehidupan keseharian dan diakui sebagai bagian dari
identitas kolektif.
Identitas anggota masyarakatnya tercermin dari berbagai simbol verbal
dan non verbal. Utamanya kepercayaan agama Hindu yang telah menjadi bagian dari
kebudayaan Bali itu sendiri. Sesuatu yang dijelaskan oleh Lewis dan Slade sebagai “shared interpersonal communication between members of the same
cultures”.[8]
Menurut Lewis dan Slade, analisis komunikasi
intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/subbudaya dalam
satu kebudayaan, juga tentang nilai subbudaya yang dianut. Karena itulah, untuk mengetahui bagaimana pola
komunikasi intra budaya masyarakat Bali, harus dimulai dengan membedah akar
kebudayaan Hindu Bali itu sendiri.
Pola komunikasi terlihat dari nama, simbol-simbol
ritual keagaaman dan simbol-simbol kebudayaaan yang dilihat dalam ranah pribadi
dan ranah publik. Komunikasi intra-budaya non verbal dalam ranah pribadi dapat
dilihat dalam bentuk perkawinan, dimana perkawinan dalam masyarakat Hindu Bali
tidak hanya menjadi urusan dua pihak yang sedang jatuh cinta, keluarga inti dan
banjar (masyarakat yang tinggal dalam
satu wilayah), namun berkaitan dengan para
roh leluhur yang berstana di tempat ibadah keluarga yang disebut dengan merajan atau sanggah, juga berhubungan
dengan makluk dibawah manusia yang disebut dengan bhuta kala, serta Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dapat dimaknai dari konsep tri upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan
bhuta saksi) dalam pengesahan perkawinan masyarakat Hindu di Bali.
Masyarakat adat Hindu di Bali, menganut sistem
kekeluargaan patrilineal[9] dan
dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa.[10] Dengan sistem
patrilineal, penerus generasi atau purusa
dalam masyarakat Hindu Bali adalah anak laki-laki sebagai pengganti kedudukan
ayah yang akan menerima tanggung jawab secara yuridis maupun moral baik sebelum
maupun setelah perkawinan.
Sistem
patrilineal membuat posisi perempuan Hindu Bali sangat lemah, khususnya bagi
perempuan triwangsa, karena tidak
memiliki hak untuk memilih karena kedudukan perempuan Hindu Bali di posisi predana,
dimana setelah melaksanakan perkawinan sebagai perempuan dewasa, dilepaskan
dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua dan saudara kandung)
atau tidak lagi diperhitungkan hak dan kewajibannya dalam keluarga asalnya namun akan mulai diperhitungkan dalam
keluarga. Itu sebabnya nilai atau derajat hubungan seseorang dengan sanak
saudara dari garis laki-laki/purusa jauh
lebih penting dibandingkan dengan hubungannya dengan sanak saudara dari pihak
perempuan/pradana.[11]
Pola
komunikasi non-verbal ranah pribadi dapat dirasakan pula dalam pemberian nama
panggilan pada lingkungan triwangsa
dan wangsa jaba. Golongan triwangsa berada pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jaba, sehingga pencantuman
namapun tidak boleh sembarangan sudah ditentukan oleh awig-awig desa adat. Gelar dan nama
bagi wangsa brahmana adalah Ida Bagus atau Ida Ayu. Wangsa ksatria menggunakan gelar Cokorda, dan Anak Agung, sedangkan Wangsa Waisya menggunakan gelar Dewa atau Dewayu. Wangsa sudra menggunakan
gelar “I” (gelar dalam bentuk nama untuk golongan laki-laki Sudra) dan “Ni” (gelar dalam bentuk nama untuk golongan
perempuan Sudra).
