MERANGKAI
MUTIARA KEHIDUPAN
Oleh:
Untung Suhardi
Pendahuluan
Wedanta mengajarkan kebenaran tentang kelangsungan hidup
sang roh pada saat kematian dan kelahiran kembali sebagai bagian dari filosofis
total dari sang diri (Pandit, 2006). Pengalaman
keterlepasan roh dari badan fisik merupakan awal dari kehidupan moral dan
spiritual manusia, para wedantik mengandaikan dengan
pelepasan selongsong kulit ular
yang berganti kulit baru. Di alam material ini ada 2 jenis perbuatan yang pasti
diikuti oleh aksi (pala), yaitu subha karma (perbuatan baik) dan asubhakarma (Perbuatan buruk). Kedua
karma inilah yang menjadi karmawasana
yang mengikat manusia untuk mengalami kesengsaraan, kelahiran, dan kematian
secara berulang-ulang (Reinkarnasi). Selain itu reinkarnasi
disebabkan oleh sancita karma yaitu
karma dahulu yang belum sempat dinikmati sehingga akan dinikmati pada kelahiran
berikutnya atau Reinkarnasi.
Dan setelah manusia itu menikmati
pahala surga atau penderitaan neraka maka dia akan dilahirkan kembali kedunia dalam bentuk swarga syuta dan neraka syuta. Didalam
Sarrasamuccaya
21 menjelaskan ciri-ciri: orang yang selalu berbuat baik, kelahiran dari surga
kelak menjadi orang yang rupawan, gunawan muliawan, hartawan dan berkekuasaan
sedangkan orang yang dilahirkan dari neraka dijelaskan dari Sarasamuccaya 48
menyatakan: perbuatan yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma
setelah dia lepas dari neraka dia akan dilahirkan menjadi binatang seperti: biri-biri, kerbau
kemudian dia meningkat menjadi orang yang
hina, sengsara, dombang-ambingkan oleh kesedihan dan kemurungan hati dan tidak
akan mengalami kesenangan (Kajeng, 2003:30).
Penjelasan selanjutnya ada di dalam Padma
Purana dijelaskan bahwa ada 8.400.000
jenis kehidupan di bawah manusia dibagi atas 2 tingkat kesadaran yaitu:
kesadaran tertutup dan kesadaran mengkerut. Adapun 400 jenis kehidupan manusia
digolongkan
3 tingkat kesadaran : kesadaran mulai kuncup, kesadaran mulai mekar dan
kesadaran mekar sepenuhnya. Hal ini menandakan adanya perjalanan jiwa yang terus
mengejar kesempurnaan dalam kehidupan ini dan yang terpenting dalam kehidupan
ini adalah menjadikannya sebagai wahana untuk pendakian spiritual seseorang.
Alam Sebagai
Guru Kehidupan
Ibu pertiwi yang kita sandari setiap hari mengajarkan kita tentang nilai-nilai nyata tentang hubungan kerja dan hasil. Seperti halnya, jika kita menanam jagung pasti hasilnya juga jagung dan kualitas dari jagung itu tergantung dari usaha kita untuk merawat dan memilih benih yang bagus. Hal ini juga sama dalam kehidupan kita sebagai manusia tidak akan lepas dari pengaruh hasil. Sebagian besar dari kita menganggap bahwa ingin selalu mendapatkan hasil yang banyak tetapi tidak mau berusaha keras, namun justru bermalas-malasan. Akan tetapi, seseorang yang ingin mendapatkan hasil yang baik harus ada hal yang dibayar yaitu pengorbanan baik dengan pikiran, material, dan bahkan perasaan. Namun demikian, seiring dengan perjalanan sang waktu alam akan memaksa kita untuk memperbaiki diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hal ini seperti dikisahkan dalam pada zaman Tretayuga, tersebutlah seorang pemburu, penjahat ulung dan perampok yang sangat kejam bernama Ratnakara, walaupun sebenarnya ia adalah putra seorang Rsi yang bernama Rsi Pracethasa, lalu kenapa ia menjadi seorang perampok, bahkan tak segan-segan membunuh korbannya? Nampaknya faktor lingkungan pada waktu beliau masih kecil sangat mempengaruhinya, ia mempunyai pergaulan dan dibesarkan di lingkungan hitam yaitu pada keluarga pemburu binatang. Ratnakara kecil pun tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemburu binatang dalam hutan, mengikuti jejak ayah angkatnya itu (Subramanyam, 2000).
