Mawas Diri




MAWAS DIRI (MULAT SARIRA)

Om Swastyastu
Manusia adalah makhluk social yang tidak bisa melepaskan dirinya dari lingkungan masyarakat. Dan dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat banyak dijumpai kebiasaan-kebiasaan atau sifat manusia yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Bahkan sering terjadi antagonis (Pertentangan) yang kalau diteliti hanya disebabkan oleh permasalahan-permasalahan kecil. Karena didorong oleh emosi maka tidak jarang persoalan kecil itu menjadi ketegangan yang berkepanjangan. Pada umumnya setiap persoalan masing-masing pihak mempertahankan kebenaran sendiri tanpa menyadari kelemahan dan kekurangan maka sulitlah suatu masalah diselesaikan.
Dalam agama Hindu kita diajarkan untuk terlebih dahulu melihat diri kita sendiri atau mulat sarira (Mawas diri) sebelum melihat dan menilai orang lain. Hal ini kelihatannya mudah akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat sulit dilakukan. Dalam hal ini menjadi kebiasaan banyak orang adalah lebih suka untuk menutupi kesalahannya sendiri dan lebih sering menceritakan keburukan orang lain dari pada mengoreksi dirinya sendiri. Sekalipun diri kita tahu bahwa diri kita bersalah tetapi untuk menyadari sesalahan diri kita itu adalah lebih sulit, sehingga hal itu sering dilemparkan kepada orang lain. Inilah ebiasaan yang palig buruk yang acap sekali dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Mengapa demikian ? karena didalam diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan dan dorongan hawa nafsu yang dapat menimbulkan akibat buruk pula jika kita tidak mawas diri.
Mawas Diri
Mawas diri atau mulat sarira adalah suatu ungkapan yang sering kita dengar mudah diucapkan dan enak didengar. Tetapi secara jujur kita katakan pula bahwa hal itu sulit dan sukar untuk kita lakukan, karena mawas diri mengandun arti yang sangat dalam. Mawas diri bukan berarti yang lahir atau dalam bentuk fisik saja, tetapi mawas prilaku atau niat bathin yang telah diwujudkan dengan tingkah laku dalam Tri Kaya Parisudha, yaitu berpikir, berkata dan berbuat. Untuk dapat mawas diri dengan sempurna kita harus dalam kondisi tenang, hening dan sepi. Dlam keadaan yang tenang, hening dan sepi itulah kita dapat melaksanakan suatu perenungan diri serta mendengarkan bisikan kalbu dari hati nuraninya sendiri. Dengan mawas diri ita merenungkan apa yang menjadi tujuan hidup kita yang sebenarnya. Agar kita tidak salah langkah mengenai tujuan hidup ini dalam kitab Sarassamuscaya sloka 2 menyatakan : ”Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi mausia”.
Sloka ini menjelaskan bahwa dari sekian banyak makhluk hidup hanya manusialah yang dapat berbuat baik atau buruk. Untuk merubah yang buruk menjadi baik itulah tujuan dari penjelmaan menjadi manusia. Disini diharapkan agar setiap pribadiatau individu untuk selalu melakukan mawas diri (intropeksi diri)terhadap setiap perilaku hidup sehingga tidak lepas dari ajaran dharma. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Hyang Widhi dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku yang telah disepakati bersama. Sedangkan perbuatan salah adalah perbuatan yang menyimpang dengan ajaran Hyang widhi dan norma yang berlaku. Salah benar, baik buruk adalah dua sifat yang selalu ada dan berdampingan keduanya. Disini dituntut kemampuan untuk dapat memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dalam berwiweka ini sangat diperlukan adanya pengendalian diri dalam segala hal, sehingga dorongan atau daya yang timbul selalu menuju yang baik dan benar.
