Langkah Kehidupan


Memaknai Langkah Kehidupan     
Oleh:    
Untung Suhardi     

A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan tekhnologi peran ilmu agama juga diperlukan untuk menyeimbangkan antara unsur dunia dan spiritual. Kehidupan spiritual yang dijelaskan dalam sastra Veda digambarkan dengan satu kaki yang dalam kehidupan ini kita sudah memasuki jaman yang terakhir yaitu Kaliyuga. Kehidupan manusia lebih mengutamakan kesenangan dalam dirinya dan melupakan hakekat Tuhan. Jika kita membaca literatur Veda banyak dijelaskan bahwa kehidupan kaliyuga sebagai bentuk tatanan yang sudah mengalami ketidakteraturan, seperti banyaknya tindak kejahatan, degradasi moral, peperangan yang berkepanjangan dan tindakan amoral lainnya. Umur kaliyuga selama 432.000 tahun  manusia yang ditandai dengan penobatan pengeran Parikesit cucunya Arjuna menduduki tahta kerajaan Hastinapura. Namun disisi lain juga kehidupan jaman Kaliyuga sebagai bentuk kesempatan manusia untuk meningkatkan drajatnya dengan diberikan berbagai tantangan kehidupan yang memerlukan kesabaran, keuletan dan modal mental (kejujuran, disiplin).

Berangkat dari hal inilah, kehidupan diera saat ini banyak sekali berorientasi pada jabatan, harta, nama baik yang seolah-olah hal yang menjadi sangat berharga. Hal ini karena adanya anggapan yang keliru bahwa dirinya adalah badan yang bersifat langgeng bahkan banyak sastra suci Veda yang menjelaskan bahwa badan ini hanyalah sementara yang harus digunakan untuk kebaikan. Jalan Kidung suci yang disampaikan Rsi Narada dapat menyadarkan Ratnakara, yang semula adalah perampok ulung, pembunuh kejam, lalu menyerahkan diri untuk menjadi murid Sang Rsi Narada, kemudian menjadi Bhagawan. Sosok Ratnakara kemudian dikenal dengan nama Walmiki, penulis Ramayana yang termasyur. Agama Hindu telah mengenalkan adanya Catur Yuga (empat zaman) yaitu: Kerthayuga, Tretayuga, Dwaparayuga dan Kaliyuga.  Dalam melakukan Yajna (pemujaan/upacara kurban suci) umat Hindu pada setiap yuga (zaman) caranya berbeda-beda mengingat situasi dan kondisi pada setiap zaman adalah juga berbeda-beda, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga berbeda sesuai dengan zamannya, zaman dulu dan sekarang jelas berbeda, dulu manusia hidup dan berburu binatang, lalu bercocok tanam, kemudian menuju industrialisasi dan perdagangan.

Sebutan nama Tuhan yang paling utama dipuja dan dikidungkan (dinyanyikan) pada setiap zaman adalah juga tidak sama yaitu : pada zaman Kerthayuga sebutan nama Tuhan yang paling bertuah adalah Narayana, pada zaman Tretayuga nama Rama yang paling bertuah, demikian juga pada zaman Dwaparayuga dengan sebutan Krishna dan pada zaman Kaliyuga sekarang ini, semua sebutan nama-nama Tuhan atau Sahasranama sangat bertuah untuk dikidungkan. Dalam Reg Weda Mandala I Sukta 164, mantra 46 juga dikatakan “Ekam Sat Viprah Bahuda Wadanti” yang artinya “Hanya satu (ekam) Hyang Widhi (sat atau hakekat) orang bijaksana (viprah) menyebutkan (wadanti) dengan banyak nama (bahuda)”. 
Tokoh yang dianggap berhasil mencapai kesempurnaan dengan kidung atau menyanyikan kidung suci keagamaan ialah Rsi Narada dan Ratnakara,. Kidung suci (nyanyian rohani) yang berisi puja-puji terhadap kemahakuasaan dan keagungan sifat-sifat Tuhan dan dengan mengulang-ulang nama dan sifat agung beliau dapat menyucikan Atman (percikan suci Tuhan yang ada dalam diri manusia) untuk kemudian manunggal (bersatu) dengan Paramătman (Sang Pencipta) pada segala zaman atau sejak dunia beserta isinya ini ada (diciptakan).
Untuk itulah, pada kesempatan yang baik ini akan dibahas tentang bentuk korban suci (yajna) yang dilakukan pada jaman Kaliyuga, adapun yang menjadi pokok pembahasan yaitu :
1.       Apakah makna cerita yajna yang dilakukan oleh Ratnakara ?
2.       Bagaimanakah yajna yang dilakukan pada jaman Kaliyuga ?

