Sivaratri





FILSAFAT SAIVA SIDDHANTA
oleh : PUTU MUDIANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Siwaisme yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir, terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India, dan berkembang pesat ke seluruh India, dan wilayah diluar India, salah satunya adalah Indonesia.
Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.
Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.
Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber yang dimaksud adalah Bhuwana kosa,Wrhaspati tattwa,Tattwa Jnana,Ganapati tattwa,bhuwana Sang Ksepa,Siwa Tattwa Purana,Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.
Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.
I.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas adapun rumusan masalah yang akan kita bahas dalam karya tulis ini adalah :
  1. Bagaimana Tuhan Siwa atau Siwa Loka dalam Lontar Tutur Gong Besi?
  2. Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa?
  3. Peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa?
I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari karya tulis yang berupa paper ini adalah sebagai berikut :
  1. Mengetahui bagaimana Siwa Loka dan Tuhan Siwa sebagai tujuan umat Hindu di Bali.
  2. Mengetahui lambang dari Tuhan Siwa dalam bentuk Lingga.
  3. Mengetahui dan memahami peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa,dalam hujud Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa itu sendiri.
I.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan paper Saiwa Siddhanta yaitu :
  1. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk  ajaran Saiva Siddhanta.
  2. Dapat mengetahui konsep daripada ajaran Saiva Siddhanta.
  3. Mengetahui lambang dan tempat pemujaan Tuhan Siwa,serta gelar beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Tuhan Siwa atau Siwa Loka sebagai tujuan umat Hindu di Bali
Sastra agama Hindu di Bali sangat banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam bahasa yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih dari Ida Bhatara Dalem sebagai dewa paling utama. Salah satu sastra agama yang menyebutkan hal demikian adalah Lontar Tutur Gong Besi.
Arti Kata Lontar Tutur Gong Besi : Lontar adalah daun pohon lontar, Tutur adalah petunjuk, Gong Besi adalah nama dari sebuah kitab suci Agama Hindu . Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaannya, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja) dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai surga loka atau siwa loka.
Arti Kata Surga Loka atau Siwa Loka : Surga Loka artinya kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, Siwa Loka artinya Istana atau Stana Dewa Siwa sebagai manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siwa Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan. Dalam hubungannya dengan sembah bhakti (pemujaan) kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Ketika beliau yaitu Ida Bhatara Dalem berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa, maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut dengan Sanghyang Sapu Jagat.
Ida Bhatara Dalem ketika berstana di kuburan atau setra agung beliau dipuja dengan nama Bethara Dhurga. Ketika kemudian beliau berstana di tunon atau pemuwunan (tempat pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di Pura Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang Mrajapati. Di laut, Ida Bhatara Dalem dipuja dengan sebutan Sangyang Mutering Bhuwana. Pergi dari laut kemudian menuju langit, beliau dapat dipuja dengan sebutan Bhuwana Taskarapati. Taskara adalah surya atau matahari, sedangkan pati adalah Wulan atau bulan. Kemudian ketika beliau berstana di Gunung Agung dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah gunung, putri adalah putra atau anak, yakni putra dari Bhatara Guru yang berstana di Sanggar Penataran, Panti Parahyangan semuanya, dan berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari Gunung Agung kemudian berstana beliau di Gunung Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu. Ketika beliau berstana di Panca Tirtha atau pancuran air, maka beliau bernama Sanghyang Gayatri. Dari pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran sungai, maka beliau kemudian dipuja dengan sebutan Betari Gangga.
Bhatara Dalem ketika berstana disawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada disawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian didalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan Sanghyang Pawitra Saraswati. Didalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut Sanghyang Tri Merta. Kemudian di Sanggar Kemimitan (Kemulan) yaitu tempat suci keluarga, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah aku manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan Tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal. Ida Bahtara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah penguasa kematian, dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan Ida Sanghayng Widhi dengan segala manifestasi beliau. Dengan segala kemahakuasaan yang mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebagai pemuja atau penyembah yang taat akan menyebut beliau dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan juga dimana beliau dipuja. Demikian disebutkan dalam Tutur Gong Besi.
II.2 Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104).
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42). Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102).
Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah.
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:
”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.
Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai  ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 : 93).
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain :
- Chalalingga
- Achalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.
b. Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa
.
d. Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
e. Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama).
b. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
c. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.
II.3 Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan ikang sukha.(Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)
Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.
Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.
Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.
Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.
Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dalam lontar Bhuwanakosa dikatakan bahwa semua yang ada ini muncul dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga. Dengan demikian maka Bhatara Siwa adalah sumber segala yang ada, sama halnya dengan Brahman dalam Upanisad.
(Bhuwanakosa III, 82). Yatottamam iti sarvve, jagat tatva vva liyate, yatha sambhavate sarvvam, tatra bhavati liyate. Sakwehning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya.
Semua dunia ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali pada Bhatara Siwa juga.
Segala yang muncul dari Bhatara Siwa itu sifatnya maya, bukan yang sesungguh nya dan merupakan dunia phenomena, yaitu dunia gajala yang tampak untuk sementara saja. Ibarat tampaknya bayang-bayang pada cermin, yang tampaknya saja ada namun sesungguhnya tidak ada, dan yang sesungguhnya ada berada di balik bayang-bayang itu. Adapun yang sembunyi di balik dunia ini, yang bersifat langgeng, hanyalah Bhatara Siwa sendiri.
III.2 Saran
Sebagai mahluk ciptaan yang paling utama hendaknya kita menjaga / memelihara dunia ini dan menjaga hubungan yang harmonis antara sesama. Semua ajaran tentang ke-Tuhanan sangat perlu kita pelajari agar kita dapat berbuat demi kemakmuran dunia. Seperti halnya ajaran Saiwa Siddhanta yang mengajarkan kita untuk memelihara dunia tempat kita terlahir, tumbuh, dan mati nantinya.

