EKSISTENSI
PEREMPUAN HINDU :
Kajian
Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya
Oleh
:
Untung
Suhardi
Sekolah
Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
Abstrak
Dasar penelitian ini menggunakan metoda
kualitatif dengan pendekatan fenomenalogis melalui teori hermeneutika Gadamer
dan teori rasa yang didalamnya menggunakan pengumpulan data wawancara tidak
berstruktur. Permasalahannya adalah banyak orang yang beranggapan bahwa
sarasamuccaya adalah kitab bias gender yang banyak menimbulkan pro dan kontra
dalam kehidupan. Pada hasil penelitian
ini bahwa karya sastra besar ini yang
ditulis oleh Bhagavan Vararuci yang menceritakan wejangan dari Bhagavan
Vaisampayana kepada raja Janamejaya bukanlah untuk merendahkan perempuan
tetapi, keberadaan makna wejangan itu adalah agar laki-laki tidak memperlakukan
wanita secara sembarangan dan memberikan perhatian bahwa ketika berada didekat
perempuan faktor pengendalian pikiran itu sangatlah penting, janganlah sampai
terjerumus dalam hubungan yang terlarang, apalagi dengan perempuan yang bukan
pasangannya. Hal inilah yang harusnya dihindari oleh laki-laki baik itu pendeta
yang selalu berkiprah dalam dunia spiritual yang selalu dijadikan panutan bagi
umatnya dan laki-laki pada umumnya agar tetap berada dijalan dharma. Adapun
nilai-nilai pendidikan etika yang
berkaitan dengan sloka 424-442 adalah adanya pengendalian diri laki-laki
terhadap nafsu birahi, dan pengendalian diri inilah yang memegang peranan
penting adalah pikiran sebagai rajanya indriya (Rajendriya). Adapun didalamnya terdapat nilai tat twam asi, viveka, vairagya, dama dan ahimsa yang semuanya ini
inti ajarannya adalah pengendalian diri dari masing-masing individu, terutama
untuk kaum laki-laki.
Kata
Kunci : Perempuan, gender, Etika, pendidikan dan Pengendalian diri.
Abstract
This
research using qualitative methods with the fenomenalogis approach of Gadamer's
hermeneutics theory and the theory of taste which uses data collection
interviews not structured. The problem is many people who assumed that
sarasamuccaya is a book of gender bias which raises a lot of pros and cons in
life. On the results of this research that this great literary work written by
Bhagavän Vararuci which tells to the discourse of the Bhagavän Vaisampayana to
Janamejaya King is not to denigrate women but, the existence of the discourse
of meaning that is so that men do not treat women arbitrarily and giving
attention to that when it is near the woman's mind control factor is very
important, not to fall in a forbidden relationship, let alone with a woman not
his wife. It should be avoided by both men were pastors who are always engaged
in a spiritual world that always was a role model for his people and men in
General in order to remain in the way of the dharma. As for the ethics of
education values related to the Rigvedic 424-442 is a restraint against male concupiscence,
and self-control which play an important role is the mind as his King indriya
(Rajendriya). There is value in it as for tat twam asi, viveka, vairagya, dama
and ahimsa which are these core teachings from self-control is each individual,
particularly for men.
Keywords :
women, gender, ethics, education and self control.
A.
Pendahuluan
Secara khusus di
Indonesia menugaskan satu departemen untuk menampung aspirasi dan memberikan
penguatan kepada perempuan Indonesia, agar terbebas dari keterpinggiran dan
ketidakadilan selama ini yakni Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sesuai
dengan pasal 27 UUD 1945 yang diperkuat melalui ratifikasi konversi penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Diskrimination Against
Women / CEDAW) ke dalam UU No.7 tahun 1984 serta Landasan Aksi dan
Deklarasi Beijing hasil konferensi dunia tentang perempuan keempat di Beijing
pada tahun 1995 (Bantas dkk, Gender Dalam Perspektif Agama Hindu, 2004 : 2).
Ada 5 bentuk ketidakadilan dalam pembakuan peran gender di Masyarakat, yaitu :
1). Marjinalisasi (Pemiskinan ekonomi) 2). Subordinasi perempuan 3). Pelabelan
atau penandaan (stereotip) perempuan 4). Kekerasan fisik dan mental psikologis
perempuan 5). Beban kerja ganda perempuan. (Bantas dkk, 2004 : 18-21).
Selain
itu, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan maka,
pemerintah melalui Inpres No.9 Tahun 2000 mengeluarkan konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) ”...yang
merupakan konsep yang diadvokasi dari konferensi perempuan se dunia ke-4 Beijing (1995) yang secara global telah
diterima sebagai strategi dan pendekatan untuk kesejahteraan perempuan dalam
pembangunan ...” (Gadis Arivia dalam jurnal perempuan, 2006 Edisi 50 : 100).
Dewasa ini kajian tentang perempuan menjadi permasalahan
yang menarik untuk dieksplorasi dan dianalisis. Sejak perempuan menyadari bahwa
dirinya diperlakukan secara tidak adil bila dibanding dengan laki-laki, maka
kajian tentang perempuan menjadi salah satu bagian yang digeluti oleh akademisi
dan LSM yang secara spesifik menjadi kajian-kajian ilmiah di
Universitas-universitas serta menjadi topik utama dalam seminar oleh
perkumpulan yang bergerak pada bidang sosial terutama para pemerhati perempuan
yang dilakukan diseluruh dunia, termasuk di Indonesia yang dimulai abad 18
dalam satu payung “feminisme”.
Hal yang senada juga
terdapat dalam kitab Veda yang berusia beribu-ribu tahun, tidak mempengaruhi
dalam pola berpikir modern tentang perempuan,
perempuan menempati posisi yang istimewa baik di rumah maupun di
masyarakat dalam peradaban Veda. Dalam pandangan Hindu perempuan harus
diperlakukan dengan halus dan sopan santun karena perempuan banyak memberikan
sumbangan khusus kepada dunia dia adalah pembawa Vibrasi kesucian pada
keluarganya. (Media Hindu edisi 54, Agustus 2008 : 56).
Selain
itu, perempuan yang telah menjadi seorang ibu dengan tulus ikhlas mengembangkan
janin didalam kandungannya yang tidak dapat dilakukan oleh laki-laki. Hal ini
menunjukan bahwa perempuan mempunyai keunggulan-keunggulan dari pada pria. Hal
ini dipertegas didalam Rg Veda.I.6.4 menjelaskan “Selanjutnya persenyawaan
kemampuan yang diilhami oleh sang diri batin untuk bekerja dan memuja. Mulai
memahami tugasnya seperti ibu yang memahami Adanya nyawa pada janinnya”.
(Maswinara, 1999 : 11).
Berdasarkan
mantra diatas bahwa penempatan perempuan
melebihi laki-laki, karena hanya perempuan yang mengetahui dan memahami bahwa
dalam kandungannya ada janin atau tidak, sedangkan laki-laki tidak pernah
merasakan hal itu, karena laki-laki tidak pernah hamil. Hal ini menunjukan diterimanya superioritas perempuan
oleh kalangan laki-laki. Dan perempuan hendaknya dihormati karena sebagai
tempat tumbuhnya benih-benih penerus leluhur. Dalam mengandung itulah
pengorbanan seorang ibu yang tiada bandingannya dalam hal kasih sayang. Ketika bayi lahir kata pertama yang diucapkan bayi
adalah Ma, ketika anak tersebut
mencapai usia delapan tahun mulai memasuki kehidupan Brahmacarya, sang Ayah dan
Ibu membisikan Mantram Gayatri pada telinga anak dan sejak saat itu sampai
usia 24 tahun harus menganggap perempuan diseluruh dunia sebagai ibunya. (Tim
Kompilasi, 2006 : 254-255)
Perbedaan gender seperti di dunia barat tidak dikenal
dalam nilai-nilai Hindu, tidak ada diskriminasi dalam kesempatan untuk meraih
pendidikan dan karier bagi laki-laki ataupun perempuan. Hal ini dijelaskan
dalam beberapa mantra Rg Veda, seperti Rg
Veda X.87.3 menyatakan : “Wahai umat manusia laki-laki maupun perempuan
milikilah mata ketiga dari ilmu pengetahuan”. Rg Veda X.33.19 menyatakan : “Perempuan sesungguhnya adalah seorang
sarjana dan seorang pengajar. Rg Veda
X.159.2 menyatakan : “Penulis dapat menjadi seorang raja, seorang sarjana
yang terkemuka dan seorang perempuan orator yang ulung”. Dan dalam Kitab Atharva Veda V.17.3.4 menyatakan bahwa :
“Dimana kehormatan perempuan dilindungi, bangsa itu akan selamat dan terjamin
dan seorang perempuan yang tidak dihormati dapat meruntuhkan bangsa itu”
(Suwira dan Yoga, 2007). Ucapan “Sorga ada ditangan perempuan” bukanlah suatu
slogan kosong. Dalam Manawa Dharmasastra menempatkan perempuan pada tempat yang
istimewa, hal ini dijelaskan dalam Manawa
Dharmasastra III.56 yang menyatakan ”Dimana perempuan dihormati disanalah
para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada
upacara suci apapun yang akan berpahala” (G. Puja, T.Rai Sudharta, 2002 : 147).
