Ego Dan Kehancuran Manusia
Oleh:
Untung
Suhardi
Pendahuluan
Ajaran
Hindu banyak memberikan petuah suci yang dapat dilakukan oleh siapapun bahkan
orang asing sekalipun karena ajarannya yang bersifat universal. Tri kerangka
dasar yang ada pada inti ajarannya bukan hanya hal yang bersifat dogmatis
keagamaan saja melainkan ada upaya riil
yang dilakukan oleh segenap Hindu dimanapun berada. Situasi terkini yang
banyak sekali terjadi hal-hal yang muncul diluar nalar manusia dan seolah-olah
manusia telah kehilangan rasa kemanusiaannya. Maraknya aksi pembunuhan oleh
oknum pejabat Negara, tindakan korupsi, jual beli jabatan, dan yang saat ini
terjadi bencana di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY. Ditambah lagi dengan adanya
tindakan aksi terorisme di Polrestabes Bandung dengan adanya aksi bom bunuh
diri. Banyaknya kejadian ganjil yang terjadi saat ini tentunya menjadi refleksi
atas hal-hal yang telah dan akan dilakukan oleh manusia saat ini.
Pemandangan
yang mengerikan ini tentunya menjadi bagian yang tidak dapat kita abaikan
karena setiap saat kita dapat dengan mudah mengaksesnya. Dengan adanya
degradasi moral dan bencana alam yang terjadi ini pada kesempatan ini saya akan
mengetengahkan tentang cerita musahnya bangsa Yadawa yang ada dalam Mausala
Parwa pada KItab Mahabharata. Mausala Parwa adalah bagian (parva/parwa) ke-16
dari 18 parva yang menyusun Mahabharata. Mausala Parva merupakan salah satu
dari tiga parva terpendek dari 18 parva Mahabharata. Terdiri dari 9 bab tanpa
sub bab. Dikenal sebagai parwa terpendek dalam Mahabharata. Keluarga besar Sri
Krishna tewas dalam perkelahian saling bunuh antar saudara akibat mabuk dan
terkena kutukan rsi penerima Weda dan Gandhari. Setelah putranya dan bangsanya
saling bunuh, Sri Krishna gugur terkena panah oleh pemburu bernama Jara.
Kehancuran
keluarga Sri Krishna ini bermula dari Samba (putra Sri Krishna) dan kelompoknya
yang bersikap terlalu arogan mempermainkan para rsi suci penerima wahyu suci
Weda. Kisah ini terjadi setelah 36 tahun usainya perang besar Mahabharata.
Gandhari mengutuk Sri Krishna dan keluarganya karena Sri Krishna dianggap tokoh
suci yang bertanggungjawab atas pembiaran terjadinya perang besar Mahabharata.
Menurut Gandhari, kenapa Sri Krishna membiarkan terjadinya Mahabharata?.
Kakawin Mausala Parwa yang berbahasa Kawi (Jawa Kuno) yang beredar di Bali dan
kerajaan Jawa Kuno di masa lampau, berbentuk lontar dan menjadi bagian kegiatan
mababasan atau pesantian. Naskah Jawa Kuno ini sama isinya dengan naskah
Mausala Parva berbahasa Sanskerta yang edar luas di India sampai sekarang.
Keduanya berkisah tentang kisah kehancuran keluarga Sri Krishna.
Kisah hancurnya bangsa Yadawa
Kisah ini terjadi tiga puluh enam tahun setelah Mahabharata berlalu — ketika itu Gandhari mengutuk ras Yadawa akan mengalami kehancuran total, menyalahkan Krishna atas perang Mahabharata. Rangkaian peristiwa yang berujung pada bencana dan kehancuran keluarga Sri Krishna dan ras Yadawa ini berawal dari sebuah lelucon yang dilakukan oleh para pemuda Yadawa. Hal Ini sebagai pertanda akhir dari Dwaparayuga. Diawali ketika kehadiran dari Rsi Viswamitra, Kanva dan Narada berkunjung kota Dwaraka — kota Sri Krishna. Setibanya di kota Dwaraka beberapa pemuda Yadava mendekati kedatangan para rsi dengan maksud mengerjai para suci tersebut. Salah satu pemuda, bernama Samba, ia putra Sri Krishna, berpakaian seperti wanita hamil. si segera mengerti kenakalan yang dimainkan. Mereka mengutuk pemuda itu, “Hai keturunan dari keluarga Vasudeva, Samba, akan melahirkan gada (mausala) yang akan menyebabkan kehancuran bangsa Yadawa. Kalian semua, kecuali Balarama dan Krishna, akan binasa karena kutukan ini.” Keesokan harinya Samba melahirkan sebatang besi gada. Ketika raja Vrishni, Ugrasena, mengetahui hal ini, dia menjadi sangat khawatir. Dia memerintahkan batang besi gada digiling menjadi bubuk dan dibuang ke laut. Dia juga mengumumkan larangan total pembuatan dan konsumsi minuman alcohol di seluruh kerajaannya. Minuman keras dipahami akan menjadi pertanda kehancuran kerajaannya.