Pola
komunikasi intra budya verbal dalam ranah pribadi adalah perilaku seseorang
dalam bertindak dalam berkomunikasi yang berupa kata-kata yang wujudnya berupa
ujaran atau tuturan sedangkan komunikasi nonverbalnya dalam bentuk gerakan
anggota badan, seperti; ekspresi wajah, gerakan mata, gerakan kepala, gerakan
tangan, gerakan badan, atau kombinasi gerakan salah satu anggota badan dengan
anggota badan yang lain.[12]
Dan
dalam berkomunikasi verbal pada masyarakat Hindu di Bali dalam hal tertentu
harus menggunakan sor singgih basa (tingkatan-tingkatan bahasa Bali) dalam
berkomunikasi. Pola komunikasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat perdesaan dan masyarakat
perkotaan terutama dari segi penerapan sistem wangsa karena
harus menggunakan sor singgih basa
(tingkatan-tingkatan bahasa) dalam sistem triwangsa,
harus mempergunakan sor singgih basa (tingkatan bahasa) yaitu
halus singgih, halus sor, dan halus madia, dan mider. Sor singgih basa sangat jelas dapat dilihat dalam komunikasi yang dilakukan oleh
perempuan triwangsa, yang melakukan
perkawinan nyerod yaitu pada
saat memanggil kedua orang tuanya harus diawali dengan kata “Ratu” tidak lagi
bisa memanggil “Ibu dan ayah” dan memanggil saudara kandung harus dengan nama
lengkap dengan gelar wangsanya yang
mungkin diantara persaudaraan mereka sebelum perkawinan, masing-masing mereka
punya nama kecil atau nama kesayangan, serta tidak boleh memanggil sebutan dengan
kakak atau adik.
Sedangkan
pola komunikasi non verbal dalam ranah publik masyarakat Hindu di Bali dilihat dari simbol-simbol dari ritual-ritual
upacara keagamaan, seperti; ngaben,
potong gigi, perkawinan, dan lain-lainnya. simbol-simbol komunikasi non verbal
upacara keagamaan dalam bentuk upacara perkawinan dapat dilihat dari busana
perkawinannya yang mempunyai
ciri khas dan bentuk eksistensi dari budaya Bali. Busana perkawinan yang dilaksanakan di
Bali merupakan kesadaran atas identitas budaya yang dibalut oleh kepercayaan
masyarakat Bali sebagai sesuatu yang bernilai sakral yang terikat pada aturan
adat istiadat dan agama Hindu yang
merupakan bentuk perilaku masyarakat yang memiliki kesadaran
terhadap adanya jejak-jejak peradaban masa lalunya yang memiliki fungsi meningkatkan
solidaritas sosial masyarakat, menghilangkan perhatian kepada kepentingan
individu, serta memperkokoh kehidupan beragama.[16]
Busana
perkawinan dalam masyarakat Hindu di Bali mengenal tingkatan yang dikenal
dengan sebutan payas, antara lain; payas agung merupakan bentuk payas (busana) tingkatan paling
utama atau tertinggi dalam strata sosial semasa kerajaan Badung berdiri. Payas ini penggunaannya sangat
terbatas hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan selama berlangsungnya
prosesi perkawinan kalangan keluarga Kerajaan atau golongan triwangsa. Selain payas
agung juga terdapat payas madya
yang menunjukkan tingkatan menengah, diperuntukkan bagi prosesi perkawinan dan
tingkatan sosial yang lebih rendah. Sebagai strata yang paling rendah, dikenal payas nista yang terlihat
sangat simple dan sederhana, lazim diperuntukkan bagi kalangan umum
masyarakat Bali seperti petani atau nelayan. Busana/payas perkawinan, dapat dilihat dalam gambar 5.4 dan 5.5 :
Payas agung untuk
pengantin perempuan secara keseluruhan menggunakan busana bermotif prada, mulai dari tapih berupa kain panjang menjuntai ke lantai, kain perempuan
(dipakai setelah tapih), kemben
selendang, dan sabuk warna keemasan
di pinggang. Perlengkapan perhiasan menggunakan gelang kana pada pangkal lengan, gelang naga satru, sabuk bebekeng, sesimping menutup bagian bahu
hingga dada, dan badong melingkari
leher, serta subeng di telinga.
