Wacana Multikultural
dalam Susastra Jawa Kuno
Indonesia
jelas adalah sebuah negeri multikultural (multibudaya). ‘Bhinneka Tunggal Ika’ memuat idealitas multikulturalisme. Nusantara
adalah juga polietnis (Hardiman, 2003:XIV). Bila kita melihat perjalanan
sejarah bangsa maka konsep pluralisme agama, sekaligus pula konsep
multikultural telah lama dikumandangkan di Indonesia. Pada masa kejayaan Hindu
di masa yang silam, berdirinya dua candi monumental Prambanan dan Borobudur
menunjukkan bukti kehidupan yang harmonis dengan masyarakat multikultural saat
itu. Demikian pula pada masa kerajaan Majapahit, sasanti ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (tan
hana dharma mangrwa) yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitabnya Sutasoma
dijadikan perekat bangsa oleh ‘the
founding fathers’ menunjukkan bahwa pada zaman Majapahit kerukunan umat
beragama dan kehidupan multikultural sudah nampak berlangsung harmoni. Mpu Tantular yang merumuskan sasanti ini
telah merenungkannya 20 tahun sebelumnya, yakni dengan sasanti ‘Kalih Sama Ika sira ikang pinakesti dharma ’
yang ditulis di dalam kitabnya Arjunawijaya (27.2c), sangat mungkin
membangun dan merekatkan tali
persaudaraan berbangsa sudah menjadi renungan yang mendalam bagi para pemikir
bangsa saat itu.
Berkaitan
dengan kehidupan beragama pada zaman Majapahit sangat jelas dan sangat penting
adalah agama Úiva dan Buddha yang keduanya sangat dekat hubungannya yang
menurut pandangan Kern dalam sejarahnya kedua agama ini tumbuh dan berkembang
bersama, yang kemudian diistilahkan vermenging (confluence/percampura/Santoso,
1975:79), namun kenyataannya istilah inilah yang dipakai sebagai titik tolak
dari pembicaraan oleh Krom (1923, I:118,119), Rasser (1959:65, 66)
dan Zoetmulder (1968:301, 303) selanjutnya diberi
istilah syncretisme atau blendeing (perpaduan, peleburan).
Istilah ini oleh beberapa sarjana lain dianggap menyesatkan karena dengan
munculnya data lebih banyak mengenai kebudayaan kuna Jawa Timur ternyata bahwa
kedua agama, Úiva dan Buddha, tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya. Pigeud
(1960-1963,IV:3) mengusulkan pararellisme,
sedang Gonda (1970:28) memberikan istilah koalisi
(coalisition/ Sedyawati, 1982: XVI)
Rasser
menekankan justru sangat besar peranan kebudayaan Jawa yang lebih tua, dengan
mengacu kepada ceritra Bubhuksah dan Gagang Aking, yang menggambarkan susunan
masyarakat Jawa purba, yang pada dasarnya mitos nenek moyang, sejalan dengan
hal tersebut menurutnya, agama Úiva dan Buddha adalah dua aspek dari satu agama
yang tunggal. Soewito Santoso melalui disertasinya Boddhakavya-Sutasoma. A Study in Javanese Vajràyana. Text-Translation-Commentary
(1968) dan kemudian diterbitkan di New Delhi (1975) dengan menggunakan sumber
yang lebih banyak, yaitu kutipan-kutipan dari Sang Hyang Kamahàyanikan,
Nàgarakåtàgama, Arjunawijaya, Sutasoma, Tantu Panggêlaran, Korawàúrama, Bubhukûah
dan inskripsi Kêlurak. Yang dicoba dibuktikannya adalah bahwa aliran-aliran
agama, khususnya yang disoroti dalam hal ini adalah Úivaisme dan Buddhisme, pada prakteknya masih selalu
merupakan agama yang terpisah; juga ditunjukkannya bahwa Buddha selalu,
terutama dalam Sutasoma dianggap lebih unggul daripada Úiva (Santoso, 1968: 75
dan seterusnya 113-114, 123, 133 dst. 150 (Ibid., XVIII).
J. Gonda
dalam tulisannya Úiva in Indonesien (Úiva di Indonesia) pada tahun 1970
menunjukkan bahwa penyamaan-penyamaan antara dewa-dewa Úiva dengan dewa-dewa
Buddha itu tidak hanya terjadi di Jawa, melainkan juga di Kamboja, Nepal dan India sendiri. Karena
itu kebudayaan asli bukanlah satu-satunya pendorong terjadinya “koalisi” antara agama Úiva dan Buddha
(Ibid.XIX). Haryati Subadio (1971: 55-57) menyetujui istilah “koalisi” yang diajukan oleh Gonda, dan
menekankan bahwa identifikasi Hindu-Buddha yang dinyatakan oleh naskah-naskah
Jawa Kuno seperti Arjunawijaya, Sutasoma, Nàgarakåtàgama dan Kuñjarakaróa prosa
maupun kakawin, hanyalah mengenai prinsip tertinggi beserta segala
manifestasi-Nya.
