Open
your mind :
Hindu dalam bayang-bayang multikultur dan globalisasi
Agama sebagai identitas
Identitas akan terlebih dahulu
“ada”, sebelum manusia dilahirkan, dapat dikatakan sebagai warisan, diantaranya
adalah agama, yang terwarisi, walaupun ada sebagian dari para pewaris tersebut
berganti, akan tetapi hal tersebut perkara lain, karena manusia terlahir dengan
seperangkat identitas yang telah melekat padanya. Dengan kata lain, kita
terlahir beitu saja tanpa dapat memilih, tiba-tiba kita terperangkap dalam
tubuh yang sudah mengandung kode-kode simbolik tertentu, baik itu secara
naluriah dan sosial. Perbedaan adalah kepastian, kenyataan eksistensial yang
lebih sering menyakitkan daripada menyenangkannya. Perbedaan menuntut kita
untuk merebut ruang dan waktu, alhasil perbedaan menjadi sumber persoalan yang
abadi, yakni bagimana orang-orang yang berbeda dapat hidup bersama?
Dengan meminjam pernyataan
Michel Foucault, bahwa kuasa ada dalam setiap perbedaan, maka perbedaan kini
semakin ditegaskan dengan ditarik garis “kita” dengan “mereka” atau
“kawan-lawan”, perbedaan melahirkan stigma, stereotif negatif pada “sang-lian”,
dan menumbuhkan sikap heterofobia (takut akan “yang lain”). Ke-lain-an dan
ke-asing-an menghadirkan misteri yang berada diluar jagat yang sudah
dikenalnya. keduanya dapat mengancam harmoni dan ketentraman tatanan yang telah
ada, sikap curiga, bersiaga dan bertahan merupakan reaksi yang terbentuk atas
ketakutan, bukanlah pada aksi “sang lian”, sehingga tidaklah mengherankan
reaksi spontan menjadi mekanik dan tersistematis, terkadang menghentikan
sejenak aktivitas-aktivitasnya sejenak, untuk memfokuskan pada “sang lian”.
Sederetan kode pun dilekatkan
pada “sang lian” sebagai strategi pemisahan. Pengetahuan akan “sang lian”
menjadi hal yang utama demi untuk memberikan rasa aman dilakukanlah penaklukan
“sang lian” (hegemoni, dominasi, represi) hingga dalam ruang imaji dan naluri.
Dengan menguasai pengetahuan mengenai “yang lain”, orang menyingkirkan
ketidaktahuan, sumber kebimbangan dan kegelisahan, dan menggenggam kepastian.
Dunia ditata atas “rekayasa diatas mimpi”.
Rasa aman, pengetahuan, dan kuasa
merupakan tiga kaki penopang kelangsungan eksistensi manusia. Sinergisitas
inilah yang menjadi titik tolak untuk melihat cara kerja kuasa dalam perbedaan
dan juga bagimana harus memaknai perbedaan tersebut dalam ruang-waktu yang
bersamaan. Kehadiran “yang lain” dalam ruang hidup bersama menjadi tantangan
bagi ilmu pengetahuan yang berambisi untuk menata dunia serapi mungkin dalam
almari kategori yang rapi. Sejak Descrates, Bacon, Locke dan Kant menyiratkan
bahwa penaklukan dunia merupakan syarat mutlat bagi keberlangsungan
kemanusiaan. Mimpi ini terus mengelayuti ilmu pengetahuan, sehingga terus
berinovasi, mempertajam klasifikasi-klasifikasi yang telah ada. “yang lain”
yang berpotensi menimbulkan chaos, dimasukan dan diatur dalam
klasifikasi-klasifikasi logis. Seakan, pemberian aturan yang jelas, tidak
ambigu, dan masuk akal adalah satu-satunya cara dalm upaya penyelamatan
kehidupan. Alhasil, Max Webber menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada lagi
kekuatan-kekuatan misterius yang tidak lagi dapat dihitung, dan pada dasarnya
manusia dapat menguasai sesuai dengan perhitungan”. Para penafsir
berlomba-lomba untuk menggali kemungkinan-kemungkinan untuk mngklasifikasikan
manusia.
