oleh :
Untung Suhardi
Pembicaraan tentang batu lingga ini pada awalnya hanya
batu saja yang digunakan untuk tempat persembunyian sampai akhirnya menjadi
tempat pemujaan Hindu sampai sekarang yang dimulai buat rumah untuk melindungi batu
dari hujan serta panas.
Sebenarnya sebagian
besar penduduk sudah Hindu, cuma belum sadar saja dan belum melaksanakan
upacara-upacara Hindu. Kalau saya sendiri, agama saya yang lama adalah
Kejawen." Bekas kepala desa
itu menceritakan bahwa di desanya dulu pun orang sudah
ramai-ramai menyepi, atau berdoa minta kepada Murbeng Dumadi (memelihara jagat raya). Mereka juga melakukan
sedekahan, dan sebagainya tempatnya, di
sekitar Watu Lingga itu, lalu suatu hari datang seorang pendeta
dari Bali bernama Kemenuh. Pendeta Hindu ini semula hanya berniat melihat batu
dari zaman Kalingga itu. Dari pendeta itulah sebenarnya Dipo tahu bahwa yang dijalankan
oleh penduduk sejalan dengan ritual dalam agama
Hindu. "Kemenuh memberitahukan yang kami lakukan selama ini sama dengan
ajaran Hindu, cuma beberapa hal perlu disempurnakan,"
Ritual kejawen
yang dikhususkan untuk melakukan pemujaan terhadap lingga ini, dan setelah
dilakukan penyelidikan secara mendalam bahwa batu lingga ini pada jaman dahulu
kala digunakan untuk pemujaan kepada Dewa Iswara yang dibuktikan dengan adanya
tulisan sansekerta yang bertuliskan abad ke-6 Masehi. Sebenarnya tanah ini
merupakan tanah milik dari bapak Sahlan yang biasnya ditanami dengan hasil bumi
seperti, singkong, ketela, jengkol dan tanaman lainnya. Selain itu, pada tahun
60-an ada seorang pendeta yang bernama Suteja dari Kota Pekalongan bahwa
diareal didesa lingga ini ada sebuah harta yang tidak ternilai harganya yang
merupakan peninggalan leluhur desa yaitu sebuah pemujaan kuno yang diberi nama
lingga, keberadaanya ini sangatalah identik dengen pemujaan dewa Siva yang
merupakan aspek dari manifestasi Hyang Widhi sebagai pelebur segala malapetaka
di alam semesta ini.
Pendapat lain
juga diungkapkan oleh tokoh agama di Linggoasri yang mengatakan bahwa pada
awalnya batu lingga ini disebut batu wurungan karena hanya dianggap batu biasa,
akan tetapi setelah berkembangnya waktu keberadaan batu lingga ini sangatlah disakralkan karena
sangatlah berhubungan erat dengan sejarah desa linggaasri yang berawal dari
adanya batu lingga ini, untuk itu pada bulan sura tepatnya pada hari jumat
kliwon dilakukan adanya pemujaan berupa penyucian batu lingga yang maksudnya
adalah untuk memohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi melalui sarana seperti
air bunga, minyak klentik dan kelapa. Dalam peradaban Weda kuno jika ada lingga
pasti ada yoni. Akan tetapi keberadaan yoni sampai sekarang belum diketemukan
keberadaannya.
Kitab Amsumàdbhêdàgama menjelaskan salah satu penerapan kisah timbulnya
linga dalam pahatan, yaitu dengan cara memahat tokoh Śiva dalam bentuk Chandrasekhamùrti di bagian depan
(permukaan) sebuah linga. Keterangan
ini diperjelas oleh kitab Karanàgama. Menurut kitab ini seperlima ujung dan
dasar linga sebaiknya dibiarkan polos, tanpa pahatan. Kaki dibawah lutut tokoh
Śiva tidak ada. Sebelah kanan linga dekat ujung (puncak) linga dipahat Brahmà
dalam bentuk seekor angsa, sementara Visnu dalam bentuk seekor babi hutan
dipahat pada bagian kiri kaki linga. Dapat pula tokoh Brahmà dan Visnu dipahat di atas kanan dan kiri menghadap linga
dengan tangan dalam sikap anjali. Tokoh-tokoh ini dapat pula diberi warna,
warna untuk tokoh Śiva merah, Visnu hitam, dan Brahmà kuning keemasan.
Keterangan yang lebih rinci kita dapatkan dalam kitab Kàmikàgama.
Menurut kitab ini ukuran angsa
ditetapkan sama panjang dengan wajah Śiva, sedangkan babi hutan dua kali
panjang wajah Śiva. Tokoh babi hutan digambarkan sedang menggali dan masuk ke
dalam bumi. Tokoh Visnu dan Brahmà dalam bentuk kedewaan tidak perlu
dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus dipahatkan. Kita Silparatna
menambahkan bahwa Śiva membawa sùla pada salah satu tangannya. Kitab Karanàgama
mengharuskan memahat tokoh Śiva dalam bentuk caturbhuja dengan ketentuan salah satu tangannya digambarkan dalam
sikap abhaya, dan salah satu tangan lainnya dalam sikap varadahasta. Tangan
ketiga membawa parasu dan tangan keempat memegang krsnamrga (seekor rusa jantan berwarna hitam). Śiva dipahat dengan
hiasan mahkotanya berbentuk hiasan bulan sabit. Beberapa bentuk perwujudan Lingodbhavamùrti yang ada di India telah
ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa
of Hindu Iconography, di antaranya Lingodbhavamùrti
yang ditemukan dalam candi Kailàsanathasvami di Conjeevaram yang umurnya lebih
dari 1200 tahun lalu (Titib, 2001 : 281).