Dan payas agung
pengantin laki-laki memakai busana yang
merupakan salah satu simbol keagungan dinasti para raja yang mendiami puri (istana), karena hanya dipergunakan
pada acara-acara resmi kerajaan.Menggunakan kamben, kampuh dan umpal keseluruhan
bermotif prada keemasan. Hiasan
kepala berupa gelungan lengkap yang
terdiri dari petitis keemasan di atas dahi, tajung,
bunga bancangan, bunga sandat (kenanga), dan garuda mungkur. Perhiasan pria
juga menggunakan gelang kana, gelang setru, sesimping, badong sebagaimana yang dikenakan
pengantin wanita, serta dilengkapi sebilah keris bertahta batu-batu mulia.
Hiasan kepala bukan berupa destar kain
adalah ciri dari payas madya untuk pengantin laki-laki
dan (hiasan kepala dari
kain dipakai untuk strata payas madya) dan busana/payas untuk pengantin perempuan secara keseluruhan menggunakan busana bermotif kain biasa,
mulai dari tapih berupa kain panjang sebatas mata kaki dan perhiasan yang
dipakai tidak semewah payas agung.
.
5.2
Pola Komunikasi
Intra-Budaya Masyarakat Hindu Bali Tentang Perkawinan Nyerod
Perkawinan
nyerod bagi masyarakat Bali bukanlah
perkawinan pilihan, tetapi perkawinan alternatif yang sebisa mungkin dihindari karena
selain dianggap dapat menimbulkan aib bagi keluarga, khususnya keluarga
perempuan juga merugikan posisi perempuan. Perempuan Hindu di Bali, khususnya
dari golongan triwangsa tidak dapat
secara bebas mempergunakan haknya untuk memilih pasangan hidupnya, mereka
terbelenggu dengan aturan ke-wangsa-an
yang melekat dalam status yang dibawa sejak lahir.
Terbelenggu
dengan kekuatan triwangsa, membuat
mereka memiliki pilihan yang sangat terbatas sehingga perempuan triwangsa menerima perjodohan (Bahasa
Bali: kejangkepang) atau kawin paksa
(kaejuk/ditangkap), namun dua jenis
dalam memilih pasangan tersebut bukanlah eranya lagi dan sudah banyak
ditinggalkan oleh perempuan triwangsa
sebagai individu yang mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih
pasangan sesuai dengan pasal 16 ayat (1) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
RI melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984.[17]
Walaupun
penghapusan segala bentuk diskriminasi sudah dipasalkan, namun Kehidupan sosial
di masyarakat memang tidak bisa dihindarkan bila terjadi pembauran dalam
perkawinan antar wangsa tetap
kebebasan untuk perempuan belum sepenuhnya bisa dirasakan, belenggu tetap masih
melilit kuat perempuan triwangsa,
seperti yang dialami oleh pasangan Anak Agung Putu Erawati, SE dan I
Wayan Sudiarsa, mereka berdua adalah teman bermain sejak kecil, mengaku awalnya
mereka dipertemukan dilatarbelakangi oleh perasaan suka sama suka dan cinta akhirnya
menutuskan untuk menyatukan cinta mereka
dalam sebuah perkawinan dan mereka sangat percaya bahwa
jodoh itu sudah diatur, sebagai makhluk di dunia tidak akan bisa menghindarkan
diri dari jeratan hukum karma pala.
Walaupun Anak Agung
Putu Erawati, SE sudah dipingit dan dijaga oleh keluarga besarnya agar tidak memilih pasangan
hidup bukan dari golongan Ksatria,
namun karma dan jodoh tetap menyatukan Anak Agung Putu Erawati, SE dan I
Wayan Sudiarsa, dua individu yang berbeda wangsa. Mereka berdua memahami bahwa kebersamaan mereka adalah hal
yang tidak mungkin sehingga mereka berdua sudah
membuat komitmen karena didalam perkawinan itu yang namanya nyerod itu tidak akan mungkin balik lagi ke
keluarga asal dengan embel-embel yang sangat ribet makanya saat mereka masuk ketahap perkawinan mereka melakukan dengan
landasan kuat yaitu cinta dan kasih sayang.