MENGHAYATI MAKNA FILOSOFIS HARI SUCI SIVARATRI

Oleh Nengah Dana


Setiap orang yang lahir di dunia ini harus menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Sanghyang Widhi Wasa dan merupakan pancaran dari sinar suci-Nya. Sementara dalam kehidupannya ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan di mana mereka hidup, karena koderatnya sebagai mahluk sosial (homo socious) selalu harus berhubungan dengan dunia luar dan dunianya sendiri selaku individu. Di samping itu manusia juga dibelenggu oleh hukum kerja, karena itu mereka wajib melaksanakan tugas hidupnya walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menimpa dirinya.
Di dalam menjalani kehidupannya, setiap orang harus berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan kepribadian-Nya. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah betapa sulitnya manusia menemukan kesadaran untuk membebaskan dirinya dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan - akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan. Sehubungan dengan itu Agama Hindu mengajarkan Tapa Brata Sivaratri sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.

AJARAN TAPA BRATA SIVARATRI

Tapa brata Sivaratri termuat di dalam berbagai pustaka suci agama Hindu, baik di dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Ceritra Lubdhaka ini hampir sama dengan mithologi Nishada di dalam Padma Purana yang ditulis sekitar 1500 tahun S.M. Namun yang terpenting dari mitologi itu ialah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa tentang keutamaan brata Sivaratri. Dialog itu antara lain berbunyi sebagai berikut :
"Tuanku Raja dengarkanlah, saya akan menerangkan kepada tuanku tentang brata Sivaratri, yaitu brata yang paling utama sebagai jalan menuju Sivaloka. Malam ke 14 yang gelap, pada bulan Magha atau Palguna (Purwanining Tilem Kapitu) haruslah disadari sebagai " malam Siva " yang akan membebaskan semua dosa ( sarva papa paharini ). Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur sambil memetik daun Bilwa selama malam itu untuk berbhakti kepada Siva, maka akan mencapai identitas Siva. Janganlah dibeberkan sembarangan walaupun oleh tuanku sendiri. Brata Sivaratri adalah brata yang paling istimewa, ibarat Mahamerunya pegunungan, Matahari dari yang bersinar, Guru dari para mahluk, Gayatrinya mantra, Amritanya cairan, Visnunya lelaki dan Arundhatinya wanita. Sivaratri yang dikaitkan dengan " bhavani " (bhakti yang murni), begitu terjadi kontak akan segera membakar bahan bakarnya dosa. Brata Agung Sivaratri ini adalah seperti yang telah diajarkan sebelumnya oleh Mahadeva kepada sinar-Nya ".

Demikianlah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa. Dikatakan pada pengelong 14 bulan Magha yang merupakan malam tergelap dalam satu tahun, Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi Siva Mahadeva yang maha pengasih, penyayang, pelindung alam semesta, melakukan Yoga guna melebur dosa - dosa insan yang taat dan pasrah berbhakti kepada-Nya.

Kemudian di dalam pustaka suci Mahabharata (Santi Parva) terdapat ajaran tentang brata Sivaratri yang diajarkan oleh Maharsi Bhisma kepada Yudhistira putra Pandu, dengan kisah kehidupan seorang pemburu bernama Susvara dari Varanasi, yang dalam penjelmaannya kemudian, mereka hidup sebagai Maharaja bernama Chitrabhanu.

Adapun ketentuan tentang pelaksanaan Tapa brata Sivaratri tercantum di dalam Lontar Aji Brata, yang pelaksanaannya mencakup tiga kegiatan secara bersamaan, yaitu : Mauna, Upavasa dan Jagra, dimulai pada pukul 06.00 ketika fajar menyingsing.
Mauna : berarti diam, berdiam diri tanpa suara, tanpa ucapan kata, dan mendiamkan pikiran dari obyek indera. Ini dilakukan selama 12 jam.
Upavasa : berarti mengendalikan hawa nafsu, tidak menikmati makanan, minuman dan sebagainya, selama 24 jam.
Jagra : berarti melek, tidak tidur sebagai latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran rohani, dilakukan selama 24 jam sampai 36 jam.

Di dalam melaksanakan Tapabrata Sivaratri digunakan simbol-simbol suci atau praktika antara lain : "Dalung " sebagai simbol kolam suci tempat munculnya Siva-Lingga, pohon beringin sebagai simbol pengganti pohon Bilva, Kwangen dan berbagai Upakara lainnya yang tidak dibicarakan pada naskah ini.

Bagi umat yang melaksanakan brata Sivaratri, kegiatannya diawali dengan persembahyangan, kemudian memasukkan Kwangen ke dalam Dalung, kemudian duduk menghadapi cawan berisi air dan 108 daun beringin serta Dupa yang menyala, bermeditasi melakukan "Nama smaranam" mengagungkan nama suci Siva sang pelebur "papa" dan pembawa "punia" memohon tuntunan dan sinar suci-Nya agar dijauhkan dari kelalaian yang membawa derita hidup.