Setelah dewasa dan berumah
tangga ia punya istri dan punya anak cukup banyak, maka dengan hasil buruan
saja sering tidak dapat mencukupi hidupnya sekeluarga, maka Ratnakara pun
terpaksa menjadi perampok, ia merampok siapa saja yang ditemuinya, demikianlah perjalanan
hidupnya dan hari ke hari di dalam hutan. Suatu ketika Rsi Narada berjalan-jalan
keluar ashram dan sudah menjadi kebiasaan Sang Rsi bilamana berjalan-jalan ia
selalu melantunkan kidung (nyanyian) puja-puji Rama, nama Rama dan sifat-sifat
keagungannya diucapkan berulang-ulang tiada henti, berkat bhakti (cinta kasih
yang tulus) beliau. maka kekuatan Rama sebagai avathara (penjelmaan) Visnu
selalu melindungi perjalanan Sang Rsi Narada. Setelah Rsi Narada menyadari
akan kekeliruannya dalam mengucapkan nama Rama ia pun memperbaiki kidungnya
dengan penuh konsentrasi disertai rasa bhakti yang tulus dan mengulang-ulang
kembali menyebut nama Rama dalam hati saja (manasa) tanpa terdengar oleh
Ratnakara. Kekuatan kidung suci itu benar-benar menggetarkan Atman yang
bersemayam pada diri Ratnakara. Akhirnya Ratnakara tersadar akan kekeliruannya yang pernah ia perbuat, ia
lalu merunduk sebagai tanda hormat.
Tak lama kemudian Ratnakara
didiksa (dwijati) dengan upacara sederhana sekali (nistaning nista) untuk menjadi seorang Rsi, oleh Rsi Narada
kemudian Ratnakara diberi nama baru (gelar) Rsi Walmiki sebagai nama dwijati.
Kata “Walmiki” sebenarnya berasal dari kata “Walmika” yang dalam bahasa
sansekerta berarti rumah semut, ia diberi nama dwijati Walmiki karena dianggap terlahir dari rumah semut pada
waktu ia menjalankan tapa brata. Rsi
Walmiki inilah oleh Dewa Brahma dianugrahi kekuatan spiritual yang hébat untuk
dapat melihat dan mengetahui dengan jelas seluruh peristiwa dan kehidupan Sri
Rama sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu, dan sejak Sri Rama lahir sebagai putra
Prabu Dasaratha, Raja Ayodhya hingga kembali ke Waikunta loka sebagai Visnu (Raghvan, 1980).
Kisah ini
menunjukan kepada kita semua bahwa kesadaran manusia mulai dari kuncup sampai
dengan mekar membutuhkan pendakian yang panjang. Tentunya hal ini menjadikan
kita sebagai pribadi yang tangguh untuk menghadapi dunia ini karena orang yang
tangguh adalah orang yang mampu mengubah halangan menjadi tantangan. Pemaknaan
yang dapat dijadikan sebagai nilai positif adalah alam selalu mengajarkan kita
tentang kebaikan dan sejauh mana kita sebagai insan manusia mampu memahami
petanda alam ini untuk pedoman kehidupan kita. Dari alampun kita diajarkan
pentingnya persatuan dengan semesta yang terjalin dengan keharmonisan baik
unsur biotik dan abiotic di dalamnya. Kehadiran manusia di alam ini juga adalah
sebagai keniscayaan yang harus menggandeng keseluruhan kehidupan ini tanpa ada
tembok pemisah yang akhirnya berujung pada perpecahan. Hal ini dikarena manusia dilahirkan dengan kulit yang lembut
bukan sebagai petarung dengan sesamanya atau
bahkan merusak alam hanya untuk kepentingan dan ambisi sesaat.
Merangkai Makna kehidupan
Belajar dari bumi yang kita pijak setiap hari seharusnya
kita mulai merenung dan berbenah diri. Bumi memberikan kebutuhan bagi manusia
yang hidup diatasnya, namun terkadang manusia dengan sifat serakahnya telah
membalas kebaikan bumi dengan merusaknya. Jika kita diberikan harta yang melimpah, tetapi tidak
dapat menggunakan harta itu untuk tujuan yang tepat pasti akan selalu merasa
kurang. Akan tetapi ada orang yang mempunyai harta yang cukup, namun dapat
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
Gandhi bahwa “Bumi ini mampu memberikan kesejahteraan kepada semua mahluk,
namun bumi ini tidak akan mampu mencukupi satu manusia yang serakah” (Misha, 2008). Pernyataan Gandhi inilah yang sedang
terjadi saat ini hanya satu manusia yang serakah dunia ini hancur dengan
mengeruk sumber daya alam berlebihan, korupsi dan tindakan amoral lainya.
