Dinamika
dan Tantangan pendidikan Agama
Hindu
Oleh:
Untung Suhardi
A. Kontribusi sistem
pendidikan Hindu pada tujuan
pendidikan
nasional
Sejarah berkembangnya Hindu di dunia, khususnya di India, pada
dasarnya Hindu memiliki pola pendidikan tradisional yang sangat sistematis dan
terlembaga. Menurut (Sharmah, 1978 dalam Titib, 2003: 122) bahwa agama Hindu
telah mengenal sistem pendidikan agama yang terlembaga, yang merupakan ciri
khas pendidikan Hindu sejak masa awal perkembangannya. Hal ini dapat dibuktikan
antara lain dengan lahirnya kitab-kitab upanisad
yang merupakan bagian dari kitab Veda. Kata upanisad dalam bahasa Sanskerta
secara harfiah berarti “duduk di dekat kaki guru”. Dalam pengertian yang lebih
luas,kitab upanisad berarti kitab-kitab Veda yang berisi ajaran spiritual yang
dapat membimbing manusia kepada jalan untuk mencapai kepada Tuhan, yang
diajarkan oleh seorang guru spiritual kepada para murid yang duduk dekat di
hadapannya. Sistem
pendidikan menurut Veda bahwa anak menjadi pusat perhatian, artinya anak
merupakan aset dan peserta didik yang mendapat perhatian utama, kemudian kata
ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga:
“Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka
yang disebut put (neraka lantaran
tidak memiliki keturunan).
Tentang anak yang “suputra”, Maharsi
Cànakya dalam bukunya Nìtisàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum
baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak.
Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang “suputra” (II.16). “Asuhlah anak dengan memanjakannya
sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama
sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai
teman” (II.18). Demikianlah idealnya,
setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan,
sehat jasmani dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua
dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai
anak yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan
seseorang memperoleh kedamaian, yaitu: anak, istri dan pergaulan dengan
orang-orang suci” (IV.10).
Kenyataannya kita menjumpai beberapa
anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang
menjerumuskan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya ke dalam penderitaan.
Anak yang demikian disebut anak yang “kuputra” (bertentangan dengan suputra).
Tentang anak yang “kuputra” ini,
Maharsi Cànakya menyatakan: “Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon
kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang “kuputra”, menghancurkan
dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (II.15).
“Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan
kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian
yang luhur (suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga
inilah yang paling baik” (II.17).
“Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk,
demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,insyaf
akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan
kepada keluarga dan masyarakat”(III.16).
Hal yang sama diulangi kembali dalam Nìtisàstra IV.6. yang antara lain
menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan
dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat
martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang
baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding
mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir
langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur
panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan”(IV.7).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa
ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai
pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini,
pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan
oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan
dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter
seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Dasavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, srì, manuh,
mànusa, ràja, deva, dan raksasa” . Demikian pula pemberian nama kepada
seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak seseuai hari “dasavara”-nya tersebut.
Sistem dan tujuan pendidikan menurut
kitab suci di atas sejalan dengan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang
Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 3 Tahun 2003 yang mengamanatkan untuk
mengembangkan kecerdasan hoslistik. Selanjutnya tentang kecerdasan holistik, di
dalam buku panduan pelatihan membangun kecerdasan holistik (PMKH) (Ditjen
Dikti, 2008:1-2) dijelaskan bahwa sesuai Undang Undang Pendidikan Nasional
disebutkan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
B. Peran Pendidik dan lembaga kependidikan Hindu dalam
melanjutkan peradaban Hindu masa depan
Berkaitan dengan potensi yang
dimiliki oleh seseorang maka diperlukan kecerdasan, hal ini seperti pada
pemikiran Gardner (Ulianta, Jurnal pasupati, 2014) bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh manusia tidak hanya membahas
tentang kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan sosial, emosional,
kinestetik dan yang lainnya. Pada dasarnya semua kecerdasan ini saling berhubungan
dengan yang lainnya untuk membentuk pribadi dari seseorang yang nantinya
membentuk kepekaan sosial seseorang dalam kehidupan (Barbara K. Given, 2007:
219). Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk mewujudkan indonesia emas pada tahun
2025, Sistem Pendidikan Nasional berhasrat menghasilkan Insan Indonesia cerdas
dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Makna Insan Indonesia Cerdas
meliputi :
a. Cerdas
Intelektual (a. Gandrung akan olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan
kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Aktualisasi insan
intelektual yang kritis, kreatif, dan imajinatif).
