Oleh :
Untung
Suhardi
E-mail
: usuhardi@gmail.com
Dosen
Jurusan Penerangan dan Komunikasi Agama Hindu
di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
ABSTRCT
The
study is done in jakarta which in this case as the qualitative study by using
qualitative analysis of the descriptive with the approach fenomenalogis.The
problems a scientific writing this guidance the presence of the people who
conducted ideally happened to all components life of hindus in jakarta however
in practice it still looks that order to develop the struggle is still very
much limited on the particular ethnic and has not embracing all of the
components in managerial hindu guidance of the parishioners.The result of this
research is a form of implementation dharma duta in jakarta done with the
conventional one and had already commenced with modern ways applied in a
surgical book, the seminar and workshop.Then in preparing dharma pracharaka own
parisada in cooperation with the hindu consultan in jakarta determine a person
were willing and capable of being determined based on the intensity in the
conduct of direct assistance to hindus in jakarta. The implications of the
implementation of dharma duta for hindus in jakarta many people with very
enthusiastic welcome well the existence of dharma duta this and efforts to the
figures of which there are luminance areas in jakarta to do the regeneration of
a younger to a pattern of development by this may run on a sustainable
basis.New paradigm in an effort to develop training of done a renewed effort to
improve coordination with institution hindus other, benefit from the
development of science and was technology and optimize group guide which so far
has been formed.This effort was done as capital into the power of hindu in the
present and future by the presence of connected of each institution that exist
in jakarta either the government or private organizations. It is time now
parisada city is based on the interest of all ethnic and adopt local genius
that is as treasures culture in which there are values that can be actualized
hindu teaching in life .
Keywords : Dharma duta, guidance, parisada
and dki Jakarta
1. Latar Belakang
Perkembangan Hindu setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami
kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud
Gianyar, Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga
Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pinandita tahun 1949 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23
Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23
Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuhan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Kemudian pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan MahasabhaHindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama ParisadaHindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama ParisadaHindu Bali, yang selanjutnya menjadi ParisadaHindu
Dharma Indonesia[1].
Banyak
media atau multimedia sistem tersebut oleh ParisadaHindu Dharma Indonesia Pusat dalam
Pesamuhan Agung tahun 1990 telah ditetapkan menjadi enam jenis[2],
yaitu: Dharma Wacana, Dharma Gìtà,
Dharma Tulà,
Dharma Sàdhana,
dan Dharma Yàtrà.
Dharma Yatra sangat dekat
maknanya dengan istilah Tìrtha Yàtrà,
dalam hal tertentu terdapat persamaan makna dari kedua istilah
tersebut.Informasi tentang penyelenggaraan Dharma Wacana sudah berlangsung
sejak zaman Veda. Para Rsi diundang oleh para raja untuk menyampaikan ajaran
Agama Hindu. Informasi ini semakin jelas dalam kitab-kitab Itihàsa, khususnya Ràmàyana dan
Mahàbhàrata. Demikian pula pada susastra Hindu yang
muncul belakangan, baik dalam media Bahasa Sanskerta maupun Jawa Kuno.
Merujuk dari data tentang pelaksanaan ritual ajaran Hindu yang merupakan tertua didunia,
akan tetapi melihat keadaan nyata dewasa ini masih banyak umat Hindu yang sejak
kecil sampai dewasa masih banyak umat Hindu
yang belum mengerti betul tentang ajaran Hindu karena praktik keagamaan lebih
menitikberatkan pada upacara keagamaan dari pada pemahaman secara filsafatnya.
Dari uraian ini mengindikasikan ada beberapa kemungkinan bahwa pelaksanaan Hindu
sangatlah sulit, hal ini tentunya bertentangan dengan Yajur Veda XXVI: 2 yang menjelaskan bahwa Hindu harus
disebarluaskan termasuk orang asing sekalipun, dalam hal ini adanya sebuah
batasan bahwa yang dilakukan Hindu bukan mengagamakan orang yang sudah beragama
akan tetapi, memberikan kedamaian dan bekal kebahagiaan untuk seluruh alam
semesta[3].
Terkait dengan hal tersebut, bahwa perlunya
seorang dharma duta[4]
yang mampu untuk memberikan arahan dan petunjuk dalam penyiaran agama Hindu. Dalam hal ini pada Kementrian Agama sudah ada pedoman tentang
penyiaran agama Hindu akan tetapi penyiaran tentang dharma duta ini belum
merata dilakukan di lapangan oleh karena itu perlu adanya pengkajian untuk
mengaktifkan kembali tentang peran serta
dharma duta itu dalam proses pembinaan umat. Seperti halnya pembinaan umat yang
dilakukan dalam proses pengembangan dan pengamalan ajaran agama Hindu di DKI
Jakarta yang dalam hal ini sudah ada proses pembinaan dengan yang dilakukan
pada pengalaman dan pengajaran pembinaan umat melalui dharma wacana yang
dilakukan di Pura baik itu purnama, tilem maupun pada hari suci lainnya.
Berkaitan dengan momentum hari-hari raya Hindu
maupun hari-hari tertentu, akan menjadi waktu yang tepat untuk melaksanakan
dharma wacana; misalnya saat Pujawali di Pura, persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura, persembahyangan saat hari raya,
seperti Galungan dan Kuningan. Saraswati dan Pagerwesi. Panitia
biasanya mengundang dharma duta untuk menyampaikan dharma wacana, dari
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Kementerian Agama Republik Indonesia
atau dari lembaga Parisada, baik dari Parisada Pusat
maupun Parisada DKI Jakarta. Umumnya, selain dari kedua lembaga tersebut, juga
mengundang tokoh-tokoh umat Hindu yang cukup memadai secara kemampuan.
Idealnya, yang memiliki otoritas dan bertanggung jawab untuk melakukan
pembinaan umat adalah lembaga Parisada dan Direktorat Jenderal Bimas Hindu Kemenag
RI, tetapi kurangnya SDM yang benar-benar mampu mewacanakan dharma memang
menjadi kendala. Walaupun Pembimas Hindu DKI Jakarta telah mencoba untuk
mengangkat penyuluh non PNS yang berperan sebagai dharma duta, untuk kurun waktu tertentu,
dengan harapan proses pembinaan umat dapat berkesinambungan; namun upaya ini
hasilnya belum kelihatan. Masih banyak umat yang membutuhkan kehadiran dharma
duta yang mampu memberikan pencerahan sehingga śraddhā mereka
akan terus berkembang. Contohnya, sampai sekarang umat Hindu etnis Tionghoa[5]
belum merasakan pembinaan yang memadai.
Masyarakat Hindu yang seperti
ini melaksanakan keHinduan dalam kesendirian. Mereka tidak menikmati dan belum
tentu merasa nyaman sebagai umat Hindu. Mereka menjadi pemeluk Hindu, tanpa
mendapat bimbingan yang tepat. Akhirnya, kemudian bisa saja mereka mengambil
jalan pintas, dengan ”keterpaksaan” mereka akhirnya meninggalkan Hindu.
Kondisi-kondisi seperti ini mengkhawatirkan. Memang tidak salah, apabila hanya
mengandalkan dua lembaga di atas untuk
melakukan pembinaan atau mencetak dharma duta – dharma duta, maka jelas
pembinaan umat akan tersendat. Akibatnya, program-program yang dihasilkan oleh Parisada
Pusat melalui Mahasabha maupun Pesamuhan Agung tidak tersosialisasikan dengan baik, dan tidak
sesuai harapan.
