Merekonstruksi Sistem Pengajaran Veda Pada Masa POSTModern
Oleh :
Untung Suhardi
1.1 Pendahuluan
Perdebatan panjang tentang adanya sistem
pengajaran dalam Veda merupakan suatu hal yang menjadi pembicaraan yang
menarik. Selanjutnya dalam arus modernitas dituntut adanya sistem pembelajaran
yang bersifat komprehensif namun dilain hal banyak adanya sebuah tuntutan yang
“memaksa” seseorang untuk melakukan tindakan yang biasanya disesuaikan dengan
keadaan dan kebutuhan orang tersebut. Kemudian pada pembicaraan ini akan diulas
tentang sistem pendidikan Veda yang
mengacu pada pembelajaran Vedic Literature yang biasanya seorang guru
sering memberikan bahan pembelajaran yang berupa cerita baik itu dalam Itihasa
maupun Mahabharata. Akan tetapi, ada juga yang memberikan arahan kepada anak
didiknya untuk langsung membaca Veda itu sendiri yang biasanya adalah kitab
catur veda maupun Bhagavadgita tanpa diajarkan terlebih dahulu tentang konsep
Itihasa maupun Purana sebagai pondasi pengetahuan anak didik. Dengan demikian keadaan ini telah
menyimpang dari pedoman yang tertera dalam Vayu Purana : 1.20 yang menjelaskan
bahwa :
Itihasa Puranabhyam vedam
samupabrmhayet.
Bibhetyalpasrutaad vedo mamayam praharisyati.
(Vayu Purana. 1.20)
Bibhetyalpasrutaad vedo mamayam praharisyati.
(Vayu Purana. 1.20)
Terjemahan :
Hendaknya memahami makna Veda melalui Itihasa dan Purana. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya (Titib, 1998).
Hendaknya memahami makna Veda melalui Itihasa dan Purana. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya (Titib, 1998).
Sloka Vayu
Purana yang dikutip di atas diulang kembali dalam Sarasamuscaya 39 dan
dijelaskan dalam bahasa Jawa Kuna. Maksud Sloka Vayu Purana ini memberikan kita
tuntunan dasar yang prinsip dalam memahami ajaran suci Veda. Veda memang tidak
bisa dipelajari dengan cara sembarangan. Sebelum terjun mempelajari Veda
dibutuhkan dasar-dasar pengetahuan awal sebagai medianya terlebih dahulu.
Mungkin hal inilah di Bali muncul istilah ayua
wera. Maksud istilah ayua wera ini adalah sebagai suatu rambu-rambu agar
jangan orang sembarangan mempelajari Veda. Sayangnya hal ini disalah artinya
pada zaman dahulu. Anak-anak dan pemuda pada masa lampau dilarang belajar Veda
karena dianggap keramat dan hanya dikhususkan untuk golongan cendikiawan dan
para pemuka agama. Sesungguhnya bukan demikian maksudnya jadinya, memahami arti
dan makna Veda tidak bisa langsung terjun mendalami Mantra-Mantranya. Ia harus
dipahami melalui Itihasa dan Purana terlebih dahulu. Jadinya ajaran suci Veda
bukanlah tidak boleh disebarkan. Apa lagi dalam Mantra Yajurveda XXVI.2
menyatakan bahwa hendaknya ajaran suci Veda ini disampaikan kepada seluruh umat
manusia, kepada Brahmana, Ksatria, Vaisya, Sudra bahkan kepada orang asing
sekalipun (Titib, 1998).
Jadi ajaran suci
Veda ini bukanlah monopoli suatu golongan tertentu saja. Meskipun Veda harus
disebarkan kepada siapa saja, tetapi Manawa Dharmasastra 11.114 menyatakan
bahwa Veda itu adalah kekayaan rohani hendaknyalah dipelihara dengan baik dan
janganlah diajarkan kepada mereka yang tidak percaya. Dengan demikian Veda itu
akan sangat kuat memberikan pegangan kepada yang percaya. Demikian Sloka Manawa
Dharmasastra itu menegaskan. Jadinya yang boleh diajarkan Veda hanya mereka
yang percaya.