Konsep Darwin mengenai “seleksi
alam” dan “yang kuat yang akan hidup” menjadi pegangan para penafsir, dalam
melihat perkembangan klasifikasi yang dibuatnya, selain itu, darwinisme sosial
menjadi pendorong bagi rekayasa sosial yang didasarkan pada superioritas dan
inferioritas. Rekayasa sosial ini mengisaratkan adanya pembentukan manusia pada
sesuatu yang lebih baik (kuat) dan mengurangi “yang lain”, atau dengan kata
lain proses eugeesis haruslah berjalan secara alamiah.
Negara yang menjadi institusi
sosial masyarakat, baik dalam ranah sosial, politik dan budaya dalam konteks
modern, dalam perkembangannya menjadi organisasi yang padat kuasa yang dapat
menjangkau setiap manusia dibatas-batas wilayahnya. Dengan menggunakan mesin
birokrasi, kekuasan administratur yang luar biasa, dan kekuatan intelejennya
(militer) pada akhirnya dapat mendistribusi fungsi kuasanya. Kekuasaan negara,
masuk dalam ranah yang paling fundamental dalam manusia, yakni keyakinan.
Dengan sedemikian rupa, negara membentuk institusi-institusi keyakinan, yang
kita kenal dengan agama yang diidentifikasikan pada keTuhanan Yang Maha Esa,
nabi dan kitab suci. Institusi-intitusi tersebut kita kenal dengan nama agama.
Dalam aneka budaya dan
komunitas di Indonesia, Hildred Geertz mengemukakan lebih dari 200 budaya
berkembang di Indonesia dan memiliki ciri khas tersendiri, termasuk dengan
bahasanya. Dalam hal ini maka ada pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan
agamanya? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, dikarenakan banyak diantara
budaya-budaya yang ada dikategorisasikan “belum beragama”, mereka hanya
memiliki religi dan kepercayaan (keyakinan). Menurut Koentjaraningrat, agama
berarti sebuah institusi formal yang diakui oleh Negara; religi merupakan
sistem yang berada didalam kelembagaannya yang saling bersinergis, baik itu
diakui atau tidak;sedang, kepercayaan (keyakinan) sesuatu yang paling
fundamental dalam prinsip manusia. Bapak antropologi Indonesia, mencoba
berhati-hati dalam mendefinisikannya, karena baginya pengklasifikasian antara
agama, religi, dan kepercayaan merupakan permasalahan politis, sehingga baginya
pengkategorian tersebut hanya untuk memudahkan penyebutan saja, tidak lebih,
karena dalam ketiga kategori diatas satu sama lainnya saling berkelindan dan
bersinergis, dalam kenyataannya sering tumpang tindih.
Rita Smith Kipp dan Susan
Rodgers menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori agama, yang bercirikan
monotheistic, mempunyai kitab, mempunyai nabi, dan mempunyai komunitas
international. Kategorisasi diatas sangatlah cocok dengan agama samawi, sedang
bagaimana dengan agama non-samawi?. Disisi lain Jane Monnig Atkinson
menambahkan bahwa agama secara implisit haruslah membawa kemajuan (modernitas).
Dalam hal ini konsep waktu yang diinginkan dari agama berjalan secara linear,
dimana modernitas menjadi tujuan bagi keagamaan. Kategorisasi mengenai
keagamaan ini didasarkan atas rekam sejarah samawi, seperti protestan mendorong
tumbuhnya kota dan berjalan seiring dengan kapitalisme (Max webber, 2001: 2-3).
Penelitian Gordon S. Reidding, meng-counter phesis Webber, dimana agam
non-samawi (yang diteliti agama Konghucu di Cina) pun mendorong kaptalisme, dan
membawa Cina sebagai Negara maju dan menjadi kekuatan terbesar pada masa
sekarang. Dalam skala kecil Hindu di Indonesia, khususnya di pulau Bali,
mempunyai potensi mendorong pada semangat kapitalisme, hal ini terlihat dari
dana punia yang terkumpul mulai bergeser yang pada mulanya sebagai dana yang
dialokasikan pada ranah religi (contoh: pembangunan pura), kini mmulai merambah
perekonomian kecil dengan membuat koperasi.
Semangat kapitalisme memang
telah masuk dalam ranah agama dan religi, dan terus berkelindan dalam
ruang-waktu secara bersaman. Citra mengenai keagamaan terbentuk dalam sistem
produksi simbol-simbol dan barang produksi. Islam harus memakai peci/kopiah;
Hindu harus memakai udeng; Budha tak berambut, sedang Nasrani harus necis.
