Menyulam Kerukunan dalam Bingkai Kebhinnekaan


 Menumbuhkembangkan Inklusivisme Guna Menyulam Kerukunan  
Oleh :
Untung Suhardi


Pendahuluan
Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia, bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke dalam krisis multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit dilaksanakan dan penderitaan rakyat  akan semakin berat. Hal ini disebabkan para investor maupun wisatawan asing tidak akan datang ke Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang teroris akan menjadi stigma yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang memiliki pikiran yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai salah satu bentuk ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya. 


Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat beragama untuk tidak sampai memahami agama yang dianutnya itu dijadikan motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan bertindak sebagai teroris.
Ada bebera hal yang menjadi pembahasan dalam pesan dharma ini yaitu :
1.   Bagaimanakah ajaran Hindu tentang konsep radikalis ?
2.      Bagaimanakah upaya menangkal radikalisme yang bersifat eksklusivisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ?

Pemahaman Ajaran Hindu Tentang Radikalisme
Berasal dari bahasa Latin, kata "radix" berarti akar dan radikal berarti mengakar, mendasar, dan menyeluruh. Prinsip inilah yang mewarnai paham keagamaan sehingga kelompok radikal tampil dengan semangat fundamental dan fanatik yang tinggi. Semangat ini, juga membuat kelompok radikal seringkali memakai kekerasan dalam mengaktualisasikan kebenaran agamanya, baik dalam hidup keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam bentuk ekstremnya, kelompok radikal menghendaki perubahan sosial-politik secara mendasar dan menyeluruh, seperti mengganti dasar negara, undang-undang dasar, dan pemerintahan. Bahaya semacam ini menunjukkan bahwa agama sudah tidak lagi pahami sebagai tuntunan hidup untuk mencintai Tuhan, mengasihi sesama, dan menyayangi alam. Namun agama lebih dimaknai sebagai alat untuk merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan: politisasi agama. 

Pelaksanaan Upacara Mecaru
Penghayatan agama yang eksklusif memang memiliki kecenderungan melahirkan kecintaan yang berlebihan kepada agama sendiri sehingga menimbulkan pandangan bahwa agama sendiri adalah kebenaran yang paling asli. Sikap memutlakkan kebenaran agama sendiri sebagai kebenaran terakhir inilah yang dapat melahirkan radikalisme agama, antara lain menilai agama orang lain palsu tidak mengandung kebenaran. Tidak jarang menilai agama orang lain sebagai agama yang keliru dan sesat, meremehkan dan menghina agama orang lain, serta menuduh dan menghakimi pemeluk agama lain berdasarkan ajaran agama sendiri. Radikalisme agama, juga dapat muncul dari tipologi agama, yaitu agama langit dan agama bumi. Agama langit adalah wahyu Tuhan yang paling sempurna dan agama bumi adalah ciptaan manusia berdasarkan akal, budi, dan khayalan.
Tipologi agama yang mengarah pada pendeklarasian kesempurnaan agama sendiri dan pelucutan kecacatan agama orang lain merupakan suatu bentuk jebakan pendekatan dikotomis. Perayaan Galungan dan Kuningan misalnya, juga tidak lepas dari pendekatan itu karena lebih dimaknai sebagai peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Memahami dharma dan adharma saja tidak mudah, apalagi perlawanannya karena dharma tidak merumuskan dikotomi pahlawan dan pengkhianat. Begitu juga ketika Upanisad menyatakan, "Selain Brahman adalah Dharma", tentu mustahil menempatkan Brahman dan Dharma sebagai dua konsep yang berbeda dan berlawanan. Apalagi, jika adharma dapat disejajarkan dengan amoral yang berarti netral dari penilaian moral, maka adharma dapat berarti netral dari penilaian dharma. Dengan demikian, adharma yang bukan dharma tidak berlawanan dengan dharma.
Dengan rumusan itu, juga dapat dikatakan bahwa Brahman yang bukan Dharma tidak berlawan dengan Dharma. Dalam rumusan lain dapat dikatakan bahwa Brahman dan Dharma dapat diterima sebagai kesatuan pemahaman (pengetahuan dan pengalaman) atas Satu Realitas. Barangkali dengan menghindari pendekatan dikotomis semacam itu dapat mencegah munculnya radikalisme agama dalam keberagamaan umat Hindu. Seperti yang dilakukan Ramanuja dengan pendekatan Wisistadwaita ketika memberikan jalan tengah dalam mendamaikan perdebatan tentang Brahman antara Madwa dengan pendekatan Dwaita dan Sankaracharya dengan pendekatan Adwaita. Keabsolutan Brahman sebagai Realitas Tertinggi dalam pendekatan Adwaita dan Brahman sebagai realitas yang berbeda dengan ciptaanNya dalam pendekatan Dwaita didamaikan lewat pendekatan Wisistadwaita dengan menyatakan bahwa Brahman memang bersifat transenden sekaligus imanen dalam ciptaanNya.

