Peningkatan Kemampuan Penyuluh Agama Hindu: Tantangan dan Peluang
oleh:
Untung Suhardi
Kemampuan
seorang penyuluh dalam memberikan pembinaan kepada umat Hindu memberikan
pembekalan yang memadai dalam konsep yang benar. Di dalam
Agama Hindu, terdapat enam cara atau metoda penyampaian ajaran agama dengan
tujuan agar ajaran agama itu dapat dimengerti, dipahami, dan dihayati oleh umatnya
dan dapat diamalkan dengan baik dan benar guna mencapai kehidupan yang bahagia
dan sejahtera. Keenam metoda itu disebut Sad
Dharma, yang terdiri atas: Dharmavacana,
Dharmatula, Dharmagita, Dharmayatra, Dharmasadhana, dan Dharmasanti.
Dharmavacana merupakan salah satu metoda
penyampaian ajaran agama Hindu yang dilakukan melalui ucapan atau vokal, dengan
teknik-teknik tertentu yang dapat menarik perhatian pemirsanya dan dirasasakan
bermanfaat bagi kehidupannya sehingga memberikan spirit untuk mengamalkannya. Dharmatula adalah metoda dalam bentuk
tanya-jawab, diskusi maupun dialog guna mencari titik temu tentang kebenaran
suatu ajaran. Dharmagita adalah
metoda penyampaian ajaran melalui gita,
tembang, kekawin, palawakhya, sloka, dan
sruti sehingga isinya dapat diresapi oleh pemirsanya. Dharmayatra adalah metoda
pembelajaran agama Hindu melalui pelaksanaan Tirthayatra dengan cara mengunjungi tempat-tempat suci seperti
Pura, Kuil, Candi, mata air suci, sungai suci, dan obyek spiritual lainnya guna menimbulkan kesan yang mendalam tentang
nilai-nilai sakral dalam ajaran Veda. Dharmasadhana
adalah metoda pendalaman ajaran agama melalui pelatihan spiritual, seperti:
meditasi, namasmaranam, kirtanam, dan berbagai kegiatan Yoga
lainnya untuk menemukan kesadaran tentang keagungan Hyang Widhi Wasa dan
kesadaran diri sejati. Dharmasanti adalah
metoda pembelajaran agama Hindu melalui anjangsana atau kunjungan kekerabatan,
pertemuan saling asih baik perseorangan maupun dalam bentuk forum, abhimandana atau simakrama guna meningkatkan tali persahabatan antar sesama.
Terkait
dengan adanya peningkatan penyuluhan hal yang perlu untuk dibenahi adalah
adanya pembenahan mulai dari penyuluh (dharma
duta), proses penyuluhan, peningkatan kompetensi penyuluh. Penyuluh sebagai
bagian dari bentuk awal yang harus diperbaiki karena menyangkut kualitas sumber
daya manusia (SDM). Pemahaman terkait dengan kualitas yang
diperlukan oleh seorang Dharma Pracharaka
adalah kesiapan yang diperlukan oleh seseorang sebelum melakukan pembinaan umat
tersebut. Pembinaan umat yang dilakukan oleh seorang penyuluh agama Hindu yang dilakukan di DKI Jakarta
sudah banyak dilakukan pembinaan oleh Kanwil Kementerian Agama Bimbingan
Masyarakat Hindu DKI yang sudah melakukan kegiatan pembinaan kepada penyuluh
agama Hindu non-PNS.
Pendapat
yang telah dikemukakan oleh Anak Agung Raka sebenarnya telah memberikan sambutan yang
positif tentang pembinaan kepada para penyuluh sebelum melakukan pembinaan. Peran penting
yang menjadi garis bawah dari pendapat yang telah dikemukakan oleh Mudana dan
Raka menjadi titik tolak penulis dalam melakukan analisa bahwa pembinaan yang
dilakukan oleh umat hendaknya dilakukan kepada para penyuluh terlebih dahulu
kemudian kepada para umat. Karena pembinaan ini sebagai upaya untuk membangun
tatanan yang seimbang dalam struktur fungsional pada kehidupan masyarakat.
Untuk itulah, Talcot Person menguraikan bahwa teori sturktural
fungsionalisme ini menekankan pada stabilitas, fungsi dan
konsensus masyarakat terhadap suatu kejadian, bahwa masyarakat adalah suatu
sistem yang kompleks terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan
saling ketergantungan. Setiap bagian saling berpengaruh secara signifikan,
sebuah sistem dalam memelihara stabilitas masyarakat secara keseluruhan
normatif dan equilibrium (Suhardi, 2013: 31).