Monabrata diakhiri pada petang hari (pukul 18.00 wib) sedangkan Upawasa diakhiri ketika fajar menyingsing yang diawali dengan persembahyangan "Lebur Brata" dilanjutkan mengambil Kwangen di dalam Dalung dan memercikkan airnya ke ubun-ubun, dengan harapan agar Hyang Widhi selalu menuntun kesucian pikiran dan perasaan hatinya.
Setelah upacara Lebur Brata maka "Jagra" dapat dilanjutkan dengan kegiatan TirthaYatra yaitu perjalanan ke tempat suci atau Pura sampai waktu Jagra itu berakhir.

TINJAUAN FILOSOFIS
Hakikat Kelahiran Manusia

Manusia adalah salah satu dari berjuta-juta jenis ciptaan Sanghyang Widhi Wasa yang selalu berupaya membebaskan dirinya dari penderitaan hidup dan mencari kebahagiaan. Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dirinya.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.

"Eko devas sarva bhutesu gundhas
sarva vyapi sarva bhutantaratma
karmadhyaksas sarva bhutadhivasas
sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)
(Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.)

Inti hidup itu disebut "Atman" sedangkan Sanghyang Widhi Wasa sebagai penciptanya disebut "Parama Atman" atau Brahman. Pada hakikatnya Atman dan Brahman itu tunggal, yang di dalam Aitarya Upanisad disebut: "Brahman Atman aikhyam". Ibarat matahari dengan sinarnya, ibarat air samudera dengan setetes embun, demikianlah hakikat Brahman dengan Atman yang menyinari Jiwa manusia itu. Kemudian ketika manusia lahir, maka sang Jiwa dipengaruhi oleh bakat sifat dari "wasana karmanya".

Di dalam hidup ini setiap manusia akan terkena oleh pengaruh sifat alam yang disebut "Guna". Ada tiga guna yang selalu mangikuti dan mempengaruhi segala aktivitas manusia dalam hidupnya, yaitu: "Sattvam, Rajas, Tamas"; ketiganya disebut "Tri Guna". Sattvam ialah sifat : sifat tenang, suci, benar dan sadar. Rajas ialah sifat: lincah, energik dan dinamis. Tamas ialah sifat : sifat lamban, malas dan statis.

Pengaruh Tri Guna itu masing-masing berbeda untuk setiap orang, bergantung dari bakat sifat kelahirannya dan aktivitas latihan rohani sepanjang perjalanan hidupnya. Kecenderungan-kecenderungan yang sering kita jumpai adalah dominasi pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud "Sadripu" (Kama, Lobha, Kroda, Mada, Moha, Matsarya ) yaitu enam musuh utama yang menyelimuti pikiran manusia menjadi gelap dan bodoh atau linglung, sehingga manusia itu terperangkap oleh jerat Maya, yang membawa penderitaan bagi dirinya.

Demikianlah kecenderungan pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud Sadripu itu pada diri manusia sehingga kita sering menemukan suatu kenyataan hidup, bahwa dalam keadaan apapun, serta di manapun mereka ditempatkan seakan-akan kegelisahan senatiasa mengikutinya. Di tengah-tengah kecukupan mereka masih merasa miskin, selalu merasa kekurangan, bahkan pada suasana gembira pun mereka masih merasa kekurangan sesuatu. Keadaan seperti itu adalah merupakan "Kerinduan Jiwa kepada Tuhan", karena sang Jiwa (Atman) memang mempunyai hakikat yang sama dengan penciptanya, Brahman - Seru sekalian alam.

Selama jiwa ini terpisah dari sumbernya maka ia tak akan merasa tenang. Kebahagiaan sejati hanya terjadi bilamana Jiwa telah bersatu dengan sumbernya. Namun bila Jiwa terpisahkan dari Tuhannya maka ia akan mudah terperangkap ke dalam jerat Maya, kemudian menjadi budak dari pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menemukan kebebasan. Jiwa itu menderita, yang keadaannya tidak lebih baik dari keadaan seorang istri yang hidup terpisah dari suaminya. Walaupun diberikan segala kemewahan kepadanya namun mereka akan tetap murung dan sedih, bahkan tidak dapat terhibur. Kesedihannya itu akan berakhir bila ia bertemu dengan suaminya, memikat hatinya dan menjadikannya sebagai milik satu-satunya. Begitulah Jiwa ini, akan tetap menderita selama belum bertemu atau menyatu dengan sumbernya, Sang Maha Sattvam, Siva sang pelebur dosa, Sanghyang Widi Wasa.

Demi melenyapkan kerinduan Jiwa, mendapatkan pancaran kasih dan menyatu dengan hakikat Atman, maka manusia harus melakukan latihan rohani.

Latihan Rohani
Sanghyang Widhi Wasa menciptakan manusia dengan memberikan organ tubuh yang sama, inti hidup yang sama dan hakikat Jiwa yang sejati sama dengan Dia. Apabila manusia tidak memelihara dirinya, membiarkan pikirannya dipengaruhi dan dijerat oleh ikatan Maya, maka sesungguhnya mereka telah menodai kemuliaan Sanghyang Widhi, karena itu mereka terjerumus ke lembah dosa yang membawa duka dan nestapa. Mereka lupa bahwa Sang Pencipta bersemayam di dalam dirinya sebagai "Isvara", berada di mana-mana, memenuhi tempat yang tiada terbatas. Mereka juga lupa bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari segumpal darah dan daging, melainkan merupakan gudang harta karun dari ratna mutu manikam yang paling berharga, sebagai Kuil Tuhan, Brahma Wihara, Har Mandir, Pura Sanghyang Widhi Wasa, mikrokosmos tubuh yang mencakup seluruh alam semesta yang telah dirancang dengan sempurna. Karena itulah maka tubuh ini harus dirawat dan dijaga dengan penuh perhatian agar dapat diketahui rahasianya, dipecahkan misterinya, serta dikenal kodrat dan tujuannya.