B.  Makna Yajna Ratnakara
Diceritakan pada zaman Tretayuga, tersebutlah seorang pemburu, penjahat ulung dan perampok yang sangat kejam bernama Ratnakara, walaupun sebenarnya ia adalah putra seorang Rsi yang bernama Rsi Pracethasa, lalu kenapa ia menjadi seorang perampok, bahkan tak segan-segan membunuh korbannya? Nampaknya faktor lingkungan pada waktu beliau masih kecil sangat mempengaruhinya, ia mempunyai pergaulan dan dibesarkan di lingkungan hitam yaitu pada keluarga pemburu binatang.
Pada waktu Ratnakara masih kecil ia termasuk anak yang lincah dan cerdas tak heran kalau ia suka bermain-main ke luar pertapaan ayahnya di tepi sungai Gangga India, suatu ketika ia bermain cukup jauh, saking asyiknya ia bermain tambah jauh dari ashram, sampailah akhirnya, ia tidak tahu lagi jalan untuk pulang ke ashram (tempat tinggalnya). Ketika matahari sudah hampir terbenam ia sadar dan ingat sama orang tuanya, ia lalu menjadi bingung dan panik, ia lalu menangis menjerit sejadi-jadinya sambil memanggil sang ayah dan ibunya, lalu suara tangisnya itu didengar oleh seorang pemburu di tengah hutan. Pemburu itulah kemudian membesarkan serta mengangkatnya sebagai anak. Ratnakara kecil pun tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemburu binatang dalam hutan, mengikuti jejak ayah angkatnya itu.

