NILAI YAJNA
DALAM RAMAYANA
Oleh :
Untung Suhardi
Menurut etimologi kata Yajña berasal dari kata yaj
yang artinya memuja atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci. Kata ini
juga diartikan bertindak sebagai perantara (Adiputra, 2003). Yajña merupakan suatu perbuatan dan
kegiatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan untuk melakukan persembahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang pada pelaksanaan di dalamnya mengandung unsur Karya (perbuatan), Śreya (ketulus iklasan), Budhi
(kesadaran),dan Bhakti (persembahan).
Selama ini Yajña dipahami hanyalah
sebatas piodalan atau menghaturkan
persembahan (Banten). Arti Yajña yang sebenarnya adalah pengorbanan
atau persembahan secara tulus. Yajamāna artinya
orang yang melakukan atau melaksanakan yajña,
sedangkan Yajus berartiaturan
tentang yajñ.
Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa
Veda bahwa pemeliharaan kehidupan di
dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yajña
terus menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Oleh kerana itu yajña merupakan simbol pengejawantahan ajaran Veda, yang dilukiskan dalam bentuk
simbol-simbol (niyasa). Melalui niyasa dalam ajaran yajña realisasi ajaran agama Hindu diwujudkan untuk lebih mudah
dapat dihayati, dilaksanakan dan meningkatkan kemantapan dalam pelaksanaan
kegiatan keagamaan itu sendiri. Kebesaran dan keagungan Tuhan yang dipuja,
perasaan hati pemuja-Nya, maupun wujud persembahan semuanya. Melalui lukisan niyasa dalam upakara, umat Hindu ingin menghadirkan Tuhan yang akan disembah.
1.
Dewa Yajña
Dewa Yajña adalah Yajña yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau
Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita Rāmāyana banyak terurai hakekat Dewa Yajña dalam perjalanan kisahnya. Seperti
pelaksanaan Homa Yajña yang
dilaksanakan oleh Prabu Daśaratha. Homa
Yajña atau Agni Hotra sesuai
dengan asal katanya Agni berarti api
dan Hotra berarti penyucian. Upacara
ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara Dewa Agni. Jika Istadevatanya bukan Dewa Agni,
sesuai dengan tujuan yajamana, maka
upacara ini dinamai Homa Yajña. Istilah
lainnya adalah Havana dan Huta. Mengingat para Deva diyakini sebagai penghuni svah loka, maka sudah selayaknya yajña yang dilakukan umat manusia
melibatkan sirkulasi langit dan bumi. Pada upacara dewa yajna ini di Bali dikenal dengan
upacara piodalan atau pujawali.
2.
Pitra Yajña
Upacara ini bertujuan untuk
menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra
bersīnonim dengan pita yang artinya
ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Sebagai umat
manusia yang beradab, hendaknya selalu berbhakti kepada orang tua, karena
menurut agama Hindu hal ini adalah salah satu bentuk Yajña yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila berani dan
tidak bisa menunjukkan rasa bhaktinya kepada orang tua sebagai pitra.
Seperti
apa yang diuaraikan dalam kisah kepahlawanan Rāmāyana, dimana Śrī Rāmā sebagai tokoh utama dengan segenap
kebijaksanaan, kepintaran dan kegagahannya tetap menunjukkan rasa bhakti yang
tinggi terhadap orang tuanya. Hal tersebut tampak jelas nilai Pitra Yajña yang termuat dalam epos Rāmāyana. Demi memenuhi janji orang
tuanya (Raja Daśaratha), Śrī Rāmā, Lakṣmaṇa dan Dewi Sītā mau menerima perintah dari sang Raja
Daśaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaanya sebagai raja di Ayodhyā. Walaupun itu bukan merupakan
keinginan Raja Daśaratha dan hanya sebagai bentuk janji seorang raja terhadap
istrinya Dewi Kaikeyī. Śrī Rāmā secara tulus dan iklas menjalankan perintah
orang tuanya tersebut. Bersama istri dan adiknya Lakṣmaṇa hidup mengembara di hutan selama
bertahun-tahun.