Untuk menemukan jati diri manusia sebagai Pura Sanghyang Widhi Wasa, maka setiap orang harus melakukan latihan rohani melalui pengendalian pikiran dan idera, melaksanakan Upavasa, menundukkan pengaruh Sadripu, sehingga selalu sadar dan waspada terhadap jerat Maya yang mengakibatkan penderitaan Jiwa. Dalam hal ini pustaka suci Manu Smerti II sloka 88 menyebutkan:

"Indriyanam vacaratam visayasvapacharesu
sanyameyatman alishe dvidvamyanteva vajinam"
(Seperti halnya seorang kusir mengendalikan kuda kereta,
begitulah orang yang berjiwa bijak berusaha mengendalikan inderanya dari pengaruh fantasi duniawi yang menyebabkan dirinya buas).

Pengendalian indera ini menurut pustaka suci Sarasamuccaya harus dilakukan dengan cara mengendalikan pikiran, karena sesungguhnya pikiran itulah yang merupakan sumber penggerak keinginan yang kemudian akan menimbulkan tindakan baik dan buruk. Sloka 81 kitab suci Sarascamuscaya menyatakan :

"Beginilah keadaan pikiran itu, selalu bimbang, jalannya tidak menentu, banyak yang diangan-angankan, kadangkala berkeinginan, kadangkala ragu; bila ada orang yang mampu mengendalikan pikirannya, maka mereka itu pasti akan memperoleh kebahagiaan, baik di dunia ini, maupun dalam dunia yang lain (Niskala) ".

Sifat pikiran memang mudah terpengaruh oleh ilusi duniawi (Mayapada), karena phenomena alam selalu merangsang dengan berbagai hal yang indah, sedap, lezat, nikmat, sehingga naluri keinginan (Kama) bangkit dan menutupi kesadarannya. Justru itulah setiap orang harus melatih diri secara bertahap mengurangi berbagai jenis makanan yang kurang bermanfaat bagi tubuhnya, mengatur makanan agar bermanfaat bagi kesehatan, disiplin menjalani pantangan seperti yang dilakukan pada hari suci Sivaratri ini.

Dengan mengendalikan pikiran, mengekang kemauan pikiran terhadap phenomena alam, maka indera ini dapat dikendalikan dari rangsangan jerat Maya, sehingga secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.

Karma Penebusan Dosa
Pengamalan Tapa Brata Sivaratri (Jagra, Upavasa dan Mauna), selain bermakna sebagai latihan rohani, juga mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi yakni sebagai karma penebusan dosa yang dilakukan di dunia ini. Pengertian "penebusan dosa" ialah menebus kesalahan dan kelalaian (Asubhakarma) karena kebodohan (Awidya), dengan cara melakukan karma yang positif (Subhakarma) yang bernilai " plus ", sehingga karma itu akan bergerak seimbang ke titik nol (Sunya). Pada kondisi Sunya itulah Jiwa akan terbebas dari belenggunya, ia mencapai "JÒana" kesadaran murni dalam "Samadhi", bersatu dengan hakikatnya yang sejati, Jiwanya menyatu dalam pengabadian penuh kepada Brahman yang abadi, maha pengasih dan maha suci.

"Tad buddhayas tad atmanas, tanisthas tat parayanah,
gacchanty apunara writtim, jnana nirdhuta kalmasah"
(Karma Samnyasa Yoga 17)
(Bila pikiran hanya tertuju pada-Nya, menyerahkan seluruh Jiwa kepada-Nya, memuja hanya kepada-Nya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan utama, maka dosanya akan dihapus oleh JÒana, kesadaran sejati, kemudian mereka akan pergi tak kembali lagi).

Upaya pencapaian pembebasan inilah yang dilambangkan dalam pelaksanaan Tapa Brata pada Hari Suci Sivaratri.
a. Lubdhaka, Nishada dan Susvara melambangkan manusia yang diliputi avidya, hidupnya papa namun patuh pada petunjuk Yang Maha Kuasa (Veda) dan melaksanakan svadharmanya dengan baik.
b. Kwangen sebagai simbol "Ongkaramrta" adalah lambang suci Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhava Siva yang digambarkan hadir dalam air kehidupan (Dalung) dan selalu menganugrahkan kasih-Nya kepada penyembah yang sradha dan bhakti.
c. Duduk tenang bermeditasi menghadapi Cawan berisi air dan 108 daun Bilva atau Beringin serta Dupa harum yang menyala melambangkan semangat mencari "kebenaran Sejati" menuju pembebasan diri dari belenggu Maya dengan mempelajari Veda Rahasyam yang berjumlah 108 Upanisad dan melaksanakan bagian Yoga (Astangga Yoga) untuk menebus karma hingga mencapai titik (sunya) serta Jiwa menemukan kesadaran murni dalam Samadhi mencapai yang yaitu mencapai keadaan "Moksaka" dimana Jiwatman manunggal dengan sifat Brahman.
d. Kegiatan Tirthayatra dalam Jagra Sivaratri bermakna memelihara kesucian hati dan kesadaran Jiwa yang telah dicapai agar tidak jatuh dan terseret kembali oleh jerat Maya. Sesungguhnya Tirthayatra atau perjalanan suci itu harus dilakukan selama masa hidup ini agar kesadaran mental selalu terpelihara dan kelalaian tak bersemi lagi.