Proses
yang dilakukan ketika upaya pembimas DKI Jakarta melakukan pembinaan kepada
umat yang terlebih dahulu melakukan pembinaan kepada para penyuluh baik PNS maupun Non-PNS. Untuk itulah, dalam melakukan pembinaan
ini dalam pemikiran Person sebagai upaya untuk mewujudkan sistem dalam
upaya untuk stabilitas masyarakat secara keseluruhan dan mewujudkan
keseimbangan yang ada di DKI Jakarta. Pemikiran tentang pembinaan adalah bagian
untuk memelihara keseimbangan adalah untuk mewujudkan tatanan pembinaan yang
tidak hanya untuk melakukan pembinaan kepada umat akan tetapi untuk mewujudkan pengembangan kepada umat
dengan pemberdayaan para penyuluh agama. Menyambung pembahasan ini tentang
kualitas yang diperlukan untuk menjadi seorang penyuluh agama adalah dengan
mempersiapkan kaderisasi kepada penyuluh muda. Untuk itulah dalam bidang
pembinaan ini yang jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi adalah periapan mental yang baik, karena tidak
ada keterampilan yang didapatkan dengan cara instan. Akan tetapi, keterampilan
tersebut harus dilatih dengan bimbingan tutor yang menekuni bidangnya dan para
praktisi yang terbiasa terjun untuk melakukan pembinaan.
Pembinaan ini tidak terlepas dari kemampuan seorang
dalam melakukan pembinaan. Persiapan ini sebagai modal mental yang dipersiapkan
dan dilakukan sebelum melakukan public
speaking, untuk itu hal yang dipersiapkan dalam hal ini adalah
manajemen emosi sebagai persipan diri untuk berbicara di depan publik dengan
sebaik-baiknya (Anjali, 2007: 109). Untuk
itulah, dalam penelitian ini disertakan dasar dalam melakukan proses pembinaan
yang terkait dengan pengingkatan kualitas para Dharma Pracharaka.
1.
Keyakinan
dan Kesucian Pribadi
Keyakinan
dan kesucian pribadi bagi seorang Dharma Pracharaka sangat
mutlak diperlukan. Menumbuhkan dan meningkatkan keyakinan pribadi dapat
dilakukan dengan membaca berbagai referensi atau rujukan yang berkaitan dengan
hal tersebut, misalnya kisah-kisah seorang mengalami perubahan diri, dari umat
kebanyakan, karena berbagai cobaan yang dihadapi dapat berubah menjadi seorang
yang memiliki keyakinan yang mantap kepada Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan
Roh Suci Leluhur. Di samping itu dengan membaca buku-buku tentang kehidupan
para yogi atau mahàrsi di masa silam dapat meningkatkan keyakinan seseorang
terhadap keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Buku-buku seperti Living with
Himalayan Master, karya Swami Rama, The
Autobiography of Yogi oleh Yagananda Paramahamsa akan dapat meningkatkan
keyakinan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula buku-buku karya
Swami Vivekananda seperti Voice of
Vivekananda, karya-karya Swami Sivanda, Mahatma Gandhi dan lain-lain akan
dapat meningkatkan keyakinan pribadi dan bahkan keyakinan untuk melakukan
pelayanan kepada umat yang dilandasi
hati yang tulus. Keyakinan dan percaya diri merupakan modal yang utama
ketika tampil membawakan pesan dharma dalam bentuk pembinaan umat. Rahman Hakim
(2004:21) menyatakan bahwa keyakinan dapat menimbulkan pengendalian diri,
tetapi yang sebaliknya pun dapat terjadi. Pengendalian diri dengan mudah dapat
merosot menjadi kegugupan dan frustasi (Titib,
2005). Seseorang yang gugup dan tidak dapat mengendalikan diri dapat
dilihat dari semua sikap sebagai gerakan tingkah lakunya sebagai sebuah proses.
Hal lain yang menunjukan
tentang sikap kepercayaan diri ini juga diungkapkan oleh Thantawy R. Dalam
kamus istilah Bimbingan Dan Konseling
dinyatakan bahwa :
Percaya
diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi
keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan . Orang
yang tidak percaya diri meiliki konsep yang negatif dan kurang percaya pada
kemampuan dirinya sendiri, sehingga sering untuk menutup dirinya sendiri
(Thanthawi, 2005:87).
