Hindu danGlobalisasi


Open your mind : Hindu dalam bayang-bayang multikultur dan globalisasi



Agama sebagai identitas
Identitas akan terlebih dahulu “ada”, sebelum manusia dilahirkan, dapat dikatakan sebagai warisan, diantaranya adalah agama, yang terwarisi, walaupun ada sebagian dari para pewaris tersebut berganti, akan tetapi hal tersebut perkara lain, karena manusia terlahir dengan seperangkat identitas yang telah melekat padanya. Dengan kata lain, kita terlahir beitu saja tanpa dapat memilih, tiba-tiba kita terperangkap dalam tubuh yang sudah mengandung kode-kode simbolik tertentu, baik itu secara naluriah dan sosial. Perbedaan adalah kepastian, kenyataan eksistensial yang lebih sering menyakitkan daripada menyenangkannya. Perbedaan menuntut kita untuk merebut ruang dan waktu, alhasil perbedaan menjadi sumber persoalan yang abadi, yakni bagimana orang-orang yang berbeda dapat hidup bersama?
Dengan meminjam pernyataan Michel Foucault, bahwa kuasa ada dalam setiap perbedaan, maka perbedaan kini semakin ditegaskan dengan ditarik garis “kita” dengan “mereka” atau “kawan-lawan”, perbedaan melahirkan stigma, stereotif negatif pada “sang-lian”, dan menumbuhkan sikap heterofobia (takut akan “yang lain”). Ke-lain-an dan ke-asing-an menghadirkan misteri yang berada diluar jagat yang sudah dikenalnya. keduanya dapat mengancam harmoni dan ketentraman tatanan yang telah ada, sikap curiga, bersiaga dan bertahan merupakan reaksi yang terbentuk atas ketakutan, bukanlah pada aksi “sang lian”, sehingga tidaklah mengherankan reaksi spontan menjadi mekanik dan tersistematis, terkadang menghentikan sejenak aktivitas-aktivitasnya sejenak, untuk memfokuskan pada “sang lian”.
Sederetan kode pun dilekatkan pada “sang lian” sebagai strategi pemisahan. Pengetahuan akan “sang lian” menjadi hal yang utama demi untuk memberikan rasa aman dilakukanlah penaklukan “sang lian” (hegemoni, dominasi, represi) hingga dalam ruang imaji dan naluri. Dengan menguasai pengetahuan mengenai “yang lain”, orang menyingkirkan ketidaktahuan, sumber kebimbangan dan kegelisahan, dan menggenggam kepastian. Dunia ditata atas “rekayasa diatas mimpi”.
Rasa aman, pengetahuan, dan kuasa merupakan tiga kaki penopang kelangsungan eksistensi manusia. Sinergisitas inilah yang menjadi titik tolak untuk melihat cara kerja kuasa dalam perbedaan dan juga bagimana harus memaknai perbedaan tersebut dalam ruang-waktu yang bersamaan. Kehadiran “yang lain” dalam ruang hidup bersama menjadi tantangan bagi ilmu pengetahuan yang berambisi untuk menata dunia serapi mungkin dalam almari kategori yang rapi. Sejak Descrates, Bacon, Locke dan Kant menyiratkan bahwa penaklukan dunia merupakan syarat mutlat bagi keberlangsungan kemanusiaan. Mimpi ini terus mengelayuti ilmu pengetahuan, sehingga terus berinovasi, mempertajam klasifikasi-klasifikasi yang telah ada. “yang lain” yang berpotensi menimbulkan chaos, dimasukan dan diatur dalam klasifikasi-klasifikasi logis. Seakan, pemberian aturan yang jelas, tidak ambigu, dan masuk akal adalah satu-satunya cara dalm upaya penyelamatan kehidupan. Alhasil, Max Webber menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada lagi kekuatan-kekuatan misterius yang tidak lagi dapat dihitung, dan pada dasarnya manusia dapat menguasai sesuai dengan perhitungan”. Para penafsir berlomba-lomba untuk menggali kemungkinan-kemungkinan untuk mngklasifikasikan manusia.