Beberapa tokoh perempuan dimasa lalu dapat ditemukan
dalam Upanisad dan sastra-sastra Hindu lainnya yang disebutkan dalam kitab
Vedayang sangat dihormati sebagai para Brahmavadini
seperti : Visvavara, Apala, Ghosa, Godha istri dari Vasukra saudara perempuan
Maharsi Agastya, Lopamudra, Sasvati dan Romasa. Tokoh lainnya dapat dijumpai
dalam Ramayana seperti : Anasuya (jnanin yang memberikan nasehat kepada Rama,
Sita dan Laksmana, Sabari, Svayampraba (pertapa yang menolong Hanoman),
Trijata, Madodari, Sita, Kausalya diMahabharata, antara lain : Drupadi, Kunti,
sakuntala, dalam Purana ada Devahuti ibu Maharsi Kapila. (Titib, 1998 : 27-28).
Konteks hubungan laki-laki dan perempuan dalam unit
terkecil adalah bentuk hubungan suami istri. Teks-teks suci ada istilah Ardhaanggani artinya bahwa istri adalah
belahan yang tak terpisahkan (ardha) dari badan
(angga) suaminya. Tidak ada laki-laki yang sempurna pada dirinya
sendiri tanpa didampingi oleh perempuan
sebagai istrinya (Tjok Rai Sudharta, “Manusia Hindu”, 1993 : 89-90). Laki-laki
dan perempuan adalah mitra atau partner dalam segala aktifitas dalam kehidupan.
Oleh karena itulah perempuan yang telah dewasa harus dinikahkan dengan
cara-cara yang baik sesuai dengan kitab Manava Dharmasastra III : 21-30 yaitu
menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati. Sastra Hindu memandang perempuan sebagai sosok Vital dan
subjek yang patut dihormati, tetapi dalam kitab Sarasamuccaya posisi perempuan
seolah-olah dipinggirkan dan dijauhkan. Hal ini dipertegas dalam sloka
Sarasamucaya dari sloka 424-442, ada 19 sloka yang merendahkan kedudukan
perempuan, yaitu :
Sloka 424 : … tidak ada yang menyamai perempuan dalam membuat kesengsaraan
… sloka
425 : ... adapun mereka yang berdiam didalam desa ... wanita adalah pangkal
keprihatinan... jangan hati tertambat ... sloka 426 ... maut pancadranila ...
disebut pula wanita. Sloka 427 : … perempuan penyebab
datangnya cinta yang mengikat laki-laki… sloka 428 : … perempuan akan pergi
kepada siapa saja tua, muda ... jika birahinya datang … sloka 429 : … umumnya perempuan itu berprilaku buruk dan tetap
saja walaupun diberi ajaran-ajaran … sloka 430 : … pikiran perempuan sangat
sulit dimengerti … sloka 431 : … nafsu birahinya tidak pernah terpuaskan dalam
persetubuhan … sloka 432 : … semua orang berbicara dosa perempuan … sloka 433 :
… hanya orang arif bijaksana yang terhindar dari godaan perempuan … sloka 434 :
perempuan menjijikan …. Sloka 435 : …. Perempuan sumber bencana … sloka 436 :
…. Vagina perempuan sangat kotor dan menjijikan … sloka 437 : … pendetapun tidak
luput dari ketertarika pada vagina … sloka 438 : … ada luka yang tidak pernah
sembuh tetapi, setiap laki-laki tertari padanya … sloka 439 : … vagina biarpun
digangsir tetap alot … sloka 440 : …. Vagina barang yang menjijikan dan
memperangkap laki-laki ….sloka 441 : … jauhi perempuan …. Sloka 442 : … jangan
berduaan dengan perempuan. (Suwira dan Yoga Sagara, 2007 : 4).
Berangkat
dari uraian diatas penulis
mengambil permasalahan tentang kedudukan perempuan dalam Sarasamuccaya, karena
penulis ingin mengetahui sebab kedudukan perempuan Hindu dalam sloka
Sarasamuccaya itu, yang sangat direndahkan dan bahkan menjauhkan perempuan.
Selain itu, banyak adanya kontra yang terjadi karena salah pemahaman dalam
mengartikan sloka 424 sampai 442 yang seharusnya untuk pandita tetapi,
karena dibaca oleh umat Hindu pada
umumnya pada masa kini maka akan terjadi pemahaman yang keliru karena dianggap
bertentangan dengan keseluruhan Kitab sarasamuccaya itu,
sehingga kitab Sarasamuccaya itu dianggap tabu dan adanya larangan bagi kaum
perempuan untuk membacanya. Sehingga,
dengan penelitian ini penulis akan melakukan
penafsiran maksud dari sloka
424-442 dengan pemaknaan sebenarnya, karena pada dasarnya
kitab ini merupakan sumber ajaran agama yang mengandung nilai-nilai etika yang
tinggi dan Kitab Sarasamuccaya ini salah-satu bagian dari kitab smrti yang merupakan kitab tafsir yang menyisakan ruang bebas melakukan koreksi dan reinterpretasi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut maka, masalah yang akan menjadi fokus penelitiannya adalah kedudukan
perempuan Hindu dalam Sarasamuccaya sehingga, dapat dirumuskan masalahnya,
sebagai beikut :
1. Bagaimanakah
kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya 424-442 ?
2. Apa
saja nilai – nilai pendidikan etika Hindu dalam sloka Sarasamuccaya tentang
perempuan ?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan
penjelasan diatas ada beberapa tujuan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Untuk
mengetahui kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya.
2. Untuk
memahami nilai-nilai pendidikan etika Hindu dalam Sarasamuccaya tentang
perempuan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini ada beberapa kegunaan baik dalam praktik maupun teoritis, antara lain
adalah :
1. Manfaat
praktis : Untuk bahan pembelajaran dalam kehidupan yang sesungguhnya kita harus
menghormati perempuan.
2. Manfaat
teoritis : untuk bahan bacaan serta menambah referensi bacaan diperpustakaan
dan untuk bahan dalam penelitian selanjutnya serta untuk mengisi ruang kosong
dan pengembangan dari penelitian sebelumnya.
E.Metoda
Penulisan
Naskah ini menggunakan metode
kualitatif, karena dalam penyajian dan analisisnya dilakukan dengan pemaparan.
Sumber data ini diperoleh dari pengumpulan buku diperpustakaan, dengan
melakukan pencatatan dokumen serta melakukan wawancara dengan informan, seperti
: tokoh agama Hindu, para intelektual dan umat Hindu umumnya. Jenis data primer
dengan cara wawancara tidak berencana dengan
tekhnik wawancara tidak berstruktur yang bersifat terarah, yaitu
tanpa mengajukan daftar pertanyaan sesuai masalah, tetapi peneliti sebelum
wawancara membuat catatan pertanyaan sesuai dengan masalah (Oka Setiawan, 2008). Dan sumber data skunder dengan kepustakaan,
misalnya kitab suci Hindu, pengarang buku tentang perempuan serta artikel lain.