Berlanjut pada pembahasan ini
manunjukan bahwa seorang yang berkeyakinan mantap biasanya berbicara tanpa
gerak isyarat tangan ke muka seperti menutup mulut dan hidung atau menggaruk
kepala. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui keyakinan orang, harus
diperhatikan apakah tidak ada keragu-raguan atau gerak isyarat negatif lainnya
yang membuktikan kebalikan perasaan yang ditampilkan. Sikap tegak dan bangga
yang sering tampak pada orang yang telah banyak berprestasi dan paham akan
tujuan yang dikejarnya juga merupakan keyakinan yang jelas. Sikap tegak tidak
saja berfaedah bagi fisik, tetapi juga mencerminkan keyakinan diri secara
normal. Ada juga yang menyatakan bahwa orang-orang yang berkeyakinan akan lebih
banyak mengadakan kontak mata dibandingkan dengan mereka yang kurang yakin atau
berusaha menyembunyikan sesuatu. Keyakinan juga menyebabkan mata jarang
berkedip da orang tampaknya menjadi seorang pendengar yang baik. Kepercayaan
diri ini juga dapat dikatakan untuk menundukan rasa takut yang ada dalam diri
sendiri dalam berbagai situasi, hal ini dijelaskan oleh Robert Anthony bahwa
kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang yang diperoleh melalui monolog
dengan dirinya sendiri yang bersifat internal, keyakinan yang mendukung
berbagai tujuan hidup untuk tidak berputus asa walaupun menemui kegagalan (Wibowo, 2007: 105).
Berangkat dari informasi yang didapatkan dari para informan menunjukan
bahwa ada upaya mental seseorang sebelum menyampaikan pesan kepada orang lain.
Untuk itulah, sebelum mulai memberikan pesan dharma, usahakan selalu berdoa di
tempat akan dilangsungkannya penyampaian dharma tersebut yang tentunya
dilandasi dengan keyakinan dan rasa percaya diri. Berdoa dimaksud adalah berdoa
dalam hati, memuja-Nya, Para Dewa atau Roh Suci Leluhur supaya senantiasa
memberikan bimbingan dan tuntunan, sehingga materi dapat dilaksanakan berhasil
sukses tanpa halangan apapun, dan inti pesan dapat dipahami dengan baik,
sehingga audience benar-benar
merasakan kebahagiaan mendengarkan acara tersebut.
2.
Penguasaan
Materi
Penguasaan
materi tidak sama dengan menghafal, karena hal ini diandaikan seperti halnya
dengan pendengar yang memiliki keterbatasan ingatan. Untuk itulah, berbicara
atau berkomunikasi dengan profesional menuntut kesiapan dalam ranah :
Pertama,
wawasan atas materi yang akan disampaikan. Kedua,
cara menyampaikan yang meliputi gerak, intonasi suara, dan penekanannya. Ketiga, penampilan. Ketiga hal tersebut
sebenarnya bisa dipelajari asalkan bersedia mempelajarinya. Karena itu
tipe-tipe kepribadian tertentu tidak dapat menjadi kendala untuk bertumbuh
menjadi profesional. Sepanjang memiliki motivasi yang baik untuk maju dan
berkembang, seseorang akan mampu mencapai keberhasilan yang diinginkan
(Khayyirah, 2013: 9).
Wawasan atas materi atau
penguasaan materi merupakan hal yang mutlak bagi seorang Dharma Pracharaka. Tanpa
menguasai materi yang akan disampaikan, pembicaraan tidak akan terarah.
Berkenaaan dengan hal tersebut, seorang yang akan memberikan Dharma Wacana terlebih dahulu harus mengetahui topik yang
akan dibicarakan. Untuk itu ia harus mendapatkan informasi yang jelas dari penyelenggara acara.
Permasalahan apa yang dihadapi oleh penyelenggara dapat diketahui dari
penjelasan atau permintaan materi ceramah oleh penyelenggara. Misalnya pihak
penyelenggara menyatakan bahwa kesadaran umat Hindu untuk ber-dana punia membangun atau merenovasi pura sangat kurang,
untuk itu perlu digugah kesadarannya. Demikian kadang-kadang penyelengara
meminta kepada yang akan memberikan pesan dharma untuk menjelaskan makna
upacara yang sedang mereka lakukan. Namun, biasanya topik dharma wacana atau dharma tula biasanya
diajukan oleh pihak penyelenggara dengan penekanan-penekanan tertentu. Untuk
itu, seorang Dharma Pracharaka harus
mampu memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh
umat di tempat tersebut dalam wujud dharma wacana atau dharma tula.