Menurut Anak Agung
Putu Erawati, SE pribadi apalah arti sebuah wangsa, triwangsa hanyalah atribut saat dilahirkan. Anak Agung
Putu Erawati, SE sangatlah menyadari hidup sebagai orang yang
memiliki darah biru tidaklah mudah, kehidupan lelaki di lingkungannya sangat
menyimpang, bagaimana tidak, dengan kasta/wangsa
tinggi yang mereka punya mereka bisa memaksakan cinta
mereka kepada para gadis di lingkungannya, terkadang seorang lelaki memiliki
lebih dari satu istri. Siapapun wanita itu pastilah tidak ingin dimadu, itu
alasan Anak Agung Putu Erawati, SE memilih kawin nyerod dengan I Wayan
Sudiarsa daripada antar wangsanya karena I Wayan
Sudiarsa adalah laki-laki pekerja keras, rendah hati, dan sangat menghargai
perempuan, sehingga bersama I Wayan Sudiarsa, ia akan merasa aman dan terlindungi.[18]
Pada
sesi penyampaian pengalaman melalui wawancara nonformal dengan Ida Ayu Kade Dwi Astuti[19] , seorang
perempuan Hindu Bali yang berasal dari wangsa tertinggi, golongan Brahmana yang memiliki
keluarga besar serta lingkungan yang memegang erat tradisi wangsa dan kasta masih sangat kuat, namun memilih
pasangan hidup, laki-laki dari
kalangan biasa/sudra. Usia perkawinan
mereka sudah memasuki tahun kelima menuturkan bahwa perkawinan yang sudah
menjadi pilihan hidupnya. Kade berpikir bahwa memasuki dunia perkawinan adalah urusan pribadinya,
untuk kebahagiaannya dan memilih pasangan hidup adalah sama dengan memilih
teman jangka panjang untuk menata masa depan, jadi hak sepenuhnya ada
ditangannya, bukan urusan keluarga besar apalagi urusan adat. Kade memilih
pasangan hidup hanya berdasarkan hak dan tidak dilakukan dengan proses berpikir
panjang, tidak pernah terpikirkan dampak dari perkawinan nyerod yang dipilihnya.
Kade sadar akan konsekwensi yang akan dihadapi di keluarga ketika memilih
kawin dengan bukan sama wangsa, namun tidak pernah menyangka seberat ini dampak
yang dirasakan selama lima tahun sesuai dengan usia perkawinannya. Kade terbuang dari lingkungan keluarga
besar, lingkungan tempat tinggal dimana orang tuanya berasal. Semua hak
kebangsawanannya dihapus dan perubahaanpun terjadi pada pola komuniksi, Kade harus
menggunakan tinggkatan bahasa (sor
singgih, bahasa Bali) yang paling alus diinternal keluarga dengan memanggil
orang tuanya dengan tambahan “Ratu” didepan panggilannya, sedangkan dalam pergaulan di masyarakat Kade harus terima diposisikan dengan golongan
sudra dalam pola berkomunikasi yang sangat jelas terdengar hanya disebut
namanya saja tanpa gelar kebangsawanannya.
Posisi sosial yang kadang menjadikan individu
perempuan bali dalam keadaan dilema, antara mengikuti adat istiadat dan agama
dan kata hati termasuk perasaan mereka. Sebuah posisi sosial yang terbangun
karena kehadiran identitas kasta dan posisi agama dalam masyarakat Hindu bali. Relasi
posisi sosial yang ditentukan oleh kasta ini, bukan hanya mempengaruhi relasi
kehidupan pribadi dalam masyarakat Hindu Bali. Namun lebih jauh mempengaruhi
proses komunikasi intra budaya, dimana mereka yang terlahir dengan kasta yang
lebih tinggi akan lebih leluasa dalam menyampaikan ekspresi komunikasinya
dibandingkan mereka yang terlahir dengan kasta di bawahnya.