Khawatir
dengan pertanda tidak baik itu, para Yadawa, bersama keluarga mereka, melakukan
perjalanan penyucian diri ke pantai laut suci Prabhasa. Namun, setelah mencapai
Prabhasa, mereka minum anggur, bahkan di hadapan Krishna, dan segera mabuk.
Balarama sendiri ikut bersuka ria. Terjadilah pertengkaran yang berujung pada
perkelahian. Disebabkan mabuk oleh
minuman keras, Satyaki mencemooh Kritavarman karena telah melakukan perbuatan
tidak satria, yaitu membunuh mereka yang sedang tidur di Kurukshetra.
Kritavarman membalas dengan caci maki dan langsung memenggal kepala Satyaki.
Peristiwa gaib aneh terjadi, apapun yang diambil berubah menjadi senjata, lalu
digunakan untuk menyerang dan membunuh. Besi gada kutukan yang telah menjadi
tepung yang dibuang ke laut Prabhasa kutuknya tidak berhenti. Siapa yang
mengambil bilah rumput yang tumbuh dari serbuk besi pantai Prabhasa, bilah
rumput ilalang menjadi menjadi batang besi dan senjata terkutuk.
Krishna
memutuskan bahwa waktunya sendiri untuk menyerahkan tubuhnya telah tiba.
Krishna mengistiharatkan dirinya di hutan dan masuk ke dalam meditasi. Pada kesempatan lampau, Durvasa telah
memberinya anugerah pada Sri Krishna bahwa tubuhnya akan kebal, kecuali
kakinya. Seorang pemburu, bernama Jara mengira kaki Sri Krishna yang tampak di
antara semak sebagai seeokar rusa dan memanahnya. Anak panah itu menembus telapak
kaki Krishna dan menembus tubuhnya. Sang pemburu sangat khawatir akan
kesalahannya, ia meminta pengampunan Krishna. Krishna menghiburnya dan
menyuruhnya pergi. Dikisahkan Sri Krishna Kembali ke Surga, disambut para dewa.
Menerima berita tentang kejadian di Prabhasa, Arjuna pergi ke Dwaraka. Ia
bertemu pamannya Vasudeva. Ayah Krishna yang sudah lanjut usia ditemukan
terbaring di tanah, sangat menderita karena kehilangan orang-orang terdekat dan
tersayangnya. Segera setelah kedatangan Arjuna, Vasudeva meninggal akibat tidak
mampu menanggung kesedihan atas kehilangan keluarganya.
Tujuh
hari setelah kedatangannya, Arjuna memulai perjalanannya kembali ke
Hastinapura. Dia berangkat dengan rombongan besar wanita dan anak-anak, dan
membawa semua kekayaan yang mampu ia bawa. Dekat di belakangnya, kota Dwaraka
menghilang di bawah gelombang laut yang naik. Dalam perjalanan pulang,
rombongan Arjuna dirampok perampok. Selain emas dan barang berharga lainnya,
para perampok-bajak laut membawa banyak perempuan ke kapal. Arjuna mendapati
dirinya kehilangan kekuatan untuk mengusir para perampok, tidak mampu
menggunakan senjata anugrah para dewa yang dimilikinya.
Arogansi dan kehancuran masa
depan manusia
Kisah
gugurnya Sri Krishna dalam Mausala Parva memberikan gambaran, tiada apapun yang
kekal di muka bumi. Bahkan Sri Krishna yang menunjukkan kedewataannya sekalipun
harus mengikuti “Sang Roda Waktu”. Tewasnya Samba putra Krishna ini sebagai
penanda bagaimana mencederai atau mengolok-olok para rsi penerima kitab wahyu
Weda — Rsi Viswamitra, Kanva dan Narada berkunjung kota Dwaraka — menjadi cikal
bakal kehancuran. Mausala Parwa seakan memberikan pesan pada pembaca:
Bagaimanapun digjaya sebuah keluarga, pasti hancur kalau tidak menghargai
tokoh-tokoh suci pembawa ajaran suci terdahulu, yaitu Weda.