Demikianlah Tapa Brata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebus dosa. Karena itu makna filosofis Tapa Brata ini harus direalisasikan ke dalam pengabdian selama hidup melalui svadharma, yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Kesimpulan dan penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Setiap manusia memiliki inti hidup (Atman) yang merupakan pancaran sinar suci yang sifat hakikatnya sama dengan Brahman. Hakikat kelahirannya membawa pengaruh karma. Ia terbungkus dan dipengaruhi oleh Tri Guna dan Maya sehingga semakin jauh dari sumbernya, serta mengakibatkan jiwanya menderita.
2. Pikiran sangat menentukan nasib manusia, oleh karena itu harus dikendalikan melalui pengekangan kemauan pikiran terhadap phenomena alam dan pengendalian indera dari rangsangan jerat maya. Dengan demikian secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.
3. Tapabrata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa serta harus disadari sebagai pengabdian suci kepada Sanghyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan svadharma yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Mari kita hayati dan laksanakan tapa brata Sivaratri ini sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa menuju kesempurnaan hidup, serta menumbuh-suburkan kesadaran sradha dan bhakti demi keagungan Sanghyang Widhi Wasa.

Mari kita sadari pula bahwa sradha adalah tanaman yang sangat berharga dalam kehidupan ini, namun sebuah tiupan angin Mayapada akan menjadikannya layu. Karena itu jangan dibiarkan lahan hati yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput nafsu. Mari kita olah lahan hati ini dengan aliran kasih yang sejati dan taburkan benih nama Tuhan, sembari mencabut rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dengan kesadaran Jiwa dan pagari lahan hati dengan tapabrata. Semoga bunga-bunga bhakti dalam wujud cinta kasih yang murni akan menghasilkan buah kebahagiaan ( Anandam ), di mana Jiwa lebur ke dalam-Nya, mencapai pembebasan.