Gambaran
relasi sosial ini, sedikit banyaknya mempengaruhi pola interaksi komunikasi
antar budaya dalam masyarakat Hindu bali. Ketika kasta menjadi semacam garis
pembatas antara sesama mahluk Tuhan untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi
termasuk dalam membangun relasi sosial di dalam masyarakat itu sendiri. Dalam
berkomunikasi para tokoh adat, masyarkat pada umumnya harus menggunakan bahasa
Bali bukan bahasa nasional sebagai kehormatan, karena dalam berkomunikasi
dibutuhkan tingkatan bahasa (sor singgih)
antara triwangsa dan jaba wangsa sebagai bahasa tutur sebagai
simbol adanya perbedaan kelas.
5.3
Pola Komunikasi Intra-Budaya Dalam Masyarakat Hindu di
Bali
Robert Y. Kwick (1972) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari. Perilaku/pola masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh
adat
dan budaya. Adat dan budaya hadir sebagai
simbol patron klien di rasa masih relatif sangat kuat. Menilik perilaku masyarakat Hindu di Bali berkonsep sekala dan niskala.
Sekala berkiblat dunia nyata/alam semesta, misalnya;
peran puskesmas secara sekala berfungsi sebagai tempat orang sakit berobat,
sedangkan niskala bertasbihkan
spiritual (dunia tidak nyata), misalnya; peran dan fungsi tempat ibadah adalah
tempat kita berdoa, memuja kebesaran Tuhan, namun ada orang yang sakit pergi
kerumah ibadah untuk memohon kesembuhan. Contoh dari puskesmas dan tempat
ibadah “Pura” adalah gambaran perilaku masyarakat Bali berusaha menemukan
tujuan hidup, keseimbangan, dan kedamaian di antara dunia sekala dan niskala
yang sepenuhnya merupakan kehidupan
religius yang didasarkaan pada kebiasaan dan tradisi dengan penyesuaian pada
sarana-sarana ekonomi dalam rangka memperoleh nilai tambah ekonomi, nilai
tambah budaya, nilai tambah ritual dan nilai tambah spiritual.[20] Secara sistem sekala niskala perilaku masyarakat Hindu
di Bali tidak terbentuk dalam sekejap, ada banyak faktor yang memberikan
kontribusi yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan antara yang para
aktor/agen yang memainkan adat dan budaya. Kepentingan dan kerumitan perilaku
para aktor yang tidak bertindak sendirian cenderung bersifat institusional
(contoh: desa adat) yang sangat kuat sebagai sarana penilai sekaligus sarana
penghukum yang kompatibel sebagai suatu ornamen kapitalis etis yang membentuk
perilaku masyarakat upacara sebagai orang Bali yang benar-benar Hindu Bali.
Pembentukan perilaku masyarakat upacara sebagai orang Bali yang benar-benar
Hindu Bali adalah peran dan kepentingan dari perilaku masing-masing aktor yang
menjadi penerima penilaian yang mencakup;[21] pertama, perilaku masyarakat rumah tangga yang
sarat dengan pergulatan standar minimun untuk hidup merupakan aspek dasar
budaya yang musti dipenuhi. Kedua,
perilaku tradisional dari puri, dadia,
soroh dan adat sebagai simbol
patron klien di rasa masih relatif sangat kuat memengaruhi perilaku orang Bali. Ketiga, perilaku masyarakat sipil yang
semakin liberal di era otonomi daerah, seperti maraknya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Ormas dengan pelbagai aktivitas dan kepentingannya telah
mendesain budaya kolektif semakin plural. Keempat, perilaku masyarakat ekonomi
yang semakin ditumpangkan pada struktur ekonomi yang cenderung semakin
kapitalistik berbudaya atas dorongan pasar pariwisata. Misal, keberadaan
Starbuck, Fastfood, dan Dunkin Donuts juga telah menjadi budaya orang Bali.