Simbol-simbol terus direproduksi hingga mencapai titik kemodernan yang tunggal.
Simbol-simbol budaya diperdagangkan dalam supermarket, mall, dan ruang publik
lainnya, yang hakikatnya hanyalah merayakan perbedaan semu (tataran permukaan),
perbedaan yang sejatinya tunggal, yakni ranah produksi.
Dalam konteks Indonesia, agama
menjadi sesuatu hal yang penting, terlebih dengan masuknya kolonialisasi, agama
menjadi salah satu strategi koersif dalam menciptakan kepatuhan, disiplin dan
terror, yang fungsinya membentuk suatu tatanan masyarakat yang dapat dikontrol
dikendalikan (rekayasa sosial). Lembaga-lembaga kegamaan dibentuk, mulai dari
kementrian agama hingga pendidikan agama diatur sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh negara. Pada masa kolonial, pemerintah kolonial demi untuk
menjinakan ranah religi, maka disebarlah para filologi, antropologi, sejarawan
dan ilmuan dari berbagai disiplin ilmu sosial untuk mempelajari sistem
masyarakat dan religinya, untuk mengetahui “yang lain” dan mengklasifikasikannya
dan mendorongnya pada suatu kelompok masyarakat baru. Hal ini pun diteruskan
pada masa kolonialisasi jepang dengan membentuk shumuka (kementrian agama),
lembaga-lembaga keagamaan yang berciri lokal dipersempit ruang geraknya dan
dibentuklah sistem yang modern.
Tiga agama resmi pertama
(Islam, Kristen dan Katholik) telah ada sebelum kolonial masuk, ia mempunyai
tatanan yang otonom, dan mereka hidup berdampingan dengan sistem religi lainnya
yang ada disekitarnya. Dengan masuknya kolonial klasifikasi agama mulai
diterapkan, “yang beragama” dan “yang belum beragama”, untuk item kedua
biasanya adalah sistem-sistem religi yang bersifat lokalitas. Mereka dijadikan
“aneksasi spiritual” (objek yang dapat diambil secara paksa) dari kehausan
dakwah/misi agama-agama besar dunia, hal ini dikarenakan mereka dianggap tidak
mendukung proses pembangunan.
Masa pasca kolonialisasi, agama
tetap menjadi faktor penting, dan Negara menjamin kehidupan keber-agama-an
penduduknya, akan tetapi sebagai Negara yang ber-agama, akhirnya Negara
mengeluarkan kebijakan apa yang tertera dalam sila pertama dan pasal 29 ayat 1
dalam UUD 45, dimana agama harus didasarkan atas “keTuhanan Yang Maha Esa”,
yang mana konsep mengenai “Tuhan” adalah “Esa” (tunggal). Hal ini yang pada akhirnya
memenunggalkan politheisme. Hal yang paling kentara terlihat pada agama
non-samawi, yakni Hindu, mereka yang pada mulanya mengenal konsep politheisme
dipaksakan untuk menunggalkannya, menjadi “Hyang Widhi Wase” sebagai
manifestasi dari trimurti (trinitas). Sedangkan mereka yang belum tergabung
dalam institusi ke-agama-an, maka dituntut untuk mengidentifikasikan diri
dengan agama-agama resmi, seperti Kaharingan, Badui yang mengidentfikasikan
dirinya dengan Hindu. Disisi lain, mereka yang belum mengidentifikasikan
dirinya dengan agama-agama resmi dimasukan dalam badan yang bernama PAKEM
(Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang berada dibawah departemen agama,
kejaksaan, departemen dalam negeri dan kepolisian.
Permasalahan keagamaan menjadi
pelik, ketika sistem keyakinan (religi) harus “dimanunggalkan” dalam
agama-agama resmi. Agama masuk dalam strategi koersif negara, agama menjadi
kepanjang-tanganan dari negara. Kebebasan dalam esensi agama dikaburkan dengan
penipuan secara sadar, dan diamininya. Strategi koersif negara dalam ranah
agama terlihat dalam pasal 29 UUD 45, yang tertafsirkan bahwa penduduk dapat
bebas memeluk agama, akan tetapi hanya agama yang resmi, sedang sistem
keyakinan yang lainnya dikatakan bukanlah agama, dan mereka harus mengindentifikasikan
dengan salah satu agama resmi, seperti kejawen, agama jawa-sunda, kahuripan,
badui, kejawen, dan lainnya dipaksa untuk mengidentifikasikan diri pada salah
satu agama resmi.