S. Supomo,
yang menerbitkan kakawin Arjunawijaya (1977), yaitu kakawin tulisan Mpu
Tantular yang juga menulis Sutasoma, menunjukkan bahwa Mpu Tantular itu tidak
memuja Úiva ataupun Buddha, melainkan dewa pribadinya, yaitu yang disebut Úrì
Parwataràjadewa. Kalau kedua kakawin karangan Tantular itu sebelum ini selalu
dikutip adanya penyamaan dewa-dewa Úaiva dengan Bauddha, maka Supomo mengambil
kesimpulan bahwa Parwataràjadewa ini adalah dewa penyatu nasional; Dia bukan
Úiva dan bukan Buddha, melainkan Úiva-Buddha seperti yang disebut oleh
Prapañca: ia adalah “nàtha ning anàtha”
(Pelindung dari Yang Mutlak), “pati ning
jagatpati” (Raja dari Raja Dunia) dan “hyang
ning hyang iniûþi” (Dewa dari segala Dewa Pribadi). Úiva maupun Buddha adalah perwujudan daripada-Nya.
Dari perbandingan berbagai ungkapan dalam kakawin-kakawin, Supomo menduga bahwa
para “wiku” yang hidup dalam
lingkungan alam pegunungan itu merupakan sumber ilmu, ke mana raja Majapahit
pun datang untuk membahas masalah-masalah kejiwaan. Tempat para “wiku” yang disebut “karêûyan” ini
pulalah yang diduganya merupakan tempat membahas ajaran-ajaran Úaiva maupun
Bauddha, dan kemudian menumbuhkan pemujaan dewa Raja Gunung (Supomo, 1977,I:69-82).
Atas dasar kutipan dan argumentasi tersebut, Edi Sedyawati, (1982: XX)
menyatakan: “Adapun istilah Úaiva-Buddha digunakan karena dalam ajaran yang
diungkapkan oleh Tantular dan Prapañca itu, Úaiva-Buddha adalah Dewa Tertinggi
yang mempunyai Úiva dan Buddha sebagai
aspek-aspeknya”.
Soewito
Santoso dalam penelitiannya terhadap kakawin Sutasoma, menyatakan Mpu Tantular
secara jelas menggambarkan satu seri pertempuran, yang puncaknya adalah perang
tanding antara Sutasoma dan Puruûàda,
tanpa keraguan, pengarang ini bermaksud menunjukkan kepada pembaca siapakah
pemenang yang sebenarnya.Tantular berusaha menggambarkan situasi secara
keseluruhan sebagai berikut: “Terdapat 4 dewata yang penting, yaitu: Brahmà,
Viûóu, Úiva (berikut putranya Ganeúa) dan Buddha. Dewa-dewa tersebut berinkarnasi ke dunia
dalam wujud: Daúabàhu, Jayawikrama, Puruûàda (dan Gajawaktra) dan Sutasoma.
Pengarang menjadikan Brahmà sebagai yang membantu Buddha, karena hal ini sangat
populer dalam kitab-kitab ceritra Jàtaka dan tradisi lainnya. Viûóu diyakini
sebagai menjelma sebagai Buddha menurut ajaran Agama Hindu di satu pihak. Úiva
dan Gaóa ditempatkan pada posisi yang berhadapan dengan Buddha. Walaupun
situasinya demikian, pengarang tidak membiarkan Brahmà mengalahkan Gaóa, dan
membiarkan Gaóa dikalahkan oleh Boddhisattva. Inilah bukti yang menunjukkan
bahwa Tantular menguasai dengan baik kepengarangannya. Ia tidak
mempertentangkan Gaóa dengan Brahmà, karena posisi Gaóa lebih rendah. Ia
membiarkan dewa-dewa yang tinggi bertempur di antara mereka, dan mungkin
demikian kondisi yang sebenarnya saat itu menurut pandangan seorang penganut Buddha, karena Brahmanisme
dan Viûóuisme telah diserap ke dalam Úivaisme. Hal ini digambarkan dalam pertempuran
antara Puruûàda dengan Jayawikrama (canto XCVI-XCIX) dan dalam pertempuran
antara Puruûàda dengan Daúabahu (canto CXXXII-CXXXVII) dalam kedua pertempuran
itu Jayawikrama( inkarnasi Viûóu) dan Daúabahu (inkarnasi Brahmà) keduanya mati
terbunuh. Puruûàda mencapai puncak kemenangan terhadap Daúabahu, namun semuanya
berakhir ketika yang berhadapan muka langsung dengan Sutasoma. Semua yang gugur
di medan pertempuran dihidupkan kembali, segala kehancuran dan kerusakan
direhabilitasi kembali, dan kekuatan Puruûàda tidak berdaya untuk membunuh Sutasoma.