Konsep Darwin mengenai “seleksi alam” dan “yang kuat yang akan hidup” menjadi pegangan para penafsir, dalam melihat perkembangan klasifikasi yang dibuatnya, selain itu, darwinisme sosial menjadi pendorong bagi rekayasa sosial yang didasarkan pada superioritas dan inferioritas. Rekayasa sosial ini mengisaratkan adanya pembentukan manusia pada sesuatu yang lebih baik (kuat) dan mengurangi “yang lain”, atau dengan kata lain proses eugeesis haruslah berjalan secara alamiah.
Negara yang menjadi institusi sosial masyarakat, baik dalam ranah sosial, politik dan budaya dalam konteks modern, dalam perkembangannya menjadi organisasi yang padat kuasa yang dapat menjangkau setiap manusia dibatas-batas wilayahnya. Dengan menggunakan mesin birokrasi, kekuasan administratur yang luar biasa, dan kekuatan intelejennya (militer) pada akhirnya dapat mendistribusi fungsi kuasanya. Kekuasaan negara, masuk dalam ranah yang paling fundamental dalam manusia, yakni keyakinan. Dengan sedemikian rupa, negara membentuk institusi-institusi keyakinan, yang kita kenal dengan agama yang diidentifikasikan pada keTuhanan Yang Maha Esa, nabi dan kitab suci. Institusi-intitusi tersebut kita kenal dengan nama agama.
Dalam aneka budaya dan komunitas di Indonesia, Hildred Geertz mengemukakan lebih dari 200 budaya berkembang di Indonesia dan memiliki ciri khas tersendiri, termasuk dengan bahasanya. Dalam hal ini maka ada pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan agamanya? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, dikarenakan banyak diantara budaya-budaya yang ada dikategorisasikan “belum beragama”, mereka hanya memiliki religi dan kepercayaan (keyakinan). Menurut Koentjaraningrat, agama berarti sebuah institusi formal yang diakui oleh Negara; religi merupakan sistem yang berada didalam kelembagaannya yang saling bersinergis, baik itu diakui atau tidak;sedang, kepercayaan (keyakinan) sesuatu yang paling fundamental dalam prinsip manusia. Bapak antropologi Indonesia, mencoba berhati-hati dalam mendefinisikannya, karena baginya pengklasifikasian antara agama, religi, dan kepercayaan merupakan permasalahan politis, sehingga baginya pengkategorian tersebut hanya untuk memudahkan penyebutan saja, tidak lebih, karena dalam ketiga kategori diatas satu sama lainnya saling berkelindan dan bersinergis, dalam kenyataannya sering tumpang tindih.
Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori agama, yang bercirikan monotheistic, mempunyai kitab, mempunyai nabi, dan mempunyai komunitas international. Kategorisasi diatas sangatlah cocok dengan agama samawi, sedang bagaimana dengan agama non-samawi?. Disisi lain Jane Monnig Atkinson menambahkan bahwa agama secara implisit haruslah membawa kemajuan (modernitas). Dalam hal ini konsep waktu yang diinginkan dari agama berjalan secara linear, dimana modernitas menjadi tujuan bagi keagamaan. Kategorisasi mengenai keagamaan ini didasarkan atas rekam sejarah samawi, seperti protestan mendorong tumbuhnya kota dan berjalan seiring dengan kapitalisme (Max webber, 2001: 2-3). Penelitian Gordon S. Reidding, meng-counter phesis Webber, dimana agam non-samawi (yang diteliti agama Konghucu di Cina) pun mendorong kaptalisme, dan membawa Cina sebagai Negara maju dan menjadi kekuatan terbesar pada masa sekarang. Dalam skala kecil Hindu di Indonesia, khususnya di pulau Bali, mempunyai potensi mendorong pada semangat kapitalisme, hal ini terlihat dari dana punia yang terkumpul mulai bergeser yang pada mulanya sebagai dana yang dialokasikan pada ranah religi (contoh: pembangunan pura), kini mmulai merambah perekonomian kecil dengan membuat koperasi.
