KAJIAN
KOSMOLOGI PURA DALAM MENINGKATKAN
SRADDHA
DAN BHAKTI UMAT HINDU DKI JAKARTA
(Studi
Pura Amerta Jati, Cinere-Jakarta Selatan)
Oleh :
Untung Suhardi, S.Pd.H
I.
PENDAHULUAN
Agama Hindu
sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada
dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang
disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari.
Danghyang
Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa
Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara
lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga,
pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik
bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci
leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di di
setiap pura yang di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama. Berdasarkan
uraian diatas pada penelitian ini penulis merasa tertarik dengan keberadaan
Padmasana, oleh karena itu peneliti akan mengkaji tentang adanya kosmologi
bangunan padmasana yang ada dari pelaksanaan
ritual pada pemujaan lingga
tersebut yang ada di Pura Amerta jati, Cinere-Jakarta Selatan. Kegiatan
keagamaan ditentukan oleh kedalaman pemahaman atas simbol bangunan tempat
melaksanakan kegiatan keagamaan.
II.
METODE
Penelitian ini mengggunakan metode
kualittatif, dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif. Pengumpulan data
yang digunakan dengan menggunakan wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
III.
HASIL PENELITIAN
3.1
Mitologi Pura
dan Struktur bangunan Pura
Istilah pura
dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di
Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah
pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang
sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum
dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan menggunakan
kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan
data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana I tahun 882 M (Goris, 1964: 56). Kedatangan
Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Mpu Kuturan mengajarkan membuat pura Sad Kahyangan
Jagat Bali, membuat kahyangan pura Caturlokapàla dan Kahyangan Rwabhineda di
Bali. Beliau juga memperbesar pura Besakih dan mendirikan palinggih meru,
gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing desa Pakraman dibangun
Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga
beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis-jenis upacara,
jenis-jenis pedagingan palinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam
lontar Devatàttwa.
Pada jaman Bali Kuna, dalam arti sebelum kedatangan
dinasti Dalem di Bali, istana-isatana raja disebut karaton atau kadaton.
Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “...Úrì Danawaràja akadatwan ing Balingkang……..”. Memang ada kata pura
dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata pura itu belum berarti tempat
suci melainkan berarti kota atau pasar, seperti kata wijayapura
artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan di
Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nàgarakåtàgama 73.3
menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh
dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan
istanaraja bukan lagi disebut karaton melainkan disebut pura. Kalau
di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripurayang berarti rumahnya Gajah Mada,
maka karaton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura.Karatonnya di Gelgel
disebut Suwecapuradan karatonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah
dinasti Dalem di Klungkung di samping juga istilah kahyangan masih dipakai.
Dalam hubungan inilalu kata pura yang berarti istana rajaatau rumah pembesar
pada waktu itu diganti dengan kata puri.
Konsep ini membawa tatanan kehidupan "sekala"
(nyata) dan "niskala" (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan
membangun Pura. Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai "utama
mandala", bagian yang kurang sakral disebut sebagai "madya
mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai "nista mandala".
Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai
teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu
karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan Hindu adalah
sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu
karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian
ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada
kehidupan tanpa air.
Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu,
tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai
Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya di daerah Den Bukit
(Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya
dibangun Padmasana. Sebaliknya di selatan "bukit" (Gunung) mulai dari
Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai
letaknya dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur di mana
hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi
tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit
memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu - teben seperti di Bali, maka
jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik di antara
kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas. Bangunan Pura Amerta Jati –
Cinere mengambil konsep Tri Mandala,
yaitu Utama mandala, madya mandala
dan Nista mandala yang termasuk
dalam jenis pura Jagatnatha (Pura Umum).
Jadi, Pura Amerta Jati termasuk jenis pura umum dengan konsep kahyangan tunggal
dan memiliki tri mandala . Seperti halnya pura Besakih, dimana setiap umat
hindu dari manapun, dan dari keluarga manapun bisa menghaturkan bhaktinya di
pura ini. Dan sebagai kahyangan tunggal, sudah tentu bangunan utama yang ada di
dalamnya adalah Padmasana, walaupun
ada beberapa pelinggih lain yang didirikan untuk fungsi tertentu.
