NETRALITAS ILMU PENGETAHUAN


NETRALITAS ILMU PENGETAHUAN DALAM PANDANGAN ARISTOTELES DAN FRANCIS BACON

Oleh:

Untung Suhardi



A.    Pendahuluan
Otoritas keilmuan dalam pandangan yang sangat awal dikatakan sebagai bagian dari kehendak bebas yang ada dalam kehidupan dan tidak terikat oleh adanya suatu kepentingan tertentu. Pandangan Aristoteles sebagai salah satu dari aliran epistemologi klasik[1] salah satunya adalah tentang suatu ilmu lebih kearah pemahaman bersifat deduktif yang banyak memberikan pandangan subyektif dari hal yang diharapkan. Pandangan ini lebih mengarah pada mempertahankan kebenaran  dan hanya menarik pengetahuan dari apa yang sudah ada, yang sebelumnya tampak tersembunyi. Pandangan Aristoteles banyak digunakan dalam pemikiran Timur Tengah yang  mengarah pada silogisme sebagai cara yang tepat mendapatkan kebenaran[2]. Sedangkan pandangan Francis Bacon melihat pengetahuan dari pandangan induktif yang berorientasi perubahan yang menyebabkan manusia dalam suatu ekosistem maju, sehingga pemikiran ini dikatakan sebagai logika modern[3].
Pemahaman ilmu pengetahuan dan perkembangnnya menuntut para ilmuan untuk selalu mengkritisinya dan selalu terbuka pada perubahan yang ada. Termasuk didalamnya para ahli yang memang sudah melakukan penemuan dan harus ada perubahan dan pembaharuan yang ada. Hal yang kemudian dipemikiran adalah bagaimanakah dilematis ilmu sebagai hal yang terikat  atau membawa kebebasan, ontologi dari ilmu pengetahuan, dan bagaimanakah epistemologi dan aksiologi dari pengetahuan kaitannya dengan sumbangan keilmuan dalam kehidupan.  




B.     Dilematis ilmu: Antara Terikat dan Bebas Nilai
Perkembangan pengetahuan sesungguhnya bebas nilai karena dalam mendapatkannya juga tidak ada pengaruh politik  atau kepentingan tertentu. Namun pada masa peradaban yang  berkembang pada tahun 1940 mulai terjadi kepentingan dan ilmu pengetahuan sudah mulai didasarkan atas politik kepentingan tertentu yang akhirnya terjadi terikat dengan adanya penyalahgunaan dari hasil ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalnya muncul bom atom yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki (Jepang) pada masa perang dunia pada 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945[4].
 Perkembangan ini menunjukan adanya perkembangan industri yang demikian maju dan banyak terjadi penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk pemenuhan ego dari manusia itu sendiri dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan keharmonisan. Melihat perkembangan ini ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi pijakan, dan seolah-olah telah mengingkari tujuan dari pengetahuan itu sendiri sebagai sesuatu yang bebas nilai dan bermanfaat.



C.    Otonomi ilmu sebagai kebebasan
Kebebasan  ilmu dalam perkembangannya sebagai sesuatu yang secara dimensi aksiologi dapat memberikan manfaat pada kehidupan manusia. Kebermanfaatan ini dapat dilihat dalam Canakya Niti Sastra Bab IV sloka 5 yang dinyatakan bahwa:  

Ilmu pengetahuan ibaratnya bagaikan kamadhenu, yaitu yang setiap saat dapat memenuhi segala keinginan. Pada saat orang berada di Negara lain, ilmu pengetahuan bagaikan seorang ibu yang selalu memelihara kita. Orang bijaksana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang rahasia, harta yang tak kelihatan.

Pada pembahasan ini menunjukan bahwa otonomi keilmuan yang ada dalam susastra Veda memberikan kemudahan dalam kehidupan manusia. Pandangan lebih jauh bahwa ilmu pengetahuan sebagai bagian dari filsafat eksistensialisme yang nilai utama pemikiran eksistensialis biasanya dianggap sebagai kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah otentisitas (keaslian). Dalam pemahaman seorang eksistensialis, seorang individu bermula pada apa yang disebut sebagai "sikap eksistensial", yaitu semacam perasaan disorientasi, bingung, atau ketakutan di hadapan sebuah dunia yang tampaknya tidak berarti atau absurd. Dengan demikian, ilmu sebagai bagian dari perkembangan jaman yang dalam dinamikanya menunjukan orisinalitas dan terus berkembang dalam ruang dan waktu sesuai dengan kondisi religi, adat istiadat, politik dan keadaan suatu wilayah tertentu.