Archives for Hukum Hindu

Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri

15 July, 2011
Published by by Hindu Pedia in Hukum Hindu, Sains Veda
Pendahuluan
Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri merupakan hari-hari suci yang sangat erat sekali kaitannya. Catur Dasi berarti malam keempat belas, yaitu empat belas setelah Purnama. Sehingga malam Catur Dasi ini lebih sering jatuh semalam sebelum tilem. Sehingga Maha Siwa Ratri, yang jatuh sehari sebelum tilem kepitu, merupakan salah satu Catur Dasi. Tapi Catur Dasi kepitu ini merupakan Catur Dasi yang paling istimewa diantara Catur Dasi lainnya dalam tiap-tiap tahun.
Maha Siwa Ratri, yang di Indonesia lebih dikenal dengan “Siwa Ratri” saja, merupakan salah satu malam suci yang sangat populer bagi umat Hindu di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia kepopulerannya lebih memasyarakat pada semua lapisan masyarakat Hindu, sampai pada anak-anak sekolah dasar. Di Indonesia Maha Siwa Ratri dikenal sebagai malam yang sangat suci, karena banyak yang mengkaitkannya sebagai malam peleburan/penebusan dosa.
Anggapan ini mungkin erat sekali kaitannya dengan kisah Lubdaka yang tidak asing lagi bagi kita. Kisah tentang pemburu Lubdaka, yang sedang kemalaman di hutan, dengan tidak sengaja dia bergadang semalam suntuk dan menjatuhkan
daun (kebetulan daun Bilwa) diatas sebuah Lingga di bawahnya, sehingga akhirnya membawa akibat keselamatan baginya (lihat Siwa Ratri, oleh: Prof. Dr. Tjok. Rai Sudarta, MA). Tapi kisah ini hanya menunjukkan pentingnya hari itu dan tidak menerangkan asal mulanya.
Ada kisah lain yang menyatakan pada hari itu adalah hari ketika Siwa dalam ekstasi menarikan tari Thandawa, dan semua dewa dan orang sempurna berpartisipasi dalam peristiwa kosmik tersebut. Kisah tersebut berkaitan dengan pengadukan lautan susu dengan menggunakan Gunung Mandara yang diikat dengan Naga Wasuki dalam rangka mencari Tirta Amerta. Di satu ujung Wasuki ditarik oleh para Dewa, sedang di ujung yang berlawanan ditarik oleh para Asura. Pengadukan tersebut berjalan demikian dahsyatnya, sehingga kepala Wasuki terbentur-bentur dan mengeluarkan darah dan bisa. Bisa yang dikeluarkan Naga Wasuki demikian banyaknya sehingga dunia terancam banjir bisa. Untuk menmghindari kepunahan dunia akibat bisa tersebut Siwa meminum racun hala-hala tersebut.
Ketika Siwa minum racun hala-hala yang keluar dari lautan susu, sebagai jawaban atas doa seluruh dunia yang terancam kemusnahan, panas uapnya hampir tak tertahankan, bahkan bagi Siwa sendiri. Maka khabarnya untuk menetralisir pengaruh racun tersebut sungai gangga tak henti- hentinya dialirkan di atas gelungan rambutnya, dan bulan yang sejuk diletakkan
di atas gelungan rambutNya, dan akhirnya Gangga sendiri ditaruh di atas gelungan rambutNya. Setelah itu Siwa sendiri dengan diiringi para dewa menarikan tarian kosmik, Thandawa.
Tapi peristiwa tersebut tidak terjadi pada suatu hari tertentu, sehingga Maha Siwa Ratri tidak dapat dikatakan sebagai peringatan atas kejadian tersebut (Sathya Sai Speaks Vol. 1). Sebenarnya masih ada kisah lain yang berkaitan dengan Maha Siwa Ratri. Tulisan ini hendak memberikan suatu tinjauan dari sudut pengaruh Bulan terhadap Bumi, baik secara ilmiah dengan mengkaitkan dengan hukumnya Newton dan secara religius dengan melihat hakekat bulan sebagai dewata penguasa fikiran. Dan sebagai implikasinya ada hal-hal yang dapat kita tingkatkan lagi baik dalam menambah makna maupun dalam menyambut Catur
Dasi dan Maha Siwa Ratri tersebut.
Kenapa “Maha” Siwa Ratri ?
Ratri berarti malam, Siwa menunjuk pada salah satu manisfestasi Tuhan sebagai pemralina hal-hal yang sudah lapuk (seperti fisik/badan yang lapuk, bahkan juga sifat-sifat yang lapuk/jelek), sedangkan Maha berarti sangat besar (dalam konteks di sini bisa diartikan sebagai sangat suci). Sehingga secara bebas Maha Siwa Ratri bisa diartikan sebagai malam yang sangat suci untuk memuja Siwa (Tuhan).
Bagi pemuja Siwa sebenarnya tiap malam adalah Siwa Ratri, dalam arti malam suci untuk memuja Tuhan. Karena tidak ada waktu yang tak suci dalam hal memuja Tuhan. Kapanpun Tuhan dipuja atau disebut maka saat itu menjadi saat yang suci. Dimanapun Tuhan dipuja maka tempat itu menjadi suci. Dan siapapun memuja Tuhan maka orang tersebut melakukan hal yang suci. Itulah salah satu sebab kenapa kita perlu bertrisandhya atau memuja Tuhan tiap pagi, siang dan sore, dan jika bisa setiap saat selalu menyebut (dalam hati) nama Tuhan, nama manapun yang disenangi.
Namun pada malam-malam tertentu seperti sehari sebelum tilem kepitu, di mana tilem kepitu sendiri merupakan malam tergelap dalam periode satu tahun, merupakan rentangan saat dimana berkontemplasi pada Tuhan lebih mudah dilakukan, karena pengaruh bulan terhadap bumi saat itu sangat kecil bahkan hampir tidak ada. Sehingga pengendalian fikiran sangat mudah
dilakukan pada malam itu. Dengan demikian sangatlah tepat kalau kita memperlakukan dan memanfaatkan secara lebih khusus malam yang penuh rahmat, malam yang maha suci , Maha Siwa Ratri ini.
Pengaruh Bulan/Planet-planet Terhadap Bumi dan Fikiran Sejak dahulu kala para Rsi kita telah mengatahui bahwa planet-planet di ruang angkasa berpengaruh terhadap tingkah laku semua mahluk hidup bahkan benda mati yang ada di bumi ini. Hal itu bisa kita lihat kemajuan ilmu perbintangan yang dikaitkan dengan peramalan yang telah berkembang sejak kebudayaan Hindu dari Zaman dulu. Secara nyata pengaruh planet-planet tersebut terhadap tingkah laku mahluk hidup maupun benda mati bisa kita lihat dari beberapa gejala berikut. Sebagai contoh, Matahari sebagai pusat tata surya Bima Sakti dimana Bumi kita ini berada sangat besar sekali pengaruhnya terhadap pola tingkah laku kehidupan di Bumi, bahkan terhadap benda matipun. Di siang hari gelombang laut lebih besar jika dibandingkan dengan di sore dan pagi hari .