Keberadaan
pura yang didalamnya ada bangunan padmasana digambarkan sebagai sebuah Lingga
dan Yoni diwujudkan menjadi tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca
pelinggih, candi, seperti bangunan Padmatara yang kita kenal sekarang. Ciri
utama yang melekat pada bangunan arsitektur suci “Lingga” atau “Linga” adalah: Satu:
Wujud Lingga, bentuk vertikal, ujung oval, umumnya terbuat dan batu andesit
sebagai wujud cahaya Brahman yang transendental untuk menciptakan alam semesta
beserta isinya. Dua: Aksara “OM”(AUM), gema suara Brahman dan simbol
kekuatannya untuk penciptaan. Tiga: Bangunan Suci “Yoni” tempat tegaknya
“Lingga” untuk menciptakan alam semesta, dengan kelengkapan kekuatan
Bedawangnala (naga, kura-kura) yang didepannya Nandi, mengawal, menjaga
keseimbangan ciptaan Nya.
Dapat
ditambahkan, seorang tokoh intelektual Hindu Swami Harshananda pada Sri
Ramakrishna Ashrama menyebutkan Lingga dan Yoni sebagai Simbol Tuhan God dan umat Hindu yang universal:
Secara literal Siva artinya keberuntungan dan Linga artinya satu tanda atau
satu simbol. Dari sini Sivalinga adalah satu simbol Tuhan yang agung dan
semesta yang sepenuhnya adalah keberuntungan. Siva juga berarti Yang Esa yang
di dalamnya seluruh ciptaan istirahat setelah mahapralaya. Liñga juga berarti
hal sama di mana obyek-obyek ciptaan dipralina selama disintegrasi dan semesta
ciptaan. Karena, menurut agama Hindu, adalah Tuhan yang sama yang menciptakan,
memelihara dan menarik alam semesta ke dalam dirinya. Maka Sivaliñga
merepresentasikan Tuhan sendiri secara simbolik. (Swami Harshananda, Principal
Symbol og World Religions, 1978:7).
3.2
Fungsi Pura
Amerta jati dalam Kegiatan Sosial keagamaan
3.2.1
Fungsi Keagamaan
Pandangan
masyarakat Hindu di daerah Cinere tentang kesucian yang berhubungan dengan sukla dan lungsuran.Yang dikatakan sukla
adalah sesuatu yang masih baru, tidak tercemar. Agama Hindu sangat kaya akan
makna dengan aneka ritual hal ini didefinisikan dengan suatu bentuk upacara
atau perayaan (celebration) yang berhubungan dnegan beberapa kepercayaan atau
agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur yang merupakan suatu
pengalaman yang suci (O’ Dea, 1995 : 36 dalam Suamndiyo Hadi, 2006 : 31).
Pengalaman ini merupakan sesuatu yang disebut dengan suci adalah yang belum
dipersembahkan dan ditempatkan pada tempat yang dipandang suci pula, seperti
halnya tirtha (air suci) dan seluruh
sarana sesajen dari kelengkapan
persembahyangan lainnya. Sedangkan yang disebut dengan lungsuran adalah kebalikan dari pengertian sukla, yakni sarana persembahyangan atau sesajen yang telah
dipersembahkan. Oleh karena itu memiliki sifat sisa dan dapat ditempatkan
dibawah dan bisa dinikmati. Konsepsi masyarakat hindu secara umum tentang
kesucian tidak hanya dalam konteks semata seperti yang diuraikan diatas.
Kesucian bagi masyarakat Hindu adalah kebutuhan dalam rangka untuk
benkomunikasi dengan Tuhan Yang maha Esa secara terus-menerus karena asal mula
dari Tuhan dan akan berlangsung atas kehendak Tuhan juga serta akan kembali
keasalnya yaitu Tuhan
3.2.2
Fungsi
Pendidikan
Pura selain digunakan untuk kegiatan
sosial keagamaan juga digunakan untuk kegiatan pendidikan yang nantinyasebagai
tempat untuk mmenimba ilmu bagi generasi yang akan datang. Sesuai dengan perkembangan lingkungan
muncul wacana untuk menjadikan pura bukan saja sebagai tempat memuja Tuhan
dalam berbagai manifestasinya, tetapi juga sebagai tempat melakukan pendidikan.