Menyoal mengenai agama dan
pendidikannya, negara mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan Nasional no.2 tahun
1989, dimana pendidikan agama menjadi faktor kelulusan siswa. Hal ini berkaitan
dengan peritiwa 30 september 1965, yang mana PKI diidentikan dengan komunis dan
komunis adalah tidak beragama. Pemahaman komunis sebagai idiologi politik,
disandingkan dengan ranah religi yang berdasar pada dasar negara, yakni
pancasila, sila pertama. Penafsiran pancasila yang bersifat monopolitis pada
akhirnya menjadi salah kaprah dan permesif dalam masyarakat. Hal ini merupakan
narasi kuasa yang tercipta dan diamini oleh masyarakat, bukan karena
keinginannya melainkan karena ketakutannya atas negara (panoption).
Undang-Undang Pendidikan Nasional no. 2 tahun 1989 merupakan antithesis dari
Undang Undang pendidikan Nasional no. 4 tahun 1950, yang menyatakan bahwa
pendidikan keagamaan menjadi tanggungjawab pemeluknya dan tidak berimplikasi
pada nilai dalam lembaga/institusi pendidikan.
Menyoal perbedaan
Identitas hadir untuk
mengetahui “siapakah saya” dan membedakan antara “kita” dengan “mereka”, dengan
kata lain yang “ada” adalah perbedaan. Kini bukan lagi saatnya untuk
mempertanyakan mengapa kita berbeda, melainkan bagaimana menyikapi perbedaan?,
sebab dengan perbedaan, kini kita telah terjatuh dalam heterofobia (ketakutan
akan “yang lain”, perasaan curiga dan bersiaga tumbuh dan berkembang dengan
masif dan menghentikan sejenak kebiasaan-kebiasaannya. “the other” menjadi
suatu ancaman bagi tatanan yang telah mapan dan untuk membentenginya, label
kawan dan lawan dipertegasnya. Dan untuk menciptakan rasa aman, maka strategi
penguasaan dijalankan secara sistematis, serangkaian kode ditemu-ciptakan dan
diuraikan secara gamblang untuk menentukan sikap dan perilaku. Diskursus
tersebut dimasukan dalam ranah imaji dan naluri melalui “pengetahuan”. Dengan kata
lain rasa aman tercipta ketika kita telah mengetahui dan mendominasi
pengetahuan akan dan bagi “the other”.
Pengkategorisasian diciptakan
untuk dapat mengontrol dan menguasa ruang gerak bagi “the other”, kesemuanya
harus berjalan sesuai dengan tatanan “harmonisasi” dan “ketentraman”, tanpa
harus mengerti akan arti-makna bahwa hal tersebut adalah mitos yang diciptakan,
dan mengerti bahwa kesemuanya saling terkait dan berjalan berpararel dalam
ruang-waktu. Demi untuk menciptakan rekayasa sosial, maka rasa aman,
pengetahuan dan kekuasaan yang dikatakan sebagai tiga kaki yang menopang
eksistensi manusia, haruslah disinergiskan untuk menundukan, menciptakan dan
mengatur tatanan masyarakat, bahkan dunia.
Agama menjadi paradoks dalam
hal ini, disatu sisi agama mempunyai sifat ke-universal-an, disisi lain menjadi
ekslusifisme. Pluralisme dan multikultur pada akhirnya menjadi slogan yang
mempunyai kepentingan, akan tetapi bukan untuk agama melainkan untuk hal “yang
lain”, sesuatu hal yang tak pernah kita bayangkan. Pluralisme dan multikultur
menjadi senjata ampuh untuk memperdagangkan agama. Karena memang agama bukan
lagi merujuk pada nilai kebenaran dan adi luhung, melainkan suatu nilai
nominal, yang menghidupi suatu kaum tertentu.