Sedangkan di malam hari gelombang laut jauh lebih tenang daripada di siang hari. Begitu juga Bulan yang merupakan planet yang paling dekat dengan Bumi, tentu mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap Bumi jika dibandingkan dengan pengaruh bintang-bintang yang sangat jauh dari Bumi. Pada Bulan penuh (purnama), emosi, nafsu birahi lebih besar jika dibandingkan dengan pada saat Bulan mati (tilem). Salah satu gejala tentang hal ini bisa kita lihat, pada malam purnama, banyak muda-mudi pergi ke pantai atau tempat-tempat lainnya untuk berpacaran. Orang-orang cendrung ingin bepergian atau melakukan aktifitas yang lebih banyak pada malam purnama. Tapi pada malam tilem orang-orang biasanya enggan keluar rumah. Alasan gelap tentu bukan hal yang menonjol pada zaman serba maju ini. Banyak tempat hiburan atau rekreasi terang benderang dimalam hari. Begitu juga gelombang laut lebih besar pada malam purnama. Sedang pada malam tilem gelombang laut sangat tenang.
Secara ilmiah saling pengaruh mempengaruhi antara dua benda (planet) ditemukan oleh Newton (1642 – 1727). Newton memformulasikannya dengan rumus matematis sebagai berikut.
F = G M1M2/r2, dimana F adalah gaya tarik menarik dua benda/planet,
G adalah konstanta Newton, dan M1, M2 masing-masing massa kedua planet dan r adalah jarak kedua planet tersebut.
Pada malam purnama hampir satu malam penuh Bulan melintas di atas kita. Sedangkan pada malam tilem bulan muncul hampir secara bersama-sama dengan Matahari (Inilah sebabnya kenapa gerhana matahari terjadi pada hari tilem, sedangkan gerhana bulan terjadi pada malam purnama). Sehingga pada senja harimya bulan sudah berada diufuk barat yang siap terbenam menyusul
terbenamnya Matahari. Sehingga pada malam tilem pengaruh gaya yang ditimbulkan Bulan sangat kecil dan singkat.
Tentu saja kalau kita ada pada suatu medan gaya (tarik-menarik), fisik maupun fikiran dan mental kita terpengaruh oleh medan tersebut. Besar kecilnya gaya, lama singkatnya gaya yang bekerja akan mempengaruhi keadaan emosional-mental kita. Pada saat Matahari/Bulan tepat ada di atas kita (kali tepet), akan menimbulkan gaya yang paling besar, karena pada saat itu r pada
rumus Newton paling kecil. Sehingga gaya F akan maksimum pada saat itu.
Dengan demikian sudah selayaknya kita waspada pada saat-saat seperti itu. Kewaspadaan kita tersebut kita wujudkan dalam bentuk bersembahyang (bertrisandhya). Para Rsi kita Zaman dulu telah menyadari hal-hal seperti ini dan
mengekspresikan dalam tingkah laku rohaniah (relegius).
Dengan demikian apa yang ditemukan Newton ini sebenarnya sudah disadari oleh para Rsi kita zaman dulu, cuma para Rsi itu lebih memfokuskan perhatian mereka pada pengaruh mental atau psychologis, yang tidak berkaitan langsung dengan masalah fisis matematisnya, yang mana yang kedua terakhir ini lebih diminati oleh para scientis masa kini.Dalam bagian lain dari buku Sathya Sai Speaks Vol. 1 juga disebutkan, bahwa malam dikuasai oleh Bulan. Bulan mempunyai enam belas kala atau bagian-bagian kecil. Setiap hari bila bulan menyusut maka berkuranglah satu bagian kecil, hingga bulan hilang seluruhnya pada malam bulan yang baru, yaitu pada tilem malam. Setelah itu setiap hari bulan nampak sebagian demi sebagian sampai akhirnya pada purnama malam, Bulan nampak penuh lagi. Bulan adalah dewata yang menguasai manas, yaitu perasaan hati dan fikiran. “Chandramaa
manaso jaathah”, dari Manas atau fikiran Tuhan timbullah bulan. Ada daya tarik menarik yang kuat antara fikiran dan bulan, keduanya dapat mengalami kemajuan dan kemunduran. Susutnya bulan simbol susutnya fikiran begitu juga sebaliknya. Salah satu tujuan sadhana adalah untuk menaklukkan fikiran dan perasaan hati (yang egois), yang pada hakekatnya hal ini harus dimusnahkan, sehingga Maya dapat dilenyapkan dan kenyataan diri (Sang Existensi) dapat terungkapkan. Setiap hari selama dua minggu ketiga bulan menggelap, bulan dan secara simbolis rekan imbangannya didalam diri manusia yaitu manas menyusut dan lenyap sebagaian, kekuatanya berkurang, dan akhirnya pada malam keempat belas, Catur Dasi, sisanya hanya sedikit. Jika pada saat itu seorang Sadhaka berusaha lebih giat melaksanakan sadhananya maka kekuatan negatif fikirannya yang sudah kecil itu akan dapat ditaklukkan, sehingga akan tercapailah Manonigraha (penguasaan fikiran dan perasaan hati).
Sehingga Catur Dasi dari bagian bulan yang gelap itu, juga menunjukkan malam yang suci untuk memuja Siwa, sehingga juga disebut Siwa Ratri. Sehingga Catur Dasi merupakan hari suci yang sangat baik untuk berkontemplasi pada Siwa. Sehingga bisa dijadilkan sebagai malam untuk melakukan tapa yoga atau sadhana yang lainnya seperti biasa kita lakukan pada Maha Siwa Ratri.
Menyambut Catur Dasi Dan Maha Siwa Ratri.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka sudah sewajarnya malam-malam yang mencapai titik-titik ekstrim tersebut (Purnama, Catur Dasi – Tilem dan Maha Siwa Ratri) disambut secara lebih khusus. Pada tiap malam purnama, yang merupakan malam dimana medan gaya yang ditimbulkan oleh sang Soma berpengaruh secara maksimal terhadap fikiran, emosi, hawa nafsu dan lain-lainnya, dalam periode satu bulan, kita hendaknya melakukan persembahyangan lebih khusuk, tidak hanya bersembahyang di rumah saja tapi juga dengan datang ke Pura, memohon kehadapan Hyang Widhi agar kita tidak terjebak oleh bangkitnya gejolak
setan sad ripu yang ada dalam diri kita karena adanya kekuatan (medan) yang mengkatalisir.
