Dasar-Dasar Filsafat Ketuhanan Dalam Masyarakat
Tionghoa
Oleh:
Kadek
Hemamalini
Untung Suhardi
Pendahuluan
Negara Cina merupakan negara yang memiliki peradaban yang paling tua
dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia (Tjetje, 2009). Filsafat mereka
dikatakan sebagai filsafat yang bersifat natural dan spontan yang sungguh
dilihat dan dialami dalam kehidupan mereka sendiri. Sebelum komunisme masuk,
ajaran mereka tidak didasarkan pada agama melainkan pada ajaran-ajaran etis.
Bagi orang Cina, filsafat dan cara bepikir tidak dapat dipisahkan sebagaimana
juga yang terdapat dalam kebudayaan India. Pandangan dan cara hidup mereka
tidak dapat dipisahkan dari apa yang mereka yakini sebagai kekuatan tertinggi
yang mengatur hidup mereka. Kekuatan tertinggi yang dimaksud itu adalah
tentunya Yang Absolut sebagai pencipta alam semesta
yang disebut
sebagai Tuhan meskipun masyarakat Tionghoa ini menyebutnya dengan
sebutan Tao.
Mengupas
tentang bagaimana konsep Ketuhanan masyarakat ini diyakini dan
diimplementasikan tentunya dengan melihat bagaimana cara berpikir, cara pandang
mereka terhadap Tuhannya dengan melihat Filsafat Ketuhanan mereka. Filsafat Ketuhanan yang akan dikaji pada bab ini adalah Filsafat Ketuhanan
berdasarkan kajian teologi artinya dalam pemaparannya nanti
akan sangat erat kaitannya dengan sistem religi.
Sebelum melangkah menuju pada uraian tentang bagaimana aplikasi Ketuhanan secara riil pada
masyarakat Tionghoa di Cikung Bio, perlu untuk menguraikan
terlebih dahulu kosmologi agama asal masyarakat tersebut yang menurut
penelitian Tjetje (2009) disebut sebagai Agama China. Tjetje dalam disertasinya menyebutkan bahwa dalam praktik
keagamaan Tionghoa, tampak Tuhan memiliki banyak aspek, yaitu : (1) Tuhan Totalitas
yang disebut Tao, sebagai Tuhan Eksistensial (2) Tuhan yang Transenden yang disebut
sebagai Thian atau Siang Te (Shang Ti), sebagai Tuhan metafisis atau supranatural. (3) Tuhan
Imanen yang disebut sebagai Thian Te, sebagai Tuhan fisis atau natural. (4)
Tuhan Representatif yang disebut sebagai Tian Chu (Tuhan Putera, yakni kaisar),
sebagai Tuhan politisi. (5) Tuhan Moralitas yang disebut sebagai Thian Tao,
sebagai Tuhan sosial atau sosiologis. (6) Tuhan Ansestral atau familial yang
disebut Thian Kong, sebagai Tuhan antropologis. (7) Tuhan Personal yang disebut
Thian Liang atau Liang Sim (hati nurani), sebagai Tuhan psikologis.
Dengan melihat dari berbagai aspek
Tuhan tersebut, dapat dilihat bahwa tampak jenjang aspek eksistensi manusia di
alam ini, yakni sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia
(alam), roh (adikodrati) dan totalitas. Sehingga dari pola keagamaannya tampak
keyakinan mereka adalah panenteisme (
http:/en.wikipwdia.org/wiki/Religion_China:2).Yakni kepercayaan yang mengganggap
Tuhan ada dan merasuki setiap bagian alam , dan secara kekal berada dibaliknya,
Tuhan adalah pencipta sekaligus penggerak di balik alam semesta (http:/en.wikipedia.org/wiki/Panenteisme
:1).
Hal
ini berbeda dengan paham panteisme yang dianut oleh Hindu yaitu dari asal kata
‘pan’ yang artinya semua dan ‘theo’ yang artinya Tuhan, adalah keyakinan agama
yang meyakini bahwa Tuhan dan alam identik (secara implisit menolak satu
monotheisme satu Tuhan berpribadi dan menjauhkan diri dari ciptaan) (Ngakan,
2008 : 56).