b. Cerdas
Emosional (a. Gandrung akan olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan
apresiasivitas terhadap kehalusan dan keindahan, serta meningkatkan kemampuan
ekspresi estetis. b. Aktualisasi insan sosial yang mampu membina hubungan
timbal balik, empatik dan simpatik, ceria dan percaya diri, menghargai
kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan yang
sadar akan hak dan kewajiban warga negara).
c. Cerdas
Spiritual (a. Gandrung akan olah hati/kalbu untuk menumbuhkan keimanan,
ketaqwaan, dan akhlak mulia. b. Aktualisasi insan beragama mampu membina
hubungan yang harmonis, menghargai kebhinekaan dalam beragama, dan
menumbuhkembangkan inklusifitas beragama).
d. Cerdas
Kinestetik (a. Gandrung akan olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat,
bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan trengginas. b. Aktualisasi insan
adiraga).
Berangkat dari pembahasan ini bahwa
kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah
tingkahlaku menuju arah yang lebih baik. Pada hakekatnya keberadaan manusia
adalah sebagai makhluk sosial yang bertanggungawab terhadap bangsa dan
negaranya. Sehingga tujuan pendidikan ini adalah untuk menuju insan Indonesia
yang kompetitif yang dalam hal ini meliputi :
1) Berkepribadian
unggul dan gandrung akan keunggulan.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
2) Bersemangat juang tinggi.
3) Mandiri.
4) Pantang menyerah.
5) Pembangun dan pembina jejaring.
6) Bersahabat dengan perubahan.
7) Inovatif dan menjadi agen perubahan.
8) Produktif.
9) Sadar mutu.
10) Berorientasi global.
11) Pembelajar sepanjang hayat.
Adapun kegiatan dalam upaya
mengembangkan kecerdasan holistik tersebut memperkenalkan logika, etika,
humaniora, kepekaan sosial, spiritualitas dan soft skills. dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengendalian
diri, integritas, moralitas, kerjasama, kepedulian sosial, dan
kreatifitas.Tujuan pendidikan di atas dapat dijabarkan sebagai usaha membantu
menumbuhkan sifat prima manusia atau karakter yang sempurna dalam diri seorang
siswa. Para orang tua dan guru semuanya bertanggung jawab atas pendidikan anak.
Para orang tua adalah guru di rumah dan para guru di sekolah adalah guru
profesional. Agar sifat-sifat prima dalam diri anak berkembang, para orang tua,
guru dan lingkungan masyarakat harus bekerja sama dan saling membantu. Orang
tua dan guru harus mempraktekkan terlebih dahulu sebelum mengajarkan sesuatu
kepada anak-anak. Agar efektif, para guru harus mengajar dari hati dan
menyentuh hati sang anak. Karena itu, guru perlu berbicara berdasarkan
pengalaman dan bukan hanya mengulang apa yang ada di buku saja.
Di dalam Veda, seseorang yang
memberikan pendidikan disebut àcàrya.
Nama lainnya adalah “adhyàpaka” yang
juga berarti guru, di samping kata “guru” itu sendiri, sedang siswa (perubahan
dari kata sisya) disebut Brahmacàri, juga disebut “vidyàrti”, yang berarti yang mengejar dan mempelajari ilmu
pengetahuan. Àcàrya berarti seseorang
yang dianggap tidak hanya memberikan ilmu pengetahuannya secara teoritis kepada
para siswa, tetapi juga memperbaiki karakter mereka. Pengertian àcàrya adalah: “àcàraý grahayatìti àcàryaá” yang
berarti ia yang memberikan pendidikan karakter (seseorang). Dua hal
penting dalam sistem pendidikan menurut Veda adalah brahmacarya dan àcàrya dan
melalui kebersamaan keduanya seorang siswa dapat meningkatkan perbaikan
moralitas dan karakternya. Adalah tugas seorang guru, ketika seorang siswa
menghadapnya, untuk meminta diajarkan kepadanya tentang kebenaran yang
sesungguhnya yang ia ketahui (Mundaka Upaniśad I.2.13), tanpa menyembunyikan
sesuatu dari padanya, untuk sesuatu yang disembunyikan akan mengakibatkan
kejatuhannya (Praśna Upaniśad VI.1). Kitab Taittirìya Àraṅyaka (VII.4)
menguraikan bahwa seorang guru mestinya mengajar siswanya dengan sepenuh hati
dan jiwanya. Ia juga terikat, yang menurut Śatapatha Bràhmaṅa (XIV.I.1.26.27)
untuk menguraikan segala sesuatunya kepada para siswa, yang tinggal selama
setahun penuh (saývatsara-vàsin).