Bersembahyang bersama di Pura mempunyai beberapa manfaat yang tidak kita dapatkan kalau bersembahyang di rumah saja. Pertama, dengan pergi ke Pura untuk melaksanakan persembahyangan bersama berarti sudah melakukan Tirta Yatra atau Dharma Yatra, yang mana Tirta Yatra ini memberikasn phala yang sangat istimewa bagi yang melakukannya (lihat Saraschamuscaya). Kedua, mantra yang diucapkan bersama-sama akan saling beresonansi (saling memperkuat), sehingga fibrasi yang ditimbulkannya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap sekitarnya, dan tentu saja yang paling mendapatkan pengaruh dari efek fibrasi spiritual tersebut adalah yang melakukan persembahyangan tersebut. Hal ini tidak akan didapat kalau bersembahyang di rumah yang hanya dilakukan oleh satu keluarga. Ketiga, Setiap orang yang datang ke Pura memancarkan kasih murni (kasih keTuhanan).
Gelombang-gelombang pancaran kasih tersebut mempengaruhi orang disekitarnya. Sehingga orang-orang yang berkumpul di Pura tersebut saling memperkuat kemampuan kasihnya dan ini memberikan efek yang sangat berarti dalam peningkatan kesadaran rohaninya. Sebaliknya pada tiap malam tilem dan Catur Dasi, dimana pengaruh gaya oleh Bulan paling kecil dalam periode satu bulan tersebut, kita sebaiknya melakukan persembahyangan ekstra khusus dengan melakukan meditasi, namasmarana, atau sadhana yang lainnya di Pura atau di rumah, agar kita bisa meningkatkan kesucian bathin kita atau tingkat rokhaniah kita. Sebab pada malam tilem tersebut berkontemplasi pada Tuhan lebih mudah dilakukan. Bahkan peminat kehidupan rohani dianjurkan memberlakukan secara lebih khusu malam Chaturdasi tersebut dengan melakukan sadhana semalam suntuk
untuk mencapai Manonigraha (Sathya Sai Speaks Vol.1)
Dan pada Maha Siwa Ratri, yang hanya terjadi sekali setahun, kita hendaknya tidak menyia-nyiakan malam yang penuh rahmat ini. Karena pengaruh bulan pada malam tersebut hampir tidak ada, maka dengan usaha yang lebih sungguh-sungguh, melakukan sadhana, bersembahyang, meditasi, membaca/melakukan pengajian buku-buku suci, namasmarana dengan japa mantra yang disenangi, semalam suntuk; niscaya akan ada pengaruhnya secara rokhaniah (lihat Siwa Ratri, oleh : Prof. Dr. Tjok. Rai Sudarta, MA).
Perlu kiranya kita tekankan di sini, bahwa Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri bukan merupakan malam penuh rahmat bagi yang hanya begadang semalam suntuk. Tapi merupakan malam penuh rahmat bagi mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan spiritual yang dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Bergadang semalam suntuk hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja,
berjudi baik kecil-kecilan apalagi besar-besaran (perlu ditekankan di sisni, berjudi dan minum minuman keras sangat dilarang Weda (lihat Menawa Dharma Sastra Bab IX ayat 221 s/d 229), namun tragisnya di Bali berjudi dan minum-minuman keras semakin marak), nonton filem atau acara-acara TV, dan menikmati hiburan-hiburan lainnya dan lain-lain kegiatan yang tidak religius tidak akan memberikan manfaat spiritual. Apalagi pengampunan dosa. Jelas hal ini merupakan anggapan yang kurang bijaksana. Dengan demikian Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri merupakan malam suci tentu saja hendaknya diisi dengan aktifitas-aktifitas yang suci. Dan tentu saja apa yang kita lakukan pada Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri harus ditunjang secara berkesinambungan oleh kegiatan-kegiatan satwik pada tiap-tiap hari.
Penutup
Karena perhitungan yang berdasarkan posisi Bulan tersebut maka saat purnama/tilem di suatu tempat belum tentu juga merupakan purnama/tilem di tempat lain, terutama kalau kedua tempat tersebut posisinya berbeda secara signifikan terhadap acuan posisi Bulan. Dengan demikian kita bisa memaklumi kenapa Maha Siwa Ratri di Indonesia jatuh tidak bersamaan dengan Maha Siwa Ratri di India. Dan memang seharusnya tidak perlu dipaksakan supaya jatuh pada malam yang sama. Begitu juga karena Tahun Caka berdasarkan kombinasi perhitungan posisi Matahari dan posisi Bulan, hendaknya pengambilan suatu
sasih berturut-turut dua kali (seperti Tahun Caka 1914 yang lalu) sudah memperhitungkan bahwa tilem kepitu tetap jatuh pada malam yang tergelap dalam tahun yang bersangkutan.
Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri merupakan malam penuh rahmat bagi mereka yang mau memanfaatkan secara benar. Catur Dasi dan Maha Siwaratri bukan merupakan malam “pengampunan dosa” yang revolutif, tapi lebihbersifat malam “pengampunan dosa” yang evolutif bagi yang memanfaatkannya.Rahmat itu akan kita capai kalau kita sungguh-sungguh mencarinya. Dalam sejarah Hindu tidak pernah ada tokoh-tokoh suci yang mendapatkan rahmat seperti orang yang menang SDSB lalu nasibnya berubah hanya dalam waktu semalam.
Tapi selalu didahului usaha-usaha yang sungguh-sungguh, bahkan dari kelahiran ke kelahiran. Mereka berusaha menghilangkan pengaruh kurang baik karma wasana- karma wasana yang lampau untuk sampai pada rahmat utama, berupa pembebasan (Moksha) (lihat Bagawad Gita Bab VI ayat 40 s/d 45). Dengan demikian gunakanlah Catur Dasi dan Maha Siwa Ratri tersebut sebagai puncak sadhana/kegiatan-kegiatan religius yang telah kita lakukan secara rutin dan kontiniu selama setahun. Sambutlah Catur Dasi yang datangnya setiap bulan, dan Maha Siwa Ratri yang datangnya setiap tahun dengan Pesta Rohani semalam suntuk dengan makanan dan minuman berupa sadhana untuk mencapai puncak kenikmatan Rahmat Siwa. Semoga Siwa selalu membimbing kita ke jalan pembebasan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sivaratri"

Post a Comment