Keagungan dan kejayaan Sutasoma menundukkan Puruûàda digambarkan dengan baik
oleh Mpu Tantular. Nyatalah saat ini perwujudan keunggulan Buddha terhadap
Úiva, yakni keunggulan kasih sayang dan cinta (ciri utama dari Buddhisme)
mengatasi kekerasan (yang merupakan ciri umum dari Mahàkàla atau Bhairava) yang
dilakoni Sutasoma dengan mengorbankan dirinya kepada Úiva yang mengakibatkan
konversi Úiva menjadi Buddhisme. Di sini kembali Tantular mengungkapkan
spiritualitas Buddhisme, sementara Úiva selalu menjadi lawannya, Sutasoma tidak
pernah membunuh makhluk apapun. Dalam kenyataannya, Sutasoma juga memakai
senjata dalam pertempuran, seperti ketika dia bertempur dengan Gajavaktra
(lihat canto XXXII-XXXIII), Sutasoma menjelaskan, itu bukan senjata milik Sutasoma,
yang menyebabkan musuhnya kalah, melainkan hal tersebut diakibatkan oleh pahala
perbuatan, dari karma Gajavaktra
sendiri (1975: 79).
Penyerahan
diri dengan penuh cinta kasih (kasih sayang) ditunjukkan pula dalam kitab
Bàlakàóða 5.51 Ràmàyaóa karya Vàlmìki, pada episode mahàrûi Vasiûþha diserbu
untuk dibunuh oleh Viúvàmitra (sebelum menjadi mahàrûi, bernama Viúvàvara,
seorang raja yang sangat berkuasa) bersama bala tentaranya untuk meminta lembu
Kàmadhenu milik Vasiûþha yang merupakan anugrah dari dewa Úiva. Setiap senjata
yang menyentuh tubuh Vasiûþha berubah menjadi bunga yang memancarkan bau harum.
Kebengisan Viúvàvara dikalahkan dengan cinta kasih, kebenaran dan kesucian dari
diri pribadi mahàrûi Vasiûþha (Mani, 1989: 835). Penyerahan diri tidaklah berarti
fatalisme, tetapi dibarengi dengan Úraddhà yang mantap, bahwa kesucian hati,
kesabaran, cinta kasih, ketulusan akan mampu mengalahkan segala bentuk
keangkaraan, keangkuhan, kekerasan dan sejenisnya.
Dari uraian
tersebut, jelaslah bagi kita tentang sepintas kehidupan beragama pada zaman
Majapahit yang rupanya walaupun secara terbuka tidak sampai terjadi konflik,
tetapi secara halus Mpu Tantular menggambarkan betapa cintakasih dapat
menundukkan sifat-sifat yang bertentangan dengan Dharma. Bagi umat Hindu,
khususnya umat Hindu di Bali (mengingat kakawin ini sangat populer di daerah
ini), Sutasoma ataupun Buddha bukanlah di luar ajaran Hindu, karena Buddha
diyakini sebagai inkarnasi dari Sang Hyang Viûóu dan dalam prakteknya di pura
Penataran Agung Besakih, maupun pada upacara-upacara agama lainnya Tri Sadhaka
(kini dipakai istilah Sarva Sadhaka) yang mewakili unsur Úiva, Buddha dan
Vaiûóava selalu diminta memimpin upacara tersebut, walaupun kita mengetahui, di
pura Penataran Agung Besakih tidak terdapat arca atau bangunan suci yang secara
khusus memuja Buddha atau sang Hyang Adi Buddha.
Seperti telah
disebutkan di atas, sasanti ‘Bhinneka Tunggal Ika’ menjadi wacana yang sangat
bermakna yang dipatrikan oleh para pendiri bangsa kita, terbukti keberhasilan
para pemuda bangsa Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 mengikrarkan dirinya
yang kita kenal dengan ‘Sumpah Pemuda’ yang berlanjut dengan berhasilnya bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Lima
puluh tiga tahun perjalanan bangsa Indonesia merdeka, pada
tahun 1998, bangsa ini nyaris runtuh yang didahului oleh krisis moneter yang
berlanjut dengan krisis multidimensional sebagai dampak dari globalisasi dan
pembangunan bangsa yang tidak kuat membangun fondasi utamanya pada bidang
perekonomian. Munculnya berbagai konflik bernuansa agama, di berbagai daerah
seperti Sambas, Kalimantan Tengah, Maluku dan Poso, para pakar, tokoh-tokoh
agama dan budayawan merenungkan kembali kelemahan dan kekurangan di masa yang
silam, mengapa bangsa ini rentan dengan perpecahan. Ada sesuatu yang kurang
tepat dalam menangani berbagai permasalahan di negara ini. Para pakar berusaha
mencari akar dari berbagai permasalahan tersebut dan mulai nampak kepermukaan
pemikiran tentang pluralisme beragama maupun kehidupan yang multikultural
dengan belajar dari berbagai pengalaman yang dialami oleh bangsa-bangsa lain di
muka bumi ini yang mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan baik.
0 Response to "Wacana Multikulturalisme dalam Susastra Hindu III (Lanjutan)"
Post a Comment