“Pantheisme, panentheisme, satu kelompok pandangan berurusan dengan hubungan
antara Tuhan dan dunia. Berlawanan dengan tekanan theism pada transedensi total
Tuhan kedua therm ini merefleksikan penekanan pada imanensi suci. Dalam
pandangan pantheistic, Tuhan dan dunia secara esensial identic; yang suci
imanen secara total. Dalam panentheistik, dunia ada dalam Tuhan (seluruh
realitas adalah bagian dari Ada Tuhan) tetapi Tuhan tidak dikurangi oleh dunia;
yang suci adalah transeden dan imanen. Pandangan-pandangan demikian sering
dikaitkan dengan mistikisme. (Putra, 2008 : 65)
Bagi etnis Tionghoa, Tuhan yang imanenlah
yang lebih banyak atau mendapatkan fokus pemujaan ataupun permohonan, Tuhan
yang transenden hanyalah bersifat
kebaktian murni tanpa pengharapan imbalan. Namun keyakinan akan Tuhan sangat
dijunjung tinggi melebihi apapun, melebihi dewa-dewa, malaikat, dan lain-lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam cara
pemujaan kepada Tuhan (Thian) yang memperkenankan umatnya untuk ‘membelakangi’
altar yang berisi patung dewa-dewa, malaikat dan lain-lain namun hal tersebut
tidak berlaku terhadap simbol Tuhan.
Ritual dan Keselarasan Pemikiran Filsafat
Disamping sangat kuat akan nilai-nilai
filsafatnya, masyarakat Tionghoa merupakan
masyarakat yang kaya akan prosesi-prosesi upacaranya atau yang disebut dengan
ritual persembahyangan. Menurut Durkheim terkait dengan ritual upacara dalam
bukunya The Elementary Forms of Relious
Life (1965 : 39) menegaskan banyak aspek yang terkandung didalam sebutan
suatu agama. Aspek supranatural yang menganggap agama sebagai sesuatu yag tak
terpamahi, misterius : “Thus religion
would be sort of speculation upon all that which evades sciense or distinct
thought in general”, karenanya agama menjadi semacam spekulasi untuk
menjelaskan hal-hal yang tak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan atau
tafsir-tafsir lainnya. Aspek keilahian (divinity) yang mana agama dipandang
sebagai medium di antara manusia dengan spriritual
beings(mahluk yang kekuasaan melebihi kekuasaan manusia biasa). Hubungan
ini diatur melalui ritual agama yang berbentuk doa-doa, pengorbanan dan
sebagainya (Durkheim, 1965 : 50)
“...ada
ritus-ritus yang dilakukan tanpa Dewa, bahkan ada ritus yang menentukan Dewa.
Tidak semua kekuatan religius berasal dari sosok ilahiah, dan terdapat
kultus-kultus yang memiliki obyek religius lain disamping Dewa yang digambarkan
dengan citra manusia. Agama lebih dari sekedar pengetahuan tentang Dewa-Dewa
atau roh-roh dan tidak dapat dianggap identik dengan hal-hal lain.”
Agama merupakan sistem kepercayaan yang disatukan oleh
praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci yakni hal-hal yang dibolehkan
dan dilarang kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas
moral. Bagi Durkheim karakteristik agama yang penting adalah agama itu
diorientasikan kepada sesuatu yang dihargai dan malah dahsyat. Dalam agama
terkandung empat unsur penting, yaitu : (1) pengakuan bahwa ada kekuatan gaib
yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia, (2) keyakinan bahwa
keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia
dengan kekuatan gaib itu, (3) sikap emosional pada hati manusia terhadap
kekuatan gaib itu seperti takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah dan
lain-lain, (4) tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti sembahyang,
doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi dan lain-lain.
Pengakuan
agama yang diorientasikan kepada sesuatu yang dihargai dan malah amat dahsyat
teraplikasi dalam ritual-ritual upacara masyarakat ini. Masyarakat Cikung Bio didalam setiap upacara
persembahyangan akan melalui suatu prosesi trans. Prosesi trans ini dilakukan untuk menurunkan
Dewa Cikung melalui media badan fisik Suhu Aseng yang bertujuan untuk menanyakan
apakah upacara yang dilakukan sudah sesuai, sudah sempurna dan tentunya untuk
mendapatkan anugerah keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan langsung dari
Dewa Cikung sendiri. Meskipun melalui media perantara, masyarakat tersebut
sudah merasa puas karena prosesi tersebut dapat mereka alami dengan melihat
danmerasakan langsung sehingga mereka lebih mendapatkan suatu keyakinan.