Setelah dewasa dan berumah tangga ia punya istri dan punya anak cukup banyak, maka dengan hasil buruan saja sering tidak dapat mencukupi hidupnya sekeluarga, maka Ratnakara pun terpaksa menjadi perampok, ia merampok siapa saja yang ditemuinya, demikianlah perjalanan hidupnya dan hari ke hari di dalam hutan.  Suatu ketika Rsi Narada berjalan-jalan keluar ashram dan sudah menjadi kebiasaan Sang Rsi bilamana berjalan-jalan ia selalu melantunkan kidung (nyanyian) puja-puji Rama, nama Rama dan sifat-sifat keagungannya diucapkan berulang-ulang tiada henti, berkat bhakti (cinta kasih yang tulus) beliau. maka kekuatan Rama sebagai avathara (penjelmaan) Visnu selalu melindungi perjalanan Sang Rsi Narada. Beberapa saat (beberapa menit) ia agak mengantuk dan kurang konsentrasi dalam menyanyikan (menyebut) nama Rama …..Rama... Rama ji ge Rama saking kantuknya sampai terbalik menjadi Mara .... Mara sehingga artinyapun menjadi jauh berbeda. Mara dalam bahasa sansekerta artinya adalah bahaya. Betul saja tak lama kemudian muncullah bahaya, Ratnakara datang menghadangnya, namun Rsi Narada tidak begitu terkejut melihat sosok Ratnakara yang siap merampoknya, saat itu kebetulan Rsi Narada hanyalah membawa Wina (sejenis alat musik) maka diambillah Wina itu oleh Ratnakara.
Setelah Rsi Narada menyadari akan kekeliruannya dalam mengucapkan nama Rama ia pun memperbaiki kidungnya dengan penuh konsentrasi disertai rasa bhakti yang tulus dan mengulang-ulang kembali menyebut nama Rama dalam hati saja (manasa) tanpa terdengar oleh Ratnakara. Kekuatan kidung suci itu benar-benar menggetarkan Atman yang bersemayam pada diri Ratnakara. Akhirnya Ratnakara tersadar akan dosa-dosanya yang pernah ia perbuat, ia lalu merunduk sebagai tanda hormat. Sejak itu pula Ratnakara menyesali segala perbuatannya seperti merampok, membunuh yang pernah dilakukannya. Ia pun menjatuhkan dirinya ke kaki Rsi Narada sebagai ungkapan permintaan maaf yang tulus dari seorang murid (bhakta) kepada guru (acharya), ia lalu menyerahkan diri untuk menjadi muridnya, Sang Rsi Narada pun menerimanya dengan penuh cinta kasih, selanjutnya ia diberikan pelajaran yoga dan pemula hingga yang paling tinggi tingkatannya. Setelah yoganya mantap ia lalu melakukan tapa brata selama bertahun-tahun, saking tekunnya ia melakukan tapa, ia tidak bergeming sedikitpun ketika ribuan semut mengerumuni tubuhnya, bahkan sampai semut-semut itu membuat sarang, hingga menutupi sekujur tubuhnya sampai tidak kelihatan lagi badannya. Melihat keteguhan Ratnakara itu, Rsi Narada sangat gembira. Setelah Ratnakara sudah dianggap sukses dan berhasil menguasai dirinya. Sarang semut itu lalu dibongkar oleh Rsi Narada, kemudian didapatilah Ratnakara masih tetap tenang dalam semadhinya, tubuhnya sedikitpun tidak terpengaruh oleh gigitan semut.
Setelah ia sadar didatangi oleh Rsi Narada, lalu Ratnakara menghaturkan sembah sujud, memberi hormat sebagaimana ketentuan (sesana) seorang murid (bhakta) terhadap gurunya (acharya). Tak lama kemudian Ratnakara didiksa atau diwisuda (dwijati) dengan upacara sederhana sekali (nistaning nista) untuk menjadi seorang Rsi, oleh Rsi Narada kemudian Ratnakara diberi nama baru (gelar) Rsi Walmiki sebagai nama dwijati. Kata “Walmiki” sebenarnya berasal dari kata “Walmika” yang dalam bahasa sansekerta berarti rumah semut, ia diberi nama dwijati Walmiki karena dianggap terlahir dari rumah semut pada waktu ia menjalankan tapa brata.
Rsi Walmiki inilah oleh Dewa Brahma dianugrahi kekuatan spiritual yang hébat untuk dapat melihat dan mengetahui dengan jelas seluruh peristiwa dan kehidupan Sri Rama sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu, dan sejak Sri Rama lahir sebagai putra Prabu Dasaratha, Raja Ayodhya hingga kembali ke swarga loka sebagai Visnu. Kemudian dengan kemampuan yang diberikan oleh Dewa Brahma ia kemudian menyusun syair yang berjumlah 24.000 sloka, syair-syair tersebut diajarkan kepada Kusa dan Lawa, yang memenangkan sayembara/lomba baca syair (utsawa dharrna gita), kisah perjalanan hidup Sang Rama itulah kemudian dikenal sebagai Itihasa Ramayana yang sangat terkenal dari zaman ke zaman hingga sekarang. Demikianlah keutamaan kidung suci bila diucapkan dengan sungguh-sungguh disertai penyerahan diri yang tulus ikhlas (bhakti) akan membuat orang menjadi sadar, perasaan orang menjadi halus dan suci serta dapat menghantarkan Atman (kekuatan Tuhan yang ada dalam diri setiap mahluk hidup) menjadi semakin dekat dengan Brahman, Sang Pencipta (Tuhan), dengan kidung suci akan dapat membentuk struktur rohani yaitu Atman akan menguasai budhi, kemudian budhi akan menguasai pikiran (manah) dan manah akan menguasai indriya, sehingga dapat melahirkan tingkah laku yang selalu terkontrol dengan baik, disamping akan mendorong orang lain untuk ikut berbuat baik.
Hal ini dijelaskan dalam Kakawin Ramayana I  bahwa musuh yang utama ada dalam diri yaitu nafsu, hal ini dijelaskan dalam Bhagavadgita bahwa ada 3 pintu gerbang  menuju kehancuran nafsu, kemarahan dan keserakahan.  Hal lain juga dijelaskan oleh Ramakrishna bahwa kehidupan ini adalah kumpulan orang yang mengejar kekayaan, nama baik, pangkat, sehingga mereka melupakan hakekat sejati dari dirinya.

