Matinya Hiperealitas
Oleh:
Untung Suhardi
G
|
aya hidup manusia sebagai kebutuhan yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan ini. Kejadian ini sebagai bagian dari adanya
diferensiasi social yang ada sehingga tercipta dari relasi konsumtif seseorang
baik dalam skala individu maupun dalam kelompok social tertentu (Piliang, 2006: 180). Gaya hidup menjadi tren yang mampu mengesampingkan aspek moralitas,
budaya, norma, bahkan seringkali menerabas hukum yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Selain itu, gaya hidup seolah-olah menjadi mainan baru seperti
anak kecil yang sedang asik-asiknya memainkan benda mainannya yang lupa akan
makan, tidur, bahkan bermain dengan teman sebayanya. Hal inilah yang
menjadikan bahwa hidup manusia
seakan-akan mati rasa dengan sentuhan rasa kerinduan akan hakekat sang
Pencipta.
Kecanduan seseorang di dunia ini terkadang mengalahkan
segalanya, bahkan sampai tidak sadar bahwa kita masih diberikan nafas oleh yang
mahakuasa. Dengan bayang-bayang gemerlapan dunia, dia lupa akan kewajiban
dirinya sebagai bagian dari ekosistem alam yang harusnya ikut serta menjaga
keseimbangan dunia ini (Putri, 2013: 34). Kesadaran lebih jauh muncul ketika dihadapkan pada situasa pada saat
kita dalam kesulitan yang sangat luar biasa yang bahkan orang yang kita
percayai tidak mampu untuk membantu apalagi menyelesaikan masalah disitulah
kita merasa dunia ini tidak adil. Ditambah lagi dengan adanya musibah yang
sangat dahsyat menimpa diri dan keluarga menambah lagi rasa penderitaan yang
tidak berkesudahan. Pada titik inilah
seseorang dibawa oleh keadaan untuk bangkit dan beradaptasi dari situasi yang
terjadi dan mau tidak mau harus bertahan ditengah keterpurukannya.
Situasi dan kondisi inilah yang dalam keterpurukannya
ini sama sekali tidak terpikirkan tentang harta benda yang dimilikinya,
kemewahan dunia yang ingin dinikmatinya, serta kesenangan-kesenangan yang lain.
Keadaan ini juga yang membawa seseorang pada keinsyafannya akan hakekat yang
kuasa bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, dan menyadari bahwa keabadian
ini adalah perubahan dan yang memiliki semuanya adalah yang mencipta seluruh
jagat raya ini (Sivananda, 2003: 143). Hiperalitas yang ada dan sering dia lakukan sebelum datang keinsyafan
akan kesadarannya akan kekuasaan semesta tidak dia temui ketika sedang dalam
kemewahan dunia. Namun, sekarang ini hiperalitas atau dalam artian kesenangan
dunia yang sudah mencapai titik puncaknya dia rasakan tidak ada. Bahkan kebahagiaan
ini ketika sadar akan kedekatannya dengan sang pencipta dengan penyatuan jiwa
individu dengan jiwa semesta tidaklah dapat dilukiskan dengan seluruh air yang ada
di muka bumi ini dengan daun sebagai kertasnya (Donder, 2006: 87). Hal inilah yang disebut dengan kesardaran akan hakekat hidup, bahwa
kita harus mampu memberikan batasan kesenangan dunia dengan segala kemilauan
yang ada. Namun, kita harus sadar bahwa yang membawa kebahagiaan kita dalam kehidupan setelahnya adalah hasil
perbuatan kita berupa buah pikiran, hasil kerja nyata yang dinikmati seluruh
manusia dan buah karya tingkah laku dalam kehidupannya.
Manusia akan terus mengada ketika sang jiwa menerukan
perjalannya, namun manusia ini seolah-olah tidak akan walaupun ketika dia ada
di dunia lantaran tidak mengerti akan hakekat dirinya sebagai manusia yang
sejati. Misi kehidupan manusia adalah menyeimbangkan kebahagiaan secara rohani
dan pemenuhan kehidupan ini secara jasmani yang harus dipenuhi dengan
nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kaidah norma dan moralitas kehidupan. Hal ini
harus kita ingat bahwa lakukanlah kewajiban dunia ini dengan sesungguhnya
karena kita bercita-cita akan hidup 1000 tahun, dan haruslah cepat sadar akan
hakekat sang Pencipta seolah-olah kita akan meninggalkan dunia besok.
Daftar Bacaan
Donder, I. K. (2006). Brahmawidya: Teologi Kasih Semesta dan Kritik
Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran Program Misi, Komparasi Teologi,
dan Konversi (I). Surabaya: Paramita.
Piliang, Y. A. (2006). Dunia yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. (A. dan K. Adlin, Ed.) (II). Yogyakarta:
Jalasutra.
Putri, L. S. (2013). Dimensi Ontologis Relasi Manusia dan
Alam (suatu pendekatan fenomenologis lingkungan terhadap problem
disekuilibrium) (I). Depok: UI Press.
Sivananda, S. S. (2003). Intisari Ajaran Hindu (I).
Surabaya: Paramita.
0 Response to "Gaya Hidup dan Matinya Hiperalitas"
Post a Comment