KONSEP MULTIKULTURAL
DALAM VEDA DAN SUSASTRA HINDU
Serta Implementasinya Dalam Kehidupan
Umat Hindu Di
Indonesia
“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela
serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke
dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada
padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”
Mahatma Gandhi (2004:166)
Pendahuluan
Usaha untuk memajukan pendidikan
Agama Hindu berwawasan multikultural atau multibudaya telah menjadi wacana
beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Pendidikan Agama Hindu berwawasan
multikultural bagi umat Hindu di Indonesia, sebenarnya bukan hal yang baru,
karena ketika Agama Hindu diterima dan dianut oleh bangsa Indonesial, tidak
serta merta mengubah atau bahkan melenyapkan kebudayaan yang ada, dan
menjadikan kebudayaan tersebut tumbuh subur. Di satu pihak ajaran agama
dibumikan melalui wadah budaya tersebut. Sebagai satu contoh adalah masuk,
diterima dan dipeluknya Agama Hindu di Bali menjadikan budaya Bali demikian
rupa mendapat pencerahan dari Agama Hindu.
Agama Hindu menjadi jiwa, nafas hidup dan denyut nadi dari budaya Bali.
Agama Hindu memancar melalui pandangan hidup masyarakat Bali, terekspresi
melalui seni budaya, hukum adat dan tradisi serta organisasi sosial tradisional
Bali. Sebaliknya semua aspek-aspek budaya Bali diabdikan untuk keagungan Agama
Hindu. Dengan demikian Agama Hindu dan budaya Bali saling jalin-menjalin ibarat
tenunan kain endek Bali, dan kadang-kadang sulit membedakan antara aspek-aspek
Agama Hindu dengan aspek-aspek budaya Bali.
Pendidikan Agama Hindu
berwawasan multikultural tidak hanya
berkaitan dengan budaya Bali, tetapi juga dengan budaya-budaya lain di
Indonesia, dan bahkan yang paling mutakhir adalah berkaitan dengan budaya
global, dalam arti banyak aspek dari kebudayaan modern bersentuhan dengan Agama
Hindu, demikian pula dengan masyarakat atau umat beragama lainnya. Di Bali
memang dirasakan kehidupan agama itu tampaknya sangat homogen, tetapi dalam
kehidupan nasional, umat Hindu di luar Bali menjadi kelompok minoritas dan survive mempertahankan agama yang
dianutnya dan didukung oleh latar belakang budayanya, misalnya umat Hindu etnis
Jawa harus mampu survive di
tengah-tengah umat lainnya yang menjadi mayoritas di tempat tersebut.
Makalah ini
mengetengahkan perkembangan wacana multikultural, wacana multikultural dalam
Veda dan susastra Sanskerta, wacana multikultural dalam susastra Jawa Kuno, umat
Hindu di Indonesia dan pendidikan multikultural, langkah-langkah mengembangkan
pendidikan agama berwawasan multikultural yang diakhiri dengan sebuah simpulan
dan harapan. Pembicaraan ini menjadi sangat relevan jika kita melihat bahwa
pendidikan merupakan media yang sangat penting dalam proses membentuk manusia
dan dunianya sebagai manusia yang beradab berkemanusiaan (humanized).
Terlebih lagi jika kita melihat realitas sosial-budaya masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk (plural society), baik dari segi bahasa, etnik, ras,
sosial-budaya, agama dan kepercayaan. Terkait dengan pemikiran tersebut, maka
konsep dasar pendidikan Agama Hindu berwawasan multikultural yang terkandung
dalam Veda menarik untuk dikaji dan dipahami sebagai salah satu nilai pendukung
dalam upaya membangun masyarakat Indonesia menjadi sebuah masyarakat religius
berwawasan multikultural.
Perkembangan Wacana
Multikultural
Istilah
multikultural (multibudaya) menurut Ketut Ardhana (2001:3) dengan mengutip
pendapatnya Mitzel (1997) menyebutkan pengertian masyarakat multikultural dan
multikulturalisme dibentuk atau muncul pertama kali di Kanada. Kedua pengertian
ini bertitik tolak dari adanya migrasi multietnis dan masyarakat dengan ruang
lingkup yang besar. Konsep multikultural diperkirakan dibentuk pertama kali
pada tahun 1960 oleh akhli sosiologi Kanada, Charles Hobart ketika
dilangsungkannya Konferensi Dewan Kanada tentang Agama Kristen dan Yesus di
Winnipeg (Manitoba), Kanada. Perkembangan selanjutnya adalah adanya upaya yang
dilakukan oleh Senator Kanada dan Professor Slavistik, Paul Vuzik untuk
mengadakan pertemuan pada konferensi tahunan Asosiasi Kanada untuk masyarakat
Slavist mengenai masalah tipe struktur masyarakat multikultural dari suatu
masyarakat migrasi multikultural ke masyarakat multikultural Kanada.
Selanjutnya tipe struktur etnik budaya dari suatu masyarakat migrasi
multikultural dari bangsa baru persemakmuran sebagai sebuah model masyarakat
yang berkembang sekarang seperti masyarakat Kanada, Australia dan Inggris.