Selain itu, penulis
menggunakan metoda hermeneutika Gadamer,
yaitu Dalam mengartikan teks tidak terbatas pada maksud pengarang, sehingga makna
teks itu lebih terbuka dan produktif, seorang interpertator tidak dapat
melepaskan historis sekarang dan menyelami kehidupan masa lampau ketika teks
ditulis, akan tetapi dalam mengartikan teks tidak terbatas pada masa lalu dan
lebih menitiberatkan keterbukaan pada kehidupan masa kini dan masa mendatang, Seorang
interpretator tidak dapat terbebas dari
prasangka dan tradisi, karena justru akan membantu dalam proses pemahaman,
prasangka harus dibedakan antara benar atau salah dan sah atau tidak sah dan untuk
mendapatkan pemahaman adalah dengan metoda dialektika (dialog yang produktif
antara masa kini dan masa lampau) yang memungkinkan lahirnya pemahaman baru.
F. Analisa Masalah
1.
Kedudukan
perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya 424-442
Kitab Sarasamuccaya
yang merupakan bagian dari Upangaveda.
Sebenarnya Sarasamuccaya merupakan intisari dari kitab Mahabharata yang berisi
18 parva (Astadasa parva) disusun oleh Bhagavan Vyasa yang mengisahkan
lika-liku kehidupan keturunan Bharata. Kitab Mahabharata inilah yang kemudian
disarikan oleh Bhagavan Vararuci yang dinamakan Kitab Sarasamuccaya; Sara artinya intisari dan muccaya artinya Himpunan, nama pengarang
kitab ini adalah “Vararuci ini adalah seorang pujangga besar yang diperkirakan
adalah Katyayana, Bhagavan Vararuci ini merupakan salah satu Navaratna di
Istana raja Wikramaditya” (Classical
Dictionary John Downson M.R.A.S London 1891 : 335 dalam N. Kajeng, 1997
:2). Vararuci
juga diterjemahkan sebagai Vararuchi: di Devanagari : वररुचि adalah nama yang terkait dengan
teks-teks sastra dan ilmiah beberapa bahasa Sansekerta dan juga
dengan berbagai legenda dibeberapa
bagian India.
Nama Vararuchi sering dikaitkan
dengan Katyayana, Namun, identifikasi Vararuci dengan Kātyāyana belum
sepenuhnya diterima oleh para sarjana.
Vararuci diyakini penulis Prakrita
Prakasa risalah tertua di tata bahasa dari Prakrit bahasa.
Nama Vararuci muncul dalam sebuah daftar “sembilan
permata” (Navaratnas) di pengadilan Raja Vikrama. Vararuci
adalah figur ayah dalam sebuah legenda di Kerala populer
disebut sebagai legenda dua belas suku yang lahir dari
seorang wanita Parayi panthirukulam Petta paria. Vararuci
dari Kerala legenda juga
seorang yang cerdik asrtonomi diyakini penulis candravākyas bulan kalimat,
satu set nomor menetapkan bujurs dari Bulan pada
interval waktu yang berbeda.
Dengan demikian, Bhagavan Wararuci (yang terkait dengan
Sarasamuçcaya), adalah salah seorang dari “Sembilan
Mutiara” di istana raja Wikramãditya. Beliau juga diperkirakan menulis
buku-buku Sanskerta seperti Katantra (buku-IV), Lingganusasana,
Wararucisanggraha, Wararucikawya, Puspanetra, Carumati dan Kasika. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa Wararuci ini adalah seorang Rsi Pujangga Indonesia
(Nusantara), yang mahir berbahasa Sanskerta. Sarasamuçcaya kemungkinan disusun
di Nusantara dalam bahasa Kawi olehnya, dengan menekankan pada pendidikan moral
dalam catur warga. Kemudian pada jaman Dharmawangsa Teguh (985-1006) terjadi
penerjemahan Mahabharata dari bahasa sansekerta kedalam bahasa Jawa Kuno yang
berlangsung sampai jaman Majapahit (Pudja,1981 : 2 dalam Titib, 2006 : 73).
Seperti tersebut diatas
bahwa bahasa dalam Kitab Sarasamuccaya adalah menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai
medianya. Bahasa Jawa Kuno ini disebut juga dengan bahasa kawi, karena kata
Kawi dalam bahasa Jawa Kuno berarti penyair atau pujangga (Mardiwarsito, 1981 :
274 dalam Titib, 1998 : 32). Dari penggunaan bahasa kawi ini dapat dilihat
dalam bentuk karya sastra seperti Parva, kakawin, geguritan dan kidung. Dalam
pelaksanaannya berfungsi dalam kegiatan dalam upacara agama Hindu. Selanjutnya,
untuk memperjelas bahwa Sarasamuccaya adalah bagian dari pada Itiasa Mahabhrata
maka, dalam hal ini penulis kutipkan dari Kitab Sarasamuccaya dalam
pengantarnya sebagai berikut :
Dan ada lagi
keutamaannnya yang lain, jika seseorang telah mendengarkan kesedapan rasa
puitis sastra suci itu, sekali-kali ia tidak akan berkemauan untuk mendengarkan
cerita-cerita lain, termasuk nyanyian-nyanyian rebab, seruling dan lain-lain
semacam itu, sebagai misalnya orang yang sudah pernah mendengarkan keindahan
suara burung kutilang, yang telah meresap kedalam hatinya keindahan suara
burung itu dan dapat membangkitkan kesenangan hatinya, tidak ada kemungkinannya
ia akan berkemauan untuk mendengarkan kengerian suara burung Gagak, demikianlah
kata Bhagavan Vararuci menghormati Bhagavan Vyasa, serta lanjut mengutarakan
keutamaan cerita Mahabharata yang dinamai Sarasamuccaya, Sara artinya intisari
dan Muccaya artinya himpunan, demikianlah sebabnya maka Sarasamuccaya disebut
sastra suci karya Bhagavan Vararuci, inilah petuah yang dipergunakan oleh
Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya pada beliau menceritakan
Mahabharata. Inilah asal mula Sarasamuccaya (Nyoman Kajeng, 1997 : 5-6).
Dari kutipan pengantar
tersebut, maka asal mula Sarasamuccaya bermula dari peristiwa yang terjadi
dalam keturunan Bharata kemudian
dihimpun oleh Bhagavan Vyasa yang disebut kitab Mahabhatara. Dari penjelasan Adi Parva (P.J. Zoetmulder, 2005) bahwa
Kitab Mahabhatara menceritakan kehidupan keturunan Bharata sampai meletusnya
perang Saudara antara Pandava dan Kurava yang disebabkan karena perebutan
kekuasaan dan dalam Adi parva inipula dijelaskan tentang ringkasan cerita 18
Parva dalam Kitab Mahabharata.
1.1 Kajian umum perempuan dalam sarasamuccaya
Hindu
adalah kebenaran yang abadi (Sanatana
Dharma) yang ajarannya bersumber dari Veda. Dalam pembahasan ini penulis
akan membahas tentang kedudukan perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya. Akan
tetapi, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang perempuan dalam pustaka
seperti, Bhagavad-Gita, Niti Sastra, Manava Dharmasastra, Atharva Veda dan
lainnya yang digunakan penulis sebagai referensi dalam memahami perempuan dalam
Kitab Sarasamuccaya tentang kedudukan perempuan dalam kitab tersebut. Kitab
Veda sesungguhnya sangatlah menghormati dan menghargai martabat perempuan.
Dalam kitab Manava Dharmasastra III:56
menjelaskan bahwa ketika wanita tidak dihormati, maka segala yajna tidak
berpahala. Kemudian Atharva Veda V.17.3.4
menerangkan bahwa jika perempuan dihormati maka negara akan sejahtera. Kemudian
Bhagavad-Gita IX.17 menjelaskan bahwa Aku adalah Bapa, Ibu, pelindung dari alam
semesta ini. Kemudian dijelaskan dalam Yajur
Veda 39 menerangkan bahwa meletakan lagi diatas tempat dudukmu, air agni
dan bumi. Padanya engkau yang menakjubkan berbaring seperti diatas pangkuan
seorang ibu (Griffith, 2006 : 216).