Semangat kapitalisme memang telah masuk dalam ranah agama dan religi, dan terus berkelindan dalam ruang-waktu secara bersaman. Citra mengenai keagamaan terbentuk dalam sistem produksi simbol-simbol dan barang produksi. Islam harus memakai peci/kopiah; Hindu harus memakai udeng; Budha tak berambut, sedang Nasrani harus necis. Simbol-simbol terus direproduksi hingga mencapai titik kemodernan yang tunggal. Simbol-simbol budaya diperdagangkan dalam supermarket, mall, dan ruang publik lainnya, yang hakikatnya hanyalah merayakan perbedaan semu (tataran permukaan), perbedaan yang sejatinya tunggal, yakni ranah produksi.
Dalam konteks Indonesia, agama menjadi sesuatu hal yang penting, terlebih dengan masuknya kolonialisasi, agama menjadi salah satu strategi koersif dalam menciptakan kepatuhan, disiplin dan terror, yang fungsinya membentuk suatu tatanan masyarakat yang dapat dikontrol dikendalikan (rekayasa sosial). Lembaga-lembaga kegamaan dibentuk, mulai dari kementrian agama hingga pendidikan agama diatur sesuai dengan apa yang diinginkan oleh negara. Pada masa kolonial, pemerintah kolonial demi untuk menjinakan ranah religi, maka disebarlah para filologi, antropologi, sejarawan dan ilmuan dari berbagai disiplin ilmu sosial untuk mempelajari sistem masyarakat dan religinya, untuk mengetahui “yang lain” dan mengklasifikasikannya dan mendorongnya pada suatu kelompok masyarakat baru. Hal ini pun diteruskan pada masa kolonialisasi jepang dengan membentuk shumuka (kementrian agama), lembaga-lembaga keagamaan yang berciri lokal dipersempit ruang geraknya dan dibentuklah sistem yang modern.
Tiga agama resmi pertama (Islam, Kristen dan Katholik) telah ada sebelum kolonial masuk, ia mempunyai tatanan yang otonom, dan mereka hidup berdampingan dengan sistem religi lainnya yang ada disekitarnya. Dengan masuknya kolonial klasifikasi agama mulai diterapkan, “yang beragama” dan “yang belum beragama”, untuk item kedua biasanya adalah sistem-sistem religi yang bersifat lokalitas. Mereka dijadikan “aneksasi spiritual” (objek yang dapat diambil secara paksa) dari kehausan dakwah/misi agama-agama besar dunia, hal ini dikarenakan mereka dianggap tidak mendukung proses pembangunan.
Masa pasca kolonialisasi, agama tetap menjadi faktor penting, dan Negara menjamin kehidupan keber-agama-an penduduknya, akan tetapi sebagai Negara yang ber-agama, akhirnya Negara mengeluarkan kebijakan apa yang tertera dalam sila pertama dan pasal 29 ayat 1 dalam UUD 45, dimana agama harus didasarkan atas “keTuhanan Yang Maha Esa”, yang mana konsep mengenai “Tuhan” adalah “Esa” (tunggal). Hal ini yang pada akhirnya memenunggalkan politheisme. Hal yang paling kentara terlihat pada agama non-samawi, yakni Hindu, mereka yang pada mulanya mengenal konsep politheisme dipaksakan untuk menunggalkannya, menjadi “Hyang Widhi Wase” sebagai manifestasi dari trimurti (trinitas). Sedangkan mereka yang belum tergabung dalam institusi ke-agama-an, maka dituntut untuk mengidentifikasikan diri dengan agama-agama resmi, seperti Kaharingan, Badui yang mengidentfikasikan dirinya dengan Hindu. Disisi lain, mereka yang belum mengidentifikasikan dirinya dengan agama-agama resmi dimasukan dalam badan yang bernama PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang berada dibawah departemen agama, kejaksaan, departemen dalam negeri dan kepolisian.
Permasalahan keagamaan menjadi pelik, ketika sistem keyakinan (religi) harus “dimanunggalkan” dalam agama-agama resmi. Agama masuk dalam strategi koersif negara, agama menjadi kepanjang-tanganan dari negara. Kebebasan dalam esensi agama dikaburkan dengan penipuan secara sadar, dan diamininya. Strategi koersif negara dalam ranah agama terlihat dalam pasal 29 UUD 45, yang tertafsirkan bahwa penduduk dapat bebas memeluk agama, akan tetapi hanya agama yang resmi, sedang sistem keyakinan yang lainnya dikatakan bukanlah agama, dan mereka harus mengindentifikasikan dengan salah satu agama resmi, seperti kejawen, agama jawa-sunda, kahuripan, badui, kejawen, dan lainnya dipaksa untuk mengidentifikasikan diri pada salah satu agama resmi.
