PESAN MORAL KISAH TERBUNUHNYA RAKSASA NIWATAKAWACA
PADA
KAKAWIN ARJUNAWIWAHA
Oleh:
Untung Suhardi
Ringkasan tentang kakawin Arjunawiwāha ini merupakan perumpamaaan yang
dilakukan oleh Mpu Kanwa dalam menggambarkan ketekunan dan
kesabaran Airlangga dalam masa pengasingan di hutan. Hal
ini kemudian dipertegas oleh C.C. Berg yang merupakan peneliti sastra berkebangsaan Belanda yang
menyatakan bahwa Arjunawiwāha ini merupakan pujian yang ditunjukan kepada raja
Airlangga. Kemahiran bujangga Kanwa dalam menuliskan tentang keindahan kakawin
ini benar-benar dihayati dengan menggunakan rasa yang diresonansikan dalam
bentuk goresan tinta yang penuh dengan makna. Lebih lanjut ditegaskan oleh
abhinavagupta dengan pendapatnya yang dikenal dengan rasa dhvani yang
menjelaskan bahwa pengalaman estetik tidak diperoleh sebagaimana pengalaman
biasa, sebab obyek estetik tidak hanya menggetarkan indera melainkan juga yang
menggerakan imanijasi (Hadi, 2014 : 205). Berikut kisah terbunuhnya raksasa Niwatakawaca:
Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan
bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para
dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai
penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani.
Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning
upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan
berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa
terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna
sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang
berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh,
terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana),
karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja
raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna
dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan
tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah
mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu
Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara
penobatannya (abhiseka) sebagai Raja
di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama.
Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam
keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia
telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber
kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan
pikiran (dhyana), yang menuju kepada
tataran keheningan (samadhi). Maka
ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwāha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa, dan menjadi
sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang
mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang
memuja (Kuntarawijaya, 2007:
342). Demikianlah Kakawin Arjunawiwāha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam
kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa
rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana
pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srnggara), muncul secara bergantian untuk akhirnya
bertemu dalam kesatuan rasa.
Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar
kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka
haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi
kesejatian makna (maya). Karena di
dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora
perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka
tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan
berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju
kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti
terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak.
Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara
Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk
kepada kejadian penciptaan (lila).
Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
0 Response to "Kisah Terbunuhnya Niwatakawaca"
Post a Comment