KONSEP SEKALA DAN
NISKALA:
MENINJAU PEMIKIRAN
SAKRAL DAN PROFAN
Oleh:
Untung
Suhardi
A. Pendahuluan
Kehidupan keagamaan
Hindu diwarnai dengan adanya berbagai corak kehidupan yang memungkinkan adanya
ruang kosong umat untuk melakukan aktualisasi. Pada pandangan yang lebih luas
Hindu dikatakan sebagai ajaran yang bersifat sanatana dharma atau kebenaran
abadi yang diterjemahan dengan adanya pembebasan dari siapapun yang
melaksanakan ajarannya dengan penuh keyakinan (Sivananda, 2003: 2). Hinduisme
memandang bahwa kehidupan keagamaan Hindu tidak hanya melibatkan dogmatis yang
kaku dan menganggap bahwa ajarannya hanya melibatkan peraturan-peraturan yang
mengarah pada sikap eksklusifisme semata, melainkan menjadikan ajaran yang
melibatkan seluruh kemampuan pikiran dan perasaan. Pada konteks ajaran yang
dikaitkan dengan kehidupan sosial keagamaan bahwa Hindu menganggap seluruh
komponen kehidupan merupakan serangkaian integral yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya yang (Chinmayananda, 1994: 36). Hal yang kemudian
terjadi adalah pemahaman umat Hindu yang tidak hanya percaya pada hubungannya
dalam dunia material melainkan adanya relasi antara dunia spiritual dan
material.
Secara harfiah sakala berarti “di dalam waktu”, dan niskala berarti “yang ada di luar waktu”,
atau tidak terikat oleh waktu (Palguna, 2008: 28). Dalam pandangan umum bahwa
sakala adalah kehidupan duniawi (material) dan niskala adalah kehidupan
spiritual) yang ada dalam kehidupan keagamaan Hindu yang pada pemahaman lebih
dalam ada pada pokok pemikiran Siva Sidhanta tentang adanya Siva dan Paramasiva.
Kehidupan sosial keagamaan Hindu tentunya dapat dijadikan sebagai bagian dari
bentuk pemahaman dasar dari ajaran Hindu yang tertuang dalam konsep tri
kerangka agama Hindu tattwa, susila, dan acara yang pada setiap pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan waktu, tempat, dan keadaan. Namun dari serangkaian proses
pelaksanaan dari tri kerangka dasar ini membutuhkan perhatian khusus terutama
dalam konteks ritual. Sebab dari pelaksanaan ritual ini merupakan bagian dari
kegiatan yang bersifat pemujaan kepada kekuatan yang maha dahsyat. Akan tetapi,
sering kali seseorang hanya melaksanakan ritual (yajna) hanya karena keinginan material saja bahkam telah melupakan
kemuliaan dan kegunaan dari ritual itu sendiri (Sivananda, 2003:94). Selain
itu, bahwa kehidupan sakral dikaburkan dengan adanya keinginan-keinginan
material yang mengarah pada pemuasan keinginan pribadi, dan seolah-olah
kehidupan spiritual (rohani) dilupakan, padahal esensi dari pandangan luhur
agama Hindu adalah untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani.
B. Esensi Realitas Sakral dan Profan dalam pandangan Mircea
Eliade
Mircea
Eliade lahir di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang pegawai dalam
angkatan darat Rumania. Saat anak-anak, Eliade suka dengan tempat-tempat yang
sepi, sains, cerita dan menulis. Pada saat dewasa Eliade melanjutkan studi di
Universitas Bucharest dan di Italia. Ia mempelajari para pemikir Platonis mistik dari zaman
Renaisance Italia. Saat melakukan
pekerjaan ini, ia menemukan pemikiran Hindu yang menekankan kesatuan spiritual
dengan jiwa tertinggi yang ada di balik dunia. Segeralah ia berangkat ke India
untuk belajar pada sarjana dan orang bijak yang terkenal, Surendranath
Dasgupta. Datang di akhir tahun 1928, Eliade mendaftar di Universitas Calcutta
dan bekerja dengan Dasgupta di rumahnya. Dalam suatu bidang yang agak kurang
spiritual, ia juga memulai affair
dengan putri penasihatnya itu. Suatu
perpisahan yang tak menyenangkan dari gurunya pun terjadi, dan ia pindah untuk
berlatih yoga bersama dengan seorang
guru di Himalaya. Eliade
mendeskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari pengalaman: tradisional dan
modern. Manusia tradisional atau “homo religius” selalu terbuka untuk
memandang dunia sebagai pengalaman yang sakral. Sedangkan manusia modern
tertutup bagi pengalaman-pengalaman semacam ini. “manusia hanya dapat membangun
dirinya secara utuh ketika ia mendesakralisasikan dirinya dan dunia”. Baginya,
dunia hanya dialami sebagai yang profan. Bahwa yang menjadi Blue Print
buku ini kemudia adalah menunjukan apakah pengalaman-pengalaman yang berlawanan
secara mendasar ini pada setiap tahapannya memang konsisten. Manusia
tradisional seringkali mengekspresikan pertentang ini seabagai nyata versus
tidak nyata atau pseudoreal dan ia berusaha sebisa mungkin untuk hidup
dalam yang sakral, agar sepenuhnya dapat menghempaskan dan menyempurnakan
dirinya dalam realitas. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia
karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan.
Manifestasi dari yang sakral ini disebut Eliade sebagai “hierofani”.