Berdasarkan penjelasan ini menunjukan bahwa situasi global saat ini, ajaran
moralitas hendaknya selalu disampaikan oleh seorang Dharma Pracharaka
walaupun materi Dharma Wacana tersebut tidak secara langsung membahas hal
tersebut. Isu lingkungan, kesetaraan gender, kemanusiaan, kemiskinan, kebodohan
merupakan isu yang menarik untuk dijadikan materi atau memperkaya tema pesan dharma
yang akan ditetapkan. Mengingat bahwa keberadaan umat yang ada di DKI Jakarta
merupakan keberadaan sosial yang bersifat heterogen untuk itu, hal penting yang
dilakukan adalah membangun kesadaran untuk hidup berdampingan secara rukun dan
damai.
3.
Melatih
Kemampuan Berbicara
Kekaguman
atau kebosanan yang dihadapi oleh audience
salah satunya adalah tergantung dari
penggunaan bahasa. Keberadaan pembicara dalam hal ini adalah sebagai narasumber
yang didalamnya menggunakan seni dalam menyampaikan pesan kepada orang lain
agar pesan tersebut dapat diterima dengan baik
(Khayyirah: 144). Oleh karen itulah, variasi bahasa yang
digunakan jangan terkesan monoton dan membuat para audience merasa bosan tetapi gunakan bahasa yang awam.
Menyimak penjelasan tersebut menunjukan bahwa tutur kata seorang Dharma Pracharaka
hendaknya tulus, artinya jujur apa adanya. Intonasi kata-kata tidak dibuat-buat
supaya tampak gagah, melainkan dengan lemah lembut dan meyakinkan menyampaikan
materi yang telah dipersiapkan. Demikian pula mengembangkan keramahtamahan
dengan tulus, karena sesungguhnya dari hati yang tulus akan memancar wajah yang
berseri-seri, tulus, dan berkharisma. Indayati
Oetomo (2007:4) menyatakan: “Kepada siapa pun kita berbicara, biasakanlah
selalu bersikap ramah. Setiap orang selalu suka berbicara dengan orang yang
ramah. Baik orang tua, atasan, maupun bawahan, dan terutama kepada lawan jenis
kita harus menunjukkan sikap seperti itu. Kemudian ucapan-ucapan kita pun harus
jelas agar tidak terjadi miscommunication,
maksudnya, adalah pemilihan kata-kata. Mekipun tujuan kita baik, kalau kita
salah berkata-kata, tujuan itu tidak akan tercapai. Biasakan juga menggunakan
Bahasa Indonesia yang baik karena kita akan berbicara dengan orang dari
berbagai suku bangsa. Selain itu, usahakan untuk kontak mata dengan lawan
bicara. Jangan ketika berbicara kepada seseorang, mata kita tidak menatapnya,
tetapi pada aksesori yang dipakainya”.
Dalam
memberikan Dharma Wacana atau sejenisnya hendaknya juga melakukan hal yang sama seperti
berbicara kepada seseorang, namun perhatian di arahkan kepada seluruh audience. Sikap ramah, rendah hati, dan
ucapan-ucapan yang jelas sangat diperlukan. Bila memberikan Dharma Wacana yang
memang menuntut digunakan Bahasa Indonesia, maka gunakan Bahasa Indonesia dengan baik, benar,
dan sopan. Sebaliknya bila audiencenya
rupanya memerlukan bahasa daerah setempat, hendaknya digunakan bahasa tersebut.
Hal ini perlu dilakukan untuk menambah lebih akrabnya umat dengan yang
memberikan Dharma Wacana.
Merujuk pembahasan ini
menunjukan bahwa kemampuan berbicara tidak hanya untuk ceramah melainkan juga untuk kemampuan dalam bidang
sosial kemasyarakatan karena berbicara di depan umum pun harus dipelajari.
Intinya jika akan membawakan suatu makalah atau presentasi, harus menguasai
bahan yang akan dibicarakan, sehingga memiliki rasa percaya diri. Ada baiknya mempelajari
hal-hal berikut :
1) Tunjukkan
sikap antusias terhadap situasi dan pendengar, sehingga menciptakan situasi
yang interaktif.
