Seluk Beluk Caru dan Tawur
Oleh : Untung Suhardi, S.Pd.H
Pendahuluan
Om Swastyastu
Om Swastyastu
Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah,
harmonis; dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sebagai kata kerja, mecaru
artinya menghaturkan kurban untuk memperindah dan mengharmoniskan sesuatu.
Dalam arti yang lebih tegas, mecaru adalah suatu upacara kurban yang bertujuan
untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah,
lestari.
Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari
filosofi Trihitakarana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama
Tirta, agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan
Sanghyang Widhi (Parhyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia
(Pawongan) dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).
Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil
sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat
tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.
Jenis-jenis Caru dan Tawur
Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan
Tawur sebagai berikut:
- Yang
diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama
penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
- Yang
diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa
(tahun) tertentu.
- Yang
diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa,
seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
- Mengikuti
upacara pokok Panca Yadnya.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru
dan Tawur. Yang termasuk Caru: Ekasata, Pancawarna, Pancasata,
Pancasanak, Pancanak-madurga, Ngeresigana. Yang termasuk Tawur: Manca Kelud,
Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana,
Ekadasarudra.
Mitologi Bhutakala menurut Lontar Bhumi Kemulan dan
Lontar Siwa Gama
Sebelum membahas seluk beluk upacara Pecaruan dan
upacara Tawur, terlebih dahulu perlu diketahui asal mula keberadaan Bhutakala,
karena upacara Pecaruan dan upacara Tawur bertujuan untuk nyomia (mensucikan)
bhuta. Bhuta, artinya sesuatu yang sudah ada; Kala, artinya
kekuatan atau energi. Penggunaan istilah sering disatukan sebagai Bhutakala,
ada juga hanya Bhuta, dan ada juga hanya Kala. Namun esensi
ketiganya sama.
Keberadaan Bhutakala awalnya karena Bhatara Siwa ingin
mencipta alam semesta. Dalam hal ini Bhatara Siwa mempunyai lima putra, yang
disebut Panca Korsika. Mula-mula Ia mengutus keempat putra-Nya yaitu: Sang
Korsika, Sang Garga, Sang Maitri dan Sang Kurusya, namun
mereka gagal menjalankan tugas. Karena gagal, keempat putra Bhatara Siwa itu
dikutuk menjadi Bhutakala.
Kemudian Bhatara Siwa meminta putra-Nya yang kelima
bernama Sang Pretanjala untuk mengambil alih tugas saudara-saudara-Nya
itu. Sang Pretanjala mohon agar Ia dibantu oleh Ibu-Nya: Dewi Uma.
Permintaan ini dikabulkan oleh Bhatara Siwa. Maka Dewi Uma dan Sang Pretanjala
berhasil menciptakan Bhuwana Agung: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa,
yang disebut Panca Mahabhuta, dan mahluk-mahluk halus.
Mahluk-mahluk halus ini ada tiga jenis, yakni yang
baik misalnya: widyadara-widyadari, gandarwa, dan kinara.
Yang tidak baik misalnya: raksasa, denawa, pisaca, daitya. Yang
ketiga adalah mahluk halus yang derajatnya rendah misalnya: tonya, memedi,
bregala-bregali.
Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Bhatari Durgha dan
memecah diri-Nya menjadi lima yakni:
- Sri-Durgha, berkedudukan di timur. Ia
menciptakan: Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen.
- Dhari-Durgha, berkedudukan di selatan.
Ia menciptakan: Bhuta Kapragan.
- Suksmi-Durgha, berkedudukan di barat. Ia
menciptakan: Kamala-Kamali, Kala Sweta.
- Raji-Durgha, berkedududkan di utara. Ia
menciptakan: Bregala-Bregali, Bebai.
- Durgha, berkedudukan di
tengah-tengah. Ia menciptakan: Bhuta Janggitan di timur, Bhuta
Langkir di selatan, Bhuta Lembu Kania di barat, Bhuta Taruna
di utara, Bhuta Tiga Sakti di tengah-tengah, Bhuta Lambukan
di tenggara, Bhuta Hulu-Kuda dan Bhuta Jingga di barat daya,
Bhuta Ijo di barat laut, dan Bhuta ireng di timur laut.
Melihat Dewi Uma menjadi Bhatari Durgha, maka Sang
Pretanjala ikut berubah menjadi Mahakala. Ia berkedudukan di tengah-tengah
bersama Ibu-Nya dan ciptaan awal mereka: Panca Mahabhuta. Ia mengajak keempat
saudara-Nya yang sudah di kutuk menjadi Bhutakala dan memberikan kedudukan
kepada mereka masing-masing sebagai berikut: Korsika di timur, Garga di
selatan, Maitri di barat, dan Kurusya di utara.
Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa sehubungan
dengan kelahiran manusia, menurut Lontar Tutur Kandapat
Ketika terjadi pertemuan antara kama bang
dengan kama petak (pembuahan) didalam rahim wanita, embrio (jabang bayi)
ditemani oleh Kandapat yang bertugas memelihara dan membesarkan bayi.