Parisada Pusat sendiri mempunyai Lembaga Dharma Duta dengan skala nasional yang berada di
Bali. Dan sejauh ini, lembaga ini terkesan belum efektif karena sentuhannya
belum dirasakan oleh umat Hindu, yang khususnya berada di luar wilayah Bali.
Untuk di wilayah provinsi DKI Jakarta, Lembaga Dharma Duta memang tidak ada,
sementara tugas-tugas pembinaan umat ditangani dalam Bidang Keagamaan. Menjadi
menarik, karena Parisada DKI mengeluarkan instruksi kepada setiap Parisada
Wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur) untuk wajib menyampaikan dharma wacana, minimal untuk di wilayah
masing-masing. Tentu ini sebuah keputusan yang memberikan harapan, dan patut
diacungi jempol, karena akan “memaksa” para pengurus Parisada Wilayah untuk
bekerja keras dan berani tampil dengan menyampaikan materi-materinya terkait
dengan ajaran Hindu, yang relevan dengan gejolak kehidupan saat ini.
Di wilayah provinsi DKI Jakarta ini, masyarakat Hindu tidak hanya
berasal etnis Bali, tetapi juga ada dari Jawa, ada etnis Tionghoa dan India.
Sehingga dharma duta nya paling tidak memahami dan bermodalkan
pengetahuan yang terkait dengan eksistensi mereka. Untuk semua ini memang
akhirnya diperlukan sebuah penataan sebagai upaya untuk mengelola atau memanage semua potensi yang yang ada untuk
mencetak dharma duta yang kompeten yang bermuara kepada peningkatan śraddhā; yang sejauh ini belum
terlihat hasilnya. Dengan mempertimbangkan fenomena yang terjadi terkait dengan
peran dharma duta dalam membina umat, khususnya dengan pola
dharma wacana dan dharma tula, maka diperlukan sistem pengelolaan yang memadai,
sumber SDM dan pelatihan yang menjadi
bekal mereka untuk menjadi seorang dharma duta yang mampu menjalankan perannya
(karmanya)[6].
Sehingga, kebutuhan umat berupa pencerahan jiwa dan juga meningkatkan pengetahuan serta
wawasan keHinduan, yang bermuara kepada peningkatan sraddha umat Hindu.
Gambaran kondisi berdasarkan data dan informasi tersebut di atas, menjadi daya tarik bagi
penulis untuk meneliti dan mencari solusi dari kendala-kendala yang ada melalui
penelitian yang nantinya dapat berguna bagi Hindu kedepan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka ada beberapa pokok permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakah
bentuk pelaksanaan Dharma Duta di DKI Jakarta ?
2. Bagaimanakah
implikasi dari pelaksanaan Dharma duta bagi umat Hindu di DKI Jakarta ?
3. Bagaimanakah
paradigma baru dalam upaya mengembangkan pembinaan umat
untuk meningkatkan sraddhā bagi umat Hindu
di DKI Jakarta?
3. Tujuan dan manfaat Penulisan
Bertolak
dari rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan Dharma Duta di DKI Jakarta
- Untuk mengetahui dampak atau implikasi pelaksanaan Dharma duta bagi umat Hindu di DKI Jakarta
- Untuk mengetahui paradigma baru dalam upaya mengembangkan pembinaan umat untuk meningkatkan śraddhā bagi umat Hindu di DKI Jakarta.
Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan budaya dan studi tentang agama Hindu
sebagai studi yang sifatnya multi dan interdisipliner.Manfaat
praktis lainnya adalah diharapkan data atau informasi yang diungkapkan dapat digunakan sebagai
pedoman bagi yang berkiprah dalam dunia pendidikan. Sehinggga hasil penelitian
ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan
ajaran agama Hindu, serta memberikan pemahaman tentang pentingnya pelaksanaan
dharma duta DKI Jakarta. Hal
ini Kementerian Agama RI memberikan fasilitas kepada umat Hindu dalam melakukan
penyiaran agama Hindu yang dilakukan dengan dharma duta dan jika memungkinkan adalah dengan melalui
media seni dan media berbasis tekhnologi informasi.
4. Metodologi Penelitian
Penelitian yang dilakukan
termasuk dalam penelitian kualitatif yang bekerja dalam setting yang alami untuk
berupaya memahami, memberi tafsiran
terhadap fenomena yang dilihat[7].
Oleh karena itu dari sudut sifat penelitian merupakan penelitian eksploratoris(explorative research) yang dalam hal
ini sifatnya adalah penjajakan yang dalam penemuan data masih sangat dasar
sekali. Bertujuan untuk mengamati pelaksanaan dharma duta di DKI Jakarta. Adapun data primer yang
didapat melalui observasi partisipatif dan wawancara. Observasi dilakukan
untuk mengetahui langsung tentang kondisi yang terjadi[8]
dan tentunya hal terkait dengan kegiatan penyuluhan agama Hindu yang ada di DKI
Jakarta. Wawancara yang dilakukan sebagai strategi utama dalam
pengumpulan data dan penunjang teknik lain dalam pengumpulan data seperti
observasi,
dokumen dan fotografi[9].
Penelitian ini menggunakan wawancara tidak berstruktur berencana dan bersifat
terbuka yang artinya dilakukan dengan menyusun daftar pertanyaan dan ditanyakan
langsung kepada informan yang telah ditentukan dan informan diberikan kebebasan
untuk berbicara secara luas dan mendalam. Penentuan informan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik Snowballing Sampling[10]. Snowballing sampling yaitu dengan cara
menentukan informan yang semula jumlahnya sedikit kemudian informan bertambah. Informan
ditentukan dari rohaniawan, tokoh agama dan cendikiawan.
Data skunder ini merupakan
sumber yang tidak langsung namun, bisa memberikan data kepada pengumpulan data,
misalnya yang berasal dari kepustakaan, artikel, majalah, skripsi, tesis,
disertasi, jurnal dan dokumen lain yang merupakan hasil penelitian atau
buku-buku yang relevan dengan penelitian. Dengan demikian, setelah semua data
terkumpul maka dilakukan edit data dengan melengkapi data serta menyusunnya
dengan cara mengklasifikasi menurut bab atau subbab dan bagian uraiannya yang
dalam hal ini perlu adanya koding dengan
memberikan nomor atau huruf untuk memudahkan analisa data.
Berdasarkan uraian tersebut
diatas penyajian data dilakukan dalam bentuk deskriptif yaitu data diuraikan
dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk suatu pengertian berhubungan dengan
masalah yang diteliti sesuai kaidah akademik.
Disajikan secara sistematis dan
teratur yang memuat interelasi
relevansi fakta dengan lengkap dalam
area permasalahan dan disimpulkan
menurut ruang lingkup generalisasi sesuai dengan justifikasi data yang
telah disajikan.
5. Pembahasan
5.1 Letak
Geografi dan Keadaan Umat Hindu di DKI Jakarta
Jakarta
terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas
permukaan laut, terletak pada posisi 6°12′ Lintang Selatan dan 106°48′ Bujur
Timur. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah
Provinsi DKI Jakarta adalah 7.659,02 km2, terdiri dari daratan
seluas 661,52 km2, termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu, dan
lautan seluas 6.997,50 km2. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5
wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta
Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2,
Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas
145,73 km2 dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2
serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.
Kondisi geografis yang terdiri dari daratan dan kepualauan seperti ini membuat
Propinsi DKI Jakarta menjadi daerah yang unik.