2) Lakukan
kontak mata kira-kira 5-15 detik. Jadi jangan melihat sekilas-sekilas, nanti
yang dilihat berpikir bahwa pembicara tidak sedang berbicara kepadanya. Tatapan
pembicara pun harus berkeliling bukan pada satu orang saja. Jadi semua diajak
bicara.
3) Agar
orang lain suka untuk mendengarkan dan melihat pembicara, perlihatkan ekspresi
wajah tersenyum dengan pandangan mata ke lawan bicara. Dalam hati ada perasaan
saya suka berbicara dengan anda. Tidak ada rasa keterpaksaan, malas, dan ogah-ogahan.
Jadi pancarkan wajah yang suka berinteraksi pada wajah pembicara.
4) Siapkan
humor, karena humor akan membuat orang lain lebih senang, juga dapat menghilangkan kejenuhan.
Sering-seringlah membuat humor, namun hindari humor yang menyindir dan bersifat
pornografi dan pornoaksi. Inti yang penting humor membuat suasana rileks.
5) Cukup
singgung satu poin saja, jangan terlalu banyak bicara agar pembicaraan menjadi
fokus. Memang baik mempunyai wawasan yang luas. Tapi juga harus memperhatikan
kelompok pendengar. Tidak perlu memperlihatkan semua wawasan yang dimiliki,
karena hal tersebut akan menunjukkan bahwa pembicara pamer dan sok pintar.
6) Bila
perlu berikan pujian yang jujur. Jangan menyimpan maksud supaya orang menilai
pembicara sebagai orang yang berpendidikan.
Pujian menunjukkan bahwa pembicara orang yang terbuka, dan satu selera dengan
pendengar (Titib, 2005:34).
Berdasarkan uraian tersebut
bahwa dalam memberikan Dharma Wacana atau pembinaan sejenis juga dilakukan hal yang
sama, yakni tunjukkan sikap antusias terhadap situasi. Pandanglah seluruh
hadirin dengan tatapan mata simpati dengan wajah tersenyum, dilandasi hati yang
tulus. Lihat suasana, bila tampak mulai jenuh, upayakan selipkan humor yang
menyegarkan, hindarkan diri dari humor menyindir baik itu suku, asal, ras dan
agama. Selain itu, bahwa fokus pembicaraan tidak terlalu banyak, namun dibahas
secara mendalam dengan memperhatikan kondisi audience. Sampaikan pujian kepada penyelenggara acara, bahwa acara
tersebut sangat berkesan dan perlu dikembangkan terus. Hal in juga untuk memacu
para penyelenggara untuk menggunakan sarana dan media yang ada dalam penyelenggaraan ke depannya.
Selain itu, adanya upaya untuk mengevaluasi diri dengan selalu berupaya untuk
belajar dari siapapun untuk meningkatkan kualitas dari materi yang akan
disampaikan.
5.1.4 Sikap dan Penampilan
Sikap
dan penampilan seorang Dharma Pracharaka akan
menentukan keberhasilan jalannya pembinaan ini harus dimiliki oleh penDharma Pracharaka. Dalam membahas sikap
dan penampilan ini perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
1)
Kesan
pertama membentuk opini audience.
Dalam memberikan Dharma Wacana,
usahakanlah saat pertama kali tampil menunjukkan sikap yang mengesankan audience. Kesan pertama (first impressions) ini akan muncul bila
pembicara mempersiapkan diri dengan baik, artinya menguasai materi yang
dibawakan, sikapnya yang baik saat berbicara. Saat menuju mimbar untuk
berbicara sebenarnya sudah dinilai oleh audience.
Untuk itu sikap percaya diri, tidak ragu-ragu harus ditunjukkan dengan baik.
Demikian pula senyum manis, membuat audience
pun tersenyum bahagia. Penilaian positif akan berlanjut bila audience puas, dan penilaian itu akan
menjadi pembicaraan di tengah-tengah masyarakat.
Tampilan pertama adalah citra yang melekat pada
pembicara, untuk itu persiapan yang matang sangat diperlukan, mulai dari
merencanakan materi yang akan disampaikan, tata urutan yang akan disampaikan,
saat yang tepat menyisipkan humor, dan tentunya memilih humor yang tepat.
Ilustrasi cerita yang akan disampaikan pada akhir Dharma Wacana juga sudah disiapkan, dan saat akan berakhir
tampak muncul seperti simpulan, pesan maupun rekomenasi yang akan disampaikan
kepada audience. Untuk dapat
meningkatkan percaya diri diperlukan wawasan yang luas, evaluasi diri, dan
memperbaiki penampilan.