Selain
itu, ada juga dari Kama Sutra dan Brhadaranyaka Upanisad yang menempatkan
perempuan pada singgasana yang mulia. Pada Kama
Sutra karya Rsi Vatsyayana menerangkan bahwa peranan perempuan sangatlah
vital dalam hubungan seksualitas dan penerus keturunan (Suwantara, 2007). Dan
pada Brhadaranyaka Upanisad VI.2.13 dinyatakan
bahwa pada hubungan suami istri bahwa alat kelamin perempuan disimbolkan dengan
api yajna (Radhakrisnan, 2008). Hal ini juga dijelaskan dalam Lontar Ganapati
Tattva bahwa untuk melanjutkan penciptaan maka, perempuan mempunyai kewajiban
untuk mengandung anaknya denga laki-laki yang mulia untuk mendapatkan anak yang
suputra (Bantas, 2000).
Dengan
demikian, kitab Hindu sangatlah menjunjung tinggi harkat dan martabat
perempuan. Akan tetapi, karena adanya pembahasan yang dikhususkan untuk hal-hal
tertentu, seperti untuk pemimpin, pandita, seseorang yang memasuki tahapan
wanaprasta dan sannyasin. Pembahasan tentang sloka 424-442 yang berkaitan
dengan perempuan seolah-olah bertolak belakang dengan keseluruhan kitab Hindu
tersebut yang sebenarnya selalu
menghormati perempuan. Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini bertujuan agar
selalu berpegang teguh pada dharma, sehingga malapetaka besar yang dialami
leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara antara Pandava
dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak Kaurava dan
pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi Drupadi yang
dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena penghinaan pihak
kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak disepakati, ahkirnya
meletuslah perang dahsyat itu.
Selanjutnya,
dalam pembahasan kitab Sarasamuccaya ini, pembahasan tentang perempuan sudah
ada dari sloka awal yang membahas perempuan. Karena pemahaman suatu teks ini
selalu berkaitan antara teks satu dengan yang lainnya (Teeuw, 2003 : 120-212).
Untuk itulah, penulis akan membahas sloka-sloka dalam Kitab Sarasamuccaya yang berkaitan dengan perempuan, sebelum
membahas lebih jauh tentang sloka ini maka, penulis sajikan kutipan teks
Sarasamuccaya sloka 424-442 sebagai berikut :
a)
Sloka 424:
Na strῑbhyah kincidanyadvai pāpῑyo bhuvi
vidyate,
strῑyo
mūlamanarthānām manasāpi ca cintitāh.
Artinya :
Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita
dalam hal membuat kesengsaraan; apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat;
karenanya singkirilah wanita itu, meskipun hanya di angan-angan, hendaklah
ditinggalkan saja.
b)
Sloka 425 :
Strῑkṛto grāmanigamah strῑkṛtah
krayavikrayah,
strῑyo mūlamanarthānām
tasmānnaitāh parişvajet.
Artinya :
Adapun mereka yang ingin berdiam di dalam desa, adalah wanita yang
menyebabkannya demikian pula orang yang mau berjual beli dan berdagang, adalah
wanita pula yang menyebabkannya; pendeknya yang disebut wanita itu merupakan
pangkal prihatin saja; oleh karenanya, janganlah hati tertambat kepadanya.
c)
Sloka 426 :
Antakah pavano mṛtyuh pātālam vaḍ-avāmukham,
kşuradhārā vῑşam
sarpo vahnirityekatah striyah.
Artinya :
Maut pracandanila, yaitu angin yang luar biasa kencangnya dewa maut,
wadawanala, yaitu api berkepala kuda di dasar bumi, tajamnya pisau cukur, bisa
atau racun kalkuta, ular berbisa, prakupitagni, yaitu api berkobar-kobar dengan
dahsyatnya, kesemuanya itu, adalah wanita dinamakannya; pun salah satu dari
kesemuanya itu, sesungguhnya disebut pula wanita.
d)
Sloka 427 :
ānāyamiva matsyānān pañjaraṁ cakuneriva,
samastapācam
mūdasya bandhanan vāmalocanā.
Artinya :
Sebab wanita itu, menyebabkan datangnya cinta, matanya yang galak-pikir
doyan asmara; merupakan alat pengikat, rantai pembelenggu si bodoh, sebenarnya
itu seperti misalnya jala, pukat, pajang, adalah diadakan untuk perangkap ikan,
dan sangkar burung itu diadakan adalah memenjarakan burung.
e)
Sloka 428 :
Nāsām kaşcidagamyo’sti nāsām vayasi nişcayah,
virūpam vā
surūpam va pumānityena bhunjate.
Artinya :
Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita; tidak patut aku
pergi kesitu, sebab keadaanku begini; akan dia itu, keadaannya begitu, patut
dihormati; tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu; sebaiknya ia pergi
saja dan tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda ataupun orang tua, ia
tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk, laki-laki ini, demikian saja
pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang.
f)
Sloka 429
Anarthivanmanusyana bhayāt paribhavāt
tathā,
maryādāyāmamaryadah
striyaşṭistanti bharṭṛşu.
Artinya :
Kesimpulannya, wanita itu umumnya berlaku buruk, tidak dapat dibatasi;
meskipun telah dibatasi, kepadanya telah diberikan ajaran-ajaran yang benar,
namun sebab ia bukan karena patuh waktu dinasehati, hanya tampaknya tunduk
terhadap suaminya; sebab yang sesungguhnya ia berbuat demikian, agar dia jangan
digarap (disakiti) lagi; juga sang suami jangan membujuk-bujuknya; mungkin
karena takutnya, mungkin karena takut disiksa, maka ia berlaku demikian
(terhadap suaminya).
g)
Sloka 430 :
Uşanā veda yacchāstram yacca veda vṛhaspatih,
ubhe te na
vişisyeta strῑbuddhistu vişişyate.
Artinya :
Biarpun ilmu Bhagavan Sukra dan ilmu pengetahuan Bhagavan Wrhaspati,
dapat keduanya itu, dengan tiada begitu sukar dikuasai dengan jalan selalu
mengulang-ulanginya, sehari-hari harus digiatkan dan diusahakan; sebaliknya
pikiran wanita itu sangat sulit untuk dimengerti tak dapat dipastikan bahwa ia
dapat dikuasai, biarpun sehari-hari dengan giat diusahakan; penuh kekecewaan
sesungguhnya hamba; apa nian cara orang menjaga akan dia.
h)
Sloka 431 :
Nāgnistrpyati kāstānām napagānāṁ
mahodadhih,
nāntakah
servabhutānām na pumsam vāmalocanā
Artinya :
Tidak ada puas-puasnya api itu, biarpun segala rupa pohon kayu, semua
yang tumbuh di muka bumi ini dijatuhkan kepadanya, pasti tidak akan menjadikan
kepuasannya, bahkan semakin bertambah besar saja nyalanya, oleh kesemuanya itu;
demikian pula laut itu tidak kenyang-kenyang meminum air dari sungai-sungai,
begitu pula sang maut tidak puas-puas mencaplok jiwa semua mahluk; maka
demikianlah si wanita itu tidak ada kepuasan nafsu birahinya akan persetubuhan.
i)
Sloka 432
Yasya jihvāsahasraṁ syājjῑvecca
şarada şatam,
ananyakarmā
strῑdosān naivoktvā nidhanaṁ vrajet.
Artinya :
Tidak ada henti-hentinya dosa wanita itu jika diceritakan, bilamana ada
orang yang berlidah seribu dan berusia seratus tahun serta tidak melakukan
pekerjaan lain, melainkan hanya dosa wanita itu saja yang diceritakannya, pasti
tidak akan berakhir ceritanya sampai jangkanya datang dicaplok maut.
j)
Sloka 433 :
Angārasadrşi narῑ ghrtakumbhasamah
pumān,
ye prasakta
vilῑnāste ye sthitaste pade sthitāh.
Artinya :
Dan wanita itu adalah bara sesamanya, sedang si pria itu sama halnya
dengan minyak, artinya apabila pria berahi itu datang mendekat kepada si
wanita, pasti akan hancur lebur, tidak bergaya; sebaliknya jika orang tetap
berlaku arif bijaksana, tidak terkuasai hatinya oleh wanita, niscaya ia tetap
selalu dalam keadaan selamat.
k)
Sloka 434 :
Strῑ nāma māyā nikṛtih krodhamātsaryavigrahā,
dtūrā
tyajedanāryām tāmjvalitamedhyavadbudhah.