Kelima, perilaku birokrasi yang semakin peka terhadap kualitas layanan publik
mencerminkan psikologi lintas budaya bekerja dengan baik. Keenam, perilaku masyarakat berpartai politik
telah menggiring pembangunan kebudayaan berpolitik.
Hubungan
antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis ditunjukkan melalui
keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk mempertahankan masyarakat dari
pelbagai ancaman yang menghadang mereka. Kebudayaan bisa menginformasikan
tentang nilai suatu dan beberapa peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang
dan yang akan datang. Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa
yang harus dibuat oleh generasi manusia
sehingga hampir setiap kelompok budaya selalu
menciptakan hubungan intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua
mensosialisasi nilai perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun
dipercepat melalui institusi sosial kepada generasi berikut.
Setiap
kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur hirarki dan status
kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya selalu menggambarkan dan
menerapkan proses pemeringkatan peranan-peranan
anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah. Bukankah
dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti raksasa, peniti
emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran, orang kecil, dan
lain-lain? Istilah-istilah tersebut merupakan “frase” yang menunjukkan bahwa
dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat pengakuan atau yang berkuasa
dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai. Status yang tinggi biasa
diidentifikasikan dengan kekuasan puncak yang memberikan kemungkinan bagi
kelompok yang ada di bawah untuk melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang
termasuk dalam kategori puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka
diberikan kekuasaan karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus,
bijaksana, menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit
karena memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap
kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk memegang tampuk
“puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya mereka yang diasumsikan bisa
memelihara institusi sosial masyarakat. Setiap anggota suatu masyarakat yang
berbudaya mengetahui hubungan antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang
dikuasai
Perlu
diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada
dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga mengajarkan konsep
nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa yang tidak mempunyai
kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu. Kumpulan orang-orang
nondominasi pun berada dalam suatu konstelasi yang secara historis atau
tradisional tidak mempunyai akses atau pengaruh terhadap dominasi kebudayaan.
Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi
intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota masyarakat
intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi” subbudaya yang mengancam
kebudayaan kelompok yang lebih besar
Irwan
Abdullah (2006:107) menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru
tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Dalam
konteks ini khususnya dalam fenomena keberagamaan ditandai dengan adanya
transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, sistem tindakan keagamaan.
5.4 Pembahasan
Keberadaan agama
Hindu Bali tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Bali itu sendiri.
Menghilangnya eksistensi agama Hindu Bali maka dapat dipastikan kebudayaan Bali
pun akan menghilang, mengingat hampir semua aktivitas kebudayaan Bali dikaitkan
dengan aktivitas keagamaan dalam konsep ngayah.[22] Agama
Hindu Bali menjadi sistem nilai dan norma yang diimplementasikan dalam sistem
tindakan dan sistem sosial, serta diwujudkan dalam bentuk material-material
budaya yang agung dan mempesona. Bali tanpa desa pakraman, Bali yang tanpa pura, Bali yang tanpa adat dan budayanya, Bali
tanpa keramah-tamahan
penduduknya, adalah sebuah kehilangan besar bagi masyarakat Indonesia
bahkan dunia.
Bagan pola komunikasi Hindu Bali di atas, menjelaskan
bagaimana relasi komunikasi intra budaya dalam konteks masyarakat bali bekerja,
ketika identitas budaya dan identitas sosial menyatu dan menjadi bagian dari
keputusan para pemangku adat Bali. Posisi sosial para pemangku adat begitu
startegis, serta menentukan sebagaimana layaknya hubungan patron klien yang
bekerja. Pada posisi tersebut, adat dan agama menjadi konsep yang satu, ketika
segala sesuatunya menyatu dalam diri seorang pemangku adat.
