TEKS, TERJEMAHAN DAN MAKNA
FILOSOFIS KAKAWIN DHARMA
SUNYA (Sargah 26-31)
Oleh:
Untung Suhardi
NO
|
TEKS
|
TERJAMAAHAN
|
26.
|
Ampek sng wiku sidddha tan
pahinanan tumutuga ri kamurti nin taya
Tan lingar humenen licin mamepek
in bhuana sahana nin jagatraya
Nora n lor kidul in kidul telasana sira juga pamekas
nirasraya
Kewat kewala sunya nirbana lenon
luput inanen anen winarna ya
|
Pikiran
seorang wiku yang sudah sempurna tidak terbatas dalam mengikuti hakekat
kekosongan, tidak goyah tenang sangat suci memenuhi segala yang ada di ketiga
dunia, tidak ada batas baik utara maupun selatan sudah ada beliau pad hakekat
nirasraya, pikiran beliau hanya terpusat kepada kekosongan nirwana yang indah
terlepas dari pikiran untuk mengumpamakan Beliau.
|
27.
|
Yeki n jati
huwus pralabdha ta ya rok sahana hana nikan sinamaya
Tan rakwa n
gaganan ri nuni tinutur rinasa rasa pinet nika hade
Byakta nke
wekas in wekas tan awekas karegepan ira san nirasraya
Mari sisya
guru tutur hidep ilan paramasiva huwus
maminda ya
|
Inilah kenyataannya kalau sudah
berhasil tidak dicampuri lagi oleh segala yang tidak bisa dipikirkan, tidak
juga gaganan yang dulu-dulu yang diingatkan yang dipikir2kan yang dicari
karena bukan itu yang sebenarnya dicari, nyatanya disinilah sisa-sisanya yang
tidak bersisa itulah di pegang teguh oleh sang nirasraya, tidak ada lagi
murid, guru juga kesadaran pikiran hilang sudah menyatu dengan Paramasiwa.
|
28.
|
Meweh kolaha
nin bayu mamaribhawa manaput i hati nirantara
Yan tan wruh
rumegep ri kunci patitis ri kahilanan i patya nin tiga
Minder n wan
kadi cakra nin sakata nitya mawali-wali tan patomahan. Mati n janma katut
tiben kawah alo peten asinaput in malendrya.
|
Sulit mengolah nafas yang selalu
menguasai dan meliputi pikiran, kalau tidak tahu memusatkan pikiran terhadap
kunci yang harus dituju supaya dapat menghilangkan tri pramana (sabda bayu
idep), berputar-putar orang seperti berputarnya rodanya pedati yang selalu
bolak balik tidak menghasilkan apa-apa, orang yang mati jatuh kekawah yang
besar dan gelap diliputi oleh kekotoran indriya,
|
29.
|
Wwaten
sadhaka yoga sandi winuwus ri kahilanan ika dasendrya
Rin mula
sthana bayucakra hineneb tineleb ika sinimpen in hidep
Enak pwa ya
heninnya tan pamisaya ri teduhen ira san dasendriya
Tumran rasmi
nikan prabhaswara mijil ri hati mamenuh in sabhuwana
|
Tersebutlah seorang pendeta yang
sedang melaksanakan yoga sandi untuk menghilangkan dasendriya, di awal stana
bayu cakra dipusatkan pikirannya yang sangat dalam dirahasiakan itu yang
disimpan dalam pikirannya, keheningan itu sangat enak dirasakan tidak tergoda
lagi tatkala dasendriya itu sudah ditundukkan, sangat terang keindahhannya
sinar yang menakjubkan yang keluar dari dalam hati memenuhi dunia.
|
30.
|
Doh nin
chandra kasor lepas ri panunan ira n aruhur i tan kahunkulan
Iwa nin
wenkuu nikan jagad ya tan alo genira juga ya tan panihanan
Akasa ya ta
suksama dadya maganal lit ira juga ya tan patuduhan
Doh non doh
maperek ndatan paheletan hana rin anen-anen susuksma ya
|
jauh
sekali bulan itu kalah oleh tingginya dunia batas penglihatan tidak bisa
ditandingi, luasnya ruang lingkup dunia tidak juga menandingi kebesarannya
yang tidak terbatas, angkasa yang maha gaib berwujud besar dan kecil juga
tidak bisa ditunjukan (berwujud kosong), yang menjadikan besar dan kecilnya
juga tidak bisa ditunjukkan, dibilang jauh sangat jauh sekali dibilang dekat
sangat dekat sekali ada didalam pikiran yang sangat gaib.