Pada tahun 1596 untuk
pertama kalinya Bandar Jakarta didatangi empat kapal Belanda yang melakukan
aktivitasnya melalui perdagangan. Kedatangan kapal-kapal tersebut mendapatkan
berbagai macam bentuk tantangan dari berbagai pihak khususnya dari Pangeran
Hasanuddin putra Raden Fatahilah yang pada saat itu berkuasa
di daerah Banten. Kekhawatiran itu diungkapkan dengan adanya kerja sama dengan
Belanda yang dapat merusak dan juga dapat mempengaruhi budaya penduduk yang
beragama Islam. Meskipun banyak tantangan akhirnya Belanda berhasil juga secara
paksa untuk mendirikan sebuah banteng di sekitar teluk Jakarta yang kemudian
diberi nama Batavia. Benteng ini kemudian didirikan pada tanggal 20 Maret 1602
oleh Van Raay dan menjadikan tempat tersebut sebagai pusat persekutuan dagang VOC
untuk di wilayah India timur. Kata Batavia lebih dikenal secara internasional,
sedangkan penduduk aslinya lebih menamainya dengan sebutan Betawi.
Kejadian ini
berlangsung sampai pada tahun 1942 ketika itu kota Betawi jatuh ketangan
tentara Jepang pada tanggal 5 Maret 1942 Untuk kepentingan kekuatan
penduduknya, Jepang mengeluarkan sebuah undang-undang nomor 42 tahun 1942
tentang perubahan tata pemerintahan daerah yang
disebut dengan “Syuu”(Kerasidenan)
yang dibagi kedalam beberapa “Shi” (Staad-Gemeente). Sehingga sampai pada
saat proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Jakarta merupakan
satu-satunya “Tokubetsu Shi” di Jakarta yang kemudian diganti dengan Pemerintahan Nasional Kota
Jakartasampai pada tanggal 21 Nopember 1945, sampai diadakannya pemilihan
pemerintahan Kotapraja Jakarta. Hasil pemilihan tersebut kemudian disahkan
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri RIS Nomor BJ.3/4/13/1950 pada tanggal 15
Maret 1950[11].
Awal abad XVII tepatnya
tahun 1527 daerah ini mulai dikenal dengan nama “Gemeente” dan “Stad Gemeente
Batavia” kemudian berubah menjadi “Jakarta
Tokubetsu Shi” pada jaman pendudukan Jepang sampai Indonesia merdeka yang
sekarang lebih dikenal dengan sebutan “Kota
Metropolitan Jakarta”. Awal abad XIV di daerah Jawa Barat yang terletak di
dekat kota Bogor sekarang, berdiri sebuah kerajaan bernama Pajajaran yang
diperintah oleh Sri Baduga Maharaja. Di muara Kali
Ciliwung yang menjadi batas sebelah
Utara kerajaan Pajajaran terdapat sebuah Bandar bernama Sunda Kelapa yang pada
waktu itu berfungsi sebagai kota perdagangan. Seperti diketahui pada masa itu
seluruh perdagangan di semenanjung Malaka dikuasai oleh bangsa Portugis yang
selalu mengembangkan kegiatan perdagangannya di Asia Tenggara.
Pergantian
pejabat Wali Kota dari Mr. Sastro Mulyono kepada Suwiryo tanggal 31 Maret 1950
dan sekaligus penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Gubernur Distrik Federal (Gubernur Batavia en Ommelanden) kepada
Wali Kota ditambah daerah baru yang meliputi : Kepulauan Seribu, onderdistrik
Cengkareng, sebagian Onderdistrik Kebayoran dan Kebon Jeruk, Kebayoran Ilir,
Kebayoran Udik serta sebagian dari Onderdistrik Bekasi (Pulo Gadung dan
Cilincing). Pemerintahan Kotapraja ini diatur dalam Undang Undang Pemerintahan
Daerah RIS tanggal 13 Maret 1950 dengan nama “Undang Undang Pemerintahan
Jakarta Raya” yang tunduk pada suatu rangkaian peraturan mengenai Aparatur
Pemerintahan sesuai Keputusan Presiden RIS Nomor : 114 dan 125 tahun 1950,
serta mengenai nama dan statusnya dengan Undang Undang Darurat nomor : 20 tahun
1950 Jo. Undang Undang Nomor : 22 tahun1948 dengan status berkedudukan
setingkat dengan Gubernur Provinsi lainnya di Wilayah Indonesia[12].
Sebelum tahun 1955 Umat Hindu di DKI Jakarta dan sekitarnya sudah
sangat eksis yang dikoordinir oleh lembaga keumatan atau Paguyuban Hindu yang
bernama SUKA DUKA HINDU BALI (SDHB).
Berdasarkan tulisan salah satu tokoh umat yang berperan langsung dalam
pembangunan di DKI Jakarta adalah Bapak I Gusti Ngurah Mandra, S,H (almarhum)
tahun 1993 mengatakan bahwa perkumpulan umat Hindu Bali yang disebut Suka DukaHindu Bali (SDHB), telah ada di Jakarta sebelum tahun 1955 dengan pengurusnya
Bapak Lingga, dan kegiatannya dilakukan di Asrama Polisi Brigade Mobil KOMPI
5124, Cideng Barat. Umat Hindu yang ada di Jakarta hampir keseluruhannya berasal dari
Bali, disamping terdapat etnis lain yang berkeyakinan sama. Agama Hindu berasal
dari India dan berkembang sampai ke Indonesia dan dianut sebagai keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejak abad IV Masehi. Dimana pada masa runtuhnya
kejayaan kerajaan Majapahit, penganut agama Hindu hampir hanya di wilayah Bali.
Dan semenjak Indonesia merdeka umat Hindu tersebar diseluruh wilayah DKI
Jakarta, yang diwadahi oleh badan yang bernama BanjarSuka DukaHindu Dharma (SDHD). Banjar inilah yang membawahi badan yang bernama Tempek-tempek. Menurut sumber Bimas Hindu DKI
Jakarta dari tahun 2009 – 2010 berjumlah 4989 ribu jiwa. Kemudian pada
tahun 2013 jumlah umat Hindu yang ada di DKI Jakarta bertambah menjadi 140.456 jiwa[13].
Kenyataan yang kita hadapi dalam keadaan masyarakat kita sekarang
ini, banyak kegiatan-kegiatan keagamaan atau ritual-ritual keagamaan yang sudah semakin berkurang
dari waktu ke waktu, baik itu disebabkan oleh faktor kelompok, ataupun faktor
individu masing-masing. Sehingga berkurang pula interaksi sosial antar warga masyarakat.
Hal ini juga terjadi di DKI Jakarta yang didalamnya banyak terjadi serangkaian
kegiatan sosial yang meliputi ; bhakti sosial, pendidikan, arisan, tarian dan
kegiatan perekomomian disamping itu ada kegiatan keagamaan yang meliputi ;
persembahyangan serta ritual agama Hindu yang dalam pelaksanannya dilakukan
pembinaan mental umat berupa pencerahan rohani yang diisi dengan dharma wacana
dan dharma tula.
5.2
Bentuk Dharma Duta di DKI Jakarta
Keadaan
ini terkait dengan pelaksanaan tentang dharma duta yang telah dilaksanakan di DKI Jakarta
merupakan pengembangan dan pemerataan penyuluhan agama. Hal yang paling penting
dari pelaksanaan penyiaran agama Hindu adalah tentang pola pengembangan
tentang kualitas dari pendharma wacana (dharma
duta) yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dari suatu
masyarakat tertentu. Keterlibatan para pendharma pracaraka yang telah ikut andil dalam proses pelaksanaan
ini merupakan langkah awal dalam pembentukan identitas dari umat Hindu yang ada di DKI Jakarta
tentang pelaksanaan dari penyiaran Hindu. Penjelasan tentang pemahaman
komunikasi yang menjadi hal dasar dalam agama Hindu
adalah tentang konsep tri kaya parisudha.
