Ketiga adalah permasalahan beralih agama.
Larangan secara tegas bagi mereka yang ingin beralih Agama tidak ada, namun
jika beralih Agama tentu sudah tidak menjadi anggota/ warga Kawitan lagi. Lalu
kalau beralih Agama dengan cara bagaimana nanti mereka menyembah/ menghormati
leluhurnya? Bukankah hati nurani mereka tidak bisa dibohongi, bahwa mereka
tetap merindukan kasih sayang ayah-ibu, kakek-neneknya yang sudah tiada, yang
sudah susah payah melahirkan dan membesarkan dirinya hingga menjadi “orang”
seperti sekarang? Banyak yang berpindah dari Agama Hindu ke Agama lain pada
akhirnya (biasanya ketika sudah tua/ uzur) menyesal lalu berbalik memeluk Agama
Hindu. Ini karena panggilan Weda; kebenaran abadi ada pada Weda yang sudah
terbukti ribuan tahun lamanya. Bila kita menemukan pelaksanaan Agama Hindu yang
menyimpang atau tidak sesuai dengan zaman yakinlah itu disebabkan karena
hal-hal seperti kata pepatah: “The Singer
is not the song” Nyanyian yang buruk bukan karena lagunya tetapi karena
penyanyinya yang tidak pandai.
Berkaitan dengan permasalaha diatas maka
hal yang harus dilakukan adalah dengan adanya pembinaan oleh penyuluh agama
Hindu, kesadaran oleh masing-masing individu bahwa agama Hindu merupakan agama
yang paling lengkap dari agama yang turun belakangan setelah Hindu. Dengan
selalu menambah pengetahuan Hindu dari bahan bacaan yang ada maupun sering
berdiskusi dengan para pemuka agama Hindu. Dengan adanya langkah ini hal-hal
yang berkaitan dengan perpindahan agama dapat diminimalisir dan Hindu dapat
jaya pada waktu dahulu kala.
Keempat permasalahan sarana upacara yang
dianggap memberatkan umat. Diharapkan
Parisada bisa merespon dan memberi semangat kepada masyarakat yang
menyelenggarakan yadnya secara sederhana dan dilakukan dengan gotong-royong.
Bahwa semua tingkatan pelaksanaan upacara-upakara dalam yadnya – utama, madya,
kanista – memiliki esensi dan substansi yang sama. Ini sebetulnya sudah lama
diatur dan disosialisasikan ke umat Hindu. Namun, masih ada salah tafsir
terhadap konsep bahwa tiga tingkatan yadnya ini memiliki esensi dan substansi
yang beda, sehingga sebagian masyarakat merasa kurang puas sebelum melaksanakan
yadnya pada tingkatan utama dan kadang-kadang memaksakan diri. PHDI perlu terus
merekomendasikan perihal ini, agar umat semakin mantap pemahamannya, bahwa
semua tingkatan yadnya itu sama nilainya sebagai persembahan kepada Hyang Widhi
Wasa.
Parisada harus
mengapresiasi adanya ngaben bersama, potong gigi bersama, dan sebagainya
sehingga biayanya bisa murah dan tidak memberatkan umat. Oleh karena itu harus
disadari bersama bahwa untuk menghanturkan yajna kepada Brahman tidak harus
mahal, banyak dan meriah akan tetapi yang diharapkan oleh Hyang Widhi dalam
Bhagavad-gita 9:26 adalah ketulusikhlasan (lascarya) dari penyembahnya
dalam beryajna.
Daftar
Pustaka
Ritzer,
George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori
Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Paul
Johnson, Doyle.1986. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Mantra, IB.
1997. Tata Susila Hindu Dharma.
Denpasar : Upada sastra, Surabaya : Paramitha
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (Pokok-Pokok Pikiran Agama
Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya. Paramitha.
0 Response to "Kritik Sosial dalam Problem intern Keagamaan"
Post a Comment