|
31.
|
Nora n netra
n akarna tan hana hirun tutuk asarira tan hanesira
Tan wruh rin
rasa gandha sabha manucup rupa nirupa kabeh ya tan kari Pan nuni n mula
wretti sara sari nin bhuwana hala hayunya tan waneh Suddha nin pananen-anen
ri pagawe nira tan ana kuran supurna ya.
|
Tidak
mempunyai mata, telinga, tidak ada hidung, mulut, badan tidak ada pada
beliau, tidak tahu dengan rasa, bau, suara, kata-kata, bentuk dan tidak
berbentuk semua tanpa sisa, karrena dulu permulaannya beliau adalah
intisarinya dunia baik buruknya juga beliau tidak lain, kesucian orang yang
selalu memikirkan lilanya Tuhan tidak akan pernah merasa dan selalu merasakan
kesempurnaan.
|
Makna Filsafat Kakawin Dharma Sunya
Penjelasan tentang adanya makna yang terkandung dalam
kakawin ini adalah dengan adanya pemahaman seorang sadhaka dalam menjalankan
praktik spiritual yang dijalankan dengan menggunakan tahapan dalam melakukan
pendakian spiritual yang menggunakan konsep Astanggayoga yang ditulis oleh Rsi
Patanjali.
Berkaitan dengan hal maka ada beberapa makna filsafat yang terdapat dalam kakawin tersebut yaitu : Hal ini karena etika Hindu dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan yang merupakan tiga konsep kebahagiaan (Tri Hita Karana) untuk mencapai tujuan akhir penjelmaan manusia (Jaman, 2006). Oleh karena itu, dalam ajaran Hindu terdapat 6 unsur hyang harus menjadi pedoman dalam hidup yang berkaitan dengan ajaran pengendalian diri yang terangkum dalam Atharva Veda XII.1.1 yang menyatakan bahwa :
Berkaitan dengan hal maka ada beberapa makna filsafat yang terdapat dalam kakawin tersebut yaitu : Hal ini karena etika Hindu dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan yang merupakan tiga konsep kebahagiaan (Tri Hita Karana) untuk mencapai tujuan akhir penjelmaan manusia (Jaman, 2006). Oleh karena itu, dalam ajaran Hindu terdapat 6 unsur hyang harus menjadi pedoman dalam hidup yang berkaitan dengan ajaran pengendalian diri yang terangkum dalam Atharva Veda XII.1.1 yang menyatakan bahwa :
Om Satyam brhad rtām ugra diksa
Tapo brahmā yajñah prthiwim dhārayanti
Artinya
:
Kebenaran (kejujuran) yang agung, hukum
alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri, tapa (Pengendalian diri)
pengetahuan dan persembahan yang menopang bumi (I Wayan Maswinara, 2004).
Berangkat
dari mantram diatas merupakan dasar dalam pelaksanaan tingkah laku atau etika
Hindu yang akan menjadi penopang bumi untuk kesejahteraan semua makhluk dialam
semesta ini untuk memperoleh kedamaian. Dan tujuan dari etika Hindu ini adalah
untuk menyadari keberadaan diri kita yang sebenarnya, sehingga kesadaran akan
diri sejati untuk menginsyafi akan adanya Brahman yang kekal sebagai tujuan
utama dari penjelmaan dengan badan manusia kedunia ini. Hal ini dipertegas
dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 2 bahwa “Diantara semua makhluk hidup yang
dilahirkan sebagai manusia adalah makhluk yang utama” (N. Kajeng, 1999).
Viveka
Viveka artinya daya
pembeda yang dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, amal, dan
dosa, baik-buruk, sejati dan palsu; ini sangat menentukan “keputusan hati’ yang
disebut Nisacaya Jnana. Sedangkan
“keputusan hati” akan mendorong dan mewarnai ucapan maupun tindakan. “Dadi
pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi
Artinya : Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku” (Sarasamuccaya 79. Nyoman Kajeng, 1999). Jenis atau model serta sifat kata-kata ataupun perilaku yang timbul, sangat tergantung pada Niscaya Jnana. Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik). Disini dibutuhkan ketangkasan berpikir.