2)
Bahasa
tubuh.
Bahasa tubuh (body language) sudah tampak ketika pembicara menuju mimbar atau podium. Bahas
tubuh diartikan sebagai bentuk kemampuan mental dan fisik manusia dalam bentuk
komunikasi nonverbal yang terdiri dari postur tubuh,
gerak tubuh, ekspresi wajah dan gerakan mata (Balqis
Khayyirah, 129). Oleh karen itulah, bahasa tubuh sangat
penting dilakukan dan harus dimiliki oleh dharma
pracaharaka. Dalam hal ini dapat dicontohkan berupa tubuh yang tegak, sikap tegap, seolah-olah
menjadi perhatian semua orang. Bahasa tubuh yang kuat bukan hanya menguntungkan
pada hadirin, sikap semacam itu juga mengirimkan pesan kembali kepada
pembicara. Postur yang baik meberi rasa percaya diri, power, energi kepada
pembicara. Postur yang baik juga baik bagi otot-otot perut, diafragma dan
tulang belakang. Begitu sampai di depan podium bernafaslah. Sesuaikan
micropunnya, sapa seluruh hadirin dengan tatapan mata, tersenyum dan mulailah
berbicara.
Tampil luwes, indah, meyakinkan dan penuh
percaya diri dam melaksanakan tugasnya sebagai show pribadi membutuhkan
perencanaan yang matang. Ketika mulai memberikan Dharma Wacana,
mulailah menyampaikan salam penghormatan (pangañjali). Usahakan tampak tenang dan meyakinkan.
Setelah menyampaikan penghormatan kepada hadirin sesuai dengan senioritasnya,
mulailah Dharma Wacana dengan doa pembukaan, dan ajak seluruh hadirin untuk
mengikuti dalam hati dengan sikap ‘amustikarana’ (sikap tangan mengepal,
tangan kanan ditutup oleh jari-jari tangan kiri, kedua ibu jari bertemu).
Ucapkan doa atau mantra dengan penuh rasa bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi,
Para Dewa dan Roh Suci Leluhur.
Setelah menyampaikan terjemahan doa tersebut ke
alam Bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat, mulailah Dharma Wacana dengan sikap tubuh yang rileks seakan-akan
tanpa beban. Pada saat berbicara, sebaiknya dalam posisi berdiri dengan sikap tubuh yang baik: badan tegak, tetapi
rileks, tidak kaku. Posisi ini membuat suara terdengar lebih spontan, tidak
tertekan. Selain itu juga memberi kesan yang baik. Sikap tubuh adalah cerminan
dari perilaku keseharian yang sebaiknya sesuai dengan etiket dan estetika.
Memberikan Dharma Wacana tidak selalu dalam posisi berdiri, tetapi sering pula
duduk bersila dan di hadapannya terdapat ‘dulang’ atau meja kecil berisi
‘canang sari’ dan bahkan kadang-kadang sesajen atau pasbunga. Usahakan sesajen
atau pasbunga jangan sampai menghalangi wajah Dharma Pracharaka. Sikap duduk bersila bagi laki-laki dan bersimpuh
bagi wanita. Pandangan mata menyapu
seluruh wajah audience.
3)
Gerakkan
tangan.
Sikap tangan disampaikan secara spontan dan
wajar, artinya tidak berlebihan. Digunakan saat menekankan materi pembicaraan
yang dianggap penting. Biarkan kedua lengan mengambang bebas di sisi badan
secara alamiah. Hindarkan gerakkan tangan berlebihan. Demikian pula jangan
bertolak pinggang, karena hal tersebut tidak etis. Jangan menunjuk ke arah audience. Dan jangan pula mengenakan
cincin berlebihan, cukup satu buah saja yang tidak terlalu besar.
4) Hal-hal yang tidak boleh
dilakukan.
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan
ketika berbicara di depan umum: mengunyah permen karet, bermain-main dengan
kancing manset atau perhiasan, bermain-main dengan uang receh dalam saku,
memelintir rambut, dan meratakan rambut sehingga menutupi mata. Jangan
mengusap-usap jenggot, membunyikan buku-buku jari, atau bermain-main dengan
kuku. Dan yang terpenting, pada bagian mana saja tubuh kita yang gatal, jangan
menggaruknya. Untuk melatih pertama kali bagi yang belum berpengalaman dapat
merekam melalui kamera video, sehingga mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang
tidak disadari sebelumnya (Alves, 2007:86-87).
