Membangun
Kesadaran Sebagai Makhluk Sosial
Oleh:
Untung Suhardi
Pendahuluan
Secara bukti arkeologi
menunjukan bahwa budaya Veda sudah berjalan jauh didirikan oleh orang nomadik
yang memiliki kulit terang yang telah menyerang India sekitar 1500-100 SM. Akan
tetapi, jauh sebelum itu menunjukan bahwa Ṛg Veda sebagai kitab yang
sangat tua dalam peradaban manusia mengacu pada bintang pada 6000-7000 SM yang
merupakan lanjutan dari peradaban prasejarah yang ada dalam kebudayaan India di
lembah Indus (Pandit, 2006: 368-369).
Penjelasan
lan menunjukan bahwa Veda yang sudah sangat tua
ini mengalami perjalan waktu yang sangat panjang, hal ini pula banyak ahli
sejarah Hindu yang menafsirkan waktu
Veda itu diturunkan. Hal ini misalnya dijelaskan oleh Vidyaranya yang menafsirkan Veda diturunkan 15.000 SM,
Lokamaya Tilak Sastri 6000 SM dan yang paling muda dijelaskan oleh sarjana luar
Stutterheim 1000-500 SM. Veda inilah yang kemudian ditulis kembali oleh Maharsi
Vyasa yang kemudian dibantu oleh muridnya yang bernama Sumantu, jaimini,
Pulaha, dan Vaisampayana (Titib, 2003: 43-44).
Keunikan ajaran sanatana
dharma yang dikembangkan dalam kebudayaan yang berbeda dalam bangsa yang
berbeda pula menjadikan Veda ini mampu untuk mengikuti kearifan lokal yang ada.
Secara lingkup sejarah bahwa Veda sudah dikembangkan oleh para maharsi yang
diterima dengan ajaran spiritual dalam kurun waktu yang berjenjang. Wujud
kearifan lokal yang memperlihatkan sifat Veda yang fleksibel adalah mampu untuk
menghidupkan budaya setempat dan menjadikan budaya itu tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan jaman yang ada. Bukan yang dalam hal ini mematikan
budaya setempat dan menggantikan budaya yang baru, keadaan inilah yang
menjadikan budaya Veda mampu untuk berakulturasi dengan budaya lokal yang ada.
Perspektif agama Hindu jika dilihat dalam kaca mata budaya, khusunya yang ada
di Indonesia justru menjadikan budaya lokal dapat tumbuh dengan baik dan
menjadikan budaya asli dapat tetap eksis. Keaslian budaya asli inilah yang
menjadikan Hindu mudah diterima oleh berbagai daerah yang ada di Nusantara baik
itu dari ruang adat, istiadat, bahasa, ras dan faktor lain yang mendukung
keberadaan komunikasi antarbudaya dalam Hindu
itu sendiri.
Sumber
Historis, Sosiologis Dan Filosofis Hindu Dalam Membangun Kesadaran Sebagai
Makhluk Sosial
Agama Hindu yang terlembaga
masih sangat awam bagi kepercayaan Hindu di nusantara, sehingga pembinaan dan
pemahaman umat Hindu terhadap ajaran Hindu yang eksoterik tidak dipahami secara utuh. Apalagi pemahaman teks maupun
kitab suci dari Agama Hindu serta ritual Agama Hindu yang murni (pure vedic) tidak dipahami dalam bentuk
religiusitas. Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
berdirinya sekolah agama Hindu, harus bekerja keras mengejar ketertinggalan
dalam pembinaan umat Hindu, agar umat Hindu dapat lebih mengenal, memahami,
mengerti tentang agamanya, terutama pemahaman umat Hindu terhadap kitab
sucinya.
Pesamuhan Agung
(semacam rapat kerja nasional) tahun 1990 telah menetapkan 6 metode pembinaan
umat, yang terdiri dari: Dharma Wacana,
Dharma Tula, DharmaGita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra, dan Dharma Santi. Melalui
metode tersebut pembinaan terhadap umat Hindu di Indonesia diharapkan lebih
efektif dilaksanakan. Berikut penjelasan dari enam metode pembinaan umat Hindu:
a.
Dharma Wacana: pembinaan terhadap umat Hindu dengan metode ceramah. Penyampaian metode
dilakukan oleh mereka yang tahu dan paham dengan ajaran Agama Hindu, sehingga
ajaran dapat disampikan langsung kepada umat Hindu. Inilah bentuk pengembangan
dari Laukika dan Waidika, yang disampikan oleh pracaraka atau pedharma wacana. Kebenaran yang disampikan oleh pracaraka adalah
berdasarkan kitab suci Weda. Inilah bentuk implementasi komunikasi dari laukika dan waidikasabda pramana.
b.
Dharma Gita: pembinaan terhadap umat Hindu dengan metode melantunkan nyanyian agama.
Seperti diketahui bahwa Weda adalah nyanyian suci, sehingga seorang speaker
sebelum menyanyikan mantra suci atau sloka suci dalam kitab suci Weda, terlebih
dahulu mempersiapkan diri dengan sarana upacara. Metode dharmagita, saat ini mengalami perkembangan, apalagi dengan
dibuatkan banyak lomba dharmagita,
antusias umat dalam mempelajari kitab suci Weda menjadi sangat tinggi.
c.
Dharma Tula: Kata Tula berasal dari bahasa sansekerta
artinya perimbanganatau bertimbang.