Hal ini dilakukan karena pertama, suasana pura yang religius-magis akan
memberikan suasana belajar yang juga religius, sehingga komunikasi antara
instruktur dan peserta didik akan berjalan tulus dan terbuka. Suasana ini lebih
menjamin transformasi pengetahuan secara lebih efektif. Kedua,
suasana lingkungan pura akan mendorong diskusi dan transformasi nilai yang
terkait dengan norma, etika, kebenaran, kebaikan, moral, dan sebagainya -- yang
ditengarai agak terpinggirkan dalam pendidikan formal di sekolah. Dengan
demikian pendidikan di pura akan menjadi suplemen atau komplementaritas dari
pendidikan di sekolah yang sudah mempunyai kurikulum yang ketat. Ketiga, dengan adanya
aktivitas pendidikan di pura, akan ada upaya pemeliharaan kebersihan pura
secara kontinu. Berbagai fasilitas nonsakral dari pura, seperti wantilan,
toilet dan lainnya. Akan lebih terawat dibandingkan kalau pura hanya dikunjungi
pada saat piodalan. Dan yang juga tidak
kalah pentingnya dengan adanya aktivitas pendidikan di pura, berbagai aktivitas
yang berkonotasi negatif seperti kebiasaan mengadakan tajen atau sabungan ayam,
ataupun berbagai bentuk judi lainnya di areal pura, mungkin pelahan-lahan dapat
dikurangi.
3.2.3
Fungsi Etika dan
Moralitas
Tujuan dari etika Hindu ini adalah untuk
menyadari keberadaan diri kita yang sebenarnya, sehingga kesadaran akan diri
sejati untuk menginsyafi akan adanya Brahman yang kekal sebagai tujuan utama
dari penjelmaan dengan badan manusia kedunia ini. Hal ini dipertegas dalam
Kitab Sarasamuccaya sloka 2 bahwa “Diantara semua makhluk hidup yang dilahirkan
sebagai manusia adalah makhluk yang utama” (N. Kajeng, 1999). Selanjutnya,
etika Hindu ini diarahkan untuk tujuan-tujuan yang positif, sehingga energi tidak
terbuang untuk pengejaran yang tidak bermanfaat. Dengan terkendalinya energi
yang positif ini maka, akan meningkatkan evolusi intelektual dan spiritual
dengan selalu berpedoman pada Dharma. Dan dharma inilah yang sangat dibutuhkan
untuk kesimbangan pikiran agar dalam bertindak tidak mementingkan diri sendiri
dan tidak selalu mengharapkan hasil, hal ini dijelaskan dalam Bhagavad-Gita
2.51 menyatakan bahwa : “Orang bijaksana yang
telah menyatukan kecerdasannya dengan yang bersifat ilahi, dengan
melepaskan hasil dari kegiatan yang dilakukannya dan terbebas dari belenggu
kelahiran kembali serta mencapai keadaan yang tanpa penderitaan lagi”
(Maswinara, 2010 : 194)
3.2.4
Fungsi Estetika
Keterkaitannya dengan penelitian yang dilakukan di Pura Amerta Jati ini
bahwa keberadaannya ini mempunyai sebuah makna tentang nilai keindahan yang
didalamnya mempunyai simbol yang
mempunyai arti terdalam. Sejalan dengan uraian diatas bahwa hal ini sesuai dengan
konsep simbol yang dikemukakan olen Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat
pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan
menafsirkan maknanya. Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif,
terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda
dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Hal senada
juga diungkapkan oleh pemikiran Geertz (1973: 250 dalam Sumandiyo Hadi, 2006 :
26-27) yang mengatakan bahwa sistem simbol yang diciptakan oleh manusia dan
secara konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari yang
mampu mengorientasikan dirinya kepada yang lain dan pada lingkungannya serta
sebagai suatu yang tergantung dengan interaksi sosial. Jadi keberadaanya ini mempunyai sebuah makna
yang dapat menghantarkan seseorang dalam menyelami kedalaman dalam melakukan
pemujaan kepada Hyang Widhi.