Jika hal ini dikaitkan dengan praktik sehari-hari dalam pembinaan umat adalah
wacika yang diartikan sebagai berbicara yang benar
melalui sabda atau berbicara yang berawal dari idep (pikiran) berisi
pengetahuan sehingga tutur kata yang terjalin dengan baik[14].
Dasar kemampuan pembinaan ini sebagai modal
kapital[15] yang oleh pemikiran Bourdieu bahwa
memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup dengan
memanfaatkan modal kapital. Ada banyak jenis kapital,
seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan
kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Kapital dapat diperoleh, jika
orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Habitus membaca,
menulis, dan berdiskusi akan menghasilkan kapital intelektual dan kapital
budaya. Ditambahkan dalam pemikiran Bourdieu tentang adanya ranah sebagai ruang
sosial dalam mengintegrasikan modal dan habitus.
Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu
akan lebih mampu untuk melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah stuktur
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal[16].
Kemudian, ketika serangkaian kegiatan interaksi
sosial ini menjadi ranah untuk mewujudkan hubungan sosial dalam masyarakat di
DKI Jakarta. Jadi, dalam hal ini pembiasaan untuk mempelajari dan melakukan
pembinaan sebagai habitus yang
dibangun oleh para dharma pracaharaka.
Kemudian modal intelektual, ekonomi dan mental sebagai kapital dan
interaksi sebagai ranah dalam
melakukan interaksi dan pembinaan kepada umat Hindu. Hal inilah sebagai dasar
wujud perubahan dalam hal pembinaan kepada umat Hindu yang ada di DKI Jakarta
dengan merubah kebiasaan untuk selalu memperdalam ajaran agama yang tidak hanya
kewajiban para Dharma Pracharakamelainkan
juga sebagai kewajiban semua umat Hindu khususnya di DKI Jakarta.
Untuk itulah,
model penyampaian yang dilakukan jika melihat tatanan pemikiran Hymes adalah dengan memperhatikan metode Speaking. Hal ini terdiri dari
tempat ketika melakukan pembinaan, audience
yang dihadapi, tujuan yang diharapkan,
penggunaan bahasa, media yang
digunakan untuk melakukan komunikasi dan jenis pemaparan yang digunakan. Hal utama
yang dihadapi ketika dharma pracaharaka ada dihadapan audience adalah orang-orang
yang dihadapi yang dalam hal ini terjadi
heterogenitas secara komplek baik itu umur, tingkat pendidikan, ekonomi dan hal
lain dalam proses interaksi sosial. Kemudian, gaya bahasa atau key yang digunakan harus bersifat umum
karena ada dihadapan umat dalam proses dharma tula maupun dharma wacana.
Selanjutnya, media yang digunakan baik itu microphone maupun pakaian bagi pembicara. Selain dari pada itu, hal
utama yang harus diketengahkan dalam proses ini adalah pembicara mampu
menyentuh perasaan audience dalam melakukan proses pembinaan ini, jangan
hanya menyampaikan dan survive di
depan podium. Hal yang sama juga dihadapi ketika melakukan dharma gita yang lebih menekankan pada aspek bahasa (key), dharma sadhana menekankan pada peserta, end atau tujuan dan setting
atau tempat yang digunakan. Kemudian, untuk dharma
santih menekankan pada aspek setting,
participan karena inti kegiatannya
adalah melakukan simakrama (ramah tamah) dan dharma yatra menekankan pada setting
dan end, serta participan karena disini adalah untuk melakukan kunjungan pada
tempat-tempat suci yang ada. Jadi, dalam rangkaian pembinaan secara
konvensional dibutuhkan alur proses yang ditidak dapat lepas dari tempat,
peserta, tujuan pelaksanaan, tindakan atau sikap, gaya bahasa, media yang
digunakan dan gaya penyampaian. Modal strategi ini sebenarnya telah menjadi
kapital secara
intelektual yang dapat diterapkan di lapangan dalam proses
pembinaan umat yang ada di wilayah DKI
Jakarta.
Modal yang besar dalam pembinaan umat Hindu di era modern ini adalah dengan memanfaatkan IPTEK. Untuk
itulah, banyak perguruan tinggi, sekolah dan bahkan pasraman sudah menggunakan
layanan online. Hal ini diperlukan karena untuk menghadapai dan mengikuti
aliran dinamika jaman yang terus berjalan. Oleh karena itulah,
inovasi baru yang dihadirkan untuk melakukan pembinaan umat sangat perlu untuk
dilakukan. Inovasi ini sebagai modal intelektual yang kemudian berkembang menjadi modal sosial
dalam kaitannya pembinaan umat yang ada di DKI Jakarta. Hal ini juga dijelaskan
oleh Hymestentang tempat ketika
melakukan pembinaan, audience yang dihadapi, tujuan yang diharapkan,
penggunaan bahasa, media yang
digunakan untuk melakukan komunikasi dan jenis pemaparan yang digunakan
5.3
Implikasi Dharma duta bagi Umat Hindu di DKI Jakarta
Untuk itulah, peranan yang vital tentang keberadaan Dharma Pracharaka ini sebagai wahana
untuk mengembangkan pola yang terjalin dengan sangat struktural dan melibatkan
segala komponen dalam kehidupan. Sehingga mengacu pada paparan yang tersebut
menunjukan bahwa harapan yang sangat besar
ketika para Dharma Pracharaka ini menunjukan
kualitasnya yang sangat baik sebagai pelayan umat untuk memberikan kesadaran yang
baik kepada umat tentang pentingnya meningkatkan kualitas diri umat dan
bertanggungjawab secara individu. Selain itu, untuk menunjang pembinaan ini
bagi umat selain untuk memperdalam ajaran agama secara mandiri juga membutuhkan
arahan yang dalam hal ini adalah peran penyuluh agama
itu sendiri sebagai modal kapital dan
sosial dalam kehidupan keagamaan dengan adanya pengarahan yang berkala dari
pembimas DKI Jakarta dan PHDI DKI Jakarta sebagai lembaga keagamaan Hindu
tertinggi di Jakarta. Tentunya peran lembaga ini menjadi titik tolak dan peran
vital dalam upaya pembinaan umat yang penuh dengan tantangan dalam menghadapi
arus globalisasi yang dihadapi dalam segala lini kehidupan.
Kapital bukanlah sesuatu yang mati, melainkan
hidup dan bisa diubah. Karena memiliki kapital intelektual (pendidikan), orang bisa bekerja sebagai
pendidik, dan memiliki uang (kapital ekonomi) untuk hidup. Kapital intelektual
juga bisa diubah menjadi kapital budaya (jaringan yang banyak), sehingga bisa
memperkaya kapital intelektual itu sendiri. Kapital ekonomi juga bisa diubah,
misalnya dengan investasi, sehingga menghasilkan kapital ekonomi dan kapital
budaya yang lebih besar. Dengan demikian, sikap antusias dan sikap positif ini
menjadi hal yang harus dikembangkan sebagai wujud dukungan untuk menciptakan
iklim yang kondusif dalam upaya pembinaan umat yang merata dan bertahap dalam
segala lini kehidupan.