D.    Netralitas Ilmu dalam Perspektif Aristoteles dan Francis Bacon
Pandangan keilmuan dalam perspektif yang lebih luas sebagai bagian dari unsur kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari esensi manusia itu sendiri. Wacana masalah netralisasi ilmu memang masih dalam perdebatan di kalangan masyarakat. Tetapi pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai Netral (nol), dengan ilmu itu netral maka perkembangan ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya.
Sudut pandang tentang netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkanya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Sedangkan yang terakhir adalah netarisasi dalam pandangan Aksiologi ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada.
Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom/perusak, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu. Menurut saya dari wacana diatas sudah jelas nilai ilmu itu netral. Sehingga memudahkan dalam penelitian dan tidak akan tercampuri dari suatu hal apapun. Maksud dari Netral itu sendirikan, ilmu itu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu di antara keduanya. Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral.
Keberadaan Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari perkembangan kebutuhan manusia yang menurut Abraham Maslow pada tataran awal harus terpenuhinya kebutuhan fisik. Pada pemikiran Aristoteles menekankan adanya pemikiran bahwa ilmu peletakan dasar logika dalam mendapatkan pengetahuan. Alur nilai yang dihasilkan dalam pemikiran Aristoteles mengusung pemikiran Silogisme yang diawali dengan keadaan umum berakhir pada kesimpulan bersifat khusus[5]. Hal lain dibaharui oleh Bacon dengan alur berpikir induktif yang mengarahkan pada sistematis yang banyak mengalami pembaharuan  dalam ilmu pengetahuan karena adanya kreativitas ilmuan dalam  mengembangkan obyek material yang dikajinya. 
Perkembangan netralitas ilmu pengetahuan dari jaman Aristoteles (348-322 SM) dan Francis Bacon (1561 – 1626) tetap terjaga walaupun ada dinamika yang terjadi di dalamnya termasuk adanya perkembangan kritik pembaharuan. Inti pemikiran Aristoteles pada deduktif yang diakhiri dengan silogisme yang akhirnya mendapatkan kesimpulan khusus. Selain teori silogisme, Aristoteles juga mengemukakan mengenai teori Hilemorfisisme. Teori ini menyatakan bahwa bila manusia mati dapat disimpulkan maka jiwanya pun mati. Aristoteles pula yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia saling membutuhkan satu sama lain. Pernyataan ini terus diterapkan oleh manusia hingga saat ini. Teori ini membuat manusia menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengan sesama merupakan suatu kewajiban mengingat mereka akan saling membutuhkan.

Pokok pemikiran Francis Bacon[6] adalah adanya konsep Idola sebagai  rintangan dalam kemajuan umat manusia, untuk itu ada 4 macam penghalang metode induktif yaitu: 1) idols of the tribus (negara) sebagai menarik kesimpulan tanpa adanya bukti yang cukup tanpa ada pengamatan 2) idols of the cave sebagai pengalaman dan minat pribadi  sehingga dunia obyektif kabur 3) idols of the market place sebagai pendapat orang yang diterima begitu saja 4) idols of the theatre sebagai penyimpulan secara subyektif dan dan diakhiri dengan kesimpulan. Lebih lajut Bacon memberikan pemahaman bahwa metode induktif seperti lebah yang mengumpulkan data dan menyusunnya secara sistematis, sehingga pengetahuan yang ada diluar diri pengamat dapat dicapai dengan maksimal dengan hal yang bersifat obyektif.
Pemahaman ilmu pengetahuan pada awalnya digunakan sebagai titik tumpu, namun perkembangan yang terjadi adalah ilmu pengetahuan menjadi tempat tujuan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pandangan ilmu pengetahuan menurut Bacon pada dasarnya memberikan penyempurnaan pada pemikiran Aristoteles yang lebih mengarah pada unsur subyektifitas dan melupakan nilai-nilai obyektifitas. Cara pandang inilah yang melahirkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan dapat dengan mudah dipahami dengan cara yang sesuai dengan metode yang digunakannya mulai dari pengamatan empiris, analisis data, kesimpulan sementara, vertifikasi hipotesis, dan eksperimen lanjutan. Jadi, pemahaman netralitas keilmuan pada dasarnya adalah benang merah yang ada dalam inti kehidupan itu sendiri yang disebut dengan perubahan, sepanjang manusia bijak dalam menggunakan ilmu pengetahuan maka akan tercipta keharmonisan alam. Kenetralan ilmu pengetahuan terletak pada manusia yang dengan daya pembedanya (viveka) mampu menggunakan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia dan bahkan makhluk hidup yang ada di bumi.

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA HINDU SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI:

1. Tugas agama Hindu tanggal 2 Desember 2018
2. Modul Ajar Pendidikan Agama Hindu



[1] I.R. Poetjawijatna. 1980. Pembimbing Ke Alam Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan, hal.73
[2] Moh. Hatta. 1980. Alam Pemikiran Yunani. Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas, hal. 21
[3] Harlod H . Titus. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, Terjemah: R. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 192
[4] https://www.zenius.net/blog/19451/bom-atom-hiroshima-nagasaki diunduh pada Rabu, 14 November 2018 jam 11.05 AM.
[5] Jan Henrik Rapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, hal. 106
[6] Jan Henrik Rapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, hal. 115

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NETRALITAS ILMU PENGETAHUAN"

Post a Comment