Eliade memperkenalkan
konsep hierofani, sebuah konsep di mana yang sakral memanifestasikan dirinya
pada diri manusia, pengalaman dari orde realitas lain yang merasuki pengalaman
manusia. Ia memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang mengambarkan
bagaimana satu-satunya ruang yang “nyata” adalah ruang sakral, yang dikelilingi
oleh satu medan tanpa bentuk. Ruang sakral menjadi kiblat bagi ruang yang
lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland),
antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang diperbaharui
lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan mentahbiskan satu tempat dalam
dunia profan, kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin diakses.
Ini menjadi sentra dari dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam ruang
sakral ini, dan menjadi satu-satunya cara partisipasi dalam kosmos yang sakral
ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dunia profan.
C. Mengungkap Kesejatian Skala dan Niskala
Konteks
kehidupan keagamaan Hindu pada dasarnya adalah untuk menuju kehidupan yang
bahagia baik lahir maupun bantin. Konsep dasar yang telah diletakan para
pendahulu adalah tentang adanya konsep tri kerangka dasar Hindu baik tattwa,
susila, dan acara saat ini sudah mulai mengalami penurunan lantaran adanya
pengaruh lingkungan dan kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan dasar hidup manusia
inilah yang pada pemikiran Maslow disebut dengan human needs (kebutuhan
manusia) yang harus dipenuhi mulai dari kebutuhan fisik sampai dengan
aktualisasi diri (Asnawi, 2007:15). Lebih lanjut bahwa louis A. Allen
mengkategorikan kebutuhan ada dua macam yaitu kebutuhan biologis dan psikologis
kebutuhan ini harus sama-sama dipenihi
agar mencapai rasa yang memuaskan (Asnawi, 2007:118). Hal ini menunjukan
tentang adanya hubungan yang koheren antara kebutuhan badaniah dengan kebutuhan
spiritual yang dalam konsep Hindu disebut dengan kebutuhan sekala dan niskala.
Pemahaman yang
perlu dibangun sekarang adalah sekala berkaitan dengan adanya tingkahlaku yang
bersifat biologis untuk memenuhi kebutuhan fisiknya dan terkait dengan
lingkungan yang bersifat fisik. Pokok pemikiran yang secara spiritual
dikembangkan dalam aspek niskala yang menjadikan kita mampu untuk memahami
tentang nilai-nilai ketuhanan yang ada di alam semesta ini. Penerapan ajaran
skala dan niskala tidak hanya dalam tataran jasmani dan rohani melainkan adanya
bentuk penanaman nilai yang ada dalam kehidupan seperti adanya nilai yang
diterapkan dalam aspek relasi antara manusia dengan Tuhan dan alam. Hubungan manusia
dengan Tuhan sebagai bagian dari niskala yang menjadikan seseorang di dunia ini
mampu untuk mengubah dirinya menjadi hal yang sangat religius. Namun hal ini
juga menjadikan manusia buta dengan keadaan lingkungan yang ada dengan menganggap
bahwa keyakinan yang ada dalam dirinya
adalah yang paling benar dan orang lain yang ada diluar golongannya adalah
salah. Keyakinan inilah yang harusnya diubah bahwa manusia sebagai bagian
daripada warga global yang harus hidup bersama dalam bingkai berbedaan yang ada.
Relasi yang
dikembangkan selanjutnya adalah manusia dengan alam yang selalu dijadikan
sebagai pusat dalam tingkahlaku manusia untuk dijadikan bahwa alam adalah
sebagai bagian dari Tuhan itu sendiri sehingga kita harus menghormatinya. Selain
itu, saat ini yang menjadi pokok kajian yang penting adalah relasi dengan
sesama manusia yang seolah-olah renggang
hanya karena perbedaaan paham ataupun keyakinan yang ada baik secara
suku, asal, ras atau golongan. Kesadaran bahwa manusia pada dasarnya adalah
bagian yang menghuni bumi ini harusnya dapat dijadikan sebagai cerminan dalam
kehidupan bahwa perbedaan yang ada adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
D. Penutup
Konsep Skala
dan niskala sebagai bagian yang tidak
hanya disoroti dalam bentuk ritual atau relasi dengan sesama dengan satu intern
saja, namun dapat dijadikan cerminan untuk hidup bersama dengan keseimbangan
antara rohani dan jasmani. Kehidupan manusia mampu dijadikan sebagai cerminan
dalam kehidupan yang berpusat pada kesadaran yang bertumpu pada bentuk
penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam kehidupan dalam bingkai sosial
keagamaan.
E. Daftar Pustaka
Chinmayananda, Swami. 1994. Seni Kehidupan alih bahasa Anand Krishna. Jakarta: Keluarga Besar
Chinmaya
Palguna, IBM. Dharma. 2008. Leksikon Hindu. Mataram: Sadampatyaksara.
Sivananda, Sri Swani. 2003. Intisari Ajaran Hindu tim penerjemah, Yayasan Sanatana Dharmasrama.
Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok Rai. 2010. Antara Filsafat Yunani Plato dan Filsafat India Upanisad,
Bhagavadgita. Denpasar: Widya Dharma.
Asnawi, S. 2007. Teori Motivasi: dalam Pendekatan Psokologi Industri dan Organisasi.
Cet. 3 Jakarta: Studia Press.
0 Response to " PEMIKIRAN SAKRAL DAN PROFAN "
Post a Comment