Budaya Masyarakat Tionghoa dan Perkembangannya
Agama
China (istilah yang dipakai Tjetje) yang semula sekedar menghayati agamanya
beralih menjadi berupaya menjelaskannya karena pengaruf reformulasi dari ketiga
agama yang disebut Sham Kauw (Khong Hu Cu, Tao dan Buddhis) dengan bobot
penekanan yang berbeda-beda. Agama Khong Hu Cu lebih mempengaruhi masyarakat
Tionghoa dalam hal sosiologis dan etika, yakni bagaimana
seharusnya menjadi manusia yang hidup di dunia ini menjalankan fungsinya
sebagai manusia sekaligus sebagai masyarakat. Peranan agama Khong Hu Cu dalam
rasionalisasi dan proposionalisasi kehidupan berdasarkan obyektifitas,
klasifikasi, dan verifikasi sehingga pengaruhnya lebih kepada sistematisasi
kehidupan keagamaan etnis Tionghoa. (Tjetje,
2009:1007).
Walaupun
Agama China secara bukti tertulis tidak diketahui tahun kemunculannya (seperti
yang terjadi pada agama Hindu, hanya perkiraan saja ), agama tersebut dapat
dianggap sebagai agama yang kuno yang menjadi sumber dan mengispirasi kelahiran
dari Agama Khong Hu Cu yang didirikan oleh Nabi Khong Hu Cu 2500 tahun yang
lalu dan Agama Tao yang didirikan oleh Nabi Lao Tze juga pada tahun 2.500 tahun yang lalu.
Agama China kemudian disintesis oleh kedua agama tersebut dan ditambah dengan bergabungnya
agama Buddha yang mulai berkembang di China
2.000 yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari tulisan seorang peneliti
Overmyer dalam Tjetje, 2009 : 607).
“Tradisi keagamaan tertua di China adalah dari
masyarakat lokal, kaisar dan Negara, dan agama Taois walaupun agama Buddha
mulai tiba dari India dan asia tengah pada abad pertama Masehi yang kira-kira
sama dengan awal dimulainya pengembangan tradisi keagamaan agama Tao”.
Hasil dari sintesis
tersebut membentuk hibrida agama baru yang dikenal dewasa ini dan hibrida
tersebut tetap menganut “gen” dari sistem nilai asli mereka seperti kebaktian
kepada leluhur dan keberlanjutan keturunan. Unsur yang tersilang sehingga menjadi hibrida baru hanyalah berupa
pola dan bentuk pengamalan atau operasionalisasi tanpa mengubah sistem nilai hakiki
agama asli mereka (Tjeje, 2009 : 1007).
Sejak 4.350 lalu
Agama China adalah agama resmi dari bangsa Cina, namun karena adanya
kemorosotan moral para pejabatnya yang diikuti oleh rakyatnya memunculkan tokoh
pembaruan yang berniat mengembalikan ajaran-ajaran kuno ke dalam kehidupan
masyarakat dengan menggunakan interpretasi dan formula baru. Hal itulah
penyebab munculnya sekte yang kemudian lepas menjadi agama sendiri.
“Padahal, dari masa paling dininya, kira-kira
pada 2356 SM, China telah memiliki agama resmi. Akan tetapi selama bagian kedua
dari abad keenam SM, pemerintah terperosok kedalam kebusukan dan kehidupan
moral rakyat terpuruk. Pada saat itulah Nabi Khong Hu Cu muda menjadi guru
terkenal”. (O.P Ghai dalam Tjetje,2009 : 608)
Kelahiran Agama
Khong Hu Cu diawali dengan orientasi akan humanisme yang bertujuan untuk
memperkuat lingkungan sosialnya, namun pada praktiknya agama ini tidak hanya
berorientasi pada manusia tetapi juga bersinergis dengan alam. Humanisme agama China
tidak meninggalkan kekuatan alam namun meleburkan kekuatan alam yang mana
manusia merupakan pusat dari kesatuan tersebut. Sehingga humanisme agama China
adalah humanisme yang alamiah yang menekankan manusia rasional dengan nilai tertinggi
dan sumber nilai terakhir serta menghindari konsep adikodrati (supernatural).