Proses pembinaan ini
menjadi modal yang seharusnya menjadi media dalam proses pembinaan umat Hindu yang ada di
DKI Jakarta. Untuk itulah, lingkup integrasi antar lembaga yang dibutuhkan saat ini untuk
menciptakan iklim pembinaan yang kondusif. Penciptaan iklim ini tentunya dibarengi dengan dukungan yang
berupa dukungan mental, spiritual dan yang lebih penting adalah dukungan
material. Melanjutkan pada pembahasan tentang pembinaan ini tentunya tidak
hanya dilakukan oleh lembaga negeri maupun swasta melainkan keduanya harus
bersinergi. Hal awal yang harus dilakukan misalnya dengan mendata umat yang ada
di lembaga negeri maupun swasta untuk dimasukan kedalam database pembimas Hindu DKI Jakarta, kemudian menjalin
kerjasama antar lembaga baik itu Parisada dengan lembaga binroh yang ada.
5.4
Paradigma baru pembinaan Umat Hindu di DKI Jakarta
Pengembangan
yang dilakukan oleh PHDI sebagai lembaga tertinggi agama Hindu memiliki peranan
yang sangat penting. Tentunya untuk mencapai tujuan yang jelas tentang
cita-cita luhur dari umat Hindu ini membutuhkan peran nyata dalam kehidupan
yang selalu membutuhkan ilmu manajemen dan administrasi. Hal ini terlihat pada
perkembangan umat Hindu sekarang in seolah-olah masih menggunakan administrasi
tradisional dengan perpusat pada pimpinan tertinggi. Keberadaan ilmu
administrasi ini diperlukan untuk berkerja secara efisien dan efektif dengan
memfungsikan aktifitas pemikiran dari pada dengan tenaga atau otot[17].
Menyimak keberadaan lembaga umat Hindu yang ada di Indonesia untuk saat ini
masih dalam tataran berkembang. Hal ini dapat kita lihat pada PHDI beserta
dengan jajaran organisasinya, seperti ; WHDI,
Peradah, ICHI, KMHDI,
Majapahid, Prajaniti dan PSN yang semuanya ini memiliki peran
penting dalam tugas pokok membina umat Hindu secara universal. Agama Hindu
dewasa ini sudah memberikan peranan yang vital untuk membangun peradaban umat
Hindu yang terus berjalan dalam wujud nyata melalui pembentukan lembaga Hindu
seperti yang tersebut diatas[18].
Kesadaran umat yang sudah terbentuk melalui pembinaan ini tentunya
membutuhkan penghidupan dan kehidupan yang diperoleh dengan upaya pemberdayaan
ekonomi yang berbasis agama Hindu. Usaha ini tidak dapat dikerjakan oleh
Parisada sendiri melainkan harus ada
andil dengan lembaga pemerintah dan swasta yang terkait untuk mencetuskan dan
mengembangkan usaha pemberdayaan ekonomi umat dalam wujud koperasi, lapangan
pekerjaan sesuai dengan kualifikasi pendidikan maupun bidang wirausaha lainnya.
Ketika semuanya sudah terpenuhi semuanya maka aktualisasi diri dalam wujud
kesenian dan tekhnologi ini
dapat terwujud dengan baik yang pada puncaknya sebagai upaya untuk melayani
umat Hindu yang ada di DKI Jakarta tanpa membedakan suku, asal, ras dari
keberadaan umat Hindu di DKI Jakarta.
Keterjalinan dan saling menunculkan budaya yang ada dalam setiap
etnis yang beragama Hindu merupakan sebagai kapital budaya
untuk mengangkat dan membuktikan bahwa Hindu adalah pluralis. Dengan demikian
pengakuan Hindu atas segala yang menjadi modal ini harus dikembangkan sebagai
suatu bagian yang sebenarnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Seiring
dengan pemikiran Hindu yang menyelaraskan ajarannya dengan budaya setempat yang
dalam hal ini sebagai kekuatan pemertahanan identitas agama
Hindu yang dibangun di atas pondasi keyakinan umat Hindu yang berasal dari
berbagai etnis di Nusantara[19].
Oleh karena itulah hal yang dilakukan untuk mempertahankan ini dengan wujud
mengikuti dinamika budaya
yang ada. Strategi inilah
yang sudah digunakan ketika para sunan yang dikenal wali songo telah mengadopsi budaya lokal untuk mengembangkan Islam di
jawa pada masa kerajaan Majapahit berkuasa[20].
Pola pemahaman inilah yang harusnya menjadi senjata yang digunakan untuk
penentuan kebijakan dalam upaya untuk pembinaan umat khusunya di DKI Jakarta.
Pembentukan
kelompok binaan ini dapat dimulai dari keluarga sebagai lingkup yang sangat
sederhana kemudian pada lingkungan Pura atau tempek dengan selalu menjalin
interksi pada setiap umat yang ada di sana. Keterjalinan komunikasi ini lambat laun akan meningkat dengan
sendirinya melalui kegiatan seperti dana punia, dana sosial serta kebutuhan
keumatan lainnya. Kesadaran inilah yang harusnya dibangun sejak dini untuk
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pembinaan yang dimulai dari
individu. Kelompok binaan ini sebenarnya sudah ada penentuan kader untuk
melakukan pembinaan selanjutnya ketika seniornya sudah harus diganti, sehingga
kelompok binaan ini harus dioptimalkan sebagai
modal mental dan intelektual yang harus ditingkatkan.
Menyimak
dari uraian ini menunjukan bahwa seiring dengan perubahan budaya dewasa ini
menuntut strategi pembinaan ini diubah menyesuaikan dengan dinamika jaman
yang terjadi. Untuk itulah, jika bersandar dari pemikiran Bourdiau bahwa untuk
mengiringi perubahan sosial ini hal yang pertama dibangun adalah habitus yang
kemudian akan memunculkan kapital yang
ada. Sehingga dalam hal ini yang dilakukan adalah pembinaan ini harus
berorientasi pada koordinasi dengan lembaga adat yang ada dalam masing-masing
banjar di Jakarta, peran pendidikan dari tingkat usia dini sampai perguruan
tinggi.
Selain
itu adanya kesenian sebagai media pembinaan dalam wujud
kelompok geguntangan, sekha gong dan kelompok tari yang
didalamnya banyak diberikan pembinaan tentang cara melestarikan dan menjaganya.
Kemudian peranan tekhnologi yang
cepat sebagai media komunikasi yang
tentunya menggunakan bahasa yang tidak hanya untuk interaksi antarmanusia
melainkan sebagai media penyampaian pesan dalam wujud nilai-nilai keagamaan.
Berkaitan dengan uraian ini menunjukan bahwa untuk mengembangkan
dan mempertahankan serta hal yang paling penting adalah untuk melestarikan
ajaran Hindu. Hal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan revitalisasi
majamenen yang baik yang sangat bergantung dari peran pemimpin dan pengurus
yang terlibat langsung di dalamnya. Revitalisasi ini kemudian akan mewujudkan
implementasi strategis dari lembaga Hindu itu sendiri, dalam pemahaman pemikiran Robson
(1997: 68) ada 3 hal yang harus dimiliki oleh suatu organisasi, yaitu; sumberdaya yang
diperlukan, perubahan stuktur organisasi dan sistem serta satuan kerja yang
diperlukan[21].