Hubungan intra budaya inilah yang secara sadar telah
membangun relasi kekuasan dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, termasuk pada
hal yang sangat pribadi seperti perkawinan, ketika adat masuk sampai pada ranah
yang begitu pribadi dalam kehidupan seseorang. Karena adat bukanlah sekedar
menjadi bagian dari simbolitas namun telah menjadi bagian identitas itu
sendiri, sesuatu yang berurat akar dalam kehidupan setiap warga bali, sekaligus
menjadi pengikat prilaku dan bertindak dalam masyarakat. Walaupun pada sisi
yang berbeda bisa menjadi ranah yang problematik dalam ranah pribadi kehidupan
dan kebudayaan masyarakat Hindu Bali.
F.
Kesimpulan
Keberadaan agama
Hindu Bali tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Bali itu sendiri.
Menghilangnya eksistensi agama Hindu Bali maka dapat dipastikan kebudayaan Bali
pun akan menghilang, mengingat hampir semua aktivitas kebudayaan Bali dikaitkan
dengan aktivitas keagamaan dalam konsep ngayah.[23] Agama
Hindu Bali menjadi sistem nilai dan norma yang diimplementasikan dalam sistem
tindakan dan sistem sosial, serta diwujudkan dalam bentuk material-material
budaya yang agung dan mempesona. Bali tanpa desa pakraman, Bali yang tanpa pura, Bali yang tanpa adat dan budayanya, Bali
tanpa keramah-tamahan
penduduknya, adalah sebuah kehilangan besar bagi masyarakat Indonesia
bahkan dunia.
Relasi
komunikasi intra budaya dalam konteks masyarakat bali bekerja, ketika identitas
budaya dan identitas sosial menyatu dan menjadi bagian dari keputusan para
pemangku adat Bali. Posisi sosial para pemangku adat begitu startegis, serta
menentukan sebagaimana layaknya hubungan patron klien yang bekerja. Pada posisi
tersebut, adat dan agama menjadi konsep yang satu, ketika segala sesuatunya
menyatu dalam diri seorang pemangku adat.
Hubungan intra budaya inilah yang secara sadar telah
membangun relasi kekuasan dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, termasuk pada
hal yang sangat pribadi seperti perkawinan, ketika adat masuk sampai pada ranah
yang begitu pribadi dalam kehidupan seseorang. Karena adat bukanlah sekedar
menjadi bagian dari simbolitas namun telah menjadi bagian identitas itu
sendiri, sesuatu yang berurat akar dalam kehidupan setiap warga bali, sekaligus
menjadi pengikat prilaku dan bertindak dalam masyarakat. Walaupun pada sisi
yang berbeda bisa menjadi ranah yang problematik dalam ranah pribadi kehidupan
dan kebudayaan masyarakat Hindu Bali.
DAFTAR
PUSTAKA
Aboulavia,
Mitchell. The Mediating Self:Mead, Sartre, and Self Determination. New
Haven: Yale University Press, 1986.
Adi,
Ida Bagus Ngurah. Perkawinan Nyeburin Menurut Hukum Adat Bali. dalam I
Ketut Sudantra, Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, 2011, Denpasar: Media
Cetak Nusa Tenggara, 1972.
Ardika,
I Wayan. Sejarah Bali. Denpasar: Udayana University Press, 2015.
Astiti,
Tjok Istri Putra. Perkawinan Menurut Hukum Adat dan Agama Hindu di Bali.
Denpasar: Biro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana, 1981.
Atmaja,
Jiwa. Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali. Denpasar:
Udayana University Press, 2008.
Bagus,
I Gusti Ngurah. Kebudayaan Bali. Denpasar: Djambat, 1990.
Baldwin,
Jhon C. George Herbert Mead: A Unifying Theory for Sociology. Newbury
Park, Calif: Sage, 1986.
Barker,
Chris. Cultural Studies Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2004.
Cast,
Alicia D. Power and The Ability of Define The Situation. Social
Psychology Quarterly, 66, 2003.