Artinya : Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku” (Sarasamuccaya 79. Nyoman Kajeng, 1999). Jenis atau model serta sifat kata-kata ataupun perilaku yang timbul, sangat tergantung pada Niscaya Jnana. Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik). Disini dibutuhkan ketangkasan berpikir.
Berkaitan dengan pikiran yang merupakan
rajanya indria (Rajendriya) maka, dalam
Kekawin NitiSastra I.7 ada syair yang mengatakan bahwa:
Wentèn wang sugih artha hina sabhimuktinya ālpa ring bhūsana,Wentèn wong guna manta şila naya himā anūt rikāng durjana, Wang dῑrghāyusa wrèdha hῑna arèp rῑng dhamoşastro lahen, Yekung janma nirarthaka traya wilangnyoripnya nir tanpa don.
Artinya :
Ada orang kaya harta tapi sangat kurang
dalam berpakaian dan makan-minum. Ada orang terpelajar dan susila, tetapi
kurang tangkas berpikir akhirnya mengikuti orang-orang jahat. Ada lagi orang
tua yang sudah lama hidup, tapi perilakunya serba menyimpang dari dharma.
Ketiga orang tersebut adalah orang tak sempurna, percuma saja hidup tak ada
gunanya (PGAH, 1988:13).
Berangkat
dari sloka ini menunjukan bahwa pikiranlah yang memegang peranan penting, yang
dikatakan sebagai indria yang kesebelas dan menjadi penentu dalam mengendalikan
kesepuluh indria (panca Budhindriya, mata, telinga, hidung, kulit dan lidah
serta panca Karmendryia, mulut, tangan, kaki, anus dan kemaluan), sehingga
disebut dengan Rajendriya. Hal ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra II.92
bahwa alat yang kesebelas adalah pikiran yang menundukan dua kelompok indriya
itu (G. Pudja, 2000). Dan diantara yang hidup, manusia mempunyai kelebihan daya
pikir (Manah), maka kualitas manusia sangat ditentukan oleh kualitas daya
pikirnya hal ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra I.96 bahwa :
Bhūtanāṁ prāṇinaḥ śreşṭhaḥ, Prāṇimāṁ budhijῑwinaḥ,
Buddhimatsu narāḥ sreşṭha,
Nreşa brāhmaṇaḥ smṛtaḥ,
Artinya :
Diantara
sesama ciptaan Tuhan, yang berjiwalah yang lebih utama,
Diantara yang berjiwa yang hidup dengan pikiranlah yang lebih utama,
Diantara yang hidup dengan pikiran manusialah yang lebih utama,
Diantara manusia tak ada yang lebih mulia dari pada Brahmana. (Brahmana dalam arti kualitas bukan Kasta)
(Pudja dan Sudharta, 2002)
Diantara yang berjiwa yang hidup dengan pikiranlah yang lebih utama,
Diantara yang hidup dengan pikiran manusialah yang lebih utama,
Diantara manusia tak ada yang lebih mulia dari pada Brahmana. (Brahmana dalam arti kualitas bukan Kasta)
(Pudja dan Sudharta, 2002)
Dengan
demikian, bahwa pikiran yang memegang
peranan penting dalam kehidupan ini untuk mencapai kebahagiaan dengan
mengendalikan sepuluh indria tersebut. Dalam Sarasamuccaya 71 dijelaskan bahwa
sesungguhnya yang disebut surga jika dapat mengendalikan indria, dan jika tidak
dapat mengendalikannya itulah neraka (Nyoman Kajeng, 1999). Hal lain juga
dijelaskan dalam Katha Upanisad I.3-4
yang menjelaskan bahwa ada variabel tentang Kuda yang diibaratkan dengan
Indria, penumpangnya adalah roh, kereta adalah badan, kusir adalah kecerdasan,
tali kekang adalah pikiran dan jalan adalah objek indrya (Radhakrisnan, 2008).
Hal ini menunjukan bahwa untuk mencapai tujuan maka, harus memperhatikan adanya
tali kekang (pikiran) dengan mengendalikan indria (kuda) tersebut. Jadi untuk
mencapai kebahagiaan yang sejati hal yang harus diperhatikan adalah menguasai
gerak pikiran dibawah bimbingan kecerdasan dan atman untuk menuju pantai
keabadian.