Menyoal mengenai agama dan pendidikannya, negara mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan Nasional no.2 tahun 1989, dimana pendidikan agama menjadi faktor kelulusan siswa. Hal ini berkaitan dengan peritiwa 30 september 1965, yang mana PKI diidentikan dengan komunis dan komunis adalah tidak beragama. Pemahaman komunis sebagai idiologi politik, disandingkan dengan ranah religi yang berdasar pada dasar negara, yakni pancasila, sila pertama. Penafsiran pancasila yang bersifat monopolitis pada akhirnya menjadi salah kaprah dan permesif dalam masyarakat. Hal ini merupakan narasi kuasa yang tercipta dan diamini oleh masyarakat, bukan karena keinginannya melainkan karena ketakutannya atas negara (panoption). Undang-Undang Pendidikan Nasional no. 2 tahun 1989 merupakan antithesis dari Undang Undang pendidikan Nasional no. 4 tahun 1950, yang menyatakan bahwa pendidikan keagamaan menjadi tanggungjawab pemeluknya dan tidak berimplikasi pada nilai dalam lembaga/institusi pendidikan.
Menyoal perbedaan
Identitas hadir untuk mengetahui “siapakah saya” dan membedakan antara “kita” dengan “mereka”, dengan kata lain yang “ada” adalah perbedaan. Kini bukan lagi saatnya untuk mempertanyakan mengapa kita berbeda, melainkan bagaimana menyikapi perbedaan?, sebab dengan perbedaan, kini kita telah terjatuh dalam heterofobia (ketakutan akan “yang lain”, perasaan curiga dan bersiaga tumbuh dan berkembang dengan masif dan menghentikan sejenak kebiasaan-kebiasaannya. “the other” menjadi suatu ancaman bagi tatanan yang telah mapan dan untuk membentenginya, label kawan dan lawan dipertegasnya. Dan untuk menciptakan rasa aman, maka strategi penguasaan dijalankan secara sistematis, serangkaian kode ditemu-ciptakan dan diuraikan secara gamblang untuk menentukan sikap dan perilaku. Diskursus tersebut dimasukan dalam ranah imaji dan naluri melalui “pengetahuan”. Dengan kata lain rasa aman tercipta ketika kita telah mengetahui dan mendominasi pengetahuan akan dan bagi “the other”.
Pengkategorisasian diciptakan untuk dapat mengontrol dan menguasa ruang gerak bagi “the other”, kesemuanya harus berjalan sesuai dengan tatanan “harmonisasi” dan “ketentraman”, tanpa harus mengerti akan arti-makna bahwa hal tersebut adalah mitos yang diciptakan, dan mengerti bahwa kesemuanya saling terkait dan berjalan berpararel dalam ruang-waktu. Demi untuk menciptakan rekayasa sosial, maka rasa aman, pengetahuan dan kekuasaan yang dikatakan sebagai tiga kaki yang menopang eksistensi manusia, haruslah disinergiskan untuk menundukan, menciptakan dan mengatur tatanan masyarakat, bahkan dunia.
Agama menjadi paradoks dalam hal ini, disatu sisi agama mempunyai sifat ke-universal-an, disisi lain menjadi ekslusifisme. Pluralisme dan multikultur pada akhirnya menjadi slogan yang mempunyai kepentingan, akan tetapi bukan untuk agama melainkan untuk hal “yang lain”, sesuatu hal yang tak pernah kita bayangkan. Pluralisme dan multikultur menjadi senjata ampuh untuk memperdagangkan agama. Karena memang agama bukan lagi merujuk pada nilai kebenaran dan adi luhung, melainkan suatu nilai nominal, yang menghidupi suatu kaum tertentu.