3.3
Makna Pemujaan
Padmasana di Pura Amerta jati
3.3.1 Makna
Filosofis
Kaitanya dengan makna filisofis padmasana di Pura Amerta jati
adalah Karena keterbatasan yang dimiliki
oleh manusia, maka dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan, manusia membutuhkan
media untuk memusatkan pikirannya. Sebab sangat sulit sekali untuk
mengendalikan pikiran itu. Ia dikatakan bagaikan kuda binal yang suka lari ke
sana kemari. Ada juga yang mengandaikan pikiran itu tak ubahnya bagaikan monyet
yang dimasukkan dalam karung, ia akan tak henti-hentinya meronta-ronta.
Demikianlah pikiran itu, semakin dikendalikan semakin sulit kita untuk
menguasainya. Untuk itu dibutuhkan ketekunan dan kerja keras. Mengapa pikiran itu
sulit untuk dikendalikan ? Bhagawan Wararuci mengatakan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh karena pikiran itu, adalah merupakan sumbernya nafsu (Apang ikang manah ngaranya, ya ika witning
indriya). Kapan kita dapat mengendalikan pikiran tersebut, maka kebahagiaan
itu adalah sebuah keniscayaan. Hal ini disuratkan dalam kitab Sarasamuscaya,
Sloka 81 yaitu disebutkan: “...
hana pwa wwang ikang wenang humrt manah, sira tika manggeh amanggih sukha,
mangke ring paraloka waneh”. Artinya
jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh
kebahagiaan baik sekararig maupun di dunia yang lain (Nyoman Kadjeng, 2000).
Dalam agama Hindu ada banyak sekali media yang digunakan sebagai sarana untuk
memuja Tuhan, salah satunya adalah Padmasana, Di Padmasanalah Tuhan itu
disthanakan. Kata Padmasana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata
Padma yang artinya teratai dan Asana artinya sikap duduk atau tempat duduk.
Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang berbentuk teratai. Oleh sebab itu
pelinggih (Bangunan Pura) yang paling utama disebut Padmasana.
Bangunan ini pada bagian bawahnya berbentuk kembang teratai,
di atas kembang teratai inilah bangunan Padmasana didirikan. Dalam agama Hindu
bunga teratai itu simbol dari tempat duduk/berdirinya Dewa-dewa. Mengapa
dipilih bunga teratai? Karena bunga teratai mempunyai kelainan dengan
buga-bunga pada umumnya. Di antaranya sebagai berikut: Bunga teratai akar dan
pangkalnya tumbuh di dalam lumpur, batangnya berada di air dan bunganya berada
di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup di tiga alam yaitu alam
lumpur, air, dan udara. Di dalam, ajaran agama Hindu Hyang Widhi disebutkan
bertahta di atas tiga alam ini, sebagai penguasa Tri Bhuwana yaitu alam Bhur,
Bwah, dan Swah. Hidup bunga teratai di dalam tiga alam inilah yang
di-identik-kan dengan Bhur, Bwah, dan Swah sehingga bunga teratai bisa dianggap
simbol Tri Bhuwana.
3.3.2 Makna
Kemakmuran
Makna kemakmuran atau kesuburan di dalam
pelaksanaan pemujaan di Pura dapat
kita lihat melalui teori symbol dengan meneliti sarana-sarana upacara yang
digunakan maupun prosesi pelaksanaan upacara tersebut. Makna kemakmuran
sangatlah tanpak dilihhat dari makna simbolis upacara yang digunakan seperti tirtha
dan daksina
linggih. Kedua jenis sarana tersebut merupakan sarana pokok pakuluh yang merupakan perwujudan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Tirtha adalahh air suci yang
dijadikan sebagai media oleh umat Hindu dalam setiap persembahyangan dan
merupakan hasil wujud bhakti umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk
waranugraha.
Melalui air tersebut umat Hindu juga memohon dan sekaligus menerima waranugraha
berupa kesuburan, keselamatan penyucian dan sekaligus peleburan. Oleh karena
itu pula tirtha sering disebut dengan Wansuhpada yaitu air suci pembasuh kaki Tuhan.
