NGABEN SEBAGAI UPACARA SAKRAL
Oleh:
Untung
Suhardi
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan terjadi tetapi
tidak dapat dipastikan kapan datangnya. Bagi umat Hindu kematian merupakan
proses perjalanan jiwatman menuju Paramatman. Agar perjalanan sang atma tidak mendapat hambatan perlu dibantu dengan
melaksanakan upacara kematian yang selanjutnya disebut pitra yadnya. Upacara
Kremasi/Ngaben Swastha Gheni merupakan salah satu bentuk upacara pitra yadnya. Pelaksanaan pitra yadnya merupakan salah satu cara
untuk melepaskan diri dari ikatan tri
warga agar dapat mencapai kebahagiaan sekarang dan kebahagiaan yang akan
datang.
Keyakinan ini memotivasi umat Hindu di Bali khususnya
untuk melaksanakan upacara kematian yang terkadang tampil sederhana, akan
tetapi lebih sering tampil meriah, bahkan paling meriah diantara pelaksanaan panca yadnya. Di era modern terkait
dengan tuntutan ekonomi, pelaksanaan upacara yang besar, sering menimbulkan
pertanyaan, dan bahkan kritikan yang cukup pedas. Mengapa upacara untuk orang
yang meninggal begitu besar?, apakah dengan biaya sebesar itu sudah pasti atma leluhur masuk svarga? Apakah tidak ada bentuk upacara yang sederhana sifatnya
tanpa mengurangi fungsi dan maknanya. Untuk menjawab pertanyaan itulah tulisan ini di hadirkan.
Agama Hindu mengajarkan agar setiap
umatnya selalu hormat dan bhakti terhadap orang tua atau leluhurnya, baik yang
masih hidup maupun yang sudah tiada. Semasih hidup mereka harus dihormati
dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya, dan terhadap mereka yang sudah
meninggal wajib diselenggarakan upacara pengabenan. Upacara
pengabenan diyakini bisa mempercepat
proses pembebasan suksma sarira
(badan halus) dari stula sarira (badan
kasar). Setelah terjadi peristiwa kematian sang suksma sarira
yang hadir sebagai jiwatman (pemberi
hidup) pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatu kembali dengan sang Paramatma, sedangkan stula sariranya dikembalikan kepada asalnya
yaitu menjadi panca maha bhuta.
Dilandasi oleh keinginan berbhakti dan membebaskan diri dari
ikatan hutang pelayanan oleh
para
leluhur, terlahir prosesi pelaksanaan upacara pengabenan atau pitra yadnya sering kali hadir penuh kemewahan terlebih jika dilaksanakan mereka yang cukup mapan di bidang ekonomi, waktu dan juga pemahaman.
Pada masyarakat Hindu di Bali, sarana upakara yadnya berupa tempat pengusungan jenazah dibuat begitu indah dan
sangat menarik, ada lembu hitam yang besar, ada bengko, ada naga banda,
semua penuh makna dan simbolis, sekaligus merupakan tuangan rasa seni yang
tinggi, seni lukis, seni pahat, seni tabuh, seni suara, semua
dipersembahkan kepada leluhur, dan ada latar belakang
filsafat di dalamnya.
Namun demikian tidak jarang juga yang memilih pelaksanaan upacara kremasi / pengabenan yang sederhana, seperti pilihan Ida Pedanda
Made Sidemen dari Desa Intaran Sanur, dengan ketetapan hati beliau memilih
jalan kesederhanaan, membuat pengusungan jenasah sendiri, yang hanya diusung oleh empat
orang, mempersiapkan sesajen yang sangat sederhana, tanpa
diiringi oleh suara gambelan atau gong. Beliau berjalan di jalan
keheningan, menuju yang Maha Hening,
berjalan di jalan sunyi menuju yang Sunia.
Hakikat Upacara Kremasi / Pengabenan
adalah membebaskan suksma sarira
atau badan halus dari belenggu badan kasar atau stula sarira (Agastya,
2008:1).
Dalam era
postmodernisme seringkali
upacara orang memandang agama tidak lagi sebagai lembaga yang mapan untuk mengatur segala
sesuatu mengenai kehidupan manusia, namun hanya sebagai gejala spiritual, era postmodernisme ini memunculkan gerakan
spiritualisme dengan wujud meditasi dan yoga,
dengan menggunakan berbagai media pendekatan. Dua kekuatan ini merupakan
dinamika sosial masyarakat yang selalu tarik-menarik, dan tidak ada satu
masyarakatpun yang mampu menghindarkan diri dari perubahan tersebut. Pengaruh
modernisasi mampu mengakibatkan benturan budaya yang tidak dapat dihindari. Hal
ini muncul dari berbagai kasus yang membawa dampak negatif, fenomena, distorsi,
degradasi, demoralisasi sampai dengan berbagai macam pelecehan kultural (Griya,
2000: 3 dalam Sukayasa).
Pelaksanaan upacara agama
yang meriah
seringkali menimbulkan pertanyaan bahkan
dianggap sebagai salah satu bentuk pemborosan belaka, sehingga
timbulah pertentangan-pertentangan, apakah dengan melaksanakan
upacara kremasi / pitra yadnya yang meriah bisa menyebabkan arwah leluhur
masuk svarga?, apakah tidak boleh menyelenggarakan upacara
kremasi /pengabenan yang
sederhana?. Selanjutnya
bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan?, apakah tidak lebih baik jika
biaya tersebut, digunakan untuk kepentingan pemeliharaan keluarga yang
ditinggalkan. Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan
Hindu untuk memahami bentuk, fungsi dan makna pelaksanaan upacara agama Hindu.
Sungguh sangat tidak bermanfaat jika ada upacara agama yang dilaksanakan tanpa
dilandasi keyakinan demikian juga ketulusikhlasan. Beberapa pustaka suci Hindu
telah menjelaskan secara rinci tentang bentuk, fungsi dan makna pelaksanaan
upacara Kremasi / Pengabenan yang
sederhana akan tetapi tidak mengurangi fungsi dan maknanya. Salah satu teks
Lontar Yama Purwwa Tattwa memuat tentang bentuk, fungsi dan makna pelaksanaan
Upacara Kremasi / Pengabenan Swastha Gheni. Upacara Kremasi
/ Pengabenan Swastha Gheni memberikan solusi praktis bagi mereka yang
kurang mampu secara ekonomi dan waktu untuk melaksanakan upacara Kremasi / Pengabenan yang sangat sederhana dari
segi materiil akan tetapi tidak mengurangi fungsi dan maknanya.
Akan tetapi
bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih kuat di bidang ekonomi dan waktu
dapat memilih bentuk upacara pengabenan yang
lebih besar sesuai dengan karakteristik dan keyakinannya. Lontar Yama Purwwana Tattwa menjelaskan tentang
lima bentuk upacara pengabenan yang
dapat dipilih untuk dilaksanakan oleh umat Hindu, sesuai dengan kemampuan dan
karakteristiknya. Secara implisit Lontar Yama Purwwa
Tattwa mengimbau agar pelaksanaan upacara kremasi / pitra yadnya disesuaikan dengan kemampuan yang melaksanakan
sehingga tidak membebani kehidupan keluarga yang ditinggalkan.
KLIK FILE: ESSAY ILMU PERBANDINGAN AGAMA SESI 9
0 Response to "Upacara Kematian dalam Konteks Posmodern"
Post a Comment