Seseorang yang mempunyai
tingkat kearifan akan mempunyai nilai lebih tinggi dari pada kenikmatan akan
keduniawian. Hal ini disadari karena keberadan kekayaan atau harta benda
hanyalah sementara. Keadaan ini tertuang di dalam
Bhagavadgita
VII.16 disebutkan sebagai berikut :
catur-vidhā
bhajante mām
janāh sukrtino
‘rjuna,
ārto jijñāsur
arthārthī
jñānī ca
bharatarsabha
Terjemahan :
Ada empat macam orang yang baik
hati memuja pada-Ku, wahai Arjuna, yaitu mereka yang sengsara, yang mengejar
ilmu, yang mengejar harta, dan yang berbudi, wahai arjuna (Gede Puja, 2005:193)
Keempat
macam penyembah Tuhan itu dapat dijabarkan berdasarkan kualitas rohaninya. Ada
yang kualitasnya masih sangat awal, ada yang sudah lebih maju dan ada juga
pemuja Tuhan (bhanjate) yang sudah berkualitas tinggi. Seseorang yang dengan
kesadarannya akan memuja Tuhan baik dalam keadaan sedih maupun senang, hal ini
menunjukan adanya upaya yang riil bahwa keluhuran budi seseorang dalam
kehidupan ini adlaah hal yang terpenting ditumbuhkan oleh setiap manusia. Hal
ini dapat dilakukan dengan bekerja secara cerdas dan bekerja keras tanpa ada
rasa putus asa dan ikhlas sebagai bentuk untuk pelayanan.
Fenomena yang sangat nampak
sekali dalam perkembangan abad ke-21 ini adalah kemajuan digital. Banyak sekali dampak yang terjadi
dalam lingkup kehidupan baik konteks budaya, agama, Bahasa, politik yang
mengarah pada kehidupan spiritualitas sekuler. Dampak inilah yang menganggap
bahwa adanya konsep cyberspace,
seperti adanya kelengkapan computer, game
online, online shop. Obsesi inilah yang melahirkan paham bahwa manusia
merasa mampu menguasai dunia dan merealisasikan fantasinya tanpa batas
(Piliang, 2006:512). Keadaan inilah yang menggiring orang pada ideology
kapitalisme global yang justru menggiring manusia pada rasa ketidakpuasan yang
tidak akan pernah berakhir, sehingga jauh dari spiritual sejati. Berita terbaru
saat ini (detik.com, Desember 2018 dalam jurnal earth and science) dilansir bahwa Cina dan Rusia sedang membangun
proyek satelit bulan buatan yang diprediksi 8 kali lebih terang dari bulan
aslinya, kemudian menciptakan cuaca buatan bahkan logam mulia dari tembaga
menjadi emas.
Merujuk pada hal inilah hal yang harus dilakukan adalah ikutilah perubahan karena perubahan adalah inti dari kehidupan, tentunya perubahan kearah kebaikan yang mampu menjadikan diri kita dan masyarakat luas lebih harmonis. Harus disadari bahwa sebanyak apapun teman kita, harta kita, tingginya pendidikan, jabatan yang akan meneruskan perjalanan selanjutnya adalah sang roh yang ada dalam badan kasar ini (Sivananda, 2003:291). Kita tidak boleh terlalu bangga dengan kedudukan kita sekarang, dalam falsafat jawa dikatakan pangkat wenang minggat lan banda bakal lungo (harta dan kekayaan pasti akan pergi), akan tetapi gunakanlah kehidupan ini sebaik mungkin karena dilahirkan menjadi makhluk berbadan manusia adalah sesuatu yang sangat sulit dalam Sarasamuccaya diibarakan seperti kilat yang ada di langit. Hal ini berarti keberadaannya sangat sulit dan harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Penutup
Kehidupan
manusia di era globalisasi saat ini penuh dengan tantangan yang sangat luar
biasa. Hal yang harus dilakukan adalah membentengi diri kita dengan cara
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melakukan trisandhya, berjapa, dan
mengusahakan perbuatan baik. Pada kehidupan ini pula kita tidak dapat
memisahkan antara hal yang material kemudian kita melupakan spiritual namun
keduanya harus seiring. Oleh karena itulah, ini kewajiban kita sebagai manusia
harus mampu mengenal diri kita sendiri karena upaya mengenal diri kita sendiri
itulah hal yang sangat sulit. Namun disisi lain kesempatan menjadi manusia
adalah suatu hal yang sangat istimewa karena dibekali dengan pikiran yang mampu
membawa manusia kearah kesadaran yang sempurna.
Proses kualitas seseorang dalam menjalani dinamika
kehidupan ini akan teruji secara alamiah jika setiap kendala yang ditemuinya di
kerjakan secara optimal sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Rangkaian
proses hokum karma adalah sesuatu yang
dialami oleh seluruh kehidupan yang ada di alam material termasuk halnya para
dewa, manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya. Hal ini yang menunjukan
bahwa manusia sebagai penengah dari kehidupan ini yang artinya dapat naik
menjadi kehidupan yang lebih tinggi atau bahkan menjadi makhluk yang ada di
bawah manusia. Dengan demikian, bahwa kemuliaan manusia dalam kehidupan ini
adalah mampu menjadikan permasalahan itu adalah sebagai wahana untuk
pendewasaan pikiran kita untuk menjadi lebih baik pada masa mendatang.
0 Response to "Ego dan Kehancuran Manusia"
Post a Comment