3.3.3 Makna
Kebersamaan
Sebagai
mahluk sosial, manusia tentu tidak dapat untuk hidup sendiri, tanpa batuan dari
orang lain. Oleh karena itu sikap saling menolong dan kesetiakawanan mutlak diperlukan.
Hidup manusia selalu menumbuhkan bantuan dari sesamanya terutama di dalam
masa-masa kesusahan. Konsep ini memberikan suatu landasan yang kokoh bagi rasa
keamanan hidup. Konsep kebersamaan juga memberikan kewajiban kepadanya yaitu
kewajiban untuk terus menerus memperhatikan solidaritas sosialnya untuk menjaga
keberadaannya. Kebersamaan tersebut didalam aspek sosial kemasyarakatan oleh
umat Hindu di DKI Jakarta dijadikan dasar untuk berpikir teologis bahwa Tuhan
pun dalam manifestasiNya adalah kesatuan sosial. Kebersamaan dalam wujud ngayah
(melaksanakan tugas-tugas persiapan maupun pelaksanaan) menyukseskan rangkaian Pemujaan
Padmasana tersebut sampai selesainya seluruh rangkaian upacara piodalan pura
tersebut
3.3.4 Makna
Keseimbangan
Setiap
kondisi yang mampu untuk membuat eksisnya sesuatu bergantung pada dimensi
jasmaniah dan rohaniah. Dimensi tersebut melekat pada hakekat manusia sebagai
mahluk jasmani. Manusia yang normal selalu mendambakan kebahagiaan hidup lahir
dan batin, keseimbangan material dan spiritual serta keharmonisan dengan sesama
dan lingkungannya. Konsep mengenai keseimbangan dan keharmonisan di dalam agama
Hindu di sebut dengan istilah trihita karana. Kata trihita karana
begitu populer di kalangan umat Hindu di Indonesia. Trihita karana itu berasal dari Bahasa Sanskrta dari urat kata tri
+ hita + karana, yang masing-masing berarti Tiga, sejahtera dan sebab. Apabila
dirangkai maka trihita karana itu
berarti tiga hal yang menyebabkan sejahtera. Secara umum trihita karana mengandung pengertian yaitu tiga hubungan yang harmonis
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia yang harmonis atau
selaras antara sesama manusia, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan
alam ciptaan dan mahluk hidup lainnya
3.3.5 Makna
Kesucian
Tentang kesucaian, pandangan masyarakat Hindu di daerah DKI Jakarta juga
mengenal yang namanya “sukla” dan “lungsuran”. Yang
dikatakan sukla adalah sesuaatu yang
masih berbau baru, tidak tercemari. Dari hal-hal yang belum tercemari itulah
sesuatu itu akan disebut suci, artinya belum dipersembahkan, ditempatkan pada tempat
yang dipandang suci pula, seperti halnya tirtha
(air suci) dan seluruh sarana baik sesajen
maupun kelengkapan persembahyangan lainnya. Sedangkan yang disebut dengan lungsuran adalah kebalikan dari
pengertian sukla, yakni sarana
persembahyangan atau sesajen yang telah dipersembahkan. Lungsuran atau prasadam
ini boleh dimakan oleh umat bersama-sama.
Konsepsi
masyarakat Hindu secara umum tentang kesucian tidak hanya dalam konteks semata
seperti yang diuraikan di atas. Kesucian menurut pendapat masyarakat Hindu
adalah kebutuhan dalam rangka untuk berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa
secara terus-menerus karena asal mula dari Tuhan dan akan berlangsung atas
kehendak Tuhan juga dan akan kembalipun ke asalnya yaitu Tuhan. Dalam pemaknaan
tersebut, umat Hindu DKI Jakarta menerapkan aspek-aspek kesucian dalam
ajaran-ajaran trikaya parisudha
Melalui pemujaan yang dilakukan di Pura
inilah secara akumulatif kesucian akan
dapat diwujudkan, dengan kesucian hati seseorang akan lebih mudah mendekatkan
diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa, para Deva, Ida Bhatara-Bhatari dan Roh Suci
Leluhur. Dengan rasa dekat tersebut umat akan merasakan karunia-Nya dan akan
berupaya untuk meningkatkan kesucian pribadi, kesucian keluarga dan
lingkungannya dengan melakukan pengendalian diri. Tuhan Yang Maha Esa, Para
Deva di mohon untuk turun ke bumi serta mengikuti upacara piodalan di Pura Amerta Jati
Cinere terebut, menerima persembahan dari Umat sebagai perwujudan sraddha dan bhakti kepada-Nya dalam bentuk pakuluh.