Kandapat itu bernama Kandapat Rare, terdiri dari Karen, Bra, Angdian dan
Lembana. Setelah embrio berusia 20 hari Kandapat itu bernama Anta,
Preta, Kala, Dengen. Setelah bayi berusia 40 minggu dalam
kandungan, Kandapat bernama: Ari-Ari, Getih, Lamas, Yehnyom.
Setelah bayi lahir dan setelah talipusarnya putus, Kandapat bernama: Mekair,
Salabir, Mokair, Selair.
Ketika bayi mulai belajar berbicara, Kandapat Rare
berubah menjadi Kandapat Bhuta, bernama: Anggapati, Mrajapati,
Banaspati, dan Banaspati Raja. Anggapati yang berasal dari pertiwi
(tanah) berkedudukan di timur, Mrajapati yang berasal dari apah (air)
berkedudukan di selatan, Banaspati yang berasal dari teja (matahari)
berkedudukan di barat, dan Banaspati Raja yang berasal dari bhayu (angin)
berkedudukan di utara.
Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa untuk
menguji manusia dalam menghadapi Hari Raya Galungan, menurut Lontar Sri
Jayakasunu
Pada hari Redite, Paing, Dungulan, diturunkan Bhuta
Amangkurat. Pada Soma, Pon, Dungulan, Bhuta Dungulan, dan pada
Anggara Wage, Dungulan, Bhuta Galungan.
Bhutakala yang menguasai sasih (bulan), menurut Lontar
Bhumi Kemulan, Lontar Siwa Gama, dan Lontar Tutur Lebur Gangsa
Ke:
|
Nama Sanskrit
|
Nama Bali
|
Bhutakala yg menguasai
|
1
|
Srawana
|
Kasa
|
Bhuta
Bregala
|
2
|
Bhadrawada
|
Karo
|
Bhuta
Amangkurat
|
3
|
Asuji
|
Katiga
|
Kala
Prayogi
|
4
|
Kartika
|
Kapat
|
Kala
Wigraha Bhumi
|
5
|
Margasira
|
Kalima
|
Kala
Mangsa
|
6
|
Posya
|
Kanem
|
Kala
Semayapati
|
7
|
Magha
|
Kapitu
|
Kala
Ngadang Semaya
|
8
|
Palguna
|
Kawolu
|
Kala
Dengen
|
9
|
Caitra
|
Kasanga
|
Kala Rogha
|
10
|
Waisaka
|
Kadasa
|
Kala
Wijaya
|
11
|
Dyestha
|
Mala
|
Kala Solog
|
12
|
Asadha
|
Mala
|
Kala
Banaspati
|
Catus Pata (Lontar Dewa Tattwa dan Lontar Eka Pratama)
- Trimurti
menugaskan para Sulinggih-Sulinggih berpaham Siwa, Waisnawa, dan
Bodha untuk “nyomia” Bhutakala melalui upacara/upakara Caru atau Tawur.
- Sebelum
nyomia para Bhutakala para Sulinggih memohon agar Bhatari Durga berkenan
kembali menjadi Dewi Uma dan Mahakala kembali menjadi Pretanjala. Untuk ini
dihaturkan banten jangkep yang ada di panggungan.
- Catus
Pata dipilih sebagai tempat pelaksanaan Tawur (terutama pada Tawur
Kesanga) karena di Catus Pata – lah mula pertama Dewi Uma berubah menjadi
Bhatari Durga serta mencipta wateking Bhutakala tersebut, dan di Catus
Pata pula Sang Pretanjala berubah menjadi Mahakala
- Di
zaman lampau Catus Pata ditetapkan oleh Raja atas saran Bhagawanta. Kini
bagi Desa-Desa Pakraman yang baru, penetapan Catus Pata dilakukan
oleh perarem Desa Pakraman setelah mendapat saran dari seorang Sulinggih.
Mepepada (Manawa Dharmasastra V.31, Lontar Dharma
Caruban, Lontar Tutur Lebur Gangsa)
Yajnaya jagdhir mamsasye, tyesa daivo vidhih smrtah,
ato ‘nyatha pravrttistu raksaso vidhir ucyate. Pemakaian daging adalah wajar untuk
upacara kurban, hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh Dewa,
tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok
untuk para raksasa.
- “Peraturan
yang dibuat oleh Dewa” dituangkan dalam Lontar Dharma Caruban dan
Lontar Tutur Lebur Gangsa dalam bentuk upacara mepepada, yang diadakan di
Pura Desa setempat sebagai linggih Bhatara Brahma.
- Semua
beburon sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan
kain menurut warna pengider disertai kalungan uang kepeng manut urip.
- Alat-alat
yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung,
tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga
disertai lakar base genep.
Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala
dan Lontar Kala Tattwa)
- Ayam
manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta
Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun –
Bhuta Tiga Sakti
- Ayam
biying kuning, untuk Bhuta Jingga **)
- Ayam
ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
- Ayam
Ijo, untuk Bhuta Ijo ***)
- Ayam
klawu, untuk Bhuta Ireng ****)
- Ayam
wangkas, untuk Bhuta Lambukan *)
- Angsa
putih, untuk Korsika
- Asu
bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
- Banteng,
untuk Bhuta Ijo ***)
- Bawi
palen,untuk Mahakala
- Bebek
belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
- Bebek
bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan *)
- Godel,
untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
- Kambing
coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
- Kambing
coklat, untuk Bhuta Jingga **)
- Kambing
selem, untuk Kurusya, Bnaspati Raja
- Kambing
sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggar Tawang
- Kebo
yusmerana, untuk Bhuta Ireng ****)
- Kidang,
untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
- Manjangan,
untuk Bhuta Ijo ***)
- Penyu
(punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
(Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan
beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)
Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban
- Kinelet
melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh
- Winangun
urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang
punggung, tulang kaki dan tulang ekor
- Urab/Reramesan
barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan
barak)
- Getih
matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan,
diiisi lontar nama hewannya
- Sate
(jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan
tubuh hewan termaksud yang suci dengan aksara Ang – Ung – Mang
- Gayah:
punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan sanjata Dewata Nawa
Sanggha, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya, candra,
tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh,
don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.
Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan (Lontar Sudamala)
- Bahan-bahan
upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis: Mataya, Mantiga dan
Maharya. Ephos Mahabharata menyebutkan, Mataya, Mantiga dan Maharya
sebagai penganti kurban (caru) manusia. Ketika itu Duryodana menginginkan
kurban kepala Panca Kumara (putra-putra Pandawa) tetapi oleh Aswatama
Panca Kumara diganti dengan Mataya, Mantiga dan Maharya.
Pengganti tulang-belulang manusia adalah anyaman “sengkui”
- Mataya
adalah bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian,
umbi-umbian, arak, tuak, berem.
- Mantiga
adalah hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa,
burung.
- Maharya
adalah hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat:
babi, sapi, kerbau, kambing, anjing
- Penempatan
hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan
dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos
Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat”
Panca Korsika.
Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa
Tattwa)
- Warna-warna:
bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras,
bunga, benang, dll mengikuti warna pengider: sweta (putih), dumbra (merah
muda), rakta (merah), rajata (oranye), pita (kuning), syama (hijau),
kresna (hitam), biru (abu-abu), dan sarwa suwarna (campuran)
- Warna-warna
itu selain sebagai identitas Dewa-Dewa yang menjaga keseimbangan, juga
sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia: putih: suci;
merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan; merah: marah; oranye:
marah karena nafsu tak terpenuhi; kuning: nafsu; hijau: serakah; hitam:
iri-hati; abu-abu: iri-hati yang terselubung.
- Dari 9
warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa
dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan. Oleh karena itu warna putih
dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana.
- Dengan
demikian sifat-sifat buruk manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan
sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi
Sampad (sifat kedewataan)
Urip/Neptu dalam pe-caruan/tawur (Lontar Warigha
Bhagawan Gargha)
- Urip/neptu
artinya: hidup, baik, lancar mencapai tujuan. Berkaitan dengan dewasa atau
waktu yang mempunyai pengaruh besar pada alam semesta (bhuwana agung)
serta menuntun manusia menuju hidup yang harmonis, bahagia, sejahtera.
- Penggunaan
urip/neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai dengan
mitologi panca korsika, yakni: umanis urip 5 di timur, paing urip 9 di
selatan, pon urip 7 di barat, wage urip 4 di utara, dan kliwon urip 8 di
tengah. Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut
Sathapatabrahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan
bhuwana agung.
- Penggunaan
urip/neptu pada tawur dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana
agung menurut pengider-ider) maka digunakan astawara, dimana urip panca
wara diatas ditambah dengan: guru urip 8 di tenggara, rudra urip 3 di
barat daya, kala urip 1 di barat laut dan sri urip 6 di timur laut.
Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah
pengider-ider dewata nawa sanggha)
- Urip/neptu
tersebut digunakan dalam banten caru/tawur untuk antara lain jumlah:
tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll.
Tabuh Rah (Lontar Siwa Tattwa Purana)
“…..mwah ring tileming kesanga, hulun megawe yoga,
teka wang ing madyapada magawe tawur kasowangan, den hana pranging sata,
wenang nyepi sadina ika labain sang Kala Dasa Bhumi; yanora samangkana rug
ikang ning madhyapada………”
Syarat-syarat tabuh rah menurut kesimpulan komisi 2
seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu tahun 1976 di
Denpasar:
- Diadakan
sekitar area caru/tawur, bertepatan dengan upacara.
- Sabungan
ayam 3 seet (ronde) semuanya setelah itu disambleh
- Diikuti
dengan adu buah kelapa, telur bebek dan tingkih 3 kali
- Ada
“toh” namun tanpa unsur judi, artinya kemenangan toh di dana-puniakan
kepada penyelenggara caru/tawur
Om Santih, Santih, Santih Om
0 Response to "Upacara Bhuta Yajna"
Post a Comment