Pura Anjasmoro - Jombang (Jawa Timur)
 Serupa dengan Wisistadwaita, juga pendekatan Ardhanareswari menyatakan bahwa realitas adalah kesepasangan dan kesetimbangan dua unsur (atau lebih) yang berbeda dan berlawanan, seperti roh dan benda atau laki-laki dan perempuan secara antropomorfis. Ardhanareswari terdiri atas kata "ardha" yang berarti setengah atau belahan; "nara" berarti manusia laki-laki; dan "rswari" berarti manusia perempuan. Dalam Manawadharma sastra 1.32 disebutkan bahwa "Tuhan membagi ketunggalan diriNya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan dan dariNya terciptalah segalanya". Dalam Siwatattwa, juga disebutkan Bhatara Siwa sebagai kesepasangan dan kesetimbangan antara purusa dan pradana: aspek maskulin dan feminin. Bhatara Siwa sebagai Ardhanareswari adalah Siwa-Uma, Bhatara Guru, dan Hyang Wisesa dengan kemahaanNya. Pada kenyataannya dunia kehidupan bertahan karena perkawinan: kesepasangan dan kesetimbangan.
Dengan demikian, radikalisme termasuk penghayatan agama yang eksklusif lainnya berlawanan dengan keanekaragaman hukum alam yang menyangga agama Hindu. Oleh karena itu, sudah selayaknya prinsip keserbaragaman alam diperlakukan sebagai pasangan-setimbang dengan norma moral yang memuliakan kemanusiaan dan aturan agama yang mengagungkan Ketuhanan. Pendekatan kesepasangan dan kesetimbangan yang disarankan tri hita karana ini menegaskan: kesempurnaan ajaran ketuhanan berada pada kemampuan menghormati prinsip-prinsip alam dan kesanggupan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Selebihnya adalah deskripsi normatif tentang kecongkakan ego, kesombongan pikiran, dan keangkuhan budi para pengabdi agama. Pengabdi agama yang lihai penuh ilusi mendorong pemeluk agama terjerumus dalam radikalisme sehingga frustrasi sekitar dasar-dasar agama, pening seputar literatur agama, dan kelimpungan mengoceh mengenai ajaran agama yang asli.  Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap agama-agama, maka kesadaran bahwa agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuh-kembangkan saling pengertian, tenggang rasa dan kerukunan umat beragama. Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan (2002:35) menyatakan. “Dengan mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan sikap kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan fanatik terhadap ajaran yang kaku”. 

 Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam agama tertentu) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini,  seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
a.      Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
b.      Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
c.       Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
d.     Śānti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
e.      Ahiśa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.

Upaya Menangkal Radikalisme
Analogi yang sederhana ketika sebatang pohon yang sudah besar mempunyai akar yang sangat banyak dan untuk mencabut akar tersebut sangatlah susah. Keberadaan agama Hindu misalnya dengan berbagai macam aliran, ada aliran siva, vaisnawa, bhairawa, ganesha dan lainnya. Hindu sebagai ajaran yang bersifat sanatana dharma mempunyai fleksibelitas di dalam menjalankan sesuai dengan budaya yang ada. Hal ini misalnya tertuang dalam jenis ritual keagamaan Hindu yang ada banyak perbedaan dengan yang ada di India. Dapat kita lihat dari hari raya Nyepi, galungan,  kuningan yang tidak dijumpai di India. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam kehidupan keagamaan Hindu harus di jalankan. Untuk itulah, kehidupan keagamaan Hindu tidak dapat dipaksakan dengan standar 1 daerah saja, melainkan menumbuhkan kearifan lokal dari setiap ritual yang dilaksanakan di setiap daerah di Indonesia bali, kalimantan, sunda, jawa, sulawesi biarkan mereka mengemaskan dengan nilai-nilai kearifan lokals setempat. 

Kegiatan Dharma Tula (Diskusi)
 Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa suatu kebudayaan telah mampu mengadopsi dan mengadaptasi kebudayaan asing/luar menjadi bagiannya tanpa kehilangan jati diri. Dalam interaksi tersebut kebudayaan etnik mengalami proses perubahan dan keberlanjutan (change and continuity). Unsur-unsur kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman tampaknya ditinggalkan, dan digantikan dengan unsur-unsur yang baru. Kesamaan nilai- nilai dalam agama dan spiritualitas mengenai multikulturalisme yang terdapat dalam berbagai etnik/komunitas di Indonesia tampaknya dapat digunakan sebagai alat untuk menjalin integritas sosial di antara kelompok etnik tersebut Jati diri otentik adalah bersifat spiritual dan murni, sedangkan jati diri artifisial saat ini adalah materialisme akibat dari pengaruh budaya global dan hedonisme. Keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa akan memperkuat jati diri dan kepercayaan diri. Nilai-nilai dasar itu bersumber pada agama dan falsafah negara yakni pancasila. Kearifan lokal yang terkait dengan nilai-nilai pluralitas budaya atau multikulturalisme dalam masyarakat perlu kiranya direvitalisasi untuk membentengi diri dari gejala disintegrasi bangsa. Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas yang mengedepankan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam perlu disosialisasikan dan diejawantakan dalam kehidupan riil.
Dengan menyadari  bahwa sifat dasar kita berasal dari sumber yang sama, yaitu Brahman dengan demikian jiwa-jiwa yang ada pada setiap makhluk adalah bagian dari Brahman, maka hendaklah kita selalu menerapkan sifat-sifat itu dalam kehidupan ini karena kita mempunyai hubungan langsung dengan unsur-unsur di alam semesta ini ; tanah, air, api, udara dan angkasa. Dalam ajaran Hindu mengenal adanya Tat Twam Asi yang mengandung pengertian bahwa aku adalah engkau dan engkau adalah aku, dan menyakiti makhluk hidup lain pada dasarnya adalah menyakiti diri sendiri dan juga sebaliknya.

Menyusun Pajegan Untuk Persembahyangan Piodalan
  Dari kesadaran inilah akan mencapai kebahagiaan dan keharmonisan karena, mengetahui bahwa sesungguhnya diri kita, orang lain serta makhluk hidup lainnya adalah bersaudara (Vasudaiva Kutumbhakam). Karena sebenarnya kita saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, bagaikan satu rumah dengan satu atap dengan sifat dan tempramen yang berbeda, tetapi satu. Hal ini juga dijelaskan dalam Atharwa Veda III. 30. 1 yang dijelaskan bahwa “Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu”.

Kesimpulan
Kehidupan dalam bingkai kerukunan yang ada dalam agama Hindu jelas dalam tatanan yang berbhineka tunggal ika. Konsep yang ada tat twam asi, vasudaidewa kutumbhakam, tri hita karana dan serangkaian konsep yang lain hanya sebatas konsep dengan deretan kata-kata indah, namun harus  dijalankan dalam kehidupan. Corak kehidupan pada abad ke-21 ini terdiri dari berkomunikasi, berkolaborasi, kreatif dan berpikir kritis, sehingga dituntut kita sebagai individu harus saling pengertian dan memahami keberadaan orang lain. Umat Hindu mulai saat ini harus mempererat tali persaudaraan dengan intern jangan sampai permasalahan kelompok tertentu berimbas pada persatuan umat Hindu. 

Om Santih, Santih, Santih Om.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menyulam Kerukunan dalam Bingkai Kebhinnekaan"

Post a Comment