Sebagai agama yang resmi, ruang-ruang struktural dan politik keagamaan dibentuk. sebagai sebuah institusi/lembaga, Hindu mempunyai keorganisasian mulai dari dirjen, bimas, hingga lembaga keagamaan seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia. Sebagai agama resmi Hindu kini terlibat dalam dinamika keber-agama-an (juga mengenai masalah sosial, politik, budaya dan ekonomi) dalam kancah nasional dan juga permasalahan intern. Sebagai agama yang termasuk kelompok minoritas, Hindu dituntut untuk berjuang keras mendapatkan hak-nya (dalam ranah struktural dan birokratis), sedang berkaitan dengan isi budaya, Hindu yang akrab dengan tradisi-budaya (mulai dari masa pra-sejarah) maka Hindu pun harus dapat bijak menyikapinya sebab masih banyak tradisi budaya yang belum mengidentifikasikan dirinya dengan hindu, atau sebaliknya hindu belum meng-covernya, sebagai bagian dari Hindu.
Hindu dan multikulturalisme
Rekam sejarah kebudayaan indonesia, dituliskan bahwa dalam nuswantara terdapat banyak peradapan, dan untuk memudahkannya maka dibuatlah kategorisasi yang didasarkan atas pembatasan waktu dan jiwa jaman. Alhasil proses sejarah nuswantara terbagi menjadi jaman prasejarah (animisme dan dinamisme), jaman kerajaan siwa-budha, kerajaan islam, kolonial dan indonesia modern. Akan tetapi menjadi berlawanan dengan catatan sejarah ketika Hindu menjadi agama resmi ke lima, sekalipun terdapat bukti-bukti sejarah yang mengetengahkan ajaran Hindu yang terlahir jauh sebelum negara ini terlahir.
Kata Hindu mengacu pada kebudayaan (h)industan di India, persamaan budaya (khususnya sistem religi) yang tercatat dalam rekam sejarah menguatkan persamaan tersebut, walaupun dalam prakteknya terdapat perbedaan. Akan tetapi perbedaan tersebut bukanlah menjadi sesuatu yang harus dipermasalahkan. Konsep kuasa yang masuk dalam ranah religilah yang pada akhirnya menjadikan agama sebagai objek kuasanya. Agama menjadi senjata yang ampuh untuk menerapkan ketaatan dan kepatuhan, bukan pada nilai yang asli atas kegamaan melainkan pada konteks kuasa. Tumpang tindih antara kepatuhan dan kesalehan semakin kabur dan tak berbatas, sebab agama menjadi perisai dalam strategi kuasa. Sebagai agama Hindu, merupakan sesuatu yang dibayangkan, yang tak akan pernah berhenti berproses. Hindu, sebagai wadah dari setiap kebudayaan-kebudayaan yang ada didalamnya. Ia bukanlah sesuatu yang tunggal dan otoriter.
Seperti yang kita ketahui bahwa Bali adalah Hindu, dan Hindu adalah Bali, lalu bagaimana dengan penganut Hindu yang berada di jawa (di Tengger, di Lawu, di Gunungkidul, di Kuningan, Badui dan lain-lain); di Sumatra, di Kalimantan (Kaharingan), di Sulawesi atau didaaerah-daearah yang mempunyai persamaan budaya, belum lagi dengan permasalaahan bahwa mereka belum mengidentifikasi diri mereka kedalam Hindu. Dari sinilah muncul pertanyaan yakni apakah tradisi-budaya dan Hindu, adalah item yang berbeda? Atau menjadi satu kesatuan? Jikapun kini bagai sisi mata uang, lalu bagaimana posisinya, apakah tradisi-budaya menjadi bagian dalam Hindu, atau sebaliknya Hindu menjadi bagian dari tradisi budaya tersebut?
Jika merunut pada sebuah konsep Multikulturalisme, maka Hindu sebagai melting pot, yang mengarah pada dua kemungkinan, yaitu (a) terjadinya penggabungan ras serta percampuran sosial dan membentuk kebudayaan yang harmonis; dan (b) terjadinya suatu proses percampuran kebudayaan yang menghasilkan penguatan kebudayaan lama atau munculnya sebuah kebudayaan baru yang berbeda sama sekali dengan kebudayaan lama. Sekarang tinggal melihat apakah melting pot yang mengarah pada invigoration atau novelty. Seandainya ke arah novelty, berarti Hindu menjadi suatu kebudayan yang betul-betul baru atau yang sangat luar biasa (new or unusual culture). Akan tetapi kalau yang dimaksudkan invigoration, berarti Hindu mengalami penguatan. Dalam pengertian kedua, artinya kebudayaan lain dianggap telah memberikan kehidupan dan energi (to give life and energy to) kepada Hindu. Dari kedua alternatif tersebut, maka dalam Hindu sedang berlangsung proses penguatan (invigoration) kebudayaan.