1.2 Keutamaan Mempelajari Itihasa dan Purana
Mengapa tidak
boleh sembarangan belajar Veda karena menurut kitab Nirukta Vedangga Mantra
Veda yang berjumlah 20389 Mantra itu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
jenjang kesukarannya. Tiga kelompok itu adalah : Paroksa Mantra, Adyatmika Mantra dan Pratyaksa Mantra. Mantra Veda
yang tergolong Paroksa Mantra tidak mungkin dapat dimengerti apa lagi dipahami
kalau bukan di sabdakan oleh Tuhan. Tuhanlah yang memilih siapa-siapa yang akan
diberikan Sabda suci tentang Makna Mantra Paroksa itu. Mantra tersebut tidak
bisa dipelajari dengan kecerdasan daya nalar semata. Mantra Veda yang tergolong
Adyatmika Mantra hanya akan dapat dimengerti dan dipahami oleh mereka yang
berhati suci. Jadinya bukan hanya karena cerdas dan pintar. Mantra Veda yang
tergolong Pratyaksa Mantralah yang boleh dipelajari dengan ketajaman ratio dan
indria.
Itihasa dan Purana sebagai pratyaksa mantram bisa dipelajari terlebih
dahulu karena tatabahasa dan susunan gramatika bahasa masih bisa dinalar oleh
umat kebanyakan. Namun disisi lain timbul pertanyaan “Mengapa Veda harus
dipahami melalui Itihasa dan Purana tidak langsung pada Mantra Mantra Veda”?
Menurut Swami Siwananda dalam bukunya ''All
About Hinduism'' menyatakan bahwa Mantra-Mantra Veda tergolong Prabhu Samhita sedangkan Sloka Itihasa
dan Purana tergolong Suhrita Samhita.
Prabhu Samhita artinya syair-syair suci Veda itu penuh wibawa tidak begitu
mudah menjangkaunya. Sedangkan syair-syair Sloka Itihasa dan Purana disebut
Suhrita Samhita artinya kumpulan syair yang lebih ramah sehingga lebih mudah
memahaminya. Mantra Catur Veda itu juga dibagi empat menurut peruntukan dalam
menuntun umatnya. Swami Siwananda menyatakan bahwa Kitab Mantra Samhita untuk
menuntun mereka yang berada pada tahapan Brahmacari Asrama. Kitab Brahmana
Samhita untuk menuntun umat yang berada pada tahapan hidup Grhastha Asrama.
Kitab-kitab Aryanaka Samhita untuk menuntun umat yang sudah Vana Prastha
Asrama. Sedangkan kitab-kitab Upanishad untuk menuntun umat yang Sanyasa
Asrama. Hal ini menandakan bahwa kitab suci Veda merupakan tuntunan hidup bagi
umat manusia yang mempercayainya dari awal sampai ia mengakhiri hidupnya di dunia
ini. Puncak keberhasilan mendalami Veda dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra
II.6 yaitu mencapai apa yang disebut dengan 'Atmanastusti'. Artinya kepuasan
Atman. Maksudnya hidup yang benar menurut Veda adalah mewujudkan dominasi
kesucian Atman dalam diri. Kalau kesucian Atman sebagai pengendali segala
dinamika kehidupan, maka Satya dan Dharmalah yang akan tegak dalam kehidupan di
dunia ini. Manusiapun akan hidup bahagia secara individual dan sosial. Kesucian
Atmanlah yang selalu menjadi sumber kekuatan mengendalikan Budhi, Manah dan
Indria. Wisaya Kama atau gejolak hawa nafsu akan patuh pada kesucian Atma.
1.3 Proses Mempelajari Veda Sebagai Upaya Meningkatkan
Kualitas Pendidikan Hindu Pada Kehidupan Modern
Bertolak
dari uraian diatas kata anak dalam bahasa Sanskerta
adalah “putra” Kata “putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang,
kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir
dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya
dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh
karena itu ia disebut Putra” (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang sama
juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dinyatakan sama
dalam Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”.
Kelahiran “putra suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan
maupun dalam pendidikan Hindu.. Kata yang lain untuk putra adalah: “sùnu,
àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan saýtàna”. Kata yang terakhir
ini di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. “Seseorang dapat
menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi,
memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan
yang abadi dengan kelahiran cucu-
cucunya” (Àdiparva,74,38).
