Lanjutan,,,
Wacana Multikultural
dalam Veda dan Susastra Sanskerta
Sistem
pendidikan agama pluralis-multikultural dalam masyarakat Hindu secara
konsepsional menjadi bagian yang integral dari pemikiran teologisnya.
Brahman/Tuhan Yang Maha Esa pencipta jagat raya pada dasarnya
meresap-mengejawantah dalam segala ciptaan-Nya di alam semesta ini; dengan kata
lain bahwa segala bentuk kehidupan makhluk hidup dan segala representasi yang
ada di jagat raya ini merupakan refleksi
keesaan dan keagungan Tuhan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk (manava) tertinggi yang memiliki manu
(akal-pikiran) memiliki peranan sangat sentral dan penting dalam menata
kehidupan di dunia ini, baik dengan bersandarkan kepada Hukum Abadi (Åtam
dan Dharma) maupun hukum rasional. Meskipun manusia memainkan peranan
sentral (antroposentrisme), tetapi
seorang manusia Hindu tidak dapat berbuat secara sewenang-wenang, sehingga
disebut dengan antroposentrisme humanis-religius yang dalam bahasa
Sanskerta dapat disebut sebagai manava-madhava
(manusia yang memiliki jiwa ketuhanan, manusia yang mempunyai sifat
kedewataan).
Pandangan
antroposentrisme humanis-religius
yang menjadi konsep dasar pendidikan agama pluralis-multikultural dalam
masyarakat Hindu dengan jelas disebutkan dalam kitab suci Bhagavadgìtà XII.13. sebagai berikut:
Advesta sarva-bhūtānām
maitraá karuóa eva ca,
Nirmamo nirahaýkāraá
sama-duákha kûami.
Ia yang tidak membenci semua
makhluk, yang senantiasa bersikap
ramah dan bersahabat, bebas dari
rasa keakuan (egoisme) dan kepemilikkan serta pemaaf, berkeadaan sama dalam
kesedihan maupun kesenangan.
Dari
úloka di atas dunia pendidikan agama
dapat menyimak bahwa kehidupan di dunia ini sangat majemuk (sarva-bhūtānām),
manusia tidak dibenarkan membenci atau menjadi egois terhadap sesamanya atau
makhluk hidup yang lainnya, tetapi senantiasa bersahabat, bahkan
berempati. Dalam hal ini pendidikan
agama tidak saja bertujuan humanisasi manusia Hindu, tetapi juga sebagai
proses pembelajaran untuk menghargai kehidupan makhluk lain dan semesta secara
wajar. Karena seorang terpelajar yang mengaku beragama (berketuhanan) dalam
pandangan Hindu di samping berkemanusiaan adalah sepatutnya juga berkesadaran
semesta. Selanjutnya dalam kitab Atharvaveda
XII.1.45 dinyatakan:
Janaý bibhratī bahudhā
vivācasaý
Nānādharmaóam påthivī
yathaukasam
Sahastra dhārā dravióasya me duhām
Dhruveva dhenur
anapasphurantī.
Bumi tempat tinggal
(seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara
berbeda-beda, dan menganut agama berbeda-beda (pula), namun semuanya seperti
dalam satu kandang sapi, semogalah kesejahteraan berlimpah.
Terjemahan mantra Atharvaveda di
atas mengamanatkan bahwa manusia menempati bumi ini hendaknya selalu rukun
karena menggunakan bahasa (budaya) yang berbeda-beda, demikian pula agama atau
kepercayaan yang dianutnya berbeda-beda. Bila terwujud kerukunan di dalam
masyarakat, maka masyarakat akan menjadi makmur, karena bumi pertiwi memberikan
kesejahteraan yang berlimpah. Lebih jauh di dalam kitab suci Bhagavadgìtà IV.11
dinyatakan sebagai berikut.
Ye yatha màý prapadyante tams bhajàmy aham,
Mama vartmànuvartante manuûyàá pàrtha sarvaúaá.
Dengan jalan atau cara apa pun
orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna,
karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku”
Berdasarkan
pandangan teologis tersebut, pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural
yang dikenal dalam masyarakat Hindu pada prinsipnya dilandasi oleh beberapa
konsep/nilai dasar yang saling terkait satu sama lain, yaitu sebagai berikut:
1) Filosofis Advaita, Sarva Dharma
Samabhāva
Dalam doa puja umat Hindu sehari-hari dipanjatkan pula mantram yang
universal untuk kebahagiaan semua makhluk, “sarva pràói hitaòkaraá”,
semoga semua makhluk (yang bernafas) senantiasa sejahtera, demikian pula Úànti
mantram atau Úubhaúìta mantra berikut “Sarve sukhino bhavantu, sarve úàntu
niramayaá, sarve bhadràói paúyantu, ma kaúcid duákha bhag bhawet”, tegas
menyatakan semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semua memperoleh kedamaian,
semoga tumbuh saling pengertian dan semoga semuanya bebas dari penderitaan.
Pandangan ini dilandasi oleh ajaran suci Veda yang menyatakan bahwa “semua
makhluk sesungguhnya bersaudara” (vasudhaiva kutumbhakam).
Kesadaraan terhadap persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada umat
manusia untuk senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis.
Dengan pandangan yang Advaitik
(kesatuan) ini, Agama Hindu memandang setiap manusia dan semua makhluk lainnya
adalah seperti dirinya sendiri, ia adalah saudara, ibu, bapak, adik, kakak,
kakek dan nenek sendiri, tidak ada yang lain. Lebih lanjut tentang hubungan
antar agama, kitab suci Veda (Atharvaveda XII.1.45) seperti telah dikutipkan
terjemahannya pada manggala tulisan ini, mengamanatkan untuk memberikan
penghargaan, toleransi yang sejati kepada penganut agama yang berbeda-beda.
Berikut dikutipkan beberapa terjemahan mantram kitab suci Veda yang
mengamanatkan kerukunan, inklusifisme atau multikulituralisme.
“Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan
di antara kamu. Aku
bimbing mereka yang
berbuat salah menuju jalan yang benar” (Atharvaveda III. 8.5).
“Wahai
umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu
seperti menyatunya para
dewata. Aku telah anugrahkan hal
yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah
persatuan di antara kamu”
(Atharvaveda III.30.4).
“Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah
bersatu dan bekerja sama.
Berbicaralah dengan satu
bahasa dan ambilah keputusan dengan
satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah
melaksanakan kewajibannya, hendaklah
kamu tidak goyah dalam
melaksanakan kewajibanmu” (Rgveda X.191.2).
“Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama.
Satukanlah hati dan pikiranmu satu dengan yang lain. Aku anugrahkan pikiran dan cita-cita
yang sama dan
fasilitas yang sama pula untuk
kerukunan hidupmu” (Rgveda
X.191.3).
“Wahai umat
manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling
pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan
kerukunan dan kesatuan” (Rgveda X.191.4).
Lebih
jauh ungkapan sarva dharma samabhāva secara harfiah diartikan bahwa
semua dharma/kebenaran (agama) adalah sama dan saling selaras satu sama
lainnya. Secara teologis-filosofis Hindu meskipun mengenal beribu nama dewa,
tetapi pada dasarnya mengagungkan Tuhan Yang Maha Tunggal (monoteistis) yang disebut Brahman atau Hyang Widhi (di Indonesia).
Sesuai dengan pandangan teologi-pluralisme yang dianut, Hindu mengakui adanya
kebenaran pada agama-agama. Dalam Ågveda X.129.6 Brahman disebutkan sebagai “Kebenaran Mutlak” (Tat Sat), dan dalam Brahmasùtra, Brahman
dikatakan: “Tad avyaktam, aha hi”
bahwa Tuhan itu tidak terkatakan (abstrak), dan dalam Chàndogya Upaniûad VI.2.1 dikatakan, bahwa sesungguhnya
Brahman/Tuhan itu tunggal tidak ada duanya (Ekam eva Adwityam) dan dari
pada-Nya semua makhluk tercipta (tasmad asatah sajjāyata).
Pemahaman
konsep teologis dan kesadaran filsafati bahwa Tuhan itu hanya satu merupakan
landasan yang sangat penting dalam pendidikan agama pluralis-multikultural.
Karena adanya agama dan kepercayaan yang bermacam-macam (sarva dharma)
semata-mata sebagai media atau “jalan” yang terkait dengan konteks historis dan
sosiologis. Dengan demikian semua jalan agama dan kepercayaan yang ditempuh
oleh umat manusia untuk memahami hakikat Sang Pencipta secara filosofis adalah
sama, yakni: penyadaran dan pencerahan mental-spiritual manusia sebagai homo-religious.
Jadi religiusitas merupakan inti terdalam dari kesadaran keagamaan/kepercayaan
tertentu yang dianut secara formal. Dengan kesadaran filosofis sarva dharma
samabhava ini, setiap orang terpelajar yang mengaku beragama tentu
sekaligus juga memiliki pemahaman multi-religius dan sikap menghargai agama dan
kepercayaan yang lain, sehingga eksklusivitas agama dapat direduksi.
2) Etika-moralitas
Pandangan filsafat moral (etika)
yang melandasi pentingnya pendidikan agama pluralis-multikultural Hindu antara
lain: (a) Tri Kaya Parisudha, (b) Ahimsa Dharma, dan (c) Tat Tvam Asi
(= toleransi). Konsep dan nilai ajaran
Tri Kaya Pariúudha, yaitu: berpikir benar-berkata benar-berperilaku
benar merupakan conditio sine qua non (prasyarat mutlak) dan
bersifat ad infinitum dalam pendidikan Agama Hindu. Jika ketiga aspek
tersebut tidak berjalan secara linier di lapangan, maka seorang manusia
terpelajar itu akan terjebak dalam hipokrisi atau kemunafikan. Oleh karena itu,
aplikasi ajaran Tri Kaya Pariúudha dalam pendidikan agama menjadi
esensial dalam upaya mewujudkan masyarakat pluralis-multikultural; dengan kata
lain—meminjam istilah KBK—ketiga aspek Tri Kaya Pariúudha tersebut dapat
disepadankan dengan kognisi-affeksi-psikomotorik, sehingga antara berpikir-berkata-bertindak
mewujud sebagai satu kesatuan organis.
Konsep/nilai ajaran Ahimsa Dharma dan Tat Tvam Asi merupakan dua hal yang saling berkaitan sebagai dasar pendidikan agama pluralis-multikultural dalam pandangan Hindu. Dalam kedua konsep ini terkandung pengertian simpati dan empati secara humanis-religius. Dalam Bhagavadgìtà X.5 dinyatakan sebagai berikut.
Konsep/nilai ajaran Ahimsa Dharma dan Tat Tvam Asi merupakan dua hal yang saling berkaitan sebagai dasar pendidikan agama pluralis-multikultural dalam pandangan Hindu. Dalam kedua konsep ini terkandung pengertian simpati dan empati secara humanis-religius. Dalam Bhagavadgìtà X.5 dinyatakan sebagai berikut.
Ahimsā samatā tustis tapo
dānam yaśo`yasah,
Bhavanti bhāvā bhutānām
matta eva prthag-vidhāh.
Tanpa kekerasan, keseimbangan
pikiran, kepuasan, kesederhanaan, amal sedekah, kemasyuran dan kehinaan,
semuanya ini adalah keadaan dari makhluk yang hanya berasal dari Aku saja.
Úloka di atas memahamkan bahwa
seorang terpelajar di bidang keagamaan (mengaku beragama) tidak dibenarkan
melakukan kekerasan (membenci, menyakiti, menyiksa, atau membunuh) sesama insan
atau makhluk lain. Dalam Yajurveda
XL.6 juga disebutkan sebagai berikut.
Yatsu sarvāni bhūtāny
ātmāny evanupasyati,
Sarva bhūtesu cātmānam
tato na vi cikitsati.
Tetapi seseorang yang telah
melihat Dia (Àtman) ada pada setiap
makhluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada-Nya, ia tidak akan membenci
(makhluk) yang lain.
Selanjutnya terkait dengan
konsep/nilai ajaran Tat Tvam Asi (toleransi) sebagai konsep mendasar
dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme, dalam kitab Chàndogya Upaniûad 6, 7, 8
disebutkan:
Dikaulah itu, Dikaulah (semua)
itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwātma) dan
zat (prakåti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal
dari-Mu. Oleh karena itu jiwātma-ku
dan prakåti-ku tunggal dengan jiwātma
semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk.Oleh
karena itu aku adalah Engkau; aku adalah Brahman.
Konsep/nilai ajaran Tat Tvam
Asi dan Ahimsa Dharma kini telah di-share nilai universal
dalam konteks non-violance (anti kekerasan) dan toleransi-kemanusiaan.
Selanjutnya kedua konsep ini juga menjadi nilai penting dalam membangun
kesadaran humanisme universal, yang oleh Svami Vivekananda dikatakan sebagai
“persamaan dalam segala-galanya” yang disebut dengan “samadarsitva” yaitu sebuah
paham egalitarianisme-religius Hindu.
3) Ritual
Semua
agama dan kepercayaan pada prinsipnya memiliki sistem upacara ritual sebagai
suatu representasi sikap dan emosi religius masing-masing dari
agama/kepercayaan yang dianutnya. Representasi demikian merupakan sesuatu yang
wajar karena merupakan salah satu aspek pemahaman dari konsep korban suci (atau
kurban dalam Islam) yang berdimensi vertikal (kepada Sang Pencipta) ataupun
horizontal (sesama umat). Sistem ritual yang direpresentasikan penganut
agama/kepercayaan tertentu dapat menjadi media saling mengerti, timbang-wirasa,
tali silaturahmi baik secara intern ataupun ekstern. Sebagai contoh, misalnya
ritual peringatan tahun baru yang dikenal hampir dalam semua agama besar, dapat
menjadi ajang berdialog, terutama dalam konteks pendidikan agama
pluralis-multikultural.
Dalam
pandangan Hindu, ritual disamping secara harfiah bermakna korban suci (yajña),
tetapi dalam konteks yang lebih luas dapat dipahami melalui arthadàna
(pemberian uang, kebutuhan ekonomis), vidyàdàna (pemberian berupa ilmu
pengetahuan), dan dharmadana (pemberian wejangan spiritual berupa dharma).
Di samping itu, badan kita sendiri juga dapat menjadi sarana pelaksanaan ritual
dan dharma (úarìram adhyam kalu dharma sàdhanam).
Seseorang manusia Hindu yang mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai sarana
berbuat dharma, maka secara nyata orang tersebut telah mengamalkan konsep
pendidikan agama yang pluralis-multikultural. Karena melalui ritual badaniah “úarìram-sàdhanam” tersebut seseorang
telah melakukan sevanam (pelayanan) kepada sesama insan sesungguhnya ia
mewujudkan masyarakat multikultural.
Demikian
sepintas wacana multikultural atau tepatnya wacana pendidikan Agama Hindu
berwawasan multikultural yang masih bisa ditelisik dari berbagai sumber dalam
kitab-kitab Itihàsa dan Puràna.
0 Response to "Wacana Multikulturalisme dalam Susastra Hindu II"
Post a Comment