Melalui upaya penyucian pribadi , yaitu penyucian pikiran, perkataan, dan
perbuatan yang disebut dengan trikaya
parisudha.
Seluruh pemahaman tentang kesucian
tersebut oleh masyarakat Hindu di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya diarahkan
secara menyeluruh melalui segala aktivitas bersama yaitu melalui tradisi ngiring pakuluh. Aktivitas keagamaan
ini akan terjadi setiap 7 bulan sekali atau 210 hari di pura Amerta jati Cinere.
Tetapi kegiatan ini tidak hanya berlaku untuk di Pura saja, tetapi di laksanakan
di semua Pura Se-Jabodetabek. Artinya di lingkungan Pura DKI Jakarta yang
terdapat adanya 26 pura. Pemujaan ini begitu seterusnya sesuai dengan piodalan
piodalan yang dilaksanakan, sebagai sebuah tradisi umat Hindu yang
mensosialisasikan makna kesucian bagi seluruh umat Hindu, masyarakat dan alam
lingkungannya.
3.3.6 Makna
Kebahagiaan
Makna kebahagiaan dari pelaksanaan persembahyangan pada upacara piodalan di
Pura Amerta jati Cinere adalah dengan
terekspresi dari raut wajah para pengiring Ida Bhatara-Bhatari. Mereka
mengenakan pakaian sembahyang yang indah dan anggun selama prosesi. Mereka
tidak tampak kele lahan ketika ngiring pakuluh, mulai dari mempersiapkan
prosesi yaitu menghias daksina linggih
ataupun saat Mundut Palinggih Ida
Bhatara (yunggi atau memikul simbol
para Deva berupa arca, pratima atau jempana). Demikian pula warga masyarakat
yang tinggal di luar wilayah Jakarta ,
tidak merasa berat untuk ikut hadir dan mengikuti acara tersebut dan akan
merasakan kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa.
Ajaran agama Hindu tentang kebahagiaan
dinyatakan dengan istilah bahasa Sanskrta yaitu anandam atau sukha.
Kebahagiaan yang tertinggi dan kekal
abadi disebut dengan sukha tan pawali dukha, yang digambarkan
sebagai keadaan penyatuan Sang Diri Atma dengan Tuhan yang di sebut dengan moksa dan merupakan tujuan yang tertinggi
di dalam agama Hindu. Istilah yang paling populer didalam ajaran agama Hindu
adalah Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah, yang artinya adalah
tujuan dharma adalah kesejahteraan lahir (jagadhita) dan kebahagiaan bathin
(Moksa). Penyatuan diri dengan Sang Pencipta yang disebut dengan moksa itulah
tujuan terakhir kita hidup di dunia ini
Tuhan
yang disebut dengan berbagai nama, berbagai manifestasi dan dengan persepsi
yang beragam oleh umat Hindu, ternyata Dia yang menjadi sumber yang selalu dituju
baik secara sadar maupun tidak sadar. Dia Brahman adalah sumber kebahagiaan
yang tertinggi, persepsi umat Hindu dapat menangkap dari jalan yang ditempuh
dan salah satunya adalah melalui jalan bhakti
marga. Jalan bhakti marga inilah
yang diterapkan oleh umat Hindu di daerah DKI Jakarta berupa pemujaan padmasana. Dengan demikian dapat di katakan bahwa
maksud umat Hindu di daerah DKI Jakarta menerapkan pemujaan padmasana adalah
untuk memperoleh kebahagiaan, dengan mendekatkan diri Kepada Tuhan Yang Maha
Esa dalam praktek nyata melalui perwujudan-Nya.