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya
setiap keluarga memiliki anak. Tambahan pula Àdiparva, Mahàbhàrata memandang
dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. “Disebutkan bahwa seorang anak
merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan
pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang
tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul
tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang
lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya
air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri,
memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian
membahagiakan kecuali seorang anak”(74,52,55,57).”Seseorang yang memperoleh
anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan
baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan
seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu
melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan
mulia(74,61-63). Lebih jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan
lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu
dengan Tuhan Yang Maha Esa” (II.28).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan,
utamanya pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi
seorang anak. Tentang pendidikan ini, kitab suci Veda menyatakan: “Saudara
laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki
dan perempuan dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya.
Hendaknya berbicara mesra di antara mereka”(Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan
orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi
dengan perbuatan - perbuatannya yang mulia” (Rgveda I.160.3). ”Ya Tuhan
Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami seorang putra yang gagah berani, giat
bekerja, cerdas, mampu memeras Soma (tekun berbakti)dan memiliki keimanan yang
mantap lahir pada keluarga kami”(Rgveda III.4.9).“Ya Tuhan Yang Maha Esa,
semogalah kami memperoleh putra dengan kulitnya yang kuning langsat, yang
tampan, panjang umurnya, patuh kepada orang tua dan gurunya, berani dan saleh”
(Ågveda II.3.9). “Wahai anak, datang dan berdirilah di atas batu ini.
Kuatkanlah badanmu seperti batu ini”(Atharvaveda II.13.4). “Sesungguhnya anak
laki-laki dari putra seorang ayah yang masyhur akan menjadi mulia”(Atharvaveda
XX.128.3). Terjemahan mantra Veda yang terakhir ini adalah logis, bila orang
tuanya memiliki nama yang harum, maka putranya memperoleh teladan yang baik
menjadikan mereka mulia.
Tentang anak yang “Suputra”, Maharsi Cànakya dalam
bukunya Nìtisàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena
terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula
halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra” (II.16). “Asuhlah anak
dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan
disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun)
didiklah dia sebagai teman”(II.18). Demikianlah idealnya, setiap keluarga
mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani
dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua dan
masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak
yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang
menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan
dengan orang-orang suci”(IV.10). Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang
durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan
dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang
demikian disebut anak yang “kuputra” (bertentangan dengan suputra).
Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan
”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu
pula seorang anak yang kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh
keluarga” (II.15). “Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka
hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi
ia berkeperibadian yang luhur (suputra) membantu keluarga. Satu anak yang
meringankan keluarga inilah yang paling baik”(II.17). “Bagaikan bulan menerangi
malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang
suputra yang memiliki pengetahuan rohani,insyaf akan dirinya dan bijaksana.
Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan
masyarakat”.( III.16). Hal yang sama diulangi kembali dalam Nìtiúàstra IV.6.
yang antara lain menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya
oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang
Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai
sifat-sifat yang baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati
dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu
lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang
berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan
penderitaan”(IV.7).
1.4 Penutup
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan
susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan
kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, pada umat Hindu
di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua
orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses
kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang
dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh),
yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan
rakûaûa” . Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak, dikaitkan pula
dengan karakter anak seseuai hari Daúavara-nya tersebut.
Selanjutnya untuk pembahasan tentang pendidikan agama
hindu bahwa sejak dini sudah ada tentang
materi mendongeng tentang agama Hindu
yang isinya adalah cerita
kepahlawanan yang ada dalam epos Itihasa baik itu Ramayana dan mahabharata
serta cerita tentang patriotisme dari Purana tentang kelahiran para dewa. Untuk
itu perlu adanya pembaharuan dalam kurikulum untuk memasukan itihasa dan purana
sebagai materi pokok untuk mempermudah siswa memahami ajaran Veda. Karena dalam
metode pendidikan adanya yang dinamakan dengan story telling yang memudahkan siswa dalam menyerap materi yang
diajarkan oleh guru melalui metoda cerita. Karena dalam hal ini Itihasa dan
Purana sebagai suhrita samhita sangat memungkinkan sekali untuk bisa dipahami
oleh anak-anak dan bahkan orang awam sekalipun.
0 Response to "Pengajaran Veda pada Masa Posmodern"
Post a Comment