Berbicara lebih jauh bahwa saat ini sedikit orang yang
berpikir untuk kebaikan semua orang dan mensejahterakan masyarakat luas. Namun,
terjadi sebaliknya banyak orang yang berpikir hanya untuk dirinya sendiri dan
keluarganya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya seakan-akan akan
hidup selamanya di dunia ini. Untuk
itulah, saat ini kita memulai dengan hal-hal yang sederhana dari merubah diri
kita sendiri terlebih dahulu, bahwa buah pikiran dan karya yang kita hasilkan
suatu saat nanti akan dirasakan oleh orang banyak. Janganlah berpikir hal-hal
apakah yang kita dapatkan ketika melakukan kerja di bumi ini, namun seberapa
banyakkah hal yang sudah kita dapatkan dari
bumi yang kita huni sampai saat ini.
Proses kehidupan menjadi manusia sebagai serangkaian perjalanan dan pendakian yang panjang, dan bahkan penuh dengan perjuangan. Watak kehidupan kehidupan manusia di bekali dengan keinginan, ambisi dan keserakahan yang tidak berujung. Dan hal lain adalah manusia dibekali dengan indria yang sangat luar biasa dan tidak ada teknologi manapun yang menyamainya yaitu pikiran. Pikiran dalam ilmu yoga dikenal dengan rajendria atau rajanya indria yang menggerakan seluruh badan ini. Pemahaman lebih jauh diungkapkan oleh Rene Decartes tentang ungkapan Cogito Ergo Sum yang berarti bahwa ketika saya berpikir maka, saya ada (Fasadena, 2018). Pemaknaan manusia untuk mengembangkan pola piker untuk hidup bersama dan adanya rasa senasib sepenanggungan tanpa ada batasan agama, budaya, tradisi, adat dan lain sebagainya. Dengan demikian hal yang harus dilakukan sekarang adalah upaya nyata dalam menjalin persatuan karena kehidupan kita tidak hanya agama saja melainkan diikat dengan kebutuhan yang selalu berinteraksi satu dengan yang lain. Mengembangkan upaya kebersamaan yang tidak hanya dilakukan atas dasar kepentingan melainkan karena adanya rasa kesetiakawanan tanpa batas. Hal yang dilakukan sekarang adalah melakukan moderasi beragama secara internal dengan menggalang persatuan dengan internal agama dan saling bahu membahu. Kemudian, menjalin moderasi secara eksternal dengan menjalin nilai toleransi dengan seluruh elemen bangsa dan sebagai warga global.
Penutup
Kehadiran manusia di alam ini juga adalah sebagai
keniscayaan yang harus menggandeng keseluruhan kehidupan ini tanpa ada tembok
pemisah yang akhirnya berujung pada perpecahan. Kehidupan manusia selalu penuh
dengan dinamika yang selalu berputar untuk itu perlu dijalin harmonisasi dalam
kehidupan ini sebagai bentuk penerapan dari nilai-nilai Veda yang tidak hanya
tertuang secara teks melainkan harus mulai diterapkan dalam kehidupan kita.
Serangkaian bait hanya tertata dengan rapi,
serangkaian kata hanya terucap, dan serangkaian niat hanya dalam hati. Hal
inilah yang terjadi jika pemahaman ajaran hanya sebatas teks yang tidak di
praktikan. Namun demikian harus diterapkan menjadi rangkaian mutiara kehidupan
yang berujung pada pemaknaan bahwa Belajarlah untuk tidak
menyalahkan orang lain, namun belajarlah
untuk lebih menghargai orang lain, karena kita pasti
butuh orang lain suatu saat nanti.
Referensi
Fasadena, N. S. (2018). Kritik Filsafat Ilmu Tehadap Komunikai Pengetahuan
Modern. Indonesia Journal Islamic of Communication, I(2), 1–21.
Kajeng, I. N. (2003). Sarasamuccaya. Surabaya:
Paramita.
Misha, P. (2008). Hindu Dharma Jalan Kehidupan Universal.
(A. Paramita, Ed.) (I). Surabaya: Paramita.
Pandit, B. (2006). Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran
Agama Hindu Dan Filsafat). (I. D. Paramita, Ed.) (I). Surabaya: Paramita.
Raghvan, V. (1980). The Ramayana TraditionIin Asia
(I). New Delhi: Sahitya Akademi.
Subramanyam, K. (2000). Ramayana. Surabaya: Paramita.
0 Response to "Mutiara Kehidupan"
Post a Comment