Artinya :
Sesungguhnya wanita itu tidak lain dari pada sulap, berbahaya, berwujud
kemarahan, cemburu; oleh karena itu maka dijatuhkan oleh sang pandita, sebab
tiada bedanya dengan sesuatu yang tidak suci (untuk digunakan kurban
kebaktian), sesuatu yang menjijikkan, sesuatu yang kotor.
l)
Sloka 435 :
Svabhāvaccaiva nāriṇām narāṇamiha dūsanam,
itthvam vai na
pramādyanti pramadāsu vipaşcitah.
Artinya :
Kebiasaan wanitalah yang berbuat bencana kepada orang; dukacita dan
prihatin ditimbulkan olehnya, serta membatalkan segala kerja; sadarlah sang
pandita akan hal itu; karenanya, selalu berusaha menjauhi wanita.
m)
Sloka 436 :
Yeşu yeşu pradeşcesu kāyo’tyantajugupsitah,
teşu teşu janah
sakto vairagyam kèna yāsyati.
Artinya :
Adalah suatu alat pada tubuh si wanita, sangat menjijikkan dan sangat kotor; mestinya dibenci, dan dijauhi, jangankan dapat demikian, untung
sekali, jika orang tidak sampai lekat, rindu berahi dan cinta kasmaran pada
alat tersebut; orang yang bersikap demikian, apakah mungkin tidak terikat pada
asmara.
n)
Sloka 437 :
Ko hi nāma manusyesu jānannapi vicakşaṇah,
harinῑpadamātreṇa
carmana nā khalῑkṛtah.
Artinya :
Sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya cukup bijaksana, tiada
luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada tubuh wanita, yaitu
kulit yang berukuran sebesar jejak kaki kijang.
o)
Sloka 438 :
Prasvedamaladig dhena vahatā mūtraşoṇitam,
vraṇena
vivṛtenaiva sarvamandhῑkṛtam jagat
Artinya :
Ditengah-tengah kulit sebesar jejak kaki kijang, terdapatlah luka yang
menganga yang tidak pernah sembuh, yang menjadi salura jalan air seni dan
darah, penuh berisi keringat dan segala macam kotoran; itulah yang membuat orang
bingung di dunia ini, kegila-gilaan, buta dan tuli karenanya.
p)
Sloka 439 :
Kūlāni nāsya pātyante na kathamapi
khanyate,
khanakaiva
kşayaṁ yāti balena ca ḍhanena ca.
Artinya :
Luka itu digangsir selalu, tapi tidak ada yang rapuh, tidak ambruk
pinggirnya, malahan alat penggangsirnya yang menjadi lemah, hilang kekuatannya,
lenyap kekayaannya.
q)
Sloka 440 :
Yānyeva malavāhini pūticchidraṇi yositām,
tānyeva khalu
kāmyani aho pumsāṁ viḍambanā
Artinya :
Terlalu menjijikkan luka itu, menurut pendapat hamba; mengeluarkan
segala macam kotoran badan; luka itu diselubungi oleh semacam jerat burung
(tampus=Bali), yang berlemak lagi sangat alot, itulah yang menyebabkan
berahi, terikat cinta asmara di dunia ini; heran sesungguhnya hamba buka alang
kepalang bencana di dunia ini.
r)
Sloka 441 :
Yositām na kathā şravyā na nirῑksyā nirambarāh,
kadāciddarşanat
tāsām durbalānavişedrajah.
Artinya :
Oleh karena itu hendaklah dijauhi wanita itu; jangan didengarkan
kata-katanya, apalagi segala bisik-bisiknya, jangan dipandang wajahnya, apalagi
bila ia telanjang bulat, sebab akan tampak itu, dan terdengar akan
perkataannya, itulah yang menyebabkan merasuknya nafsu berahi.
s)
Sloka 442 :
Mātrā svasrā duhitrā vā na viviktāsano
bhavet,
balavānindriyagrāmo
vidvāṁsamapi karşati.
Artinya :
Jangan tidak berhati-hati, jangan bersenda gurau, bercakap-cakap
berduaan dengan ibu anda, saudara anda, anak anda, karena cepat benar menyusup
pengaruh indria (nafsu birahi) itu, meski sang pandita sekalipun tertarik
olehnya. (Nyoman Kajeng, 1999 : 331-344)
Merujuk
dari uraian tentang sloka tersebut, bahwa yang menjadi fokus naskah penulis
adalah sloka 424-442, dengan adanya 19 sloka tentang stri ini bukanlah untuk
menjauhi perempuan secara fisik karena seolah-olah pembawa kesengsaraan. Akan
tetapi, yang menjadi pokok permasalahannya adalah pengendalian diri seorang
laki-laki terhadap objek perempuan, janganlah sampai berpikir negatif tentang
perempuan dan hindarilah wanita yang bukan miliknya karena akan menyebabkan
kesengsaraan baik diri sendiri maupun orang lain. Hal inilah isi dari
wejangankan Rsi vaisampayana kepada Janamejaya bahwa yang dijauhkan bukanlah
wanitanya, akan tetapi pikiran laki-lakilah yang harus menjauhi hal-hal yang
negatif terhadap perempuan jangan sampai menjadi pelayan nafsu dan selalu
berada dijalan dharma.
Bagian dari kitab
Sarasamuccaya diuraikan tentang perempuan (Stri)
yaitu dari sloka 424 sampai dengan 442 (N. Kajeng, 1999) pada uraian
sloka-sloka ini menjelaskan tentang perempuan dipandang sebagai pembawa
kesengsaraan dan harus dijauhkan terutama oleh golongan Pandhita (Sloka
434-435). Padahal, Sarasamuccaya itu merupakan kitab suci Veda yang harus
dipahami oleh umat Hindu khususnya, tetapi karena pemahaman yang keliru tentang
bagian sloka ini maka kedudukan perempuan dalam Sarasamuccaya itu seolah-olah direndahkan dan dijauhkan. Hal
ini terutama jika dipahami oleh umat Hindu pada umumnya selain golongan
pandhita.
Perempuan
sebagai ibu rumah tangga merupakan guru rupaka yang berperan dalam pelaksana
agama bersama suami terutama Nitya karma,
hal ini menunjukan kesamaam hak dan kewajiban yang sama dalam mencari kesucian,
pelaksanaan dharma, berhak mendapat samskara sebagai Dwijati (Pandita). Dalam
hal inilah perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki untuk mencapai
kehidupan spiritual dan mencapai tujuan akhir yaitu pembebasan. Dengan
demikian, dalam mencapai tataran kehidupan spiritual ini tidak ada tembok
pemisah antara laki-laki dengan perempuan, namun pada dasarnya setiap manusia
mempunyai hak yang sama untuk mencapai pendakian spiritual.
Hal
tersebut misalnya, pada kitab Sarasamuccaya
yang secara keseluruhan mengandung ajaran moral yang tinggi yang
merupakan intisari kitab Mahabharata yang ditulis oleh Bhagavan Wararuci yang
berisi wejangan Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya. Ajarannya
mengandung nilai moral (etika) dan spiritual yang tinggi yang merupakan pedoman
untuk para pemimpin agar dapat menjalankan pemerintahannya dengan benar dan
rakyatnya sejahtera serta sebagai pedoman bagi seseorang yang termasuk golongan
Pandhita (rohaniawan). Karena menurut konsep Hindu dalam kehidupan ini seorang
manusia mengalami 4 tahapan kehidupan, yaitu masa menuntut ilmu (Brahmacari),
berumah tangga (grhasta), wanaprasta dan sanyasin, sehingga tujuan hidup ini
tercapai setelah dharma, artha, kama terpenuhi dan akan memcapai pembebasan
(Gede Rudia Adiputra, 2003).
Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini
bertujuan agar selalu berpegang teguh pada dharma, sehingga malapetaka besar
yang dialami leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara
antara Pandava dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak
Kaurava dan pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi
Drupadi yang dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena
penghinaan pihak kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak
disepakati, ahkirnya meletuslah perang dahsyat itu. Merujuk dari sloka-sloka
tersebut perempuan begitu direndahkan, dari cara pandang yang demikian
ini, sangatlah cocok dengan empat
tahapan kehidupan (Catur Asrama) yang
terakhir dalam Hindu yaitu Saniyasin,
karena pada tahapan ini diharuskan menjauhi seks yang selalu dikaitkan dengan
perempuan sebab dia sudah menjalaninya pada tahapan Grhasta. Dengan kata lain, kehidupan sex tidak lagi menjadi tugas
seorang yang memasuki Sanyasin, tugasnya adalah mempelajari sastra suci untuk
bekal kehidupan selanjutnya menuju alam keabadian. Dari
Pemahaman sloka Sarasamuccaya hanya diperuntukan untuk golongan rohaniawan terutama golongan sanyasin akan tetapi, umat
Hindu pada umumnya membaca sebagian potongan sloka itu maka, secara spontan mereka akan memberikan
komplain atas sloka tersebut bahwa ternyata kedudukan perempuan dalam kitab
suci Veda seolah-olah
dimarginalkan dan seluruh latar
belakang dari Sarasamuccaya sebagai kitab Etika Hindu hilang karena 19 sloka
tersebut. Dari uraian tentang perempuan tersebut bukanlah secara sembarangan
dijauhkan akan tetapi, karena perempuan itu suci dan agung sehingga, jauhilah
sifat-sifat yang menjelekan tentang perempuan. Dengan demikian, yang dijauhkan
bukanlah diri perempuan sebagai objek pembawa kesengsaraan, akan tetapi cara
berpikir laki-laki tentang perempuan yang seharusnya dikendalikan. Dan bahkan
perempuan itu menurut pandangan para Maharsi adalah altar dari pada suatu yajna dan sakti dari laki-laki sebagai
kekuatannya (Titib, 2000).
2.Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan Hindu Dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 424-442
Ajaran Etika merupakan sesuatu yang
berkaitan dengan yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak) yang membentuk sistem nilai dalam suatu golongan atau masyarakat (K.
Berten, 1997:16 dalam Bantas dan Wirawan, 2009:2). Pada dasarnya ada dua
kecenderungan sifat manusia sebagaimana yang telah diuraikan dalam Kitab
Sarasamuccaya yaitu Sadhujana, sifat
orang yang suka berbuat baik dan berbudi luhur dan Durjana, sifat orang yang bertabiat buruk yang selalu membicarakan
noda orang lain walaupun sebesar biji sawi dan tidak terlihat olehnya noda
sendiri walau sebesar buah maja (Sarasamuccaya 341). Dari penjelasan awal bahwa
Kitab Sarasamuccaya merupakan sebuah ajaran yang mengandung nilai etika yang
sangat tinggi yang harus dipedomani oleh setiap manusia, khususnya umat Hindu.
Pada pembahasannya merupakan suatu yang saling berkaitan antara teks sebelumnya
dan teks setelahnya, yaitu membicarakan tentang dharma, penggunaan Artha,
pemenuhan kama dan pada bagian akhir membicarakan tentang kelepasan (Moksa).
Ajaran
etika Hindu tidak menggunakan istilah yang bersifat dogmatik, baik atau jahat, surga atau neraka. Hal ini karena etika
Hindu dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan yang harmonis antara manusia
dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan yang merupakan
tiga konsep kebahagiaan (Tri Hita Karana)
untuk mencapai tujuan akhir penjelmaan manusia (Gede Jaman, 2006).
a.
Nilai
Pendidikan Tat Twam Asi
Merujuk
sloka diatas mengandung makna yang sangat dalam bahwa Tat Twam Asi berarti engkau adalah itu, engkau adalah aku dan aku
adalah engkau dan semua makhluk adalah
Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu oleh karena itu, jiwatmaku
dan prakerti semua makhluk adalah tunggal dengan jiwatman dan Prakerti semua
makhluk. Dengan demikian, engkau adalah aku dan aku adalah engkau, itulah
kebenaran. Ajaran Tat Twam Asi ini mengakui dan mengajarakan bahwa harkat dan
martabat manusia adalah sama. Perbedaannya adalah pada guna (sifat) dan kerja
serta kualitas pengabdiannya (Gede Rudia
Adiputra, 2003 : 75).
Selanjutnya,
Kitab Sarasamuccaya sloka ini menjelaskan bahwa Rsi Waisampayana menganjurkan
agar seorang raja harus mengayomi rakyatnya, dengan melaksanakan swadharmanya
merupakan sebagai suatu kewajiban tanpa adanya pamrih dan tanpa terpengatuh
godaan-godaan nafsu duniawi terutama dengan godaan nafsu birahi yang disalurkan secara tidak benar
kepada sembarangan perempuan, kecuali
dengan pasangan sendiri dalam bingkai Grhasta melalui pernikahan yang sah.
Selain itu, dalam hal spiritual Bhagavan
Vaisampayana mengajarkan bahwa seorang raja harus selalu melakukan tapa
(pengendalian diri), terutama mengendalikan pikirannya agar tidak terjerembab
dalam lembah kehancuran dan penderitaan serta sopan santun terhadap semua orang
tanpa membedakan drajat dalam struktur masyarakat.
b.
Nilai
Pendidikan Viveka
Viveka artinya
daya pembeda yang dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, amal,
dan dosa, baik-buruk, sejati dan palsu; ini sangat menentukan “keputusan hati’
yang disebut Nisacaya Jnana.
Sedangkan “keputusan hati” akan mendorong dan mewarnai ucapan maupun tindakan.“Dadi pwang niscaya jnana lumekas tak ujar,
lumekasang maprawerthi Artinya : Bila keputusan hati telah terbentuk maka
keluarlah kata-kata dan gerak perilaku” (Sarasamuccaya 79. Nyoman Kajeng,
1999). Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih
bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap
benar dan baik).
Dengan
demikian, pengendalian terhadap pikiran
itu sangatlah penting jika menguasai atas indria ini maka seseorang akan
menjadi sosok yang bijaksana. Dinyatakan
dalam sloka 437 bahwa “sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya ssangatlah
bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada pada
tubuh wanita, sebesar jejak kaki kijang”. Oleh karena itulah Bhagavan Vararuci
menjabarkan wejangan tersebut bahwa walaupun seorang pendeta yang bijaksana
sekalipun dapat terikat oleh benda
sebesar kaki kijang (sloka 437), sehingga ia terjatuh dalam gelombang duniawi.
Hal ini seperti Bhagavan Viswamitra yang digoda oleh bidadari Menaka, dan
akhirnya gagalah pertapaan beliau, karena dalam hal ini belum adanya
pengendalian pikiran atas indriya yang selalu mengikat seseorang untuk
menikmatinya.
Hal ini Bhagavan Vararuci mengamanatkan bahwa
walaupun seorang pandita ada kelemahan berpikir mengenai subjek seorang
perempuan, apalagi perempuan itu sedang dilanda asmara, jika pikiran tidak
terkendali maka akan terperosok dalam lembah kesengsaraan dan kehancuran. Jadi,
Bhagavan vararuci menceritakan bahwa pada saat itu seseorang janganlah selalu mengumbar hawa nafsunya
sembarangan, tetapi mengarahkannya pada hal yang positif karena pada dasarnya
perempuan itu mempunyai tempat terhormat. Hal inilah yang disebut dengan
pengendalian alat indria (Indriya nigraha) adalah mengekang atau mengendalikan
indriya, tidak mengumbar nafsu untuk
menikmati kesenangannya (Sarasamuccaya :63, Nyoman Kajeng, 1999).
c.
Nilai
Pendidikan Vairagya
Merupakan istilah yang digunakan
dalam filsafat Hindu
yang secara kasar diterjemahkan sebagai dispassion,
detasemen, atau penolakan, dalam penolakan khususnya dari rasa sakit dan
kesenangan di dunia material (Maya).
Para filsuf Hindu yang menganjurkan Vairagya mengatakan kepada pengikut mereka
bahwa itu adalah sarana untuk mencapai moksha.
Vairagya adalah kata majemuk bergabung vai berarti "kering,
dikeringkan" + raga yang berarti "warna, gairah, perasaan,
emosi, minat" (dan berbagai penggunaan lainnya). Rasa "pengeringan dari hawa nafsu"
Vairagya memberikan arti umum tertarik pertapa dalam hal-hal yang akan
menyebabkan lampiran pada kebanyakan orang.