Sebagai agama yang resmi,
ruang-ruang struktural dan politik keagamaan dibentuk. sebagai sebuah
institusi/lembaga, Hindu mempunyai keorganisasian mulai dari dirjen, bimas,
hingga lembaga keagamaan seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia. Sebagai agama
resmi Hindu kini terlibat dalam dinamika keber-agama-an (juga mengenai masalah
sosial, politik, budaya dan ekonomi) dalam kancah nasional dan juga
permasalahan intern. Sebagai agama yang termasuk kelompok minoritas, Hindu
dituntut untuk berjuang keras mendapatkan hak-nya (dalam ranah struktural dan
birokratis), sedang berkaitan dengan isi budaya, Hindu yang akrab dengan
tradisi-budaya (mulai dari masa pra-sejarah) maka Hindu pun harus dapat bijak
menyikapinya sebab masih banyak tradisi budaya yang belum mengidentifikasikan
dirinya dengan hindu, atau sebaliknya hindu belum meng-covernya, sebagai bagian
dari Hindu.
Hindu dan multikulturalisme
Rekam sejarah kebudayaan
indonesia, dituliskan bahwa dalam nuswantara terdapat banyak peradapan, dan
untuk memudahkannya maka dibuatlah kategorisasi yang didasarkan atas pembatasan
waktu dan jiwa jaman. Alhasil proses sejarah nuswantara terbagi menjadi jaman
prasejarah (animisme dan dinamisme), jaman kerajaan siwa-budha, kerajaan islam,
kolonial dan indonesia modern. Akan tetapi menjadi berlawanan dengan catatan
sejarah ketika Hindu menjadi agama resmi ke lima, sekalipun terdapat
bukti-bukti sejarah yang mengetengahkan ajaran Hindu yang terlahir jauh sebelum
negara ini terlahir.
Kata Hindu mengacu pada
kebudayaan (h)industan di India, persamaan budaya (khususnya sistem religi)
yang tercatat dalam rekam sejarah menguatkan persamaan tersebut, walaupun dalam
prakteknya terdapat perbedaan. Akan tetapi perbedaan tersebut bukanlah menjadi
sesuatu yang harus dipermasalahkan. Konsep kuasa yang masuk dalam ranah religilah
yang pada akhirnya menjadikan agama sebagai objek kuasanya. Agama menjadi
senjata yang ampuh untuk menerapkan ketaatan dan kepatuhan, bukan pada nilai
yang asli atas kegamaan melainkan pada konteks kuasa. Tumpang tindih antara
kepatuhan dan kesalehan semakin kabur dan tak berbatas, sebab agama menjadi
perisai dalam strategi kuasa. Sebagai agama Hindu, merupakan sesuatu yang
dibayangkan, yang tak akan pernah berhenti berproses. Hindu, sebagai wadah dari
setiap kebudayaan-kebudayaan yang ada didalamnya. Ia bukanlah sesuatu yang
tunggal dan otoriter.
Seperti yang kita ketahui bahwa
Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali, lalu bagaimana dengan penganut Hindu
yang berada di jawa (di Tengger, di Lawu, di Gunungkidul, di Kuningan, Badui
dan lain-lain); di Sumatra, di Kalimantan (Kaharingan), di Sulawesi atau
didaaerah-daearah yang mempunyai persamaan budaya, belum lagi dengan
permasalaahan bahwa mereka belum mengidentifikasi diri mereka kedalam Hindu.
Dari sinilah muncul pertanyaan yakni apakah tradisi-budaya dan Hindu, adalah
item yang berbeda? Atau menjadi satu kesatuan? Jikapun kini bagai sisi mata
uang, lalu bagaimana posisinya, apakah tradisi-budaya menjadi bagian dalam
Hindu, atau sebaliknya Hindu menjadi bagian dari tradisi budaya tersebut?
Jika merunut pada sebuah konsep
Multikulturalisme, maka Hindu sebagai melting pot, yang mengarah pada dua
kemungkinan, yaitu (a) terjadinya penggabungan ras serta percampuran sosial dan
membentuk kebudayaan yang harmonis; dan (b) terjadinya suatu proses percampuran
kebudayaan yang menghasilkan penguatan kebudayaan lama atau munculnya sebuah
kebudayaan baru yang berbeda sama sekali dengan kebudayaan lama. Sekarang
tinggal melihat apakah melting pot yang mengarah pada invigoration atau
novelty. Seandainya ke arah novelty, berarti Hindu menjadi suatu kebudayan yang
betul-betul baru atau yang sangat luar biasa (new or unusual culture). Akan
tetapi kalau yang dimaksudkan invigoration, berarti Hindu mengalami penguatan.