C. Yajna pada jaman Kaliyuga
Seseorang yang mempunyai tingkat kearifan akan mempunyai nilai lebih tinggi dari pada kenikmatan akan keduniawian. Hal ini disadari karena keberadan kekayaan atau harta benda hanyalah sementara. Keadaan ini tertuang di dalam Bhagavadgita VII.16 disebutkan sebagai berikut :

catur-vidhā bhajante mām
janāh sukrtino ‘rjuna,
ārto jijñāsur arthārthī
jñānī ca bharatarsabha
Terjemahan :
Ada empat macam orang yang baik hati memuja pada-Ku, wahai Arjuna, yaitu mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar harta, dan yang berbudi, wahai arjuna (Gede Puja, 2005:193)

Keempat macam penyembah Tuhan itu dapat dijabarkan berdasarkan kualitas rohaninya. Ada yang kualitasnya masih sangat awal, ada yang sudah lebih maju dan ada juga pemuja Tuhan (bhanjate)  yang sudah berkualitas tinggi.  Seseorang yang dengan kesadarannya akan memuja Tuhan baik dalam keadaan sedih maupun senang. Seseorang yang menyelami keadaan dualisme dunia dan sudah melampaui sesungguhnya berada pada tataran yang menganggap bahwa dunia ini adalah antara untuk menuju kehidupan yang kekal bukan mengikatkan diri pada kepentingan dirinya sendiri, dan akan selalu berusaha untuk memberikan sumbangan kepada dunia yang lebih luas. 
Beryajna pada jaman kaliyuga tidak hanya kita memberikan dana punia (sedekah) saja melainkan dapat dilakukan dengan pengulangan nama suci Tuhan (namasmaranam). Akan tetapi, hal yang nyata pada jaman kaliyuga ini adalah melakukan ritual dengan cara yang sederhana dan dilaksanakan dengan tulus ikhlas. Serta dalam pelaksanannnya ada nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan misalnya; mengutamakan pendidikan untuk masa depan anak, menggunakan harta untuk hal-hal yang bermanfaat serta melakukan bentuk korban suci yang satwika.
Fenomena yang sangat nampak sekali dalam perkembangan abad ke-21 ini adalah kemajuan digital.  Banyak sekali dampak yang terjadi dalam lingkup kehidupan baik konteks budaya, agama, Bahasa, politik yang mengarah pada kehidupan spiritualitas sekuler. Dampak inilah yang menganggap bahwa adanya konsep cyberspace, seperti adanya kelengkapan computer, game online, online shop. Obsesi inilah yang melahirkan paham bahwa manusia merasa mampu menguasai dunia dan merealisasikan fantasinya tanpa batas (Piliang, 2006:512). Keadaan inilah yang menggiring orang pada ideology kapitalisme global yang justru menggiring manusia pada rasa ketidakpuasan yang tidak akan pernah berakhir, sehingga jauh dari spiritual sejati. Berita terbaru saat ini (detik.com, Desember 2018 dalam jurnal earth and science) dilansir bahwa Cina dan Rusia sedang membangun proyek satelit bulan buatan yang diprediksi 8 kali lebih terang dari bulan aslinya, kemudian menciptakan cuaca buatan bahkan logam mulia dari tembaga menjadi emas.    