Tokoh Śiva digambarkan dalam bentuk Śiva Candrase kharamùrti bertangan
delapan. Beberapa dari kedelapan tangan digambarkan membawa parasu, sùla, akûamàlà, dalam sikap abhaya, dan katyavalambita. Keterangan selanjutnya, bahwa seperlima bagian
ujung linga sebelah kiri tidak ada
pahatan, demikian juga dari lutut ke bawah tokoh Śiva. Śiva digambarkan
mengenakan hiasan bulan sabit pada mahkotanya. Babi hutan sebagai avatara Visnu digambarkan bertangan
empat, dua buah tangan sedang menggali bumi, dua tangan lainnya digambarkan
membawa sankhadan cakra. Menurut kitab Àgama, babi hutan dapat juga dipahatkan
seakan ke luar dari dasar ruang panil. Brahmà digambarkan terbang di udara di
ujung linga dalam bentuknya sebagai
seekor angsa. Tokoh Visnu dan Brahma juga dipahatkan dalam bentuk caturbhuja di kanan kiri linga. Visnu dan Brahmà digambarkan
dalam sikap memuja (sebuah tangan dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas
pinggul masing-masing, dan tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung dipahatkan makara-torana. Selain di candi
Kailàsanathasvami, relief lingodbhavamùrti kita temukan juga di dalam candi Śiva
Ambar Magalam. Di sini linga,
digambarkan dengan untaian bunga berbentuk lingkaran ke luar dari atas puncak linga. Tokoh Śiva digambarkan dalam
bentuk caturbhuja, sebuah tangan dalam sikap abhaya, tangan lainnya dalam sikap katyavalambita, membawa parasu
dan rusa jantan hitam.
Kaki-kaki tokoh Śiva di bawah lutut dan di atas
pergelangan kaki dipahatkan bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan dalam
kitab Àgama, yaitu sebuah kaki disembunyikan di dalam linga. Di atas linga
tergambar angsa dengan paruh yang sangat menonjol. Di bawah sebelah kiri linga babi hutan yang diwujudkan dalam
bentuk setengah manusia dan setengah binatang sedang menggali liang di bumi.
Menurut perkiraan relief lingodbhavamùrti ini berasal dari abad 11 atau 12
Masehi, yaitu periode pertengahan Chola. Di Desa
Linggoasri Kecamatan Kajen pada tahun 1934 dihuni oleh komunitas Hindu, di desa itu juga ditemui peninggalan sejarah lingga. Munculnya nama Desa Linggoasri menurut salah satu sesepuh Desa Linggoasri
adalah adaptasi dari batu lingga atau prasasti. Dan ada lagi sebuah pura di dalam objek wisata
Linggoasri yang juga penuh dengan tafsir budaya. Akan tetapi keberadaan Yoni
ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti tentang keberadaannya. Diareal
batu lingga ini pada malam jumat Kliwon dan selasa kliwon biasanya warga
sekitar melaksanakan selamatan tumpengan
sebagai wujud rasa syukur atas karunia Tuhan selama ini yang telah memberikan
anugrah kepada mereka.
Daftar Pustaka
Astiyanto,
Heniy. 2006. Filsafat Jawa (Menggali
Butir-Butir Kearifan Lokal) Cet I. Yogyakarta : Shahida Yogyakarta.
Bagus,
I Putu Suamba. 2007. Siva-Budha Di Indonesia (Ajaran dan
perkembangannya). Denpasar : Widhya Dharma.
Bibek
Debroy dan Dipavalli Debroy. 2002. Lingga
Purana. Terjm: I Wayan maswinara. Surabaya : Paramitha.
Daeng,
Hans J. 2005. Manusia, kebudyaan dan
Lingkungan (Tinjauan Antropologis) cet II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Danim,
Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti
Kualitatif (Ancaman Metofologi, Presetasi Dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk
Mahasiswa Dan Peneliti Pemula Dalam Bidang Sosial, Pendidikan Dan Humaniora).
Bandung : CV. Pustaka Setia.
Donder.
I Ketut. 2006. Brahmavidya Theologi Kasih
Semesta. Surabaya : Paramita
Eliade,
Mircea. 2002. Sakral Dan Profan.
Nuwanto (Terj). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Griffin,
David Ray. 2005. Tuhan dan Agama dalam
Dunia Postmodern. Yogyakarta : Kanisius.
Griffith,
R.T.H. 2006. Atharva Veda Samhita (Sukla
Yajur Veda). Surabaya : Paramitha.
Hadi,
Sumandiyo, 2006. Seni dalam Ritual Agama
cet ; III. Yogyakarta : Buku Pustaka.
Hamidi.
2004. Metode Penelitian Kualitatif.
Malang : Universitas Muhammadiyah
Koenjaraningrat.
1997. Antropologi Budaya. Jakarta :
Dian Rakyat
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah Teori Antropologi.
Jakarta : UI Press
Kuntowijoyo,
2006. Budaya dan Masyarakat.
Yogyakarta : Tiara wacana Yogya.
Maswinara,
I Wayan.1999. Sistem Filsafat Hindu
(Sarva Darsana Samgraha). Surabaya : Paramitha.
0 Response to " Sejarah pemujaan lingga di Desa Linggoasri-Jawa Tengah"
Post a Comment