Dalam pengertian kedua, artinya kebudayaan lain dianggap telah memberikan
kehidupan dan energi (to give life and energy to) kepada Hindu. Dari kedua
alternatif tersebut, maka dalam Hindu sedang berlangsung proses penguatan
(invigoration) kebudayaan.
Disisi lain dalam melihat Hindu
sebagai kebudayaan, maka analisa Codes, cukup dapat menjawab permasalaahan
antara tradisi budaya dengan Hindu, adalah dua budaya yang berlainan. Jika kita
lihat jejak dan rekam sejarah, budaya Hindu ada karena adanya pertautan antara
lokalitas dengan budaya lain/asing, sedangkan tradisi-budaya leluhur masih
tetap terjaga. Kecerdasan dari pemuka agagmalah yang pada akhirnya menciptkan
tradisi budaya leluhur dengan Hindu menjadi dua sisi mata uang. Dengan kata
lain osmosis adalah pengangsuran/secara bertahap unsur-unsur kebudayaan pra-sejarah
memperoleh pengertian secara Hindu. Prosesnya antara lain dimulai dari ketika
para pendeta Hindu datang dari India, lalu meng-Hindu-kan elite lokal,
orang-orang yang punya pengaruh kuat dalam masyarakat (termasuk para raja). Al
hasil raja-raja ini diandaikan sebagai inkarnasi para dewa Hindu-Buddha, yang
harus dipuja oleh rakyat sebagai kesinambungan dari pemujaan kepada leluhur
asli dan pemimpin-pemimpin yang telah meninggal.
Dari lingkungan istana, proses
osmosis terus berlanjut ke lapisan rakyat, yang wujudnya masih dapat dilihat
dalam kebudayaan Bali masa kini. Salah satu kebudayaan prasejarah yang layak
dijadikan contoh ialah ‘upacara pembebasan roh dari badan kasar untuk
selama-lamanya.’ Setelah mendapat pemahaman Hindu, orang-orang Bali yakin bahwa
roh orang yang sudah meninggal akan dapat manunggal, bersatu dengan Brahman
(Tuhan), jika sudah melalui upacara ngaben dengan segala rentetannya. Upacara
yang sangat filosofis dan mistis ini berfungsi untuk mensucikan roh, sehingga
layak dipuja.
Tempat pemujaan bukan lagi
ditempat-tempat terdahulu, melainkan di pura (tempat pemujaan secara kolektif)
dan sanggah atau mrajan (tempat pemujaan milik keluarga). Proses osmosis
menyebabkan unsur-unsur kebudayaan prasejarah kelihatan menjadi sangat Hinduistis,
padahal keHinduannya lebih menonjol di permukaan. Di balik permukaan terjadi
pertumpangtindihan simbol-simbol ekspresif, nilai dan cita-cita Hindu dan
prasejarah. Sebagai contoh, modus berpikir masyarakat prasejarah yang
menyatakan bahwa ‘hanya dengan memuja roh leluhur kehidupan di dunia akan bisa
terjamin’ dan ‘baik-buruknya hubungan dengan roh atau kekuatan gaib sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan
hidup,’ tidak bisa dipungkiri keberadaannya.
Hindu ku, Hindu mu Hindu kita
semua: sebuah refleksitas
Dalam hal ini maka dapat kita
simpulkan sementara, bahwa Hindu adalah sebuah imajinasi atas pemeluknya yang
terus berproses dan berpararel dengan lokalitasnya. Sebagai pulau yang
diidentikan sebagai benteng pertahanan dan sekarang menjadi pusat dari agama
Hindu, pulau dewata (Bali) masih terus berdinamika untuk mengimajinasikan akan
ke-Hindu-annya, sebab Bali mempunyai banyak sub-religi Hindu sendiri. Hindu
Bali berbeda dengan Lombok, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Irian dan daerah-daerah
lainnya, bahkan berbeda dengan (h)industan di India. Sebagagai kelompok
mayoritas, maka Hindu Bali harus memberikan ruang terhadap lokalitas-lokalitas
untuk mengembangkan diri mereka, walau dalam perkembangannya akan berbeda satu
sama lainnya. Keanekaragaman Hindu akan menjadikan tempat tersendiri dari
dinamika budaya Hindu pada khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya.
0 Response to "Hindu danGlobalisasi"
Post a Comment