Merujuk pada hal inilah hal yang harus dilakukan adalah ikutilah perubahan karena perubahan adalah inti dari kehidupan,  tentunya perubahan kearah kebaikan yang mampu menjadikan diri kita dan masyarakat luas lebih harmonis. Harus disadari bahwa sebanyak apapun teman kita, harta kita, tingginya pendidikan, jabatan yang akan meneruskan perjalanan selanjutnya adalah sang roh yang ada dalam badan kasar ini (Sivananda, 2003:291). Kita tidak boleh terlalu bangga dengan kedudukan kita sekarang, dalam falsafat jawa dikatakan pangkat wenang minggat lan banda bakal lungo (harta dan kekayaan pasti akan pergi), akan tetapi gunakanlah kehidupan ini sebaik mungkin karena dilahirkan menjadi makhluk berbadan manusia adalah sesuatu yang sangat sulit dalam Sarasamuccaya diibarakan seperti kilat yang ada di langit. Hal ini berarti keberadaannya sangat sulit dan harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Kehidupan manusia di era globalisasi saat ini penuh dengan tantangan yang sangat luar biasa. Hal yang harus dilakukan adalah membentengi diri kita dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melakukan trisandhya, berjapa, dan mengusahakan perbuatan baik. Pada kehidupan ini pula kita tidak dapat memisahkan antara hal yang material kemudian kita melupakan spiritual namun keduanya harus seiring. Oleh karena itulah, ini kewajiban kita sebagai manusia harus mampu mengenal diri kita sendiri karena upaya mengenal diri kita sendiri itulah hal yang sangat sulit. Namun disisi lain kesempatan menjadi manusia adalah suatu hal yang sangat istimewa karena dibekali dengan pikiran yang mampu membawa manusia kearah kesadaran yang sempurna.
Umat sedharma yang berbahagia.

D. Kesimpulan :
Berdasarkan uraian ini dapat kita maknai bahwa didalam pelaksanan upacara  yajna harus dilakukan dengan cinta kasih yang tulus dan jangan dilihat dari bentuk luarnya saja. Akan tetapi, harus difahami tentang makna dari pelaksanaan upacara yajna itu. Dari kenyataan itu bahwa Naciketa walaupun sebagai anak kecil dia merasa khawatir mengenai sifat dari persembahan itu. Dia merasa kurangnya pelaksanaan yajna itu yang bersifat lahiriah  tanpa disertai dengan pemaknaan secara rohani dari yajna tersebut. Karena pemujaan dan yajna merupakan penyerahan diri secara total dan bertujuan untuk menbawa pikiran dan keinginan manusia untuk menuju kedamaian alam semesta. Melalui pesan ini saya mengajak umat sedharma untuk memiliki sifat yaitu :  Jadilah sifat seperti pohon. Merupakan lambang keuniversalan sehingga kita tidak perlu untuk membeda-bedakan satu dengan yang lain, sehingga akan terwujud cinta kasih. Demikianlah pesan dharma ini saya sampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Om Santih, Santih, Santih Om
  
Daftar Referensi :

Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita.
Mustika, Made. (2002). Disfungsi pendidikan Hindu. Majalah Hindu Raditya. No 61 Agustus 2002.
Oka, Gedong. (1992). Menyelaraskan pola pendidikan tradisional Hindu dengan dinamika pembangunan. Surabaya : Team Pembina Kerohanian Hindu ITS
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.  
Poerbatjaraka, RMNg. 1983. Nitisastra Kakawin. Denpasar, Bali: Pemerintah Daerah           Tingkat I Bali.
Puja G, Sudharta Tjokordha Rai.2005. Manavadharmasastra (Veda Smerti). Surabaya: Penerbit Paramita.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Langkah Kehidupan "

Post a Comment