Secara harfiah dharmatula dapat
diartikan dengan berdiskusi atau berembug tentang ajaran agama Hindu. biasanya dharmaTula dikaitkan dengan DharmaWacana, yaitu setelah seorang dharmapracaraka menyampaikan materi dharmawacana nya, kemudian di berikan
kesempatan untuk dialog dan berdiskusi tentang materi yang telah disampaikan,
semuanya itu tetap berpedoman pada kitab suci Weda.
d.
DharmaYatra: usaha
untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Agama Hindu melalui
kunjungan untuk persembahyangan ketempat-tempat suci. Tujuan dari dharmayatra tidaklah sama dengan tirta yatra, melainkan dengan dharmayatra dilanjutkan dengan pemberian
penyampaian ajaran agama Hindu kepada desa-desa yang dilewati atau di pura yang
dikunjungi. Oleh karena itu, seorang yang melakukan dharmayatra secara pribadi maupun kelompok merupakan metode
pembinaan dengan pola jemput bola, tapi tetap bertujuan agar umat memahami
ajaran agama Hindu.
e.
Dharma Sadhana: realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat
dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni: Bhakti, Karma, Jnana dan Raja
atau Yoga Marga. Dimana
untuk meningkatkan realisasi sang dirinya, seorang mencari guru spiritual yang
dianggap mampu memberikan ajaran tentang rohani yang terdapat dalam kitab suci
Weda. Disamping itu pula seseorang yang dianggap sebagai seorang yogi, swami
atau yang dapat dipercaya untuk menjelaskan tenang pembebasan secara rohani
memberikan darsan atau wacana,
sehingga para umat yang mendengarnya, kemudian mempraktikkan ajaranya dan
sampai akhirnya para umat mengerti tentang realisasi sang diri dalam Weda.
f.
Dharma Santi: suatu ajaran untuk mewujudkan
perdamaian diantara sesama umat manusia. Acara DharmaSanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi
dan relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kegiatan DharmaSanti bertujuan sebagai media untuk saling beranjangsana, saling
maaf-memaafkan dilandasi dengan kejernihan hati untuk menghapuskan kekhilafan
dan kealpaan di antara umat. Biasanya kegiatan dharma santi dilaksanakan setelah tahun baru saka atau setelah hari
raya nyepi.
Komunikasi antarbudaya, Lustig
and Koester’s menyatakan (2003: 49-51), adalah sebuah “proses simbolik yang mana orang dari dari budaya-budaya yang
berbeda menciptakan pertukaran arti”. Hal tersebut terjadi “ketika
perbedaan-perbedaan budaya yang besar dan penting menciptakan interpretasi dan
harapan-harapan yang tidak sama mengenai bagaimana berkomunikasi secara baik”.
Jandt (2004: 4) mengatakan komunikasi antarbudaya tidak hanya komunikasi antar
individu tapi juga di antara “kelompok-kelompok dengan identifikasi budaya yang
tersebar’. Ringkasnya, komunikasi antarbudaya menjelaskan interaksi antar
individu dan kelompok-kelompok yang memiliki persepsi yang berbeda dalam
perilaku komunikasi dan perbedaan dalam interpretasi. Beberapa studi mengenai
komunikasi antarbudaya menguji apa yang terjadi dalam kontak dan interaksi
antarbudaya ketika proses komunikasi mencakup orang-orang yang secara budaya
tersebar (Samovar & Porter 1997).
Kesadaran inilah akan mencapai
kebahagiaan dan keharmonisan karena, mengetahui bahwa sesungguhnya diri kita,
orang lain serta makhluk hidup lainnya adalah bersaudara (Vasudaiva Kutumbhakam). Karena sebenarnya kita saling membutuhkan
satu dengan yang lainnya, bagaikan satu rumah dengan satu atap dengan sifat dan
tempramen yang berbeda, tetapi satu. Hal ini juga dijelaskan dalam Atharwa Veda
III. 30. 1 yang dijelaskan bahwa :
Sahrdayam sam manasyam avidvesam krnomi vah,
Anyo anyam abhi haryata vatsam jatam ivagh-nya
Terjemahan
:
Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas
yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai
anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu (Grifith,
2003).
Kesadaran yang
dibentuk bahwa sifat dasar kita berasal dari sumber
yang sama, yaitu Brahman dengan demikian jiwa-jiwa yang ada pada setiap makhluk
adalah bagian dari Brahman, maka hendaklah kita selalu menerapkan sifat-sifat
itu dalam kehidupan ini karena kita mempunyai hubungan langsung dengan
unsur-unsur di alam semesta ini ; tanah, air, api, udara dan angkasa. Dalam
ajaran Hindu mengenal adanya Tat Twam Asi
yang mengandung pengertian bahwa aku adalah engkau dan engkau adalah aku, dan
menyakiti makhluk hidup lain pada dasarnya adalah menyakiti diri sendiri dan
juga sebaliknya.
Penutup
Nilai
kebersamaan ini dibangun pada saat manusia mempunyai misi yang sama bahwa
tujuannya di dunia ini adalah untuk memperbaiki karma dan mensejahterakan
dunia. Dunia yang semakin tua tidak dapat dianggap sebagai maya atau ilusi akan
tetapi sebagai sesuatu yang nyata bawah kesedihan,kebagiaan, panas, dingin dan
dualisme dunia terjadi sebagai fakta kehidupan. Hal ini juga yang harus
dipikirkan kembali tentang kualitas sumber
daya manusia yang tidak hanya dibicarakan dalam tataran wacana,
melainkan untuk diterapkan sinergitas umat Hindu, antarlembaga yang mengusung
peningkatan sumber daya manusia Hindu.
0 Response to "Kesadaran Sebagai Makhluk Sosial"
Post a Comment