3. Manusa
Yajña
Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya, ManusaYajña atau NaraYajña itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring kraman) dan melayani
tamu dalam upacara (athiti puja).
Namun dalam penerapannya di Bali, upacara ManusaYajña
tergolong Sarira Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan
kualitas manusia. ManusaYajña di Bali
dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau upacara perkawinan.
Pada cerita Rāmāyana juga tampak jelas bagimana
nilai Manusa Yajña yang termuat di dalam uraian
kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada kisah yang meceritakan Śrī Rāmā
mempersunting Dewi Sītā. Hal ini terkandung nilai ManusaYajña
yang tertuang di dalam epos Rāmāyana tersebut.
Upacara Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā merupakan suatu nilai Yajña yang terkandung didalamnya.
Selayaknya suatu pernikahan suci, upacara ini dilaksanakan dengan Yajña yang lengkap dipimpin oleh seorang
purohita raja dan disaksikan oleh
para Dewa, kerabat kerajaan beserta para Mahaṛsī. Hal yang sama ketika pelaksanaan garbhādhāna, puṁsavana dan sīmantonayana saṁskāra yang dilakukan ketika janin dalam
kandungan sebagai bagian dari manusia yajna dan anugerah dari Hyang Widhi agar
menjadi anak yang suputra.
4. RsīYajña
Ṛsī Yajña itu
adalah menghormati dan memuja Ṛsī atau pendeta. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Ṛsī Yajñangaranya kapujan ring pandeta sang wruh
ring kalingganing dadi wang, artinya Ṛsī Yajña adalah
berbakti pada pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia.
Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau memimpin
upacara tergolong ṚsīYajña.
Mahaṛsī
sebagai seorang rohaniawan senantiasa memberikan wejangan suci dan ilmu
pengetahuan keagamaan untuk menuntun umatnya tentang ajaran ketuhanan. Keberadaan
beliau tentu sangat penting dalam kehidupan umat beragama. Sudah sepatutnya
sebagai umat beragama senantiasa sujud bakti kepada para Mahaṛsī atau
pendeta sabagai salah satu bentuk Yajña yang
utama dalam ajaran agama Hindu. Dalam epos Rāmāyana banyak sekali dapat ditemukan nilai-nilai ṛsīyajña yang termuat dalam kisahnya. Oleh karena itu banyak sekali
hakekat yajña yang dapat dipetik
untuk dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.
5. BhutaYajña
Upacara ini lebih diarahkan pada
tujuan untuk nyomia butha kala atau
berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. ButhaYajña pada hakikatnya bertujuan
untuk mewujudkan butha kala menjadi butha hita. buthahita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan
(Sarwaprani). Upacara buthayajña yang lebih cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau
menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan umat
manusia dan bahkan diharapkan membantu umat manusia. Hal yang sering dilakukan adalah ketika
upacara tawur agung menjelang hari raya nyepi. Nilai-nilai
bhutayajña juga Nampak jelas pada
uraian kisah epos Rāmāyana, hal ini
dapat dilihat pada pelaksanaan homa yajña
sebagai yajña yang utama juga
dibarengi dengan ritual bhuta yajña untuk
menetralisir kekuatan negatif sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera.
Penutup
Agama dan kepercayaan
merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat
pribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal yang bernuansa
mitologis. Dalam kaitannya dengan kepercayaan, manusia tidak dapat hidup tanpa
mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang penjelasan dan
kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Sama halnya dengan wiracarita
Rāmāyana yang sangat populer tidak hanya dikalangan masyarakat Hindu, yang juga
sangat dikenal oleh masyarakat non Hindu di dunia. Keagungan ceritanya banyak
memberikan nilai-nilai falsafah kehidupan bagi manusia dari jaman ke jaman. Termasuk
pula bagi kehidupan keagamaan umat Hindu yang ada di Indonesia. Keberadaan
wiracarita Rāmāyana merupakan sumber
etika yang sangat penting dalam tercptanya peradaban Hindu di Nusantara. Dan
sebagai generasi muda penerus bangsa, kita hendaknya selalu menjaga nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam epos Rāmāyana
ini.
0 Response to "Dharma Wacana Hindu- Yajna Dalam Ramayana"
Post a Comment