Disisi lain dalam melihat Hindu sebagai kebudayaan, maka analisa Codes, cukup dapat menjawab permasalaahan antara tradisi budaya dengan Hindu, adalah dua budaya yang berlainan. Jika kita lihat jejak dan rekam sejarah, budaya Hindu ada karena adanya pertautan antara lokalitas dengan budaya lain/asing, sedangkan tradisi-budaya leluhur masih tetap terjaga. Kecerdasan dari pemuka agagmalah yang pada akhirnya menciptkan tradisi budaya leluhur dengan Hindu menjadi dua sisi mata uang. Dengan kata lain osmosis adalah pengangsuran/secara bertahap unsur-unsur kebudayaan pra-sejarah memperoleh pengertian secara Hindu. Prosesnya antara lain dimulai dari ketika para pendeta Hindu datang dari India, lalu meng-Hindu-kan elite lokal, orang-orang yang punya pengaruh kuat dalam masyarakat (termasuk para raja). Al hasil raja-raja ini diandaikan sebagai inkarnasi para dewa Hindu-Buddha, yang harus dipuja oleh rakyat sebagai kesinambungan dari pemujaan kepada leluhur asli dan pemimpin-pemimpin yang telah meninggal.
Dari lingkungan istana, proses osmosis terus berlanjut ke lapisan rakyat, yang wujudnya masih dapat dilihat dalam kebudayaan Bali masa kini. Salah satu kebudayaan prasejarah yang layak dijadikan contoh ialah ‘upacara pembebasan roh dari badan kasar untuk selama-lamanya.’ Setelah mendapat pemahaman Hindu, orang-orang Bali yakin bahwa roh orang yang sudah meninggal akan dapat manunggal, bersatu dengan Brahman (Tuhan), jika sudah melalui upacara ngaben dengan segala rentetannya. Upacara yang sangat filosofis dan mistis ini berfungsi untuk mensucikan roh, sehingga layak dipuja.
Tempat pemujaan bukan lagi ditempat-tempat terdahulu, melainkan di pura (tempat pemujaan secara kolektif) dan sanggah atau mrajan (tempat pemujaan milik keluarga). Proses osmosis menyebabkan unsur-unsur kebudayaan prasejarah kelihatan menjadi sangat Hinduistis, padahal keHinduannya lebih menonjol di permukaan. Di balik permukaan terjadi pertumpangtindihan simbol-simbol ekspresif, nilai dan cita-cita Hindu dan prasejarah. Sebagai contoh, modus berpikir masyarakat prasejarah yang menyatakan bahwa ‘hanya dengan memuja roh leluhur kehidupan di dunia akan bisa terjamin’ dan ‘baik-buruknya hubungan dengan roh atau kekuatan gaib sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup,’ tidak bisa dipungkiri keberadaannya.
Hindu ku, Hindu mu Hindu kita semua: sebuah refleksitas
Dalam hal ini maka dapat kita simpulkan sementara, bahwa Hindu adalah sebuah imajinasi atas pemeluknya yang terus berproses dan berpararel dengan lokalitasnya. Sebagai pulau yang diidentikan sebagai benteng pertahanan dan sekarang menjadi pusat dari agama Hindu, pulau dewata (Bali) masih terus berdinamika untuk mengimajinasikan akan ke-Hindu-annya, sebab Bali mempunyai banyak sub-religi Hindu sendiri. Hindu Bali berbeda dengan Lombok, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Irian dan daerah-daerah lainnya, bahkan berbeda dengan (h)industan di India. Sebagagai kelompok mayoritas, maka Hindu Bali harus memberikan ruang terhadap lokalitas-lokalitas untuk mengembangkan diri mereka, walau dalam perkembangannya akan berbeda satu sama lainnya. Keanekaragaman Hindu akan menjadikan tempat tersendiri dari dinamika budaya Hindu pada khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hindu danGlobalisasi"

Post a Comment