Lebih lanjut dalam pemikiran Robbson mengklasifikasikan gaya manajemen yang
dipilih untuk menjalankan sistem dalam organisasi yang terdiri dari manajamen ilmiah,
human relation dan analisis stuktural, dengan mengutip
Robbbson (1997: 74) dalam membandingkan teknik dalam paradigma manajemen yang terdiri dari :
Tabel
7.1 Sifat dan Teknik Paradigma Organisasi
Manajemen Ilmiah
|
Human Relation
|
Analisis Stuktural
|
|
Relasi sosial utama
|
Otoritas (formal)
|
Kepemimpinan dan
partisipasi (informal)
|
Formal dan informal
|
Asumsi rasionalitas
|
Semua aktor dapat
bertindak rasional
|
Semua aktor secara
emosional bergantung,
namun pimpinan memiliki keterampilan yang lebih tinggi
|
Semua aktor dibatasi secra
rasional
|
Pandangan pekerja
|
Secara membuta diarahkan
kepentingan pribadi
|
Didorong oleh emosi,
kebutuhan dan norma psikologis
|
Dapat menyesuaikan diri
berperilakuk berdasarkan siatuasi struktural.
|
Agenda sosial dan
intelektual
|
Modernisme, manusia
menguasai alam
|
Nostalgia, romantis dan
harmoni sosial
|
Disiplin, membela sistem
kebebasan berusaha.
|
Distribusi tugas
|
Konsepsi tugas dan
pelaksanannya terpisah, pembagian kerja diantara para pekerja, spesialisasi
|
Rotasi, pengayaan dan
perluasan tugas
|
Diferensiasi dan integrasi fungsi.
|
Struktur otoritas
|
Hierarki manajerial
sederhana
|
Hierarki kebawah, menekankan
pada kepemimpinan dan komunikasi
|
Hierarki kompleks,
struktur staf dan lini ambiguitas hierarki
|
Organisasi proses kerja
|
Simplifikasi kerja
mekanisasi dan kumpulan lini kerja
|
Kegiatan kelompok kecil,
kerja tim
|
Departementalisasi,
divisionalisasi, stuktur matriks, pusat keuntungan
|
Hadiah yang dipilih
|
Upah bonus
|
Stabilitas keamanan,
kepuasan kerja dan pengakuan
|
Prestise, status,
kekuasaan, promosi dan gaji.
|
Insentif ekonomi yang
dipilih
|
Upah perpekerjaan
|
Insentif upah kelompok
|
Penggajian berbasis
senioritas.
|
Sumber : Diadaptasi dari Robbbson (1997:
74)[22].
Menyimak pendapat Robbson bahwa adanya sumberdaya yang ada
hendaknya melihat adanya pengembangan sumber daya yang berdasarkan sumber daya
manusia, fisik dan finansial. Tentunya dalam menentukan
arah ini membutuhkan kerja tim yang tujuannya adalah untuk memadukan kemampuan
masing-masing anggota dalam mwujudkan profesionalisme tim. Tentunya jika
dilihat secara stukturfungsional bahwa keberadaan lembaga Hindu ini menunjukan hal yang mempunyai hubungan
yang bersifat hierarki dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Jika
menggkorelasikan dengan peran serta lembaga Hindu selama ini bahwa masih
menggunakan sistem campuran manajamen ilmiah dan human relation dari mengklasifikasikan gaya manajemen yang
dipilih untuk menjalankan sistem dalam organisasi.
Penentuan strategi ini tentunya sebagai pijakan dalam
menganalisis perkembangan kedepan Parisada yang dalam klasifikasi Robben tidak
semuanya masih menggunakan pandangan kerja yang membabibuta dan untuk
kepentingan sendiri, hal ini justru banyak umat Hindu ketika menjadi pengurus
lembaga Hindu masih menggunakan sistem ngayah
atau kerja tanpa pamrih. Namun, dalam insentif akan diberikan oleh panitia
pelaksana ketika ada kegiatan yang telah dilakukan walaupun yang tentunya hanya
sekedar untuk uang transportasi. Tentunya pengembangan manajerial ini sudah
tertuang pada pola pengembangan sudah ada pada Grand Design Hindu Indonesia 2011 sampai dengan 2050[23]. Pola pengembangan yang dimaksudkan disini
adalah tentang adanya pemberdayaan ekonomi keumatan yang berbasis pada kearifan lokal yang ada, tentunya yang harus dimulai dari
pengurus PHDI kemudian berkembang pada seluruh organisasi dibawahnya. Rancangan gran design Hindu ini sebagai langkah yang mengusung kepengurusan
kerja yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan terjalin secara
terstuktur dengan kepimpinan yang berwenang serta dapat dipertanggungjawakan
secara kelembagaan. Hal lain tentunya langkah ini menjadi modal mental dan
intelektual umat Hindu khususnya di DKI Jakarta dalam mempersiapkan kader
dimasa depan untuk menghadapi tantangan dan dinamika jaman yang terus berubah karena dengan upaya
kaderisasi inilah peradaban Hindu ini dapat dilestarikan.
Selanjutnya yang terakhir adalah faktor ekonomi yang menjadikan
umat Hindu yang mampu menyediakan segala kebutuahan baik stuktur maupun
infrastruktur dalam upaya mendukung pembinaan umat. Kesemuanya ini sebagai
faktor utama dalam strategi pembinaan umat yang ada di DKI Jakarta, sehingga
keterkaitan substansi ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, strategi awal yang dilakukan adalah memberikan kesadaran umat
yang dilakukan dengan menghadirkan pola pembinaan yang dilakukan berkala oleh Dharma Pracharaka yang dilakukan pada
masing-masing wilayah di DKI Jakarta melalui lembaga adat dan lembaga
pendidikan. Hal ini dilakukan karena kesadaran beragama secara aspek vertikal
dan horizontal itu penting guna mewujudkan keseimbangan antara kehidupan
jasmani dan spiritual (Jagadhita dan moksa).
6. Kesimpulan
Bentuk
pelaksanaan Dharma Duta di DKI Jakarta
dilakukan dengan model konvensional dan sudah mulai dilakukan dengan cara
modern yang diaplikasikan dalam wujud bedah buku, seminar dan loka karya.
Kemudian dalam mempersiapkan dharma
pracharaka sendiri Parisada berkerjasama dengan Pembimas DKI Jakarta
menentukan orang yang mau dan mampu yang ditentukan berdasarkan kesungguhannya
dalam melakukan pembinaan kepada umat Hindu di DKI Jakarta. Implikasi dari
pelaksanaan Dharma duta bagi umat Hindu di DKI Jakartabanyak umat yang dengan
sangat antusias menyambut dengan baik keberadaan dharma duta ini dan upaya para
tokoh yang ada disetiap wilayah di DKI Jakarta melakukan regenerasi kepada yang
lebih muda agar pola pembinaan yang dilakukan ini dapat berjalan secara
berkelanjutan. Paradigma baru dalam upaya mengembangkan pembinaan umat
dilakukan upaya baru dengan meningkatkan koordinasi antarlembaga Hindu,
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan mengoptimalkan
kelompok binaan yang selama ini sudah terbentuk. Upaya ini dilakukan sebagai
kapital yang menjadi kekuatan Hindu pada masa kini dan mendatang Parisada DKI
sudah saatnya berpijak pada kepentingan seluruh etnis dan mengadopsi lokal
genius yang ada sebagai khasanah budaya yang didalamnya terdapat banyak nilai-nilai ajaran
Hindu yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan untuk kelestarian agama Hindu dimasa mendatang.
Daftar Pustaka
Buku Teks
Atmaja,
Nengah Bawa. 2010. Genealogi keruntuhan
Majapahit Islamisasi, Toleransi dan
pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Berten, Kees. 1997. Etika (Seri Filsafat Atmajaya). Kanisius ; Yogyakarta.