Sikap terhadap kehidupan seorang pertapa yang telah tenang semua hawa nafsu dan
keinginan disebut sebuah vairāgika. Jadi, Vairagya adalah ketidakterikatan terhadap indriya untuk
menikmati kesenangan duniawi dan kesibukan pikiran dalam kegiatan rojani (Prabhupada,
2000:343).
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikaitkan dengan Sarasamuccaya sloka 424-442 bahwa
pengendalian indriya sangatlah perlu dilaksanakan oleh semua orang, agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan. Hal
ini terkandung dalam bagian stri bahwa seorang yang ingin mencapai tingkatan
kebijaksanaan harus mampu untuk melepaskan keterikatannya terhadap objek
indriya dengan pengendalian pikirannya. Hal ini seperti dalam sloka 428 ...
“tidak patut aku pergi kesitu, sebab keadaanku begini ... keradaannya begitu
patut dihormati”. Dapat dijelaskan bahwa seorang pendeta seperti Rsi
Vaisampayana sangat menjauhi pikiran-pikiran tentang objek wanita, karena jika
kelemahan berpikir tentang wanita dituruti, maka akan menyebabkan jatuhnya
martabat sang pendeta. Sehingga bukan objek perempuan yang dijauhi akan tetapi,
kelemahan berpikir laki-laki yang harus dikendalikan, karena pada dasarnya
bahwa perempuan itu memiliki kedudukan yang terhormat dalam kehidupan ini.
Sehingga, vairagya haruslah diterapkan dalam hidup ini, dengan melaksanakan
perbuatan dengan tulus ikhlas karena pahala pasti akan mengiringinya sesuai
dengan perbuatan. Dan pemenuhan nafsu ini diperkenankan pada tahapan Grhasta
bukan pada yang lain sesuai ajaran dharma.
d. Nilai Pendidikan Ahimsa
Perkataan Ahimsa berasal dari dua
kata yaitu : “a” artinya tidak,“himsa” artinya menyakiti, melukai, atau
membunuh.Jadi, Ahimsa artinya tidak
menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan,
dan tingkah laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada
umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran
Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan
amat utama.Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi
terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak
membunuh atau menyakiti.
Dengan demikian, ahimsa mengandung
pengertian bahwa tanpa adanya kekerasan dan penuh dengan welas asih dan kasih
sayang dan ajaran ahimsa ini sangat erat kaitannya dengan adanya pemahaman
tentang pengendalian diri, kedermawanan dan cinta kasih. Dalam etika Hindu
ketiga hal ini merupakan suatu fondasi yang akan membentuk dasar kehidupan yang
baik dan benar yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dan ketiga
kebaikan ini terdapat dalam Brhadaranyaka Upanisad 5.2.1-3 yang menyatakan
bahwa :
Pada suatu hari
dewa-dewa, manusia dan raksasa meminta Rsi Prajapati untuk memberikan mereka
nasehat. Pada para Dewa, Prajapati berkata :”Da” yang mereka mengartikan dengan
Danayata atau praktek pengendalian
diri. Pada manusia, Prajapati Berkata “Da” yang diartikan dengan Datta atau latihan beramal. Pada
raksasa, prajapati berkata : “Dayadham
atau cinta kasih. Lebih lanjut upanisad selalu mengatakan pada kita bahwa
prajapati mengingatkan kepada semua makhluk hidup melalui suara natural
“da-da-da” untuk selalu melakukan tiga kebaikan ini (Radhakrisnan, 2008 :
336-337).
Penggalan kutipan upanisad
tersebut, dalam kaitannya dengan Sloka Sarasamuccaya tentang perempuan
mengandung ajaran tentang pengendalian diri, kedermawanan dan cinta kasih.
Karena pada dasarnya perempuan jangan diperlakukan sembarangan namun harus
dihormati. Kemudian untuk mendapatkan pasangan hidup hendaknya harus didapatkan
dengan cara yang benar dan tidak dengan cara yang menyalahi dharma. Hal ini
dijelaskan dalam Isa Upanisad 1
menyatakan bahwa :
ῑsyāvasyām idam sarvam yatkiñca jagatyām
jagad, tena, tyaktena
Bhuñjῑthā mā gṛddhaḥ kasya svidhanam
Terjemahan
:
Sesungguhnya
apapun yang ada dijagad raya ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa,
dikendalikan oleh Isa (Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya
menerima apa yang diperlukan dan diperuntukan bagi dirinya dan tidak
menginginkan milik orang lain
(I Gede Puja, 1995 : 33).
Berdasarkan
uraian diatas dapat dianalisis bahwa dalam mendapatkan perempuan, khususnya
untuk pendamping hidup haruslah diperoleh dengan cara yang benar sesuai dengan
aturan norma agama dan perundang-undangan yang berlaku. Dan hal inilah akan
menjadi malapetaka besar jika mendapatkannya dengan menginginkan perempuan yang
sudah menjadi milik orang lain dengan cara merebutnya melalui paksaan.
Hal
ini jika dikaitkan dengan Sarasamuccaya 424-442 bahwa, dalam beberapa sloka
seperti 424, 426, 427, 429, 433,436-440 dan 441, seolah olah perempuan demikian
dijauhkan karena sebagai pembawa asmara dan kesengsaraan. Hal tersebut
menerangkan tentang adanya cacat pada perempuan sebagai objek yang harus
dijauhi oleh kaum laki-laki. Hal ini tidaklah demikian karena pada kontekstual
dalam sastra ini menekankan untuk pedoman raja dalam menjalankan pemerintahan
dengan benar dan jangan sampai terikat dengan nafsu birahi apalagi
mendapatkannya secara tidak benar, sehingga Bhagavan Vaisampayana mengharapkan
bahwa selain seorang raja mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan
benar agar rakyatnya sejahtera, dalam hal lain juga harus selalu berlatih olah
spiritual untuk pengendalian diri agar tidak terjerumus dengan nafsu rendahan
dan diarahkan untuk tujuan yang positif. Hal tersebut kemudian dijabarkan lagi
oleh Bhagavan Vararuci bahwa tujuan beliau mempublikasikan ini adalah agar
semua orang terutama laki-laki agar memperlakukan wanita secara wajar dan
menghormati hak-haknya. Dengan demikian, tidak ada jurang pemisah antara
laki-laki dengan perempuan karena pada dasarnya mereka adalah sejajar. Sehingga
tidak ada lagi rasa mendiskriminasikan perempuan lantaran perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan.
e. Nilai Pendidikan Dama
Penjelasan
tentang Sarasamuccaya sloka 254 menyatakan bahwa “Dama
ngaranya, wruh miluluri awaknya, tumang guha awaknyaArtinya, yang disebut
Dama adalah bisa menasehati diri sendiri (Nyoman Kajeng, 1999)”. Bisa
menyadarkan diri (matuturi) adalah
orang bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi. Orang yang dama akan menjadi
“danta” artinya kepribadiannya suci. Sarasamuscaya
menjelaskan bahwa pada hakekatnya bukanlah orang yang membasahi dirinya dengan
air disebut mandi, melainkan ia yang danta (suci) karena dama-lah disebut mandi
yang sesungguhnya. Hal ini dengan
menerapkan (Tri Kaya Parisudha)
pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Berangkat
dari uraian diatas jika dikorelasikan dengan Sarasamuccaya sloka 424-442 maka,
hendaknya seorang laki-laki yang menginginkan perempuan sebagai pendamping
hidupnya haruslah didapatkan dengan cara yang benar yaitu perempuan yang bukan
milik orang lain dan dengan jalan dharma. Ketika hal ini dilanggar maka akan
mendapatkan konsekuansi yang harus diterima sesuai dengan perbuatannya (Karma)
jika perbuatan baik kebahagiaan yang diperoleh dan jika buruk perbuatan itu
maka penderitaan yang diperoleh karena pada dasarnya keberadaan manusia adalah
mempunyai kehendak bebas, tetapi dia terikat dengan aturan atau norma agama dan
masyarakat tertentu.