IV
SIMPULAN
Melalui
bangunan pura inilah secara
akumulatif kesucian akan dapat diwujudkan, dengan kesucian hati seseorang akan
lebih mudah mendekatkan diri dengan Sang hyang Widhi wasa, para deva, Ida
bhattara-bhattari dan roh suci leluhur. Dengan rasa dekat tersebut umat akan
merasakan karunia-Nya dan akan berupaya untuk meningkatkan kesucian pribadi,
kesucian keluarga dan lingkungannya dengan melakukan pengendalian diri
Sesuai dengan perkembangan lingkungan
muncul wacana untuk menjadikan pura bukan saja sebagai tempat memuja Tuhan
dalam berbagai manifestasinya, tetapi juga sebagai tempat melakukan pendidikan.
Keterkaitan
dengan penelitian ini adalah dengan adanya pemahaman yang dilakukan oleh orang
tua tentang pelaksanaan tingkah laku dan pola pembicaraan yang nantinya akan
ditiru oleh anak-anaknya. Peranan pura sebagai tempat untuk melakukan kegiatan
sosial adalah dengan penanaman nilai-nilai tentang etika yang harus diterapkan
oleh generasi muda. Selanjutnya, bangunan pura merupakan sebuah simbol yang
mempunyai sebuah makna filosofis yang menggambarkan adanya sebuah lambang yang
menggambarkan tentang sebuah kesuburan dan kesejahteraan, selain itu ada makna
kebersamaan, kesejahteraan dan kebahagiaan
V SARAN
Hasil penelitian ini masih membuka ruang
kosong yang harus didiskusikan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang
adanya permasalahan berkaitan dengan kosmologi pura. Selanjutnya adanya rekomendasi untuk ketua banjar
setempat dan umat yang ada di lingkungan Pura Amerta Jati Cinere berikut :
1.
Untuk
penelitian selanjutnya masih ada kesempatan menambah ilmu pengetahuan tentang
kosmologi pura.
2.
Untuk
pembinaan umat agar ditingkatkan tentang penggunaan pura tidak harus dengan kegiatan ritual tetapi diisi dengan kegiatan pengembangan
umat.
VI
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis ucapkan
kepada penyelenggara program Magister Brahma Widya, para dosen, staff
administrasi, teman seangkatan, para informan dan kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, kebudyaan dan Lingkungan (Tinjauan
Antropologis) cet II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Danim,
Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif
(Ancaman Metofologi, Presetasi Dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa
Dan Peneliti Pemula Dalam Bidang Sosial, Pendidikan Dan Humaniora). Bandung
: CV. Pustaka Setia.
Donder.
I Ketut. 2006. Brahmavidya Theologi Kasih
Semesta. Surabaya : Paramita
Koenjaraningrat.
1997. Antropologi Budaya. Jakarta : Dian Rakyat
Mas
Putra, Ny.IGA. 2000. Panca Yadnya.
Denpasar : pemda Tk 1 Bali
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama
Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum Hindu. Jakarta:
CV Felita Nursatama Lestari.
Pusat
Bahasa, Pendidikan Nasional. 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia.[Edisi: 3]. Balai Pustaka : Jakarta
Rachmad K. Dwi Susilo. 2008 . Tokoh Sosiologi
Modern. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rahman,
fazlul, W.C. Smith, dkk. 2000. Agama
untuk manusia Cet I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riyanto,
M. 1996. Metodologi penelitian Sosial.
Yaogyakarta : Ucem.
Titib,
I Made. 1996. Simbol Agama Hindu.
Surabaya : Paramitha
Titib,
I Made. 1996. Veda Sabda Suci (Pedoman
Praktis Kehidupan). Surabaya : Paramitha.
Titib,
I Made. 2001. Teologi dan Simbol-simbol
dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramitha.
Triguna,
IBG. Yudha. 2000. Teori Simbol.
Denpasar : Widya Dharma
Wiana,
I Ketut. 1995. Yadnya dan Bhakti dari
Sudut Pandang Hindu. Jakarta : Wisma Karma.
Zoetmulder,
P.J. 2005. AdiParva (Bahasa Jawa Kuno Dan
Indonesia). Surabaya :
0 Response to "Kosmologi Pura"
Post a Comment