Bhaktivedanta,
A.C. (1972). Bhagavad-gita As-It-Is. Singapore:
Bhaktivedanta Book Trust.
Bourdieu, Piere. 1990. (Habitus x modal) + Ranah = praktik (Pengantar
komprehensif pemikiran Piere Bourdieu , Editor : Richard Harker, Cheelen Mahar dan
Chris Wilkes (Yogyakarta : Jalasutra) Sumber London: terjemahan The Macmilan
Press.
Bulaeng, Andi. 2004. Metode penelitian Komunukasi Kontemporer. Yogyakarta : Andi offset.
Cudamani. 1998. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Ida Sang
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Surabaya : Paramita.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif (Ancangan Metodologi, Presentasi Dan
Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa Dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu
Sosial, Pendidikan Dan Humaniora. Bandung : Pustaka Setia.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori Dan Filsafat Kemanusiaan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi : Dari Teosentrisme Ke
Antroposentrisme. Yogyakarta : LkiS.
Hendropuspito. 2000. Sosiologi Hindu. Yogyakarta : Kanisius
Iriantara, Yosal. 2004. Manajemen Strategis Public speaking. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Jendra, I Wayan. 1993. Berbicara Dalam Sastra Hindu Cet. 1.
Jakara : Pustaka Manikgeni.
--------, I Wayan. 1993. Berbicara dalam Sastra Hindu. Jakarta :
Pustaka Manikgeni
King, Larry. 2014. Seni Berbicara : Kepada Siapa Saja, Kapan
Saja Dan Dimana Saja terjemah: Marcus Prihminto Widodo, editor: Tami
Lesmana. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraingrat. 2002. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta :
Rineka Cipta.
Makmur. 2007. Filsafat Administrasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Maswinara,
I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu.
Surabaya : Paramita
Murba, I Nyoman Widana. 2007. Tuntunan praktis Dharma Wacana bagi Umat Hindu. Surabaya: Paramitha.
PHDI Pusat. 2009. Hasil-Hasil Pesamuan Agung Parisada Tahun 2009. Jakarta : PHDI Pusat.
--------------. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta : PHDI Pusat.
Pigeaud, Th. (1938). Javaansche
volksvertoningen (performances
of the Javanese people). Batavia : Volkslectuur.
Prayitno, Ujianto Singgih.
2014. Perubahan Sosial Dinamika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Tekhnologi Dalam Kehidupan Masyarakat.
Jakarta : P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI.
Putu
Setia. 1993. Kebangkitan Hindu :
Menyongsong Abad ke-21. Jakarta : Manikgeni
Soekamto,
Soerjono. 1985. Sosiologi : Suatu
Pengantar. Jakarta : Rajawali
Soyomukti,
Nurani. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Yogyakarta : Aruzz-Media
-------------,
Nurani. 2013. Pengantar Sosiologi : Dasar
Analisis, Teori Dan Pendekatan Menuju Analisis
Masaalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial Dan Kajian Strategis. Yogyakarta : Arruz Media.
Suasthi dan Suastawa. 2008. Psikologi Agama (Seimbang, Pikiran, Jiwa Dan
Raga. Denpasar : Widhya Dharma
Suryanto.
(2004). Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu
Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional
Model Gurukula Di India. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.
Thantawy R. 2005. Kamus Istilah Bimbingan Dan Konseling.Yogyakarta
: Grasindo.
Tim Penyusun. 2007. Pedoman Tenaga pembina (yang Disempurnakan)
Ed:[I Gede Jaman]. Jakarta : Mitra
Abadi press.
Titib, I Made, Made Sujana
dkk.2005. Petunjuk praktis pelaksanaan
Dharma Wacana. Surabaya: Paramitha.
------, I Made. 1996. Pengantar Weda Untuk Program
DII Agama Hindu. Jakarta: Penerbit Hanuman Sakti.
------, I Made. 2003. Menumbuhkankembangkan Pendidikan Budi
Pekerti Pada Anak Dalam Perspektif Hindu. Bandung : Ganeca Exact
-------, I Made. 2007. Veda Sabda Suci (Pedoman Prakis Kehidupan).
Surabaya : Paramita.
Triguna, IBG Yudha, et.al.2009. Pedoman Juru Penerang Dan Penyuluh Agama
Hindu. Jakarta : Dirjen Bimas Hindu.
---------, IBG Yudha,
et.al.2009. Pedoman Pembentukan Kelompok
Sasaran Penyuluh Agama Hindu. Jakarta : Dirjen Bimas Hindu
---------, IBG Yudha, et.al.2009. Pedoman Penyiaran Agama Hindu. Jakarta :
Dirjen Bimas Hindu
Wainwright. Gordon R. 2007. Membaca Bahasa Tubuh. Yogyakarta : Baca.
Wibowo, Hery. 2007. Forune Favors The Ready ! Keberuntungan
Berpihak Pada Orang-Orang Yang Siap. Bandung : Oase Mata Air Makna.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad
Rohmadi.2012. Sosiolinguistik (Kajian
teori dan Analisis). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
William, Chuck. 2001. Manajemen. Jakarta : Salemba Empat.
Penelitian
:
Hemamalini, Kadek. 2013. Kajian Filsafat Ketuhanan Dalam Budaya Masyarakat
Hindu Etnis Tiong Hoa Di Penjaringan Jakarta Pusat. Denpasar : IHDN (tidak
diterbitkan).
Istikhori, Ahmad. 2008. Pendidikan Agama Islam Dalam Majelis Taklim Kaum Ibu RW 01 Kelurahan
Tegal Parang – Jakarta Selatan. Skripsi UIN Syarifhidayattulah
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (tidak
diterbitkan).
Krisna,
I Ketut. 2014. Kajian Bentuk Dan
Filosofis Berbusana Umat Hindu Masyarakat Adat Bali Mewujudkan Bhakti Dan Sraddha Di Pura Aditya Jaya Rawamangun;
Kajian Perspektif Budaya.
Denpasar : UNHI (tidak
diterbitkan).
Mandara, I Wayan Kantun.
2013. Kajian Makna Filosofis Tawur Agung Kesanga di Monas (Kajian Teologi Hindu). Denpasar : IHDN (tidak diterbitkan).
Rahardjo, Sukirno Hadi. 2009. Metoda Pendharmawacana Sebagai Upaya
Peningkatan Sradha Umat Hindu Di DKI Jakarta (Skripsi). Jakarta : STAH DN
Jakarta (tidak diterbitkan).
Sari, Eka Angel Pattipi. 2011. Agama Dan Politik (Studi Tentang Refleksi
Teologi Terhadap Peran Pendeta Dalam Dunia Politik. Skripsi Universitas
Hasanudin, Jurusan Ilmu Politik Dan Pemerintahan (tidak diterbitkan).
Suhardi, Untung . 2013. Kajian Bentuk Dan Makna Nilai Filosofis Lingga Dalam Perspektif Ajaran Hindu (Studi Pemujaan
Lingga Di Desa Linggoasri, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan - Jawa Tengah). Denpasar: IHDN (tidak diterbitkan).
Majalah/Jurnal/Prosiding
Seminar
Jro Saba
dalam artikel Majalah Hindu Raditya Edisi 115 tahun 2002.
Kurniasari,
NGAK. Pola Komunikasi Pemangku Hindu Di
Jakarta Dalam Pemahaman Budaya Jawa Dan Bali. Media Hindu Edisi 130
Desember 2014, hal : 44-45.