Dama
Penjelasan
tentang Sarasamuccaya sloka 254 menyatakan bahwa “Dama
ngaranya, wruh miluluri awaknya, tumang guha awaknya Artinya, yang disebut
Dama adalah bisa menasehati diri sendiri (Nyoman Kajeng, 1999)”. Bisa
menyadarkan diri (matuturi) adalah
orang bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi. Orang yang dama akan
menjadi “danta” artinya kepribadiannya suci. Sarasamuscaya menjelaskan bahwa
pada hakekatnya bukanlah orang yang membasahi dirinya dengan air disebut mandi,
melainkan ia yang danta (suci) karena dama-lah disebut mandi yang sesungguhnya.
Vairagya
Merupakan istilah yang digunakan dalam filsafat
Hindu yang secara kasar diterjemahkan sebagai dispassion, detasemen, atau penolakan, dalam penolakan khususnya
dari rasa sakit dan kesenangan di dunia material (Maya). Para
filsuf Hindu yang menganjurkan Vairagya mengatakan kepada pengikut mereka bahwa
itu adalah sarana untuk mencapai moksha.
Vairagya adalah kata majemuk bergabung vai berarti "kering,
dikeringkan" + raga yang berarti "warna, gairah, perasaan,
emosi, minat" (dan berbagai penggunaan lainnya). Rasa "pengeringan dari hawa nafsu"
Vairagya memberikan arti umum tertarik pertapa dalam hal-hal yang akan
menyebabkan lampiran pada kebanyakan orang.
Sikap terhadap kehidupan seorang pertapa yang telah tenang semua hawa nafsu dan
keinginan disebut sebuah vairāgika. Jadi, Vairagya adalah ketidakterikatan terhadap indriya untuk
menikmati kesenangan duniawi dan kesibukan pikiran dalam kegiatan rojani
(Prabhupada, 2000:343).
Konsep Vairagya ditemukan dalam
Patanjali's Yoga sutra, yang
dilaksanakan bersamana dengan praktek (Abhyasa), adalah kunci untuk menahan diri dari modifikasi
pikiran
(Yoga Sutra 1,12, "Abhyasa-vairāgyabhyāṁ tannirodhaḥ").
Vairagya muncul dalam Bhagavadgītā (6,35, 13,8, 18,52) di mana
dianjurkan sebagai kunci untuk membawa kontrol dari pikiran gelisah. Itu juga merupakan topik utama upay Mokch/yoga Vasistha.
Dari ajaran Bhagavadgita tersebut bahwa konsep vairagya merupakan seseorang
yang tidak terikat pada objek-objek kepuasan indriya-indryia dan bebas dari
ikatan dan rasa benci dalam kegiatan.
Penutup
Pemaknaan
tentang adanya kakawin dharma sunya ini adalah setiap orang di dunia ini jangan
sampai terikat adanya objek indriya yang dapat membawa dirinya pada kesenangan duniawi sehingga
melupakan hakekat hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, makna kakwin
iniadalah untuk belajar agar tidak terikat dengan adanya objek duniawi ini
dengan jalan dunia ini sebagai alat untuk mencapai tujuan utama yaitu penyatuan
antara sang diri dengan penguasa alam semesta. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan konsep Vairagya ditemukan dalam Patanjali's Yoga sutra, yang
dilaksanakan bersamana dengan praktek (Abhyasa), adalah kunci untuk menahan diri dari modifikasi
pikiran
(Yoga Sutra 1,12, "Abhyasa-vairāgyabhyāṁ tannirodhaḥ"),
yang
digunakan sebagai kunci untuk membawa kontrol dari
pikiran gelisah. Itu juga merupakan topik
utama upay Mokch/yoga Vasistha.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
seseorang yang tidak terikat pada objek-objek kepuasan indriya-indryia dan
bebas dari ikatan dan rasa benci dalam kegiatan serta adanya kebebasan dalam
menjalankan kehidupan ini dan akan terbebas dari dualisme dalam kehidupan ini.
0 Response to "Makna Filosofis Kakawin Dharma Sunya"
Post a Comment