Suatu daya atau dorongan yang terkendalikan dengan baik menuju suatu sasaran tertentu akan menimbulkan tenaga yang maha dahsyat. Seperti halnya daya air terjun apabila dikendalikan akan menjadi tenaga listrik  yang memberi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Sesungguhnya peredaran benda-benda angkasapun dikendalikan oleh kekuatan yang maha dahsyat, sehingga harmonis adanya. Kekuatan yang maha dahsyat itu dalam ajaran agama Hindu disebut dengan hukum Rta(hukum alam), dimana manusia terlibat didalamnya. Dengan tunduk kepada hukum Rta ini manusia akan hidup harmonis dengan alam lingkungan dan keharmonisan itu akan membawa ketentraman dan keharmonisan hidup di dunia. Segala apa yang kita rasakan, yang kita lihat kita dengar dan sebagainya dari lingkungan kita, seharusnya kita hadapi dengan indah dan manis. Jika kita sejalan dengan hukum Rta itu kita akan bersatu dengan alam.
Didalam Rg Veda 1.90 : 6-8 menyatakan bahwa : ”Untuk dia hidup menurut Rta, angin akan penuh dengan rasa manis, sungai akan mencurahkan rasa manis, pohon-pohonpun dengan rasa manis”. Demikianlah gambaran rasa nikmat yang tertuang dalam kitab Rg Veda diperuntukan bagi mereka yang menuruti  Rta. Tetapi walaupun manusia harus tunduk pada Rta, dirinya sendiri sering menjadi penghalang untuk itu, hal ini disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan segabai manusia seperti yang telah diucapkan dalam sloka diatas. Akibatnya seseorang tidak menjadi bahagia, karena dia tidak mampu mengendalikan dirinya dengan baik dan benar. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Rta  ini mempunyai ruang lingkup yang luas, sehingga perlu kita pahami secara seksama. Karena bentuk hukum Tuhan bersifat murni, dan bentuk hukum Tuhan ini perlu dijabarkan oleh manusia didalam penampilannya berupa amalan mausiawi yang bersifat relatif ini, sering kita sebut dengan dharma. Dharma inilah yang kemudian lebih bersifat membimbing tingkah laku manusia dalam usahanya untuk mencapai kebahagiaan hiduplahir dan bathin.
Untuk mewujudkan semua ini maka setiap pribadi atau individu sangat perlu memiliki dan mengetahui  dharma sebagai ajaran susila, yang pada akhirnya mengarahkan pada suatu kehidupan yang harmonis. Dengan demikian dapat juga diatakan disini bahwa dharma adalah norma aturan-aturan dan juga merupakan kodrat. Karena aturan-aturan atau norma-norma yang mengendalikan manusia untuk baik, maka hal ini berarti dharma artinya kebajikan.Dalam kehidupan didunia ini yang paling banyak mendapat perhatian pengendalian adalah pikiran dan indria, karena keduanya perlu diawasi dengan cermat dan perlu mawas diri. Dalam kitab Sarassamuscaya sloka 315 menyatakan bahwa : ”Oleh karena itu maka jangan hendaknya tanpa pertimbangan atau penyelidikan, hendaklah anda memikirkan perbuatan diri anda sehari-hari, pikiran anda, apakah salahkah perbuatan itu atau benarkah, sama dengan hewankah atau sama dengan panditakah tingkah lakuku ? Demikianlah hendaknya pikiran dari hari ke hari dan anda senantiasa menasehati diri mengenai perbuata anda”. Sloka tersebut lebih menekankan kepada kita agar memiliki kemampuan untuk memilih-milih mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga senantiasa kita dapat mengadakan mawas diri atau mulat sarira (Intropeksi diri) dalam mengambil keputusan dengan selalu mempertimbangkan sesuatu secara teliti. Apabila seseorang tidak suka mawas diri dalam hidunya, maka rasa ego atau keakuannya yang ada dalam dirinya akan berkuasa. Dan kalau ego telah berkuasa, maka yang baik dan yang buruk sebagai petunjuk dalam hidup ini menjadi kabur, akibatnya akan menyeret seseorang  kearah yang lebih rendah.
Kesimpulan
Mawas diri adalah suatu ungkapan yang sering kita dengar, mudah diucapkan dan enak didengaryang disebut dengan mawas diri (mulat sarira) atau intropeksi diri. Mawas diri mempunyai pegertian yang sangat dalam. Mawas diri bukan berarti yang lahir atau bentuk fisik saja, tetapi lebih utama lagi adalah diwujudkan dengan tingkah laku dalam berbuat. Demikianlah pentingnya mawas diri atau mulat sarira dalam kehidupan ini, sehingga kita dapat meningkatkan pengabdian kita dengan sebai mungkin kepada masyarakat, bangsa dan negara serta agama.
Om Santih, Santih, Santih Om.

Jakarta, 24 Oktober 2012

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Mawas Diri"