4.
Busana Dharma Pracharaka
Kata busana dari kata bhùsana dalam bahasa Sanskerta dan juga dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti hiasan, perhiasan, pakaian, dan pesta. Merujuk pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa kata bhusana pada pada mulanya memang berarti hiasan atau perhiasan (dari urat kata bhù yang artinya menghias). Kini dalam kosa kata bahasa Indonesia, secara harfiah busana diartikan pakaian yang lengkap (yang indah-indah), busana yang tidak terlalu mewah (Panitia Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 140). Secara umum busana dibagi tiga yaitu, Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan (busana adat yang belum lengkap), Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap) dan Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan atau pawiwahan (sudah lengkap secara aksesoris yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi) (Krishna, 2014: 5).
Pemahaman
bahwa penyuluh sebagai garda terdepan merupakan hal yang benar adanya karena
seorang penyuluh tidak hanya memberikan ceramah keagamaan yang bernuansa
keagamaan melainkan mampu untuk memberikan pembinaan dan advokasi kepada
wilayah binaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Untuk itula, persyaratan
penyuluh yang saat ini hanya memberikan dharma wacana perlu membutuhkan
pelurusan dan pemaknaan yang lebih dalam tentang hal ini. Ajaran veda sebagai
sumber hukum tertinggi dalam Hindu mempunyai ajaran yang adi luhung yang
dikenal dengan laukika dan Vaidika yang merupakan turunan dari sad darsana
bagian Nyaya darsana yang merupakan cabang filsafat komunikasi dalam Veda
termasuk didalamnya terdapat ilmu komunikasi antarpersonal (Surya, 2014: 79).
Pengertian
dari laukika dalam epistemologi sabda pramana,
yaitu bentuk kesaksian yang berasal dari orang yang dapat dipercaya dan kesaksianya dapat diterima menurut logika
dan akal sehat (Maswinara, 2006: 134). Berdasarkan pengertian laukika itu, maka secara definisi maupun
konsep laukika adalah sesuatu yang
diungkapkan berdasarkan kesaksian yang dapat diterima secara logika. Hal ini
sesuai definisi logika dalam bahasa latin disebut logos yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain yang dipergunakan sebagai gantinya adalah mantiq, kata arab yang berasal dari kata
nataqa yang berarti berkata atau
berucap (Mundiri, 2009: 1-2).
Laukika yang artinya
berkata atau berucap yang disampaikan kepada seseorang kepada orang lain inilah
yang disebut dengan komunikasi. Perkembangan komunikasi dalam laukika adalah lebih menekankan hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Hal ini
sesuai dengan konsep dari Tri Hita Karana
yaitu tiga penyebab kebahagiaan.
Pada
ajaran darsana, khususnya berkaitan
dengan sad darsana kebenaran yang
disampaikan berdasarkan laukika adalah disampikan oleh mereka yang telah
bergelar maharsi. Keberadaan dari maharsi adalah mereka yang telah mengetahui
tentang ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan. Para penerima wahyu inilah kemudian
membuat dan menyusun kembali kitab suci Weda, sehingga dapat dipelajari sampai
saat ini. Seorang maharsi adalah tokoh pemikir dan ahli agama, ia juga seorang jnanin, filosuf dan pejuang dalam bidang
agama. Ia adalah penyebar ajaran agama dan sekaligus moralis, singkatnya guru
dengan berbagai sifat istimewa yang serba mulia. Ia rendah hati dan tahan uji,
ia memiliki pendangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu
mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa,
brata, yoga dan samadhi, karena
itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai ahli
agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan pada siapa
saja yang datang untuk memohon bimbinganya (Titib, 1996: 37).
Begitu mulianya
para maharsi dalam menyebarkan ajaran agama Hindu patutnya komunikasi kepada
para penganut ajaran Hindu, menjadikan ajaran Agama Hindu bersifat anadiananta, tidak berawal dan berakhir
serta abadi sampai akhir zaman. Begitu pula pada zaman upanisad, yaitu
sekelompok sisya (murid) duduk dekat dengan sang guru untuk mempelajari dan
mengkaji masalah yang hakiki dan menyampaikan kepada para sisya di dekat
mereka. Upanisad berisi ajaran tentang
ketuhanan yang gaib dari suku kata aum. Apabila pertanyaan timbul mengenai
akhir dari umat manusia, yajnavalkya
membisikan jawaban kepada salah seorang muridnya. Bentuk komunikasi dalam Hindu
untuk mengetahui rahasia alam semesta, menurut Chandogya Upanisad
adalah ajaran Brahman boleh
disampikan dari sang ayah kepada anak tertua atau kepada murid terpercaya dan
tidak kepada orang lain, walaupun orang tersebut menyerahkan seluruh bumi
beserta segala hartanya (Radhakrishnan, 2008: 4-5).