Seorang guru hendaknya cukup bebas,
hal itu mestinya dipahami, untuk menurunkan pengetahuan kepada siswanya, yakni
pengetahuan tentang segala sesuatu yang tidak setara. Satu catatan tentang
kasus-kasus tertentu tentang proses belajar mengajar yang bersifat rahasia
kepada orang tertentu yang bersifat terbatas. Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988: 259)
menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar
dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju
karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan,
kesempurnaan dan pengetahuan tentang sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian
seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti
tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas,
maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah dalam
pendidikan menurut Veda, adalah untuk menjadikan “manava” (umat manusia) meningkat kualitas hidup dan kehidupannya
menjadi para “madhava”, yakni umat
manusia yang memiliki kelembutan, kasih sayang dan kearifan atau kebijaksanaan
yang tinggi, tidak sebaliknya “manava” jatuh menjadi “danava-danava”, yakni
manusia dengan karakter raksasa, rakus, dengki dan berbagai sifat buruk
lainnya. Di dalam Taittirìya Upaniśad (7) dapat ditemukan tentang kewajiban
seorang siswa untuk dengan sungguh-sungguh menempa diri, berbicara
benar/membicarakan kebenaran, rajin belajar dan mengikuti ajaran Dharma serta
tidak lalai dan membuang waktu (satyaývàda-dharmàcara-svadhyàya-na
pramadaá).
Berangkat dari uraian ini menunjukan bahwa
pendidik mmepunyai peran utama untuk mencerdaskan bangsa karena didalamnya
tidak hanya mengajar tetapi memberikan penanaman nilai-nilai karakter. Hal ini
juga harus ada dorongan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun
masyarakat untuk bersinergi dalam membangun sumber daya manusia yang tangguh.
Dalam hal ini peran PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu dan Ditjen Bimas
Hindu Kementerian Agama memberi penopang dalam kehidupan keagamaan Hindu.
Daftar Pustaka
Boeree, George. 2008. Metoda Pembelajaran Dan Pengajaran (Kritik
Dan Sugesti Terhadap Dunia Pendidikan Embelajaran Dan Pengajaran).
Yogyakarta: Arruzz Media.
Darmayasa, Made (1984). Vaisnava Dharma, Denpasar: ____.
Given, Barbara. 2007. Brain Based Teaching (Merancang Kegiatan
Belajar Mengajar Yang Melibatkan Otak Emosional. Sosial. Kognitif, Kinestetis
Dan Reflektif. Bandung : Mizan Pustaka.
Gories, R. (1954). Prasasti
Bali I dan II. Bandung : C.V. Masa Baru
Koentjaraningrat. (1985). Javanese
culture. Singapore: Oxford University Press.
Mustika, Made. (2002). Disfungsi
pendidikan Hindu. Majalah Hindu Raditya. No 61 Agustus 2002.
Oka, Gedong. (1992). Menyelaraskan
pola pendidikan tradisional Hindu dengan dinamika pembangunan. Surabaya :
Team Pembina Kerohanian Hindu ITS
Pigeaud, Th. (1938). Javaansche
volksvertoningen (performances of the Javanese people). Batavia :
Volkslectuur.
Poerbatjaraka, RMNg. 1983. Nitisastra Kakawin. Denpasar, Bali:
Pemerintah Daerah Tingkat I
Bali.
Puja G, Sudharta Tjokordha Rai.2005. Manavadharmasastra
(Veda Smerti). Surabaya: Penerbit Paramita.
Radhakrishnan, S. 1990. Principal Upaniûads. Centenary Edition,
Oxford University Press: New Delhi-Bombay-Banares.
Sarmah, J. (1978). Philosophy
of education in the Upanisads. India : Gauhaty University.
Satyavrata Siddhantalankar.
1980. Exposition of Vedic Thought.
New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Sivananda Swami. 1988. All About Hinduism. Himalaya, India: A
Divine Life Socoety,
Suryanto. (2004).
Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu Di
Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional
Model Gurukula Di India. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.
Tika, N. & Setia, P.
(2002). Mengatasi problema proselisasi.
Majalah Hindu Raditya, No 61 Agustus 2002.
0 Response to "Dinamika dan Tantangan pendidikan Agama Hindu"
Post a Comment