Wacana Multikulturalisme dalam Susastra Hindu II


Lanjutan,,,



Wacana Multikultural dalam Veda dan Susastra Sanskerta
            Sistem pendidikan agama pluralis-multikultural dalam masyarakat Hindu secara konsepsional menjadi bagian yang integral dari pemikiran teologisnya. Brahman/Tuhan Yang Maha Esa pencipta jagat raya pada dasarnya meresap-mengejawantah dalam segala ciptaan-Nya di alam semesta ini; dengan kata lain bahwa segala bentuk kehidupan makhluk hidup dan segala representasi yang ada di jagat raya ini merupakan refleksi  keesaan dan keagungan Tuhan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk (manava) tertinggi yang memiliki manu (akal-pikiran) memiliki peranan sangat sentral dan penting dalam menata kehidupan di dunia ini, baik dengan bersandarkan kepada Hukum Abadi (Åtam dan Dharma) maupun hukum rasional. Meskipun manusia memainkan peranan sentral (antroposentrisme), tetapi seorang manusia Hindu tidak dapat berbuat secara sewenang-wenang, sehingga disebut dengan antroposentrisme humanis-religius yang dalam bahasa Sanskerta dapat disebut sebagai manava-madhava (manusia yang memiliki jiwa ketuhanan, manusia yang mempunyai sifat kedewataan).

            Pandangan antroposentrisme humanis-religius yang menjadi konsep dasar pendidikan agama pluralis-multikultural dalam masyarakat Hindu dengan jelas disebutkan dalam kitab suci Bhagavadgìtà XII.13. sebagai berikut:


Advesta sarva-bhūtānām maitraá karuóa eva ca,
Nirmamo nirahaýkāraá sama-duákha kûami.

Ia yang tidak membenci semua makhluk, yang senantiasa bersikap
ramah dan bersahabat, bebas dari rasa keakuan (egoisme) dan kepemilikkan serta pemaaf, berkeadaan sama dalam kesedihan maupun kesenangan.

            Dari úloka di atas dunia pendidikan agama dapat menyimak bahwa kehidupan di dunia ini sangat majemuk (sarva-bhūtānām), manusia tidak dibenarkan membenci atau menjadi egois terhadap sesamanya atau makhluk hidup yang lainnya, tetapi senantiasa bersahabat, bahkan berempati.   Dalam hal ini pendidikan agama tidak saja bertujuan humanisasi manusia Hindu, tetapi juga sebagai proses pembelajaran untuk menghargai kehidupan makhluk lain dan semesta secara wajar. Karena seorang terpelajar yang mengaku beragama (berketuhanan) dalam pandangan Hindu di samping berkemanusiaan adalah sepatutnya juga berkesadaran semesta. Selanjutnya dalam kitab Atharvaveda XII.1.45 dinyatakan:

Janaý bibhratī bahudhā vivācasaý
Nānādharmaóam påthivī yathaukasam

Sahastra dhārā dravióasya me duhām

Dhruveva dhenur anapasphurantī.

Bumi tempat tinggal (seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara berbeda-beda, dan menganut agama berbeda-beda (pula), namun semuanya seperti dalam satu kandang sapi, semogalah kesejahteraan berlimpah.

Terjemahan mantra Atharvaveda di atas mengamanatkan bahwa manusia menempati bumi ini hendaknya selalu rukun karena menggunakan bahasa (budaya) yang berbeda-beda, demikian pula agama atau kepercayaan yang dianutnya berbeda-beda. Bila terwujud kerukunan di dalam masyarakat, maka masyarakat akan menjadi makmur, karena bumi pertiwi memberikan kesejahteraan yang berlimpah. Lebih jauh di dalam kitab suci Bhagavadgìtà IV.11 dinyatakan sebagai berikut.

Ye yatha màý prapadyante tams bhajàmy aham,
Mama vartmànuvartante manuûyàá pàrtha sarvaúaá.

Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku”

            Berdasarkan pandangan teologis tersebut, pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural yang dikenal dalam masyarakat Hindu pada prinsipnya dilandasi oleh beberapa konsep/nilai dasar yang saling terkait satu sama lain, yaitu sebagai berikut:

1)   Filosofis Advaita, Sarva Dharma Samabhāva
Dalam doa puja umat Hindu sehari-hari dipanjatkan pula mantram yang universal untuk kebahagiaan semua makhluk, “sarva pràói hitaòkaraá”, semoga semua makhluk (yang bernafas) senantiasa sejahtera, demikian pula Úànti mantram atau Úubhaúìta mantra berikut “Sarve sukhino bhavantu, sarve úàntu niramayaá, sarve bhadràói paúyantu, ma kaúcid duákha bhag bhawet”, tegas menyatakan semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semua memperoleh kedamaian, semoga tumbuh saling pengertian dan semoga semuanya bebas dari penderitaan. Pandangan ini dilandasi oleh ajaran suci Veda yang menyatakan bahwa “semua makhluk sesungguhnya bersaudara” (vasudhaiva kutumbhakam). Kesadaraan terhadap persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada umat manusia untuk senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis.
Dengan pandangan yang Advaitik (kesatuan) ini, Agama Hindu memandang setiap manusia dan semua makhluk lainnya adalah seperti dirinya sendiri, ia adalah saudara, ibu, bapak, adik, kakak, kakek dan nenek sendiri, tidak ada yang lain. Lebih lanjut tentang hubungan antar agama, kitab suci Veda (Atharvaveda XII.1.45) seperti telah dikutipkan terjemahannya pada manggala tulisan ini, mengamanatkan untuk memberikan penghargaan, toleransi yang sejati kepada penganut agama yang berbeda-beda. Berikut dikutipkan beberapa terjemahan mantram kitab suci Veda yang mengamanatkan kerukunan, inklusifisme atau multikulituralisme.

Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan  kerukunan   di  antara kamu.  Aku  bimbing  mereka  yang  berbuat salah menuju jalan yang benar  (Atharvaveda III. 8.5).

 Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu  seperti  menyatunya  para  dewata. Aku telah  anugrahkan  hal  yang  sama  kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu     (Atharvaveda III.30.4).

Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama.   Berbicaralah  dengan  satu  bahasa  dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan  kewajibannya,   hendaklah   kamu  tidak goyah   dalam   melaksanakan    kewajibanmu  (Rgveda X.191.2).

Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah  bersama.  Satukanlah  hati  dan pikiranmu satu dengan yang lain.  Aku anugrahkan pikiran dan  cita-cita  yang  sama  dan  fasilitas  yang sama pula untuk kerukunan hidupmu    (Rgveda X.191.3).

 Wahai  umat   manusia!    Milikilah  perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat  mewujudkan  kerukunan dan kesatuan” (Rgveda X.191.4).

            Lebih jauh ungkapan sarva dharma samabhāva secara harfiah diartikan bahwa semua dharma/kebenaran (agama) adalah sama dan saling selaras satu sama lainnya. Secara teologis-filosofis Hindu meskipun mengenal beribu nama dewa, tetapi pada dasarnya mengagungkan Tuhan Yang Maha Tunggal (monoteistis) yang disebut Brahman atau Hyang Widhi (di Indonesia). Sesuai dengan pandangan teologi-pluralisme yang dianut, Hindu mengakui adanya kebenaran pada agama-agama. Dalam Ågveda X.129.6 Brahman  disebutkan sebagai “Kebenaran Mutlak” (Tat Sat), dan dalam Brahmasùtra, Brahman dikatakan: Tad avyaktam, aha hi bahwa Tuhan itu tidak terkatakan (abstrak), dan dalam Chàndogya Upaniûad VI.2.1 dikatakan, bahwa sesungguhnya Brahman/Tuhan itu tunggal tidak ada duanya (Ekam eva Adwityam) dan dari pada-Nya semua makhluk tercipta (tasmad asatah sajjāyata).
            Pemahaman konsep teologis dan kesadaran filsafati bahwa Tuhan itu hanya satu merupakan landasan yang sangat penting dalam pendidikan agama pluralis-multikultural. Karena adanya agama dan kepercayaan yang bermacam-macam (sarva dharma) semata-mata sebagai media atau “jalan” yang terkait dengan konteks historis dan sosiologis. Dengan demikian semua jalan agama dan kepercayaan yang ditempuh oleh umat manusia untuk memahami hakikat Sang Pencipta secara filosofis adalah sama, yakni: penyadaran dan pencerahan mental-spiritual manusia sebagai homo-religious. Jadi religiusitas merupakan inti terdalam dari kesadaran keagamaan/kepercayaan tertentu yang dianut secara formal. Dengan kesadaran filosofis sarva dharma samabhava ini, setiap orang terpelajar yang mengaku beragama tentu sekaligus juga memiliki pemahaman multi-religius dan sikap menghargai agama dan kepercayaan yang lain, sehingga eksklusivitas agama dapat direduksi.

2)   Etika-moralitas
Pandangan filsafat moral (etika) yang melandasi pentingnya pendidikan agama pluralis-multikultural Hindu antara lain: (a) Tri Kaya Parisudha, (b) Ahimsa Dharma, dan (c) Tat Tvam Asi (= toleransi). Konsep dan nilai ajaran Tri Kaya Pariúudha, yaitu: berpikir benar-berkata benar-berperilaku benar merupakan conditio sine qua non (prasyarat mutlak) dan bersifat ad infinitum dalam pendidikan Agama Hindu. Jika ketiga aspek tersebut tidak berjalan secara linier di lapangan, maka seorang manusia terpelajar itu akan terjebak dalam hipokrisi atau kemunafikan. Oleh karena itu, aplikasi ajaran Tri Kaya Pariúudha dalam pendidikan agama menjadi esensial dalam upaya mewujudkan masyarakat pluralis-multikultural; dengan kata lain—meminjam istilah KBK—ketiga aspek Tri Kaya Pariúudha tersebut dapat disepadankan dengan kognisi-affeksi-psikomotorik, sehingga antara berpikir-berkata-bertindak mewujud sebagai satu kesatuan organis.