Oleh
karena itu, wejangan Bhagavan vaisampayana kepada raja Janamejaya yang ditulis
oleh Bhagavan Vararuci mengingatkan kepada semua orang laki-laki khususnya agar
mempunyai rasa dama yang mampu menasehati dirinya agar tidak terbelenggu dengan
ikatan nafsu birahi yang disalurkan dengan jalan menyimpang dari ajaran
kebenaran. Hal ini, jelas bahwa seorang raja dia harus memperlakukan semua
wanita sebagai ibunya kecuali istrinya, dan harus menjalankan tapa untuk
memperoleh kesucian lahir dan batin, sehingga swadarma sebagai pemimpin dapat
terlaksana baik dharma agama maupun dharma negara. Dan jika seorang pendeta
maka, harus memegang prinsip-prinsip kepanditaan, jangan sampai terjerumus
dengan hafsu untuk menikmati duniawi, karena tugas utamanya adalah untuk
kesucian dirinya dan sebagai pelayanan
umat yang membutuhkan.
Kesimpulan
Kitab
Sarasamuccaya merupakan bagian Smrti pada bagian Upangaveda sebagai penjelasan Sruti dan dalam memahaminya dapat
dilakukan reinterpretasi maka, penulis menyimpulkan
sebagai berikut :
1. Karya sastra besar ini yang ditulis oleh
Bhagavan Vararuci yang menceritakan wejangan dari Bhagavan Vaisampayana kepada
raja Janamejaya bukanlah untuk merendahkan perempuan tetapi, keberadaan makna
wejangan itu adalah agar laki-laki tidak memperlakukan wanita secara
sembarangan dan memberikan perhatian bahwa ketika berada didekat perempuan
faktor pengendalian pikiran itu sangatlah penting, janganlah sampai terjerumus
dalam hubungan yang terlarang, apalagi dengan perempuan yang bukan pasangannya.
Hal inilah yang harusnya dihindari oleh laki-laki baik itu pendeta yang selalu
berkiprah dalam dunia spiritual yang selalu dijadikan panutan bagi umatnya dan
laki-laki pada umumnya.
2. Adapun nilai-nilai pendidikan etika yang berkaitan dengan sloka 424-442
adalah adanya pengendalian diri laki-laki terhadap nafsu birahi, dan
pengendalian diri inilah yang memegang peranan penting adalah pikiran sebagai
rajanya indriya (Rajendriya). Adapun didalamnya terdapat nilai tat twam asi,
viveka, vairagya yang semuanya ini inti ajarannya adalah pengendalian diri dari
masing-masing individu, terutama untuk kaum laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Adia,
G.k, Wiratmadja. 1991. Perempuan Hindu
Dalam Suatu Proyeksi.
Bandung : Ganeca Exact Bandung.
Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis (Kritik Penerapan Dan
Implikasinya) cet I terjemah Nurhadi [ed] Hadi Purwanto. Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa (Menggali Butir-Butir Kearifan
Lokal) Cet I. Yogyakarta : Shahida Yogyakarta.
Arivia, Gadis. 2003.
Filsafat Persektif Feminis. Jakarta
: Yayasan Jurnal Perempuan.
---------,
Gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Untaian
Hati cet I. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.
---------,
Gadis. 2006. Pengarusutamaan Gender.
Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.
Bantas,
Ketut Dkk. 2004. Gender Dalam Perspektif
Hindu. RI. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Foucault,
Michele. 2008. Ingin Tahu, Sejarah
Seksualitas. Jakarta : Yayasan Obor.
Georg,
Hans-Gadamer. 2004. Truth and Method
Pengantar Filsafat Hermeneutika terjemh Ahmad Sahidah Cet I. Yogyakarta :
Pustaka pelajar offset.
Griffith,
R.T.H. 2006. Yajur Veda Samhita (Sukla
Yajur Veda). Surabaya : Paramitha.
Haryatmoko
“Kekuasaan Melahirkan Anti kekerasan :
Menelanjangi Mekanisme dan Tekhnik Kekuasaan Bersama Foucault” basis
Jakarta, Februari 2002.
----------------.“Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim
Wacana, Sejarah Seksualitas : Sejarah Pewacanaan Seks Dan Kekuasaan Menurut
Foucault”makalah disampaikan pada kuliah umum Salihara, Jakarta Selatan, 12
Juni 2010.
Kajeng, I Nyoman dkk.1999. Sarasamuccaya
Teks Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya : Paramita.
Made,
Ngakan Madrasuta. 2005. Hindu Akan Ada
Selamanya cet I. Jakarta : Media Hindu.
Manik,
Putra Aryana. 2009. Widhu Tattwa
((Makhluk Super Dahsyat itu Ternyata Wanita) cet III. Denpasar : Bali Aga.
Mardalis.
2008. Metode Naskah Suatu Pendekatan
Proposal.Jakarta : Bumi Aksara.
Maswinara,
I Wayan. 1997. Kamasutra Dari Watsayana
cet I. Surabaya : Paramita.
-----------------,
Wayan, 2010. Srimad Bhagavad-Gita.
Surabaya : Paramitha dalam Kodam Jayakarta.
Media
Hindu, Edisi 12, Nov – Des 2004
-----------------,
Edisi 54, Agustus 2008
Oka, I Ketut Setiawan, 2009. Metodologi Naskah I dan II. Jakarta : STAH Dharma Nusantara
Jakarta.
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama
Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita
Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum Hindu. Jakarta:
CV Felita Nursatama Lestari.
------------.1995. Isa Upanisad. Jakarta : Yayasan Dharma
Sarathi.
------------.1999.
Bhagavad-Gita (Pancama Veda).
Surabaya : Paramita
Rai Sudhartha, Tjok. 2004. Slokantara Untaian Ajaran Etika. Surabaya : Paramita.
Radhakrisnan, S. 2008. Upanisad-Upanisad Utama terjemah Agus S. Mantik. Surabaya : Paramita.
Satria,
I Wayan Suwira dan I Nyoman Yoga Sagara, 2007. Diskriminasi Perempuan Dalam Kitab Sarasamuccaya (penolakan perempuan
Hindu dan menafsirkan ulang dengan perspektif perempuan). Jakarta :STAH
DNJ.
Saraswati,
L.G, Taufik Basari, Doni Gahral Adi, Singkop Boah, Boang Manalu, Gadis Arivia
etc . 2006. HAM (Teori, Hukum, Kasus) cet
I[ed] Rocky Geruny. Jakarta : Filsafat UI Press.
Sugiarto,
R. 1980. Brhadaranyaka Upanisad cet III.
Jakarta : Proyek pengadaaan kitab suci Hindu.
Suka,
I Wayan Yasa.2007. Teori Rasa : Memahami
Taksu, Ekspresi dan Metodanya. Denpasar : Widhya Dharma bekerja sama dengan
program Magister Agama dan Kebudayaan.
Suparlan,
Y.B. 1991. Kamus Indonesia-Kawi cet I.
Yogyakarta : Kanisius
Suwantana,
Gede. 2007. Seks Sebagai Pendakian Spiritual
(Kajian Teks Rsi Sembina cet I, [ed] I Ketut Widnya. Denpasar : Program
Pascasarjana IHDN Kerjasama Dengan Sri Kahyangan.
Suwira,
I Wayan Satria. 2008. Sejarah Filsafat
India. Jakarta : Departemen Filsafat UI
Tim Kompilasi.2006. Kompilasi
Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: PHDI Pusat.
Tim penyusun, 2007. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi III.Jakarta : Balai Pustaka.
-------------------.
2006. Buku Pelajaran Agama Hindu SLTA
Kelas 3. Surabaya: Paramita
-------------------.
1986. Nitisastra Dalam Bentuk Kakawin. Jakarta: Proyek Penerangan
Bimbingan Hindu dan Budha.
--------------------.
2007. Pedoman Penulisan Skripsi (PTAHS).
Surabaya : Paramita
--------------------,
2007. Pedoman Kerukunan Umat Beragama
Hindu. Jakarta : Mitra Abadi press.
Titib, I Made. 1998. Citra
Perempuan Dalam Kakawin Ramayana (Cerminan masyarakat Hindu Tentang Wanita).
Surabaya: Paramita.
------------------.
2006. Persepsi Umat Hindu Di Bali
Terhadap Svarga, Naraka Dan Moksa Dalam Swargarohana Parva (Perspektif Kajian
Budaya). Surabaya : Paramita.
Zoetmulder,
P.J. 2005. AdiParva (Bahasa Jawa Kuno Dan
Indonesia). Surabaya : Paramitha.
wah, bagusnya..................
ReplyDelete