Retno
Pandan Arum dkk. Identitas Sosial, Fundamentalisme, Dan Prasangka
Terhadap Pemeluk Agama Yang Berbeda: Perspektif Psikologis (Jakarta : Litbang Kemenag RI,
2013) Jurnal harmoni Vol. No. 1, edisi 12 Jan-Apr 2013, hal : 21
Suhardi,
Untung. 2014. Tujuan Kehidupan Manusia:
Tinjauan Filsafat Kebahagiaan Menurut Epikuros Dan Catur Purusartha.
Mataram : STAHN Gede Pudja, Jurnal Widya Sandi Vol. 5 No.6 Mei 2014 ISSN :
1907-7351.
Tim
Penyusun. Grand Design Hindu Indonesia
(Jakarta : Tim GDHI, 2014), hal : 34, Disampaikan pada workshop tanggal 22
November 2014 di Gedung Dharma Sevanam-Rawamangun, Jakarta Timur
Ulianta, I Ketut. 2013. Pendidikan Spiritual Menuju Pemimpin dan
Rakyat yang berbudi Luhur. Jakarta : STAH DN Jakarta, Jurnal Pasupati Vol
II No.2 Jul-Des 2013, ISSN : 2303-0860.
[1] Ngakan
Putra, Made Sujana dkk. Kompilasi Dokumen
Literer 45 Tahun Parisada, Editor
: IN. Dana (Jakarta : PHDI Pusat, 2005), Hal : 12-17. Buku ini menjelaskan
tentang sejarah dari perjalanan Hindu sampai terbentuknya badan keagamaan Hindu
yang disebut dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia yang tersebar diseluruh Indonesia.
[3] Made Titib. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan).
(Surabaya : Paramita, 1998). Hal : 3. Uraian Titib menjelaskan bahwa Hindu
adalah agama misi dalam usaha untuk menyebarkan ajaran agama, akan tetapi misi
ini berbeda dengan agama lainnya, Hindu memandang bahwa akan mengajarkan
nilai-nilai kebenaran untuk kehidupan umat manusia bukan untuk mengagamakan
orang yang sudah beragama bagaikan bunga kenanga yang harum banyak kumbang yang
datang kepadanya [ed; pen].
[4] Dharma duta disini sebagai seseorang
yang mampu menyampaikan pesan dharma kepada umat banyak yang disampaikan dalam
bentuk dharma wacana maupun dharma duta, lihat
I Wayan Jendra. Dharma Tula (dialog intern umat beragama).
(Surabaya : Paramita, 1998).
[5] Etnis Tionghoa merupakan
salah satu suku di Cina yang berasal dari Cina selatan dan melakukan ekspedisi
ke Nusantara. Pada tahun 2008 tepatnya di
Cekong Bio Jakarta utara diadakan upacara pasupati sebagai tempat yang
digunakan untuk melakukan peribadahan, walaupun dalam hal ini tempat umum dari
pelaksanaan peribadatan umat Tionghoa adalah klenteng, lihat Hemamalini. Kajian Filsafat Ketuhanan Dalam Budaya
Masyarakat Hindu Etnis Tiongghoa Cikung Bio Penjaringan, Jakarta Utara.
(Denpasar : IHDN, 2013). Hal : 62-63.
[6] Konsep melakukan pekerjaan
sesuai dengan guna dan karma sebenarnya mulai didayagunakan oleh segala
komponen umat Hindu, keadaan ini sama halnya dengan fenomena dalam penyiaran agama Hindu sendiri baik itu
mimbar agama, dharma tula dan dharma wacana hendaknya memberikan kesan untuk
pencerahan kepada umat secara universal jangan hanya membicarakan tentang suatu
etnis tertentu. Dalam hal ini juga harus
dibenahi tentang pengertian ngayah
yang telah melekat pada umat Hindu, bahwa kita telah memberikan hasil kerja
kita untuk pura. Akan tetapi menurut hemat penulis bahwa ketika seseorang telah
meletakan konsep ngayah ini dalam kehidupan sosial keagamaan, maka harus ada
upaya revitalisasi bahwa ketika seseoang telah memberikan keahliannya seperti
menari, dharma wacana, dharma tula hendaknya dari pihak tertentu seperti
pengurus pura dan lembaga keagamaan Hindu harus berpikir ulang yaitu ada
penghargaan secara ekonomis untuk pembinaan kepada para pelakunya.
[7] Lihat, (Moleong, 2004 : 4).
[8] Sudarwan Danim. Menjadi Peneliti Kualitatif Bidang
Pendidikan, Sosial Dan Humaniora (Bandung : Pustaka Setia, 2002), hal : 121
[9]Sudarwan Danim, Ibid, hal : 132.
[10] Lihat, (Basrowi dan Sudikin,
2002 dalam Titib, 2006 ), hal : 40.
[11] Data
diambil dari (BPS, 2002: XI:BPS,2007: xlvi.
[13]
Data ini penulis dapatkan dari data Bimas Hindu Kementerian Agama RI dengan
perincian 33.281 KK yang terbagi dalam 68.003 laki-laki dan 72.453 perempuan.
[14] IBG.
Gede Yudha Triguna. Pedoman Juru Penerang dan penyuluh Agama
Hindu (Jakarta : Dirjen Bimas Hindu, 2009), hal :
12.
[15]Piere Bourdieu. Habitus x modal
+ Ranah = praktik (Pengantar komprehensif pemikiran Piere Bourdieu , Editor
: Richard Harker, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes (Yogyakarta : Jalasutra)
Sumber London: terjemahan The Macmilan Press, 1990, hal : 16.
[17] Makmur.
Filsafat Administrasi. (Jakarta :
Bumi Aksara, 2007), hal : 6.
[18] Putu Setia.
Kebangkitan Hindu Menyongsong Abad Ke-21, (Jakarta : Pustaka Manikgeni,
1993), hal: 71. Menghadirkan tentang pembahasan yang berkaitan dengan
organisasi yang bersifat tradisional dan yang bersifat
modern.
[19]Sukirno Hadi Rahardjo. Metoda Pendharmawacana Sebagai Upaya
Peningkatan Sradha Umat Hindu Di DKI Jakarta (Skripsi). Jakarta : STAH DN
Jakarta, 2009), hal : 45 (tidak diterbitkan).
[20]Nengah bawa Atmaja. Genealogi keruntuhan Majapahit Islamisasi,
Tolerasni dan pemertahanan Agama Hindu di Bali (Yogyakarta : Pustaka
pelajar, 2010), hal 9. Raden Brawijaya merupakan putra mahkota dari Kerajaan
Majapahit yang terakhir yang pada saat itu beristri dengan Putri dari Cina yang
beragama islam, yang kemudian anaknya diberi nama raden Fatah. Wali sanga
terdiri dari merupakan penyebar agama islam di Jawa yang terdiri dari Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan
Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Suanan Gunung jati.
[21] Yosal
Iriantara. Manajemen Strategis Public Relation
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal : 93. Penjelasan ini menunjukan tentang
pengorganisasian dalam suatu perusahaan dalam hal manajemennya.
[22]Yosal
Iriantara, Ibid, hal : 94.
[23] Tim Penyusu. Grand Design Hindu Indonesia (Jakarta :
Tim GDHI, 2014), hal : 34, Disampaikan pada workshop tanggal 22 November 2014
di Gedung Dharma Senamam-Rawamangun, Jakarta
Timur.
0 Response to "Dharma Duta"
Post a Comment