Sejalan dengan pemikiran yang telah disajikan sebelumnya
menunjukan bahwa pola komunikasi yang dikembangkan dalam kemajuan peradaban
india kuno sudah sangat maju. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk budaya
dan peradaban yang sudah mengenal tentang adanya pola yang terintegrasi. Hal
ini juga disandingkan dengan pemikiran interaksionisme simbolik dari Mead yang menyatakan pentingnya makna bagi perilaku
manusia, pentingnya konsep mengenali diri dan hubungaan antara individu dan
masyarakat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Blumer (1969) bahwa manusia
bertindak terhadap manusia lainya
berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, makna diciptakan dalam
interaksi antarmanusia, dan makna dimodifikasi dalam proses interpretatif (Santoso dan Setianah, 2012:21).
Penjelasan Mead ini berarti bahwa manusia untuk mengaktualisasikan
ilmunya membutuhkan media tentang
pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang menyesuaikan dengan kebiasaaan
dan kehidupan sosial keagamaan. Secara historis bahwa penyebaran ajaran Veda yang sudah sangat berlangsung lama telah
menggunakan pola komunikasi yang menggunakan verbal. Seperti halnya dengan
adanya transfer ilmi pengetahuan dari seorang rsi kepada para muridnya, juga
melalui verbal. Hal yang sama juga dilakukan oleh para maharsi nntuk menerima
wahyu Veda sejak jaman dahulu dimulai dari tapa dan meditasi orang suci untuk
mendapatkan wahyu Veda tersebut. Pola
interkasi antara guru dan murid, pemimpin dan rakyatnya, orang tua dan muridnya
merupakan wujud komunikasi yang dilakukan secara konvensional. Perjalanan
komunikasi ini memberikan pemahaman kepada penulis bahwa awal yang digunakan
untuk melakukan media komunikasi adalah diri manusia itu sendiri.
Proses berkomunikasi ini sebagai wahana untuk menyampaikan
pesan kepada orang lain agar antara komunikan dan komunikator dapat saling memahami dan membawa kedamaian.
Hal ini dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya 118 bahwa :
samyagalpaṁ ca vaktavyamaviksiptena cetasā
vākprabandho hi saṁrāgādvirāgāvā bhaVedasan
Terjemahan :
Hendaknya yang
patut dikatakan itu adalah sesuatu yang membawa kebaikan, hal itu janganlah
digembar-gemborkan, berkeinginan disebut pandai berbicara, sebab kata-kata itu
jika berkepanjangan, ada yang menyebabkan senang ada yang menimbulkan
kebencian, tak baik hal serupa itu (Kadjeng, 1997: 99).
Berangkat
dari sloka tersebut menunjukan bahwa segala perkataan yang dilontarkan oleh
seseorang mempunyai efek yang besar terhadap kehidupan ini. Penutur bahasa dalam masyarakat
tertentu dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang tidak hanya benar
tetapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya. Kemampuan ini melibatkan
pengetahuan bersama dari kode linguistik, aturan sosial budaya, norma dan nilai-nilai yang memandu perilaku dan
interpretasi berbicara dan saluran komunikasi lainnya dalam masyarakat.
Bersandar dari
hal inilah maka, dalam proses yang dilakukan adalah dengan adanya pembinaan
yang dilakukan secara berkala dan adanya pembinaan oleh lembaga terkait. Komunikasi
yang dilakukan disini adalah dalam bentuk komunikasi antar pribadi yang tidak
hanya memprediksikan seseorang dalam bertindak melainkan dapat menjelaskan
perilaku orang tersebut (Riswandi, 2009: 85). Hal inilah yang dalam
penyuluhan agama Hindu pada dasarnya
adalah bentuk penanaman nilai kepada
para pendengar (audience) dalam
mejalankan bentuk pembinaan yang tidak hanya kepada para perespon melainkan
tokoh yang memberikan pesan dharma itu
membutuhkan tata kelola yang baik.
0 Response to "Penyuluh Agama Hindu"
Post a Comment