Akan tetapi humanisme Cina justru memasukkan manusia sebagai bagian dari alam,
sehingga menyatu dengan alam yang juga bersifat adikodrati, dalam pandangan
China alam meliputi langit, bumi, dan manusia yang mana langit dan bumi adalah
representasi dari paham akan Tuhan(Lorens Bagus, 2000 : 295).
Penutup
Bagi
masyarakat Tionghoa dasar
kejiwaan mereka adalah etika bukannya agama, agama menurut mereka adalah
filsafat yang disertai sesuatu bangunan atas tertentu yang terdiri dari
takhyul-takhyul, dogma-dogma, ketentuan-ketentuan upacara, serta
lembaga-lembaga. Dalam Taoisme ada
perbedaan Taoisme sebagai filsafat yang disebut Tao Chia (Mazhab
Tao) dengan agama Tao yang disebut Tao
Chiao, ajarannya bukan hanya berbeda melainkan bahkan
saling bertentangan. Taoisme sebagai filsafat mengajarkan agar manusia
mengikuti alam, sedangkan Taoisme sebagai agama mengajarkan agar manusia
menentang alam. Sebagai contoh menurut Lao Tzu dan Chuang Tzu kehidupan
yang diikuti kematian merupakan jalan alam dan manusia hendaknya dengan tenang mengikuti
jalan alam ini, tetapi ajaran pokok agama Tao berupa azas serta cara
menghindari kematian yang jelas-jelas merupakan upaya menentang alam. Agama Tao
berjiwa ilmu pengetahuan yaitu hendak menundukkan alam
(Wang, 2002
: 65).
Dalam Budhis sendiri
juga terdapat pemilahan antara Budhisme sebagai filsafat yang disebut Fo hsueh (ajaran Buddha)
dengan Budhisme sebagai agama yang dinamakan Fo chiao (agama Buddha). Bagi orang Tionghoa yang
berpendidikan, filsafat Buddha jauh lebih menarik dibanding agama Buddha.
Seringkali terjadi dalam upacara pemakaman Tionghoa, rahib Buddha dan rahib Tao secara
bersama-sama ambil bagian dalam upacara kebaktiannya. Orang Tionghoa bahkan
memahamkan agama mereka secara kefilsafatan.
Dalam pandangan Barat dewasa ini, masyarakat Tionghoa dianggap
sebagai bangsa yang kurang memerhatikan agama dibanding bangsa-bangsa lain.
Dalam satu tulisan yang berjudul “Dominant
Ideas inThe Formation of Chinese Culture”,Derk Bodde mengatakan :(Journal of American Oriental Society, vol. 62, no.4, pp 239-9 Dicetak ulang dalam China, pp 18-28 (H.F. Mac Nair, ed). University of California Press, 1946).
“....mereka
(bangsa Cina) bukan suatu bangsa yang memandang gagasan-gagasan serta
kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai hal-hal
yang maha penting serta sebagai bagian kehidupan yang memerlukan
perhatian penuh...Etika (khususnya etika Confucianisme) dan bukannya agama
(setidak-tidaknya bukannya agama yang bercorak formal, yang terorganisasi),
merupakan dasar kejiwaan peradaban Cina....Sudah tentu semuanya itu
menggambarkan perbedaan hakiki antara Cina dengan sebagian besar
peradaban-peradaban besar, yang didalamnya gereja serta kependetaan sejak
dahulu memainkan peranan yang menentukan”
Dikatakan bahwa etika
bukannya agama yang menjadi dasar kejiwaan peradaban Cina. Perhatian mereka
terhadap agama tidak besar karena besarnya perhatian mereka kepada filsafat,
dan kepribadian mereka adalah kepribadian kefilsafatan. Dalam filsafat
tercukupi kedambaan mereka akan sesuatu yang ada dibalik dunia nyata di depan
manusia, juga dalam filsafat mereka mengungkapkan dan menghargai nilai-nilai
adi-susila (bangsa Cina menyebutnya sebagai nilai-nilai kecintaan kepada Tuhan sebagai
nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai susila (etika).
Menurut tradisi filsafat Cina, tugas filsafat
bukan untuk menambah pengetahuan positif melainkan untuk menaikkan taraf jiwa sebagai
suatu upaya untuk menggapai sesuatu yang terdapat di balik dunia nyata, dan
untuk meraih nilai-nilai yang lebih tinggi dibanding nilai-nilai susila.
0 Response to "Dasar Filsafat Ketuhanan Tionghoa"
Post a Comment