Budaya Jawa : Pemujaan Leluhur dalam Masyarakat Hindu Jawa


SENTHONG MERUPAKAN TEMPAT PEMUJAAN KAWITAN BAGI MASYARAKAT HINDU JAWA

Om Swastiastu
I. PENDAHULUAN
1.     Rumah adat Jawa apabila dilihat secara struktur terbagi dalam ruangan – ruangan yang masing – masing mempunyai fungsi. Salah satu ruangan yang dianggap sakral menurut pandangan masyarakat Jawa adalah “Senthong”, yang letaknya paling dalam dari rumah induk. Senthong sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) pintu dalam 1 (satu) ruangan, yang lebarnya lebih kurang 1 (satu) meter dengan panjang disesuaikan besar rumah.
2.     Bagi masyarakat Jawa, Senthong / Nepen / Petanen mempunyai landasan filosofis Agama Hindu dan hal tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Jawa karena merupakan sarana dalam pemujaan terhadap para leluhur.
3.     Dengan berkembangnya Agama non Hindu di Jawa, fungsi Senthong / Nepen / Petanen mengalami pergeseran yaitu menjadi tempat menyimpan padi, sebagai gudang, tempat pusaka, serta menyimpan perkakas rumah tangga. Sehubung dengan hal tersebut diatas, perlunya kembali untuk memfungsikan Senthong / Nepen / Petanen sebagai tempat pemujaan para leluhur bagi warga Hindu di Jawa.
II. PENGERTIAN SENTHONG / NEPEN / PETANEN
1.     Istilah Senthong sebagai tempat pemujaan leluhur / Hyang Kawitan tampaknya berasal dari jaman yang sudah tua. Pada mulanya istilah tersebut berarti tempat yang hening atau suwung. Hal tersebut dapat dilihat bahwa sampai sekarang beberapa masyarakat Jawa Senthong masih dipergunakan sebagai tempat meditasi / nepi terutama para sesepuh di Jawa. Pada beberapa tempat di Jawa istilah Senthong ada yang menyebutnya dengan istilah : Petanen, Patangaring, Kerobongan atau Nepen.
2.     Bangunan rumah adat Jawa dibangun dengan system berundak – undak atau teras piramide yang hulunya lenih tinggi posisinya dan pada umumnya menghadap ke arah gunung atau laut. Bagi masyarakat Jawa masih mempercayai adanya sesuatu yang dianggap suci diatas gunung atau diseberang laut, karena dianggap tempat bersthananya leluhur di Jawa pada khususnya dan Indinesia pada umumnya berkembang bersama – sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu dan perkembangannya melalui proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
3.     Konsepsi terhadap gunung – laut / segara – gunung yang merupakan alam atman adalah berhubungan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung / mahameru dan laut / segara merupakan alam para Dewa dan lahir konsep bahwa gunung / laut selain dianggap sebagai alam atman juga alam para Dewa / Sangkan Paraning Dumadi.
III. PENGELOMPOKAN TEMPAT PEMUJAAN
Menjadi kesepakatan bersama bagi warga Hindu di Indonesia bahwa nama tempat bahwa nama tempat pemujaan / sembahyang adalah Pura. Namun demikian bagi masyarakat di Jawa jauh – jauh sebelumnya atau dengan kata lain jauh lebih tua nama tempat pemujaan bagi masyarakat Jawa disebut Candi yang merupakan tempat pemujaan secara umum. Sedangkan untuk tingkat keluarga disebut dengan Sanggar / Senthong / Petanen / Patangaring / Kerobongan. Di Bali sendiri istilah Pura baru muncul pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong yaitu pada abad 15 masehi. Istilah yang lebih tua yaitu Hyang atau Ulun seperti Hyang Api, Hyang Karimana (pura Kehen) di Bangli, Pura Besakih sendiri dulu bernama Tolangkir / Hyang Tolangkir.
Pengelompokan tempat pemujaan / pura ditinjau dari fungsinya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
·         Tempat pemujaan / Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.
·         Tempat pemujaan / Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Bhatara yaitu Atman leluhur.
Penelompokan tempat pemujaan / Pura apabila dilihat sifatnya dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :
·         Tempat sembahyang untuk umum (Pura umum).
·         Tempat pemujaan yang sifatnya terotorial (pura Teritorial).
·         Tempat memuja fungsional (Pura Fungsional).
·         Tempat sembahyang untuk para leluhur / Pura Kawitan.
IV. FUNGSI SENTHONG / NEPEN / PETANEN MENURUT KONSEP WARGA HINDU DI JAWA
1.     Telah disinggung pada halaman sebelumnya, bahwa senthong / nepen / petanen mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan terhadap Atman leluhur atau para Dewa. Secara terperinci dapat diuraikan bahwa senthong / nepen / petanen mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunan. Dengan demikian senthong merupakan tempat suci untuk memuja para leluhur yang telah disucikan dari masing – masing warga atau kelompok kekerabatan.
2.     Senthong apabila dilihat dari bentuknya terdiri dari 3 (tiga) pintu, pintu yang besar berada di tengah –tengah sehingga mirip rong tiga pada Sanggah Kemulan di Bali. Hal tersebut menunjukan pemujaan dalam 3 (tiga) aspek yaitu sebagai penciptaan, pemeliharaan dan sebagai aspek memprelina atau sabda, bayu dan idep. Secara fisik dapat disaksikan bahwa pada senthong terdapat ukiran burung Garuda yang merupakan wahana Dewa Wisnu dan posisinya berada ditengah – tengah. Disamping itu diketemukan pedaringan untuk pemujaan Dewi Sri dan gundukan kemenyan untuk memuja Sang Hyang Ciwa, dan para leluhur keluarga yang bersangkutan.
3.     Dalam Serat Kawruh Kalang disebutkan bahwa senthong merupakan tempat Sanggar pemujaan bagi keluarga Hindu di Jawa. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam keluarga bateh / keluarga inti yang terdiri dari Bapak, Ibu dan anak diwajibkan membut rumah Jawa yang dilengkapi dengan senthong sebagai tempat suci untuk memuja leluhur dan para Dewa, sedangkan dalam masyarakat besar diwajibkan membuat Candi.
V. PENUTUP
Kesimpulan
·         Dalam rumah adat Jawa terdapat tempat suci untuk memuja para leluhur yang disebut Senthong / Petanen / Patangaring / Kerobong.
·         Senthong disamping sebagai tempat suci untuk pemujaan para leluhur juga berfungsi sebagai tempat memuja Dewa khususnya Dewa Tri Murti.
Saran
Secara fakta dapat dilihat Senthong merupakan tempat memuja leluhur / para Dewa, maka disarankan kepada warga Hindu di Jawa yang masih menempati rumah adat Jawa, dianjurkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan leluhur atau berfungsi sebagai Pura Kawitan / Sanggah / Mrajan, sehingga tidak sulit lagi mencari – cari / mengada – ada tempat pemujaan bagi keluarga.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya Jawa : Pemujaan Leluhur dalam Masyarakat Hindu Jawa"

Post a Comment