Paham masyarakat multikultural (multikulturalisme) diangkat sebagai wacana
politik resmi yaitu di Kanada pada tahun 1997 dan di Australia pada tahun
1997-1998.
Fenomena
‘multikulturalisme’ dengan perwujudan yang berbeda-beda seperti terlihat di
Inggris, Kanada dan Australia, seperti diungkapkan oleh Parek, 1997, Gunew
(dalam Budianta, 2003:92) yang menyatakan,
“Jika di Amerika Serikat multikultural-isme lebih merupakan gerakan
sosial dan budaya yang datang dari masyarakat, di ketiga negara ini (Inggris,
Kanada dan Australia) pemerintahnya secara aktif mengadopsi multikulturalisme
dalam kebijakan. Menyadari kebutuhan komunitas ‘etnis’ non Anglo-Sakson,
pemerintah Inggris mengadopsi mencanangkan program ‘Pendidikan Untuk Semua’ dan
pengakuan atas keragaman budaya dan agama dalam teks dan kurikulum di
sekolah-sekolah dasar sampai menengah. Pemerintah Kanada yang dihadapkan pada
kenyataan adanya dua orientasi budaya dominan, yakni budaya Inggris dan
Prancis, membentuk Departemen Multikulturalisme dan Kewarganegaraan dan membuat
undang-undang multikultural dan mencanangkan agenda khusus tentang
multikulturalisme. Meskipun pemerintah Inggris, Kanada, dan Australia membuat
sejumlah kebijakan untuk mengakomodasikan tuntutan untuk mengakui keberagamaan
di masyarakat masing-masing, secara umum masih terlihat perspektif pemerintah
yang cenderung membatasi diri dalam mengakomodasikan perbedaan-perbedaan dan
tuntutan masyarakat akan transformasi budaya.
Pendidikan
pluralis-multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan pluralis
(secara agama) dan sekaligus berwawasan multikultural (secara budaya).
Pendidikan pluralis-multikultural harus dilihat sebagai bagian dari usaha
komprehensif menghindari, mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa etnis
dan agama di masa mendatang. Tidaklah cukup hanya membentuk wadah-wadah
institusional yang melibatkan seluruh komponen umat beragama seperti
Sekretariat Bersama Majelis-Majelis Agama, sementara program strategis dan
konkretnya tidak ada sama sekali. Pendidikan pluralis-multikultural ini harus
menjadi proyek bersama yang berjangka panjang (Ali, 2003: 99). Lebih jauh
ditambahkan hegemoni keagamaan masih saja dilakukan baik di kampus-kampus,
sekolah, maupun acara-acara seminar dan pengajian. Apalagi, manusia cenderung
melihat dirinya lebih baik dan lebih harus dihargai ketimbang orang lain.
Pemaknaan hidup cenderung secara sepihak, padahal heterogenitas merupakan
syarat masyarakat demokrasi modern (Ali, 2003:101). Penulis sependapat dengan
pernyataan ini, oleh karenanya ke depan pendidikan multikultural perlu lebih
ditingkatkan dan mendapat perhatian semua pihak.
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif paling baru dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial dan budaya (humaniora), terutama pasca pemikiran liberalisme dalam bidang ilmu politik. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan derasnya perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Menurut Fay (dalam Parsudi Suparlan, 2003:1) multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu, multikulturalisme seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif, tetapi sebaliknya multikulturalisme adalah sebuah kualitas (dan bukan entitas), yang secara mutlak mensyaratkan adanya empati, solidaritas dan keadilan sosial (Budiman, 2003:2).
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif paling baru dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial dan budaya (humaniora), terutama pasca pemikiran liberalisme dalam bidang ilmu politik. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan derasnya perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Menurut Fay (dalam Parsudi Suparlan, 2003:1) multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu, multikulturalisme seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif, tetapi sebaliknya multikulturalisme adalah sebuah kualitas (dan bukan entitas), yang secara mutlak mensyaratkan adanya empati, solidaritas dan keadilan sosial (Budiman, 2003:2).
Pada dasarnya
multikulturalisme bukan sekadar wacana tetapi ideologi yang harus diperjuangkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup
masyarakatanya. Akan tetapi sebagai sebuah ideologi multikulturalisme tidak
dapat berdiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya; sebaliknya,
multikulturalisme justru membutuhkan seperangkat bangunan konsep-konsep untuk
memahaminya. Berbagai konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme antara
lain, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa dan kesukubangsaan, kebudayaan
etnik, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik,
HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay dalam Suparlan,
2003: 4). Hal ini terkait dengan adanya—paling tidak—tiga faktor yang mendorong
berkembang-luasnya wacana pemikiran multikulturalisme, yaitu: HAM (Universal Declaration of Human Rights
yang diprakarsai oleh PBB pada tahun 1948), globalisme, dan proses
demokratisasi.
Nantikan Tulisan Selanjutnya,,,,,
Silahkan Baca: Multikulturalisme II
Nantikan Tulisan Selanjutnya,,,,,
Silahkan Baca: Multikulturalisme II
0 Response to "Wacana Multikulturalisme dalam Susastra Hindu I"
Post a Comment