Dinamika dan Tantangan Membangun Moralitas


DINAMIKA DAN TANTANGAN AJARAN SUSILA HINDU DALAM MEMBANGUN MORALITAS

Oleh:
Untung Suhardi


Pendahuluan
Ajaran susila Hindu memang tak lekang oleh jaman. Namun karena statusnya tersebut tantangan demi tantangan akan dihadapi oleh mereka yang meyakini ajaran ini. Terdapat satu kisah yang mungkin menginspirasi dalam mempertahankan nilai-nilai susila agama Hindu. Kira-kira satu abad yang lalu. Tepatnya pada tanggal 11 september 1906 Mohandes K.Gandhi merumuskan strategi Satyagraha di Johanesberg, Afrika Selatan. Kemudian sejak september 2006-september 2007 saat ini, dunia memperingati seabad Satyagraha. Dalam suasana tersebut ajaran Mahatma Gandhi tentang Ahimsa dan masyarakat tanpa kekerasan sangat penting utuk disebarluaskan kepada masyarakat umum.

 Ajaran dan sosok Gandhi telah menjadi milik dunia. Ia telah mendharmabaktikan pemikiran dan hidupnya untuk memajukan dunia, mewujudkan perdamaian abadi yang dilandasi kebenaran, keadilan dan cinta kasih yang tulus. Dalam situasi masyarakat yang dihantui oleh berbagai tindak kekerasan yang terjadi di beberapa belahan dunia, termasuk di Bumi Nusantara ini. Ajaran Gandhi tentang Satyagraha dan Ahimsa sangat relevan untuk ditelaah dan diamalkan. Kekerasan telah terjadi di mana-mana. Bahkan seorang anak telah berani melakukan tindakan brutal mengeroyok teman atau adik kelasnya baik yang ditayangkan lewat media massa dan yang tidak terpublikasikan.
Dalam buku “ Gandhi in the Post Modern Age” karya Prof.Ralph Bultjens, penerima penghargaan sejarah Toynbee, menulis: “kelemahan peradaban modern tampak dari cara menakutkan yang tidak efektif dalam mengatasi konflik. Dalam hubungan internasional maupun penggunaan cara-cara pencegahan militer, tidak memperbaiki kelemahan dunia. Interprestasi yang agak pesimistik terhadap sejarah ini ditentang dengan satu pengecualian penting, penerapan kebijakan dan teknik diplomasi Mahatma Gandhi di India bukan hanya berhasil menyelamatkan umat manusia dari keniscayaan, tetapi juga mendukung terus digunakannya”.

Penerapan Etika dalam Kehidupan
Globalisasi telah menyebabkan perubahan yang begitu besar dan pesat di dunia ini. Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang teknologi atau perlengkapan modern saja, akan tetapi globalisasi juga telah menyebabkan perubahan dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan keagamaan. Perubahan tersebut mengalami transformasi yang pengaruhnya bisa menimpa ke semua aspek kehidupan, entah itu pengaruh baik atau buruk. Banyak sekali orang yang dipaksa masuk dalam tatanan global walaupun kebanyakan dari mereka tidak memahaminya, tetapi dampaknya bisa mereka rasakan.
Banyaknya bencana yang menimpa manusia saat ini juga memperlihatkan bahwa era modern gagal membuat dunia semakin damai, aman, dan sejahtera. Kegagalan-kegagalan dari era modern di atas memaksa manusia untuk menyepakati sebuah gagasan baru yang dianggap mampu dan relevan untuk menjawab segala persoalan yang telah ada. Banyak alternatif yang bermuculan dalam menanggapi permasalahan di atas, salah satunya adalah etika global. Adanya sebuah etika global dianggap sangat diperlukan dalam mencapai sebuah keputusan yang sanggup menjawab segala problem zaman yang berkembang.
Dalam pandangan Hindu, agama bukanlah seperangkat dokrin, ajaran, prinsip di dalam kitab-kitab suci, melainkan sebuah pengalaman kebenaran universal. Kebenaran agama masih perlu dibuktikan dalam perilaku sehari-hari. Dengan demikian, etika mempunyai nilai yang sangat strategis di dalam membina masyarakat agar ajaran-ajaran agama yang abstrak tersebut menjadi riil dapat dinikmati langsung kemuliaannya oleh diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Memasuki melinium baru peran agama diharapkan bersinergi dengan perkembangan sains dan teknologi, bukan sebaliknya. Dalam perspektif Hindu tidak pernah terjadi kotonomi yang kaku antara agama dan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan agama berbeda namun tujuannya sama yaitu abhayadaya (kesejahteraan dan keselamatan duniawi) dan nishreya (kebaikan rohani).