Charon,
Joel M. Symbolic Interactionism: An Introduction , an Interpratation, an
Integration, 6th ed., . Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice Hall, 1998.
—.
Symbolic Interactionism: An Introduction , an Interpretation, an
Integration, 7th ed., . Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 2000.
Craigh,
and Muller. Theorizing Communication. Readings Across Traditions.
California: Sage Publications, 2007.
Danesi,
Marcel. Pesan, Tanda dan Makna. Penerjemah Evi Setyani dan Lusi Lian
Piantari, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Griffith,
R. T. H. Yajurveda Samhita. Penterjemah : Dewanto, S.S : Surabaya:
Penerbit Paramita, 2005.
Hadikusuma,
Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1983.
Heritage,
John. Garfinkel and Ethnomethodology . Cambridge: Polity Press, 1984.
Hewit,
Hohn P. Self and Society: A Symbolic Interactionist Social Psychology.
3rd, Boston: Allyn & Bacon, 1984.
Hooks,
B. Yearning: Race, Gender, and Cultural Politics. Boston: South End,
1990.
[2] Gede Puja dan Tjokorda Rai Sudharta, 2003, Manawa Dharmasastra, Pustaka
Mitra Jaya, Jakarta, Hal 560.
[3] Wayan P. Windia, dkk, 2016, (Windia,
2016) Perkawinan Pada Gelahang di
Bali, Udayana University Press dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi Bali, hal 1.
[4] Erving Gofmann; The Presentation of Self in Eeryday Life,
dalam Basrowi Sukidin; Metode Penelitian
Kualitatif Perspektif Mikro, 2002, Insan Cendikia, Surabaya, hal 103
[5] John W. Creswell. 1998, Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among five
Traditions. The United State of America:
Sage Publications, Inc., Hlm.109-126
[6]
A.Strauss and L. Corbin. 1990. Basics of Grounded Theory Methods. Beverly
Hills, CA.: Sage. Hal. 41
[7] Ibid...,
A.Strauss and L. Corbin. 1990. Hal.57
[8] Glen Lewis and Christina Slade, 1994, Critical
Communication,
Australia: Prentice Hall Australia, hal 123.
[9] VE Korn, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan
dan catatan-catatan I Gde Wajan Pangkat, Biro Dokumentasi dan Publikasi
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar, hal
[11] Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal
[12] I Nengah Suandi dan Made Sri Indriani, 2010, Tindak Komunikasi Verbal
dan Nonverbal Dalam Pemakaian Sor Singgih Basa Bali dan Pembelajarannya, Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 15, hal 125
[13] Upacara piodalan di Pura Banjar
Muding Kelod Desa Adat Kerobokan Kaja, Kecamatan Kuta
Utara, 30 Maret 2018
[14] Upacara piodalan
di Pura Banjar Muding Kelod Desa Adat Kerobokan Kaja,
Kecamatan Kuta Utara, 30 Maret 2018
[15] Upacara piodalan
di Pura Banjar Muding Kelod Desa Adat Kerobokan Kaja, Kecamatan
Kuta Utara, 30 Maret 2018
[17] Wayan P Windia, dan Ketut Sudantra (dalam I Ketut
Sudantra, 2011), 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal
[18] Narasumber pelaku perkawinan nyerod. Hasil
wawancara dengan Anak Agung Putu
Erawati, SE dan I Wayan Sudiarsa, 13 Septermber 2018, 17.00 WITA, di
Bali
[19] Narasumber
pelaku perkawinan nyerod. Hasil wawancara
dengan Ida
Ayu Kade Dwi Astuti,
13 Septermber 2018, 09.00 WITA, di
Bali
[22] kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai
penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan secara gotong
royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di tempat
suci. Kata ngayah secara harafiah dapat diartikan melakukan
pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990).
[23] kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai
penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan secara gotong
royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di tempat
suci. Kata ngayah secara harafiah dapat diartikan melakukan
pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990).
0 Response to "Komunikasi Antarbudaya Perkawinan Nyerod"
Post a Comment