Konsep/nilai ajaran Ahimsa Dharma dan Tat Tvam Asi merupakan dua hal yang saling berkaitan sebagai dasar pendidikan agama pluralis-multikultural dalam pandangan Hindu. Dalam kedua konsep ini terkandung pengertian simpati dan empati secara humanis-religius. Dalam Bhagavadgìtà X.5 dinyatakan sebagai berikut.



Ahimsā samatā tustis tapo dānam yaśo`yasah,
Bhavanti bhāvā bhutānām matta eva prthag-vidhāh.

Tanpa kekerasan, keseimbangan pikiran, kepuasan, kesederhanaan, amal sedekah, kemasyuran dan kehinaan, semuanya ini adalah keadaan dari makhluk yang hanya berasal dari Aku saja.

Úloka di atas memahamkan bahwa seorang terpelajar di bidang keagamaan (mengaku beragama) tidak dibenarkan melakukan kekerasan (membenci, menyakiti, menyiksa, atau membunuh) sesama insan atau makhluk lain. Dalam Yajurveda XL.6 juga disebutkan sebagai berikut.

Yatsu sarvāni bhūtāny ātmāny evanupasyati,
Sarva bhūtesu cātmānam tato na vi cikitsati.

Tetapi seseorang yang telah melihat Dia (Àtman) ada pada setiap makhluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada-Nya, ia tidak akan membenci (makhluk) yang lain.

Selanjutnya terkait dengan konsep/nilai ajaran Tat Tvam Asi (toleransi) sebagai konsep mendasar dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme, dalam kitab Chàndogya Upaniûad 6, 7, 8 disebutkan:

Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwātma) dan zat (prakåti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwātma-ku dan prakåti-ku tunggal dengan jiwātma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk.Oleh karena itu aku adalah Engkau; aku adalah Brahman.

Konsep/nilai ajaran Tat Tvam Asi dan Ahimsa Dharma kini telah di-share nilai universal dalam konteks non-violance (anti kekerasan) dan toleransi-kemanusiaan. Selanjutnya kedua konsep ini juga menjadi nilai penting dalam membangun kesadaran humanisme universal, yang oleh Svami Vivekananda dikatakan sebagai “persamaan dalam segala-galanya” yang disebut dengan samadarsitva yaitu sebuah paham egalitarianisme-religius Hindu.

3)   Ritual
            Semua agama dan kepercayaan pada prinsipnya memiliki sistem upacara ritual sebagai suatu representasi sikap dan emosi religius masing-masing dari agama/kepercayaan yang dianutnya. Representasi demikian merupakan sesuatu yang wajar karena merupakan salah satu aspek pemahaman dari konsep korban suci (atau kurban dalam Islam) yang berdimensi vertikal (kepada Sang Pencipta) ataupun horizontal (sesama umat). Sistem ritual yang direpresentasikan penganut agama/kepercayaan tertentu dapat menjadi media saling mengerti, timbang-wirasa, tali silaturahmi baik secara intern ataupun ekstern. Sebagai contoh, misalnya ritual peringatan tahun baru yang dikenal hampir dalam semua agama besar, dapat menjadi ajang berdialog, terutama dalam konteks pendidikan agama pluralis-multikultural.
            Dalam pandangan Hindu, ritual disamping secara harfiah bermakna korban suci (yajña), tetapi dalam konteks yang lebih luas dapat dipahami melalui arthadàna (pemberian uang, kebutuhan ekonomis), vidyàdàna (pemberian berupa ilmu pengetahuan), dan dharmadana (pemberian wejangan spiritual berupa dharma). Di samping itu, badan kita sendiri juga dapat menjadi sarana pelaksanaan ritual dan dharma (úarìram adhyam kalu dharma sàdhanam). Seseorang manusia Hindu yang mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai sarana berbuat dharma, maka secara nyata orang tersebut telah mengamalkan konsep pendidikan agama yang pluralis-multikultural. Karena melalui ritual badaniah “úarìram-sàdhanam” tersebut seseorang telah melakukan sevanam (pelayanan) kepada sesama insan sesungguhnya ia mewujudkan masyarakat multikultural.         
            Demikian sepintas wacana multikultural atau tepatnya wacana pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural yang masih bisa ditelisik dari berbagai sumber dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràna.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Wacana Multikulturalisme dalam Susastra Hindu II"

Post a Comment