 Alasan ahimsa sebagai dharma atau kewajiban suci yang tertinggi adalah karena ahimsa merupakan pintu pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan Himsa Karma, perbuatan membunuh adalah adharma, bertentangan dengan agama. Non kekerasan (ahimsa) dianggap sebagai dharma tertinggi” Ahimsayah paramodharmah”.
(Mahabarata Anusasana Parva). Konsep Ahimsa juga banyak diambil dari tradisi Jaina dan Budha yang mendapatkan pemaknaan dan pendalaman di dalam Tradisi Veda. Ahimsa menyangkut tidak hanya tindakan namun yang lebih penting adalah pikiran dan perkataan. Kekerasan yang terjadi di berbagai tempat sebenarnya dimulai dari kekerasan di dalam pikiran. Sudah menjadi hakikatnya sendiri bahwa produk-produk apa saja yang lahir dari pikiran dari pikiran (manas) sangat rentan dengan kekerasan.
Sehubungan dengan itu seseorang agar berpikir, berkata, dan bertindak jangan sampai menyebabkan orang lain ketakutan serta rasa cemas pada semua makhluk hidup. Manusia yang ideal berulang-ulang ditegaskan di dalam Mahabarata yaitu orang yang tidak takut kepada orang lain dan tidak membuat takut orang lain.
Nilai yang sangat dekat dengan Ahimsa adalah kebaikan kepada semua makhluk hidup (bhuta daya). Menurut Mahabarata, kebaikan adalah kewajiban tertinggi, norma tertinggi, moralitas yang harus mengatur seluruh perilaku masyarakat. Manusia ideal adalah mereka yang bisa mengendalikan diri, berbuat baik kepada semua orang dan selalu siap mengorbankan hidupnya demi kebaikan orang lain. Bhagavadgita menyatakan bahwa manuisa ideal adalah yang baik dan ramah kepada semuanya (Gita, XII.13-14), seseorang yang mengetahui dharma adalah orang ideal (Sadhu) secara konsisten didefinisikan oleh wiracarita dan kitab-kitab purana sebagai seseorang yang selalu sibuk melakukan kebaikan bagi orang lain melalui tubuh, pikiran. Di samping itu tidak mempunyai keinginan menyakiti orang lain atau iri hati kepada orang lain serta ia yang melihat dan memperlakukan semua makhluk hidup secara sama(Bhagavadgita V.25; Mahabharata, Santi Parva.

Esensi dan urgensi ajaran susila Hindu dalam membagun moralitas.
Masyarakat Hindu adalah masyarakat yang religius, taat, dan patuh terhadap nilai-nili adat dan tradisi. Kedua faktor tersebut telah mampu mempertahankan nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan mekanisme masyarakat dan perkembangan zaman. Hal ini telah mampu menjadikan lingkungan dalam kondisi yang aman dan kondusif dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi berubah manakala proses interaksi berbagai kepentingan dalam era modernisasi dan globalisasi dewasa ini, yang dapat memunculkan benturan maupun gesekan, yang mengarah pada gejolak sosial maupu konflik sosial.
Tat Twam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas,  saya adalah kamu sebaliknya kamu adalah saya dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara, hakikat atman yang menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang meghidupkan tubuh makhluk hidup adalah merupakan percikan terkecil dari Tuhan, kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
Ajaran Tat Twam Asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tat Twam Asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar yang saling asah, asih, dan asuh di antara sesama makhluk hidup.

“orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbuatan jahat, sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakikatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”. (Sarasamuccaya.317).
Secara esensial susila merupakan  ajaran pengendalian diri di dalam pergaulan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial, ia tidak hidup sendirian, ia selalu bersama-sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran susila diwujudkan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisudha yang artinya tiga perilaku yang disucikan yang meliputi:
1.      Manacika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar
2.      Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar
3.    Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar.
Jika ketika hal di atas dapat diamalkan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama makhluk ciptaan Tuhan itu dapat diwujudkan dalam hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Penutup
Ajaran ahimsa dengan tegas memberikan pemahaman bahwa melanggar hukum alam, maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melanggarnya. Perilaku yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya bertentangan dengan prinsip Ahimsa Karma, termasuk di dalamnya meyakiti hati orang lain atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata-kata yang kasar, pedas dan mengumpat. Bila perbuatan ini terjadi maka terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
Sebagai contoh, dalam sistem kehidupan masyarakat Hindu di Indonesia, terutama di Bali, pengembangan apapu, roh dan taksunya berada pada pola dan sistem kehidupan masyarakat di lingkungan pekraman (Desa Adat) dalam sebuah nuansa Bali, dan tidak terlepas dari pengembangan konsep Tri Hita Karana. Bagaimanapun  kita berupaya menyelamatkan budaya Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu yang merupakan simbol kebanggaan masyarakat Bali, serta merupakan salah satu faktor  penentu dalam pembentukan kepribadian orang Bali.
Sentuhan budaya global menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Kualitas mental dan moral masyarakat mengalami degradasi. Karena itu implementasi ajaran agama menjadi penting. Implementasi ajaran agama dalam mewujukan kesimbangan adalah dengan mengimplementasikan konsep Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dinamika dan Tantangan Membangun Moralitas"

Post a Comment