GITA MAHATMYA: KEAGUNGAN BHAGAVADGITA
Oleh:
Untung Suhardi
A.
Pendahuluan
Keberadaan
Mahabharata tepatnya dalam shanti parwa 348.51-52 terdapat ajaran kerohanian
yang menarik yaitu Bhagavadgita. Berdasarkan literature bahwa Bhagavadgita
disabdakan sekurang-kurangnya 120.400.000 tahun silam, dan Bhagavadgita sudah
ada dalam kehidupan mamsyarakat 2.000.000 tahun silam (Tim Penyusun, 2007: 5).
Pada awalnya disampaikan Sri Wishnu kepada dewa matahari Vivasvan kepada Manu
kemudian menyampaikan Maharaja Iksvaku yang memunculkan dinasti Sri Ramacandra.
Kemudian, bhagavadgita disampaikan kepada Arjuna oleh Sri Krishna kurang lebih
5.000 tahun. Banyak kalangan merasa tertarik mempelajarinya karena Bhagavad Gita
ini merupakan anak cerita epos Mahabharata. Meskipun masih banyak sekali
perdebatan perihal asumsi tersebut, kebanyakan guru agung (mahacarya),
dengan berbagai asumsinya, telah sepakat bahwa memang Bhagavad Gita
merupakan bagian dari epos Mahabharata, bukan terpisah.
Selain perdebatan mengenai kedudukan Bhagavad Gita berkaitan dengan Mahabharata tersebut, persoalan lain yang muncul adalah: apakah Bhagavad Gita mengajarkan teisme, monisme, atau mazhab ketuhanan lainnya? Ambiguitas itu muncul sebab di dalamnya mengandung dualisme unsur kefilsafatan (darsana) – Samkhya dan Vedanta—yang keduanya memiliki inti ajaran yang berlainan. Satu hal lagi yang tidak bisa ditampik dari ajaran Bhagavad Gita, meski tidak terlalu dominan adalah tentang metode meditasi Yoga. Selain itu, tak kalah pentingnya dalam kajian terhadap Bhagavad Gita, kita dituntut untuk mencermati kecenderungan visi dari Bhagavad Gita ini: membebaskan jiwa ataukah bhakti kepada Tuhan yang personal?
Selain perdebatan mengenai kedudukan Bhagavad Gita berkaitan dengan Mahabharata tersebut, persoalan lain yang muncul adalah: apakah Bhagavad Gita mengajarkan teisme, monisme, atau mazhab ketuhanan lainnya? Ambiguitas itu muncul sebab di dalamnya mengandung dualisme unsur kefilsafatan (darsana) – Samkhya dan Vedanta—yang keduanya memiliki inti ajaran yang berlainan. Satu hal lagi yang tidak bisa ditampik dari ajaran Bhagavad Gita, meski tidak terlalu dominan adalah tentang metode meditasi Yoga. Selain itu, tak kalah pentingnya dalam kajian terhadap Bhagavad Gita, kita dituntut untuk mencermati kecenderungan visi dari Bhagavad Gita ini: membebaskan jiwa ataukah bhakti kepada Tuhan yang personal?
Terlepas dari persoalan itu semua, pembacaan dan pendalaman atas teks Bhagavad
Gita sangatlah terbuka. Memperoleh tuntunan moral-etis, pemahaman tentang
jiwa dan alam semesta, pencerahan tentang persoalan ketuhanan akan menjadi
imbalan bagi siapa saja yang sudi menghirup nafas suci Bhagavad Gita.
B. Penerapan Ajaran Bhagavadita dalam Kehidupan
Kebimbangan Arjuan dalam menghadapi perang terlihat ketika menanyakan
kepada Krishna“Arjuna berkata: Krishna yang terkasih, melihat teman-teman serta sanak
saudaraku berada di hadapanku dengan semangat perang membuat seluruh anggota
tubuhku gemetar dan mulutku mengering.” (Bg. I. 28-29).
Dan berturut-turut hingga sloka-sloka di dalam bab I usai, Arjuna mengalami
kesulitan dan kecemasan eksistensi material hingga hampir memutuskan untuk
mundur dari peperangan yang sudah di depan mata. Lalu dengan segenap
pengetahuan dan kebijaksanaannya, Krishna memberikan pemahaman tentang
tujuannya turun ke dunia (Bg. IV. 7-8).
Bhagavad Gita adalah untuk melepaskan manusia dari kebodohan
dalam eksistensi material. Satu-satunya eksistensi kita hanyalah atmosfir
non-eksistensi. Sesungguhnya kita tidak terancam oleh non-eksistensi tersebut,
karena eksistensi yang kita miliki bersifat abadi. Namun, entah bagaimana kita
ditempatkan dalam asat (mengacu pada sesuatu yang tidak eksis). Ini
sangat erat kaitannya dengan kesadaran diri – kesadaran akan penderitaan,
kesulitan, kegelapan, dan kebodohan. Ketika kesadaran tersebut telah bersemayam
di dalam diri seseorang, maka di sanalah sisi kemanusiaan dari manusia berawal.
Setiap laku manusia dianggap “sadar” ketika mampu mempertanyakan hal-hal
asasi: mengapa mereka mengalami penderitaan, dari mana mereka berasal, dan ke
mana mereka akan pergi setelah kematian. Dalam Bhagavad Gita, Krishna
menjelaskan tentang pentingnya kelangsungan generasi manusia serta rencana
kehidupan. Sebab hanya dengan itu manusia dapat bersikap sebagaimana mestinya
dan juga dapat melengkapi misi kehidupannya. Bhagavad Gita mengajarkan
bahwa kita harus menyucikan kesadaran yang telah terjamah oleh eksistensi
material. Sebab ketika kita terkontaminasi secara material, maka kesadaran kita
akan diselubungi oleh kepalsuan. Hal ini yang oleh Swami Prabhupada disebut
‘ego palsu’, yang, menurutnya, apabila seseorang telah terserap ke dalam
pemikiran konsepsi ragawi, maka ia tidak akan sanggup untuk memahami keadaan
ini. Dan Bhagavad Gita menawarkan diri untuk membantu roh kita terbebas
dari konsepsi kehidupan ragawi ini dalam pendakiannya menuju Yang Ilahi –
menjadi Mukti, Mokhsa (terbebas dari kesadaran material) melalui tiga
disiplin yoga – karma-yoga (jalan kegiatan kerja), jnana-yoga
(jalan pengetahuan), dan bhakti-yoga (jalan pengabdian).
Lalu apa yang dimaksud dengan eksistensi material? Di sini eksistensi material dideskripsikan sebagai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas dan batang-batangnya berada di bawah. Kita pernah menjumpai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas – jika seseorang berdiri di tepi sungai atau danau, dia akan melihat bahwa pepohonan yang berada di sana akan terefleksi di permukaan air secara terbalik. Batang-batangnya tumbuh ke bawah dan akar-akarnya tumbuh ke atas. Serupa dengan hal tersebut, eksistensi material ini merupakan sebuah refleksi dari eksistensi spiritual atau non-eksistensi. Eksistensi material merupakan bayangan dari realitas sesungguhnya, yang meminjam istilah Plato “dunia idea”. Di dalam bayangan tidak terdapat realitas atau substansi, namun, dari bayangan kita dapat memahami bahwa masih ada realitas atau substansi.
Lalu apa yang dimaksud dengan eksistensi material? Di sini eksistensi material dideskripsikan sebagai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas dan batang-batangnya berada di bawah. Kita pernah menjumpai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas – jika seseorang berdiri di tepi sungai atau danau, dia akan melihat bahwa pepohonan yang berada di sana akan terefleksi di permukaan air secara terbalik. Batang-batangnya tumbuh ke bawah dan akar-akarnya tumbuh ke atas. Serupa dengan hal tersebut, eksistensi material ini merupakan sebuah refleksi dari eksistensi spiritual atau non-eksistensi. Eksistensi material merupakan bayangan dari realitas sesungguhnya, yang meminjam istilah Plato “dunia idea”. Di dalam bayangan tidak terdapat realitas atau substansi, namun, dari bayangan kita dapat memahami bahwa masih ada realitas atau substansi.
Manusia seringkali terobsesi akan kehormatan, kekayaan, syahwat, dan
lain sejenisnya – namun, selama kita masih terikat dengan penanda-penanda
tersebut, maka kita masih terikat dengan eksistensi material. Padahal, kita
harus ingat, kita dalam hidup akan senantiasa berasosiasi dengan tiga mode
kehidupan (tri guna): satvas, rajas, dan tamas. Satvas
adalah keseimbangan, bila satvas dominan maka terjadi kedamaian atau
ketenangan. Rajas adalah aktivitas yang menyebabkan munculnya
kemungkinan dialektis – suka-tidak suka, cinta-benci, hemat-boros, dan lain
sebagainya. Tamas adalah belenggu terhadap sesuatu sehingga muncul
kelesuan, kemalasan, atau kegelapan. Bila satvas sedang berkuasa di
dalam diri manusia, maka ia menjadi tenang, merenung, dan bermeditasi. Manusia
yang dikuasai oleh sifat satvas akan berkarakter bijak dan bajik,
berkecenderungan hidup secara murni, suci, mulia, dan religius. Pada saat
lainnya sifat rajas yang menguasai diri manusia, maka ia akan mampu
melakukan berbagai macam jenis laku duniawi penuh semangat dan bernafsu. Lain
kemudian, ketika tamas yang berkuasa, maka manusia akan menjadi malas,
bodoh, dan lalai. Ketiga mode ini berjalan di bawah kendali serta pengaruh
waktu, sehingga terciptalah kegiatan-kegiatan yang disebut karma.
Kegiatan-kegiatan ini sudah ada sejak dahulu kala, dan terdapat hukum
sebab-akibat di sana – entah kenikmatan ataukah penderitaan. Kebodohan, sebagai
sumber penderitaan, dapat diatasi bila “Sang Diri” atau atman mampu
mengatasi lima selubung kebodohan (panca maya kosa), yaitu: (1) lapisan
makanan (annamaya kosa), (2) lapisan vital (pranamaya kosa), (3)
lapisan mental (manomaya kosa), (4) lapisan intelektual (vijnanamaya
kosa), (5) lapisan kebahagiaan (anandamaya kosa).
Namun, bukan berarti Bhagavad Gita mengabaikan sama sekali
eksistensi material. Guna menjaga eksistensi material (baca: tubuh), setiap
orang diharuskan untuk bekerja. Sebagaimana tertuang di dalam ajarannya,
lingkungan sosial-masyarakat telah dibagi berdasarkan pekerjaan, yang kemudian
di bagi pula ke dalam empat divisi strata sosial – brahmana, ksatriya,
vaisya, dan sudra, yang di dalam lingkungan masyarakat semua orang
harus bekerja untuk menjaga eksistensi materialnya sesuai dengan pembagian
kerja. Hal ini dilakukan dalam rangka agar manusia mampu mempertahankan
eksistensi spritualnya. Sebab ketika kita belum mampu menjaga eksistensi
material (tubuh), kita akan sulit menjangkau eksistensi spiritual kita secara
bersamaan dengan tugas-tugas material.
C.
Penutup
Dari pembahasan singkat di atas, kita telah mulai membuka hati dan pikiran
kita untuk mengenal ‘Nyanyian Tuhan’ dari negeri India sebagai teks filsafat.
Pemahaman di atas masih terlampau jauh untuk merepresentasikan ‘Nyanyian Tuhan’
yang sesungguhnya. Sebab untuk mencapai tahap itu kita perlu melakukan
pendekatan hermeneutika filosofis yang memadai. Selain itu, perlu juga
menggunakan pendekatan-pendekatan lain seperti sosio-kultural India, historis,
dan teologi Hindu (Brahmavidya). Mendalami Bhagavad Gita,
selain menuntut keluasan dan keterbukaan pikiran, juga memerlukan ketajaman
nurani dan kejernihan hati. Sebab, hanya dengan itulah kita semua dapat terus
berupaya memahami eksistensi kita di dunia, menyingkap ‘ketersembunyian’ Brahman
sekaligus mendapati makna sesungguhnya dari apa yang Sri Krishna nyanyikan.
Eksistensi manusia bukanlah permanen dan terikat pada dunia material saat ini. Meskipun demikian, dunia material, yang hanya bayangan ini, yang bukan substansi ini, bukan berarti tanpa arti. Dunia material ini adalah jalan yang harus dilalui, adalah pendakian yang harus ditempuh dalam rangka “mengetahui, bekerja, atau berbakti secara total” kepada yang Ilahi. Hingga akhirnya manusia harus menyadari “Sang Diri” sedang bersemayam di dalam dirinya, sadar akan tugasnya di dunia, dan bersiap-siap untuk suatu Kebebasan yang tak terperi – menuju Ketakterbatasan yang sejati.
Eksistensi manusia bukanlah permanen dan terikat pada dunia material saat ini. Meskipun demikian, dunia material, yang hanya bayangan ini, yang bukan substansi ini, bukan berarti tanpa arti. Dunia material ini adalah jalan yang harus dilalui, adalah pendakian yang harus ditempuh dalam rangka “mengetahui, bekerja, atau berbakti secara total” kepada yang Ilahi. Hingga akhirnya manusia harus menyadari “Sang Diri” sedang bersemayam di dalam dirinya, sadar akan tugasnya di dunia, dan bersiap-siap untuk suatu Kebebasan yang tak terperi – menuju Ketakterbatasan yang sejati.
Melihat fenomena keber-Tuhan-an belakangan ini, di mana Tuhan hanya
diperdebatkan hanya dalam persoalan nama dan atribut, sungguh ditolak oleh Bhagavad
Gita. Sebab Bhagavad Gita dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan dapat
diutarakan dengan sebutan mulia dan gelar apa saja, menangkap tanda-tanda-Nya
lewat alam semesta, bertemu dengan-Nya melalui pengalaman akan-Nya, dan kembali
manunggaling dengan-Nya dengan berbagai cara. Walaupun – sesungguhnya
Tuhan sendiri tidak akan dapat ternamai. Simbol dan tanda di dalam semesta
tidak akan mampu merangkum-Nya menjadi sebuah definisi yang tepat. Ciptaan-Nya
juga tidak akan mampu menyerap Diri Tuhan, namun Tuhan dapat ditemukan di dalam
ciptaan-Nya. Demikian kata Bhagavad Gita.
Untuk itu
marilah kita Membaca Kitab Bhagavdita secara bertahap karena merupakan salah
satu pedoman kehidupan di jaman Kaliyuga ini, selain itu juga harus mempelajari
kitab Veda yang lain agar pengetahuan tentang spiritual dapat dipahami dengan
menyeluruh.
0 Response to "Keagungan